0 Comment
Islam adalah agama yang abadi dan penutup seluruh agama. Dan di antara karakteristiknya adalah universal dan adil, dimana Islam memberikan kepada setiap orang apa yang telah ditetapkan menjadi haknya, termasuk kaum wanita. Islam sangat memuliakan kaum wanita, baik dia sebagai ibu, atau sebagai istri, atau sebagai putri (anak perempuan), maupun sebagai individu masyarakat. Dan kaum wanita tidak mendapatkan perlindungan yang sepantasnya sejak dari usia dini hingga dia meninggal kecuali dalam naungan Islam. Hal ini nampak jelas melalui uraian poin-poin berikut ini:
  1. Islam mengutuk perbuatan kaum jahiliah yang mengubur hidup-hidup putri-putri mereka, dengan mengancam akan mempermalukan pelakunya di hadapan seluruh makhluk. “Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (Q.S. al-Takwir/81: 8-9)
Wanita diciptakan karena suatu hikmah, dimana kaum lelaki tidak bisa hidup tanpa mereka, demikian pula sebaliknya mereka tidak bisa hidup tanpa kaum lelaki. Setiap dari lelaki dan wanita telah Allah jamin rezkinya.
  1. Islam memotivasi pemeluknya agar memelihara anak perempuan, dan menjadikan surga sebagai tempat kembali bagi yang memelihara anak perempuan. Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja yang diuji dengan memiliki anak-anak perempuan, namun dia memperbaiki pengasuhannya terhadap mereka, maka anak-anak itu akan menjadi tirai bagi mereka dari api neraka.” (Muttafaqun alaih)
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda, “Barangsiapa yang merawat dua anak perempuan sampai keduanya balig, dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan saya dan dirinya dekat seperti kedua jari ini.” Beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah beliau. (HR. Muslim)
Ini adalah motivasi dari Allah yang Maha Pemurah agar mereka memuliakan anak perempuan, merawat mereka, dan memperhatikan pendidikan mereka sampai mereka diserahkan kepada suami-suami mereka kelak. Agar dia bersama suaminya bisa melaksanakan tanggung jawab kehidupan yang telah dibebankan di pundak keduanya.
  1. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa nafkah untuk anak perempuan dibebankan kepada siapa yang merawat mereka. Jika seorang wanita tidak memiliki orang yang merawatnya, maka pemerintah wajib menafkahi mereka, karena pemerintah merupakan wali bagi wanita yang tidak memiliki wali. Jadi bagaimanapun kondisinya, wanita akan selalu mendapatkan perlindungan dalam Islam. Sampai-sampai walaupun suami kurang mampu memberikan nafkah, sementara istrinya meminta nafkah yang menjadi haknya, maka istri tetap berhak mendapatkan haknya tersebut. Dan seandainya seorang istri menggugat cerai suaminya karena hal itu (tidak diberi nafkah), maka hakim harus mendengarkan gugatannya, dan dia boleh menjatuhkan vonis cerai jika memang suami tidak mampu memberi nafkah.
  2. Jika seorang wanita telah mencapai usia layak untuk menikah, maka dia memiliki kebebasan mutlak dalam memilih sendiri siapa calon suaminya, tentunya sesuai dengan aturan-aturan syariat. Tidak ada seorangpun yang boleh merenggut kebebasan ini darinya, karena Allah Ta’ala telah menganugerahkannya kepadanya.
Ada seorang gadis yang pernah mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam guna mengeluhkan perlakuan ayahnya yang memaksanya untuk menikahi lelaki yang tidak dia sukai. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyerahkan keputusan itu kepadanya dan membatalkan pernikahannya. (HR. al-Bukhari)
  1. Jika seorang wanita telah menjadi istri, maka dia berhak mendapatkan haknya dari suaminya, sebagaimana suaminya berhak mendapatkan haknya darinya. Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S. al-Baqarah/2: 228, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Perlakukanlah kaum wanita dengan cara yang paling baik.” (HR. al-Bukhari)
Beliau shallallahu alaihi wasallam juga bersabda, “Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya, dan saya adalah orang yang paling baik kepada istri.” (HR. Ibnu Majah)
  1. Islam menetapkan adanya hak kepemilikan bagi seorang wanita terhadap harta, dan memberikan kepadanya kebebasan mutlak untuk mengelola sendiri apa yang menjadi harta bendanya. Dia berhak menerima warisan, setelah dahulu (pada masa jahiliah) mereka yang dijadikan sebagai harta warisan, selayaknya harta benda. Islam membolehkan mereka untuk berkarir dalam pekerjaan yang tidak bertentangan dengan syariat dan dengan aturan yang ditetapkan oleh syariat, semisal bukan pada lingkungan ikhtilat (bercampur-baurnya lelaki wan wanita tanpa ada keperluan). Ada banyak lapangan pekerjaan yang bisa diisi oleh kaum wanita dimana dia bisa tetap menjaga kehormatan dan kemuliaannya.
Islam juga menetapkan hak bagi kaum wanita untuk mendonasikan dan mengelola harta benda mereka sendiri. Tidak ada seorangpun yang boleh mengatur mereka dalam hal ini, kecuali ketika mereka masih kecil atau ketika mereka tidak berakal (idiot).
Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah memberi motivasi kepada para sahabat wanita untuk bersedekah, lalu mereka menyedekahkan perhiasan mereka. (HR. al-Bukhari) Dan perhiasan ini termasuk benda berharga yang dimiliki oleh wanita.
Suatu ketika, Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud datang meminta izin kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menyalurkan zakat malnya kepada suaminya, Abdullah bin Mas’ud, karena suaminya memang berhak menerima zakat. Maka beliau shallallahu alaihi wasallam menyuruhnya untuk menyalurkan zakatnya kepada suaminya, dan mengabarkan kepadanya bahwa zakatnya itu bernilai zakat plus silaturahmi. (HR. Muslim)
  1. Islam sangat memuliakan kaum wanita yang telah menjadi ibu. Dia memiliki hak untuk dimuliakan, dihormati, dan diperlakukann dengan baik. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S. al-Isra`/17: 23-24)
Sisi pendalilan dari ayat di atas: Allah menggandengkan hak kedua orang tua dengan hak-Nya.
Allah juga menyebutkan secara khusus hak seorang ibu karena kesusahan yang dialaminya dalam proses kehamilan, melahirkan, dan perawatan anak. Allah berfirman dalam Q.S. Luqman/31: 14, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa ada seorang lelaki yang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak aku berbuat baik kepadanya?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Kemudian ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Kemudian ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” (Muttafaqun alaih)
Nabi shallallahu alaihi wasallam menyebutkan hak ibu sebanyak 3 kali, baru kemudian menyebutkan hak ayah. Ini menunjukkan besarnya kedudukan seorang wanita yang telah menjadi seorang ibu.
Karenanya Islam menetapkan dosa yang terbesar adalah syirik kepada Allah, kemudian durhaka kepada kedua orang tua.
Islam mewajibkan setiap anak untuk berbakti kepada keduanya, sampai walaupun keduanya adalah non-muslim. Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Q.S. Luqman/31: 15)
  1. Wanita sebagai salah satu anggota masyarakat muslim mempunyai hak untuk memanjakan dengan jiwa dan raganya, sebagaimana halnya laki-laki. Karena hak ini berhak dimiliki oleh siapa saja. Karenanya pengharaman darah, kehormatan, harta, dan kemuliaan disebutkan dengan kalimat yang bersifat umum. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Darah, harta, dan kehormatan setiap muslim haram atas muslim lainnya.” (HR. Muslim)
Sebagaimana halnya lelaki memiliki peran dan tanggung jawab, maka demikian halnya wanita. Dia penanggung jawab di dalam rumah suaminya (jika suaminya tidak ada), dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rumah suaminya, anak-anaknya, dan agamanya. Dia akan memperoleh pahala atas amalannya, dan sebaliknya dia akan memperoleh hukuman dan ditanyai akan kesalahan-kesalahannya.
Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S. al-Nahl/16: 97, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Allah Ta’ala berfirman, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (Q.S. al-Maidah/5: 38)
Kaum wanita memiliki kebabasan mutlak dalam memiliki harta melalui semua cara yang dibenarkan syariat. Dia berhak menyampaikan pendapatnya dan bersaksi dengannya jika diminta. Sebagaimana dia berhak untuk menuntut haknya jika dilanggar.
Maka secara umum, Islam telah memberikan jaminan kepada kaum wanita untuk hidup tenang, tentram, lagi dimuliakan, tidak ada diskriminasi antara mereka dengan kaum lelaki. Setiap dari mereka mempunyai tugas untuk saling menyempurnakan. Pada dasarnya derajat kaum lelaki berada di atas mereka, dan kaum wanita mutlak dibutuhkan sebagai penopang dalam kehidupan. Itu bukanlah perendahan terhadap hak kaum wanita dan penghinaan terhadap kemuliaan mereka, bahkan hal itu mengangkat derajat mereka dan menempatkannya pada tempat yang selayaknya.

[Diterjemahkan dari Dalil al-Mar`ah al-Muslimah hal. 30-34, dengan sedikit perubahan]

Posting Komentar Blogger

 
Top