Sering kita dapati sebagian ustadz atau kiyai yang mengatakan, “Tahlilan kok dilarang?, tahlilan kan artinya Laa ilaah illallahh?”.
Abu Abdil Muhsin Firanda
Tentunya tidak seorang muslimpun yang
melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan adalah orang yang tidak
diragukan kekafirannya. Akan tetapi yang dimaksud dengan istilah “Tahlilan” di sini adalah acara yang dikenal oleh masyarakat yaitu acara kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah.
Lebih aneh lagi jika ada yang melarang tahlilan langsung dikatakan “Dasar wahabi”..!!!
Seakan-akan pelarangan melakukan acara tahlilan adalah bid’ah yang dicetus oleh kaum wahabi !!?
Sementara para pelaku acara tahlilan mengaku-ngaku bahwa mereka bermadzhab syafi’i !!!.
Ternyata para ulama besar dari madzhab
Syafi’iyah telah mengingkari acara tahlilan, dan menganggap acara
tersebut sebagai bid’ah yang mungkar, atau minimal bid’ah yang makruh.
Kalau begitu para ulama syafi’yah seperti Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam An-Nawawi dan yang lainnya adalah wahabi??!!
A. Ijmak Ulama bahwa Nabi, para sahabat, dan para imam madzhab tidak pernah tahlilan
Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara
tahlilan –sebagaimana acara maulid Nabi dan bid’ah-bid’ah yang lainnya-
tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak
juga para sahabatnya, tidak juga para tabi’in, dan bahkan tidak juga
pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii,
dan Ahmad rahimahumullah).
Akan tetapi anehnya sekarang acara
tahlilan pada kenyataannya seperti merupakan suatu kewajiban di
pandangan sebagian masyarakat. Bahkan merupakan celaan yang besar jika
seseorang meninggal lalu tidak ditahlilkan. Sampai-sampai ada yang
berkata, “Kamu kok tidak mentahlilkan saudaramu yang meninggal??, seperti nguburi kucing aja !!!”.
Tidaklah diragukan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah kehilangan banyak saudara, karib kerabat, dan
juga para sahabat beliau yang meninggal di masa kehidupan beliau.
Anak-anak beliau (Ruqooyah, Ummu Kaltsum, Zainab, dan Ibrahim
radhiallahu ‘anhum) meninggal semasa hidup beliau, akan tetapi tak
seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Apakah semuanya dikuburkan oleh Nabi seperti menguburkan
kucing??.
Istri beliau yang sangat beliau cintai
Khodijah radhiallahu ‘anhaa juga meninggal di masa hidup beliau, akan
tetapi sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7,
ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan.
Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang beliau cintai meninggal di
masa hidup beliau, seperti paman beliau Hamzah bin Abdil Muthholib,
sepupu beliau Ja’far bin Abi Thoolib, dan juga sekian banyak
sahabat-sahabat beliau yang meninggal di medan pertempuran, tidak
seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Demikian pula jika kita beranjak kepada
zaman al-Khulafaa’ ar-Roosyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) tidak
seorangpun yang melakukan tahlilan terhadap saudara mereka atau
sahabat-sahabat mereka yang meninggal dunia.
Nah lantas apakah acara tahlilan yang
tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya, bahkan bukan merupakan
syari’at tatkala itu, lantas sekarang berubah statusnya menjadi syari’at
yang sunnah untuk dilakukan??!!, bahkan wajib??!! Sehingga jika
ditinggalkan maka timbulah celaan??!!
Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi’i rahimahumallahu)
فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
“Maka perkara apa saja yang pada hari
itu (pada hari disempurnakan Agama kepada Nabi, yaitu masa Nabi dan
para sahabat-pen) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga
bukan merupakan perkara agama.”(Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)
Bagaimana bisa suatu perkara yang
jangankan merupakan perkara agama, bahkan tidak dikenal sama sekali di
zaman para sahabat, kemudian lantas sekarang menjadi bagian dari agama
!!!
B. Yang Sunnah adalah meringankan beban keluarga mayat bukan malah memberatkan
Yang lebih tragis lagi acara tahlilan ini
ternyata terasa berat bagi sebagian kaum muslimin yang rendah tingkat
ekonominya. Yang seharusnya keluarga yang ditinggal mati dibantu,
ternyata kenyataannya malah dibebani dengan acara yang
berkepanjangan…biaya terus dikeluarkan untuk tahlilan…hari ke-3, hari
ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000…
Tatkala datang kabar tentang meninggalnya Ja’far radhiallahu ‘anhu maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
اِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far,
karena sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukan
mereka” (HR Abu Dawud no 3132
Al-Imam Asy-Syafi’I rahimahullah berkata :
وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي
قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ
وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو
من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء
نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ
جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
“Dan aku menyukai jika para tetangga
mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat
yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat.
Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan
perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala
datang kabar tentang kematian Ja’far maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’afar,
karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”
(Kitab Al-Umm 1/278)
C. Argumen Madzhab Syafi’i Yang Menunjukkan makruhnya/bid’ahnya acara Tahlilan
Banyak hukum-hukum madzhab Syafi’i yang menunjukkan akan makruhnya/bid’ahnya acara tahlilan. Daintaranya :
PERTAMA : Pendapat
madzhab Syafi’i yang mu’tamad (yang menjadi patokan) adalah dimakruhkan
berta’ziah ke keluarga mayit setelah tiga hari kematian mayit. Tentunya
hal ini jelas bertentangan dengan acara tahlilan yang dilakukan
berulang-ulang pada hari ke-7, ke-40, ke-100, dan bahkan ke-1000
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

“Para sahabat kami (para fuqohaa madzhab syafi’i) mengatakan : “Dan makruh ta’ziyah (melayat) setelah tiga hari. Karena tujuan dari ta’ziah adalah untuk menenangkan hati orang yang terkena musibah, dan yang dominan hati sudah tenang setelah tiga hari, maka jangan diperbarui lagi kesedihannya. Dan inilah pendapat yang benar yang ma’ruf….” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 5/277)

“Para sahabat kami (para fuqohaa madzhab syafi’i) mengatakan : “Dan makruh ta’ziyah (melayat) setelah tiga hari. Karena tujuan dari ta’ziah adalah untuk menenangkan hati orang yang terkena musibah, dan yang dominan hati sudah tenang setelah tiga hari, maka jangan diperbarui lagi kesedihannya. Dan inilah pendapat yang benar yang ma’ruf….” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 5/277)
Setalah itu al-Imam An-Nawawi menyebutkan
pendapat lain dalam madzhab syafi’i yaitu pendapat Imam Al-Haromain
yang membolehkan ta’ziah setelah lewat tiga hari dengan tujuan mendoakan
mayat. Akan tetapi pendapat ini diingkari oleh para fuqohaa madzhab
syafi’i.
Al-Imam An-Nawawi berkata :

“Dan Imam al-Haromain menghikayatkan –satu pendapat dalam madzhab syafi’i- bahwasanya tidak ada batasan hari dalam berta’ziah, bahkan boleh berta’ziah setelah tiga hari dan meskipun telah lama waktu, karena tujuannya adalah untuk berdoa, untuk kuat dalam bersabar, dan larangan untuk berkeluh kesah. Dan hal-hal ini bisa terjadi setelah waktu yang lama. Pendapat ini dipilih (dipastikan) oleh Abul ‘Abbaas bin Al-Qoosh dalam kitab “At-Talkhiis”.

“Dan Imam al-Haromain menghikayatkan –satu pendapat dalam madzhab syafi’i- bahwasanya tidak ada batasan hari dalam berta’ziah, bahkan boleh berta’ziah setelah tiga hari dan meskipun telah lama waktu, karena tujuannya adalah untuk berdoa, untuk kuat dalam bersabar, dan larangan untuk berkeluh kesah. Dan hal-hal ini bisa terjadi setelah waktu yang lama. Pendapat ini dipilih (dipastikan) oleh Abul ‘Abbaas bin Al-Qoosh dalam kitab “At-Talkhiis”.
Al-Qoffaal (dalam syarahnya) dan para ahli fikih madzhab syafi’i yang lainnya mengingkarinya.
Dan pendapat madzhab syafi’i adalah adanya ta’ziah akan tetapi tidak
ada ta’ziah setelah tiga hari. Dan ini adalah pendapat yang dipastikan
oleh mayoritas ulama.
Al-Mutawalli dan yang lainnya berkata,
“Kecuali jika salah seorang tidak hadir, dan hadir setelah tiga hari
maka ia boleh berta’ziah”
(Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 5/277-278)
Lihatlah dalam perkataan al-Imam
An-Nawawi di atas menunjukkan bahwasanya dalih untuk mendoakan sang
mayat tidak bisa dijadikan sebagai argument untuk membolehkan acara
tahlilan !!!
KEDUA : Madzhab syafi’i
memakruhkan sengajanya keluarga mayat berkumpul lama-lama dalam rangka
menerima tamu-tamu yang berta’ziyah, akan tetapi hendaknya mereka segera
pergi dan mengurusi kebutuhan mereka.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

“Adapun duduk-duduk untuk ta’ziyah maka Al-Imam Asy-Syafi’i menashkan (menyatakan) dan juga sang penulis al-Muhadzdzab serta seluruh ahli fikih madzhab syafi’i akan makruhnya hal tersebut…

“Adapun duduk-duduk untuk ta’ziyah maka Al-Imam Asy-Syafi’i menashkan (menyatakan) dan juga sang penulis al-Muhadzdzab serta seluruh ahli fikih madzhab syafi’i akan makruhnya hal tersebut…
Mereka (para ulama madzhab syafi’i) berkata : Yang dimaksud dengan “duduk-duduk untuk ta’ziyah” adalah para keluarga mayat berkumpul di rumah lalu orang-orang yang hendak ta’ziyah pun mendatangi mereka.
Mereka (para ulama madzhab syafi’i)
berkata : Akan tetapi hendaknya mereka (keluarga mayat) pergi untuk
memenuhi kebutuhan mereka, maka barang siapa yang bertemu mereka memberi
ta’ziyah kepada mereka. Dan hukumnya tidak berbeda antara lelaki dan
wanita dalam hal dimakruhkannya duduk-duduk untuk ta’ziyah…”
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata dalam kitab “Al-Umm” :
“Dan aku benci al-maatsim yaitu
berkumpulnya orang-orang (di rumah keluarga mayat –pen) meskipun mereka
tidak menangis. Karena hal ini hanya memperbarui kesedihan, dan membebani pembiayayan….”.
ini adalah lafal nash (pernyataan) Al-Imam Asy-syafi’i dalam kitab
al-Umm. Dan beliau diikuti oleh para ahli fikih madzhab syafi’i.
Dan penulis (kitab al-Muhadzdzab) dan
yang lainnya juga berdalil untuk pendapat ini dengan dalil yang lain,
yaitu bahwasanya model seperti ini adalah muhdats (bid’ah)” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 5/278-279)
Sangat jelas dari pernyataan Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah ini bahwasanya para ulama madzhab syafi’i
memandang makruhnya berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayat karena ada 3
alasan :
(1) Hal ini hanya memperbarui kesedihan, karenanya dimakruhkan berkumpul-kumpul meskipun mereka tidak menangis
(2) Hal ini hanya menambah biaya
(3) Hal ini adalah bid’ah (muhdats)
KETIGA : Madzhab syafi’i
memandang bahwa perbuatan keluarga mayat yang membuat makanan agar
orang-orang berkumpul di rumah keluarga mayat adalah perkara bid’ah
Telah lalu penukilan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah :
وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي
قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ
وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو
من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء
نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ
جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
“Dan aku menyukai jika para tetangga
mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat
yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat.
Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan
perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala
datang kabar tentang kematian Ja’far maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’afar,
karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”
(Kitab Al-Umm 1/278)
Akan tetapi jika ternyata para wanita
dari keluarga mayat berniahah (meratapi) sang mayat maka para ulama
madzhab syafi’i memandang tidak boleh membuat makanan untuk mereka
(keluarga mayat).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

Para sahabat kami (para ahli fikih madzhab syafi’i) rahimahullah berkata, “Jika seandainya para wanita melakukan niahah (meratapi sang mayat di rumah keluarga mayat-pen) maka tidak boleh membuatkan makanan bagi mereka. Karena hal ini merupakan bentuk membantu mereka dalam bermaksiat.

Para sahabat kami (para ahli fikih madzhab syafi’i) rahimahullah berkata, “Jika seandainya para wanita melakukan niahah (meratapi sang mayat di rumah keluarga mayat-pen) maka tidak boleh membuatkan makanan bagi mereka. Karena hal ini merupakan bentuk membantu mereka dalam bermaksiat.
Penulis kitab as-Syaamil dan yang lainnya
berkata : “Adapun keluarga mayat membuat makanan dan mengumpulkan
orang-orang untuk makan makanan tersebut maka tidak dinukilkan sama
sekali dalilnya, dan hal ini merupakan bid’ah, tidak mustahab (tidak disunnahkan/tidak dianjurkan)”.
Ini adalah perkataan penulis asy-Syaamil.
Dan argumen untuk pendapat ini adalah hadits Jarir bin Abdillah
radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Kami memandang berkumpul di rumah
keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk
niyaahah”. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan
sanad yang shahih” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 5/290)
D. Fatwa para ulama 4 madzhab di kota Mekah akan bid’ahnya tahlilan
Diantara para ulama madzhab syafi’i lainnya yang menyatakan dengan tegas akan bid’ahnya tahlilan adalah :
Dalam kitab Hasyiah I’aanat at-Thoolibin, Ad-Dimyaathi berkata :

“Aku telah melihat pertanyaan yang ditujukan kepada para mufti kota Mekah tentang makanan yang dibuat oleh keluarga mayat dan jawaban mereka tentang hal ini.

“Aku telah melihat pertanyaan yang ditujukan kepada para mufti kota Mekah tentang makanan yang dibuat oleh keluarga mayat dan jawaban mereka tentang hal ini.
(Pertanyaan) : Apakah pendapat para mufti
yang mulia di tanah haram –semoga Allah senantiasa menjadikan mereka
bermanfaat bagi manusia sepanjang hari- tentang tradisi khusus
orang-orang yang tinggal di suatu negeri, yaitu bahwasanya jika
seseorang telah berpindah ke daarul jazaa’ (akhirat) dan orang-orang
kenalannya serta tetangga-tetangganya menghadiri ta’ziyah (melayat) maka
telah berlaku tradisi bahwasanya mereka menunggu (dihidangkannya)
makanan. Dan karena rasa malu yang meliputi keluarga mayat maka
merekapun bersusah payah untuk menyiapkan berbagai makanan untuk para
tamu ta’ziyah tersebut. Mereka menghadirkan makanan tersebut untuk para
tamu dengan susah payah. Maka apakah jika kepala pemerintah yang lembut
dan kasih sayang kepada rakyat melarang sama sekali tradisi ini agar
mereka kembali kepada sunnah yang mulia yang diriwayatkan dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau berkata, “Buatkanlah
makanan untuk keluarga Ja’far”, maka sang kepala pemerintahan ini akan
mendapatkan pahala karena pelarangan tersebut?. Berikanlah jawaban
dengan tulisan dan dalil !!”
Jawaban :

“Segala puji hanya milik Allah, dan semoga shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya setelahnya. Ya Allah aku meminta kepadMu petunjuk kepada kebenaran.

“Segala puji hanya milik Allah, dan semoga shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya setelahnya. Ya Allah aku meminta kepadMu petunjuk kepada kebenaran.
Benar bahwasanya apa yang dilakukan oleh masyarakat berupa berkumpul di keluarga mayat dan pembuatan makanan merupakan bid’ah yang munkar yang pemerintah diberi pahala atas pelarangannya ….

Dan tidaklah diragukan bahwasanya melarang masyarakat dari bid’ah yang mungkar ini, padanya ada bentuk menghidupkan sunnaah dan mematikan bid’ah, membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan. Karena masyarakat benar-benar bersusah payah, yang hal ini mengantarkan pada pembuatan makanan tersebut hukumnya haram. Wallahu a’lam.

Dan tidaklah diragukan bahwasanya melarang masyarakat dari bid’ah yang mungkar ini, padanya ada bentuk menghidupkan sunnaah dan mematikan bid’ah, membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan. Karena masyarakat benar-benar bersusah payah, yang hal ini mengantarkan pada pembuatan makanan tersebut hukumnya haram. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh : Yang mengharapkan ampunan dari Robnya : Ahmad Zainy Dahlan, mufti madzhab Syafi’iyah di Mekah”
Adapun jawaban Mufti madzhab Hanafiyah di Mekah sbb :

“Benar, pemerintah (waliyyul ‘amr) mendapatkan pahala atas pelarangan masyarakat dari perbuatan-perbuatan tersebut yang merupakah bid’ah yang buruk menurut mayoritas ulama….

“Benar, pemerintah (waliyyul ‘amr) mendapatkan pahala atas pelarangan masyarakat dari perbuatan-perbuatan tersebut yang merupakah bid’ah yang buruk menurut mayoritas ulama….
Penulis Raddul Muhtaar berkata, “Dan
dibenci keluarga mayat menjamu dengan makanan karena hal itu merupakan
bentuk permulaan dalam kegembiraan, dan hal ini merupakan bid’ah“…
Dan dalam al-Bazzaaz : “Dan dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, hari ketiga, dan setelah seminggu, serta memindahkan makanan ke kuburan pada waktu musim-musim dst”…
Ditulis oleh pelayan syari’at dan minhaaj
: Abdurrahman bin Abdillah Sirooj, Mufti madzhab Hanafiyah di Kota
Mekah Al-Mukarromah…
Ad-Dimyathi berkata : Dan telah menjawab semisal dua jawaban di atas Mufti madzhab Malikiah dan Mufti madzhab Hanabilah” (Hasyiah I’aanat at-Thoolibin 2/165-166)
Penutup
Pertama : Mereka yang
masih bersikeras melaksanakan acara tahlilan mengaku bermadzhab
syafi’iyah, akan tetapi ternyata para ulama syafi’iyah membid’ahkan
acara tahlilan !!. Lantas madzhab syafi’iyah yang manakah yang mereka
ikuti ??
(silahkan baca juga : http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2010/06/tahlilan-dalam-pandangan-nu.html)
Kedua : Para ulama
telah ijmak bahwasanya mendoakan mayat yang telah meninggal bermanfaat
bagi sang mayat. Demikian pula para ulama telah berijmak bahwa sedekah
atas nama sang mayat akan sampai pahalanya bagi sang mayat. Akan tetapi
kesepakatan para ulama ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melegalisasi
acara tahlilan, karena meskipun mendoakan mayat disyari’atkan dan
bersedakah (dengan memberi makanan) atas nama mayat disyari’atkan, akan
tetapi kaifiyat (tata cara) tahlilan inilah yang bid’ah yang
diada-adakan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya. Kreasi
tata cara inilah yang diingkari oleh para ulama syafi’iyah, selain
merupakan perkara yang muhdats juga bertentangan dengan nas (dalil) yang
tegas :
– Dari Jarir bin Abdillah
radhiyallahu ‘anhu : “Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat
dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah”.
Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang
shahih”
– Berlawanan dengan sunnah yang jelas untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayat dalam rangka meringankan beban mereka
Bid’ah sering terjadi dari sisi kayfiyah
(tata cara). Karenanya kita sepakat bahwa adzan merupakan hal yang baik,
akan tetapi jika dikumandangkan tatkala sholat istisqoo, sholat
gerhana, sholat ‘ied maka ini merupakan hal yang bid’ah. Kenapa?, karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah
melakukannya.
Demikian juga bahwasanya membaca ayat
al-kursiy bisa mengusir syaitan, akan tetapi jika ada seseorang lantas
setiap kali keluar dari masjid selalu membaca ayat al-kursiy dengan
dalih untuk mengusir syaitan karena di luar masjid banyak syaitan, maka
kita katakan hal ini adalah bid’ah. Kenapa?, karena kaifiyyah dan tata
cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
Ketiga : Kalau kita
boleh menganalogikan lebih jauh maka bisa kita katakan bahwasanya orang
yang nekat untuk mengadakan tahlilan dengan alasan untuk mendoakan mayat
dan menyedekahkan makanan, kondisinya sama seperti orang yang nekat
sholat sunnah di waktu-waktu terlarang. Meskipun ibadah sholat sangat
dicintai oleh Allah, akan tetapi Allah telah melarang melaksanakan
sholat pada waktu-waktu terlarang.
Demikian pula berkumpul-kumpul di rumah
keluarga kematian dan bersusah-susah membuat makanan untuk para tamu
bertentangan dan bertabrakan dengan dua perkara di atas:
– Sunnahnya membuatkan makanan untuk keluarga mayat
– Dan hadits Jarir bin Abdillah tentang berkumpul-kumpul di keluarga mayat termasuk niyaahah yang dilarang.
Keempat : Untuk berbuat
baik kepada sang mayat maka kita bisa menempuh cara-cara yang
disyari’atkan, sebagaimana telah lalu. Diantaranya adalah mendoakannya
kapan saja –tanpa harus acara khusus tahlilan-, dan juga bersedakah
kapan saja, berkurban atas nama mayat, menghajikan dan mengumrohkan sang
mayat, dll.
Adapun mengirimkan pahala bacaan
Al-Qur’an maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Dan pendapat
yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bahwasanya
mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai bagi sang mayat.
Kelima : Kalaupun kita
memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengirim bacaan al-qur’an
akan sampai kepada mayat, maka kita berusaha agar kita atau keluarga
yang mengirimkannya, ataupun orang lain adalah orang-orang yang amanah.
Adapun menyewa para pembaca al-Qur’an
yang sudah siap siaga di pekuburan menanti kedatangan para peziarah
kuburan untuk membacakan al-quran dan mengirim pahalanya maka hendaknya
dihindari karena :
– Tidak disyari’atkan membaca al-Qur’an di kuburan, karena kuburan bukanlah tempat ibadah sholat dan membaca al-Qur’an
– Jika ternyata terjadi tawar
menawar harga dengan para tukang baca tersebut, maka hal ini merupakan
indikasi akan ketidak ikhlasan para pembaca tersebut. Dan jika
keikhlasan mereka dalam membaca al-qur’an sangat-sangat diragukan, maka
kelazimannya pahala mereka juga sangatlah diragukan. Jika pahalanya
diragukan lantas apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat??!!
– Para pembaca sewaan tersebut
biasanya membaca al-Qur’an dengan sangat cepat karena mengejar dan
memburu korban penziarah berikutnya. Jika bacaan mereka terlalu cepat
tanpa memperhatikan tajwid, apalagi merenungkan maknanya, maka tentu
pahala yang diharapkan sangatlah minim. Terus apa yang mau dikirimkan
kepada sang mayat ??!!
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 10-05-1434 H / 22 Maret 2013 MAbu Abdil Muhsin Firanda