0 Comment



Pertanyaan.
Ustdaz, apakah makmum dalam shalat berjamâ'ah berkewajiban juga membaca al-Fâtihah sendiri-sendiri, ketika imam sudah selesai membaca al-Fâtihah lalu âmîn? Bagaimana hukum shalat orang tidak membacanya? Karena saya termasuk yang seperti itu, karena saya masih bingung dengan hukumnya.

Jawaban.
Membaca al-Fâtihah merupakan salah satu rukun dalam setiap raka’at dalam shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunah, baik itu shalat jahriyah (shalat yang bacaan al-Fatihahnya dibaca dengan suara keras-red) atau sirriyah (shalat yang bacaan al-Fatihahnya dibaca pelan-red). Ini merupakan pendapat mayoritas Ulama, seperti imam Sufyân ats-Tsauri, Malik, asy-Syâfi’i, dan lainnya. (Lihat: Shahîh Fiqhis Sunnah, 1/319, karya Syaikh Abu Malik Kamal Ibnus Sayyid Sâlim)

Namun ada perbedaan Ulama tentang hukum membaca al-Fâtihah bagi makmum sebagai berikut :

1. Makmum tidak membaca al-Fâtihah, baik dalam shalat jahriyah atau sirriyah. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanîfah rahimahullah dan sebagian pengikutnya.

2. Makmum membaca al-Fâtihah dalam shalat sirriyah, namun tidak dalam shalat jahriyah. Ini adalah pendapat imam Zuhri, Mâlik, asy-Syâfi’i dalam qaul qadîm (pendapat beliau yang lama), Muhammad murid Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh al-Albâni, -rahimahumullâh- dan lainnya.

3. Makmum harus membaca al-Fâtihah baik dalam shalat jahriyah atau sirriyah.
Ini adalah pendapat imam asy-Syâfi’i dalam qaul jadîd (pendapat beliau yang baru), al-Bukhâri, Ibnu Hazm, asy-Syaukani, Syaikh al-‘Utsaimin, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad, dan lainnya. [Lihat : Shahîh Fiqhis Sunnah, 1/544-546; dll]

Pendapat yang paling kuat dari ketiga pendapat di atas adalah pendapat ke tiga, dengan dalil-dalil sebagai berikut :

1. Membaca al-Fâtihah merupakan salah satu rukun dalam ibadah shalat

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Dari Ubâdah bin ash-Shâmit dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fâtihah.’ [HR. al-Bukhâri, no. 723 ; Muslim, no. 394; dll]

Imam al-Bukhâri meriwayatkan hadits ini dalam sebuah bab yang beliau rahimahullah beri judul :

بَابُ وُجُوبِ الْقِرَاءَةِ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ فِي الصَّلَوَاتِ كُلِّهَا فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ وَمَا يُجْهَرُ فِيهَا وَمَا يُخَافَتُ

Bab: “Kewajiban membaca bagi imam dan makmum dalam semua shalat, di kota sendiri dan di luar kota, dan pada shalat yang dijahrkan dan yang dibaca pelan”.

Sedangkan imam Muslim meriwayatkan hadits ini dalam bab:

بَابُ وُجُوْبِ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ

Bab: “Kewajiban membaca al-Fâtihah di dalam setiap raka’at.

2. Makmum dalam shalat jahriyah juga wajib membaca al-Fâtihah
Dalam bab ini ada beberapa hadits, di antaranya:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْغَدَاةِ فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةُ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ إِنِّي لَأَرَاكُمْ تَقْرَءُونَ وَرَاءَ إِمَامِكُمْ قَالُوا نَعَمْ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا لَنَفْعَلُ هَذَا قَالَ فَلَا تَفْعَلُوا إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَإِنَّهُ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا

Dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat Shubuh bersama kami (menjadi imam-pen), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kesusahan membaca. Setelah berpaling (salam), beliau bersabda, ‘Aku melihat kalian membaca di belakang imam kamu.’ Mereka menjawab, “Ya, demi Allâh ! Wahai Rasûlullâh, kami betul melakukannya.” Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jangan kalian lakukan, kecuali membaca Ummul Qur’ân, karena sesungguhnya tidak ada shalat bagi orang yang tidak membacanya.” [HR. Ahmad, no. 22694; al-Bukhâri dalam al-Juz fil Qirâ’ah; Ibnu Khuzaimah, no. 1581; Ibnu Hibbân, no. 1782, 1792, 1848; dll. Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkata, “Shahîh lighairihi, adapun riwayat ini maka dia derajatnya hasan karena perawi bernama Muhammad bin Ishâq”. Syaikh al-Albâni menshahîhkannya dalam kitab Sifat Shalat Nabi, hlm. 99]

Imam Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits ini dalam kitabnya dalam bab :

بَابُ الْقِرَاءَةِ خَلْفَ الْإِمَامِ وَ إِنْ جَهَرَ الْإِمَامُ بِاْلقِرَاءَةِ وَ الزَّجْرِ عَنْ أَنْ يَزِيْدَ الْمَأْمُوْمُ عَلَى قِرَاءَةِ فَاتِحَةِ الْكِتَابِ إِذَا جَهَرَ الْإِمَامُ بِاْلقِرَاءَةِ

“Bab: Membaca di belakang imam, walaupun imam menjaharkan bacaan. Dan larang terhadap makmum dari membaca lebih dari al-Fâtihah jika imam menjaharkan bacaan.”

Kesimpulannya:
Bahwa para Ulama sejak zaman dahulu telah berbeda pendapat dalam masalah ini, dan masing-masing memiliki dalil yang dianggap kuat, maka kita harus berlapang dada dengan perbedaan pendapat tentang masalah ini. Karena semua perbedaan pendapat di antara kaum Muslimin wajib dikembalikan kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah. Maka bagi orang-orang yang berilmu bisa memilih pendapat yang paling kuat kemudian mengikutinya, tanpa menghukumi pihak lain berada dalam kesesatan. Adapun orang awam hendaklah dia memilih pendapat Ulama yang dia percayai ilmu dan amanahnya.

Perbedaan pendapat ini tidak boleh menjadi sebab kebencian dan permusuhan di antara kaum Muslimin. Demikian juga kita tidak boleh menghukumi tidak sah shalat orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah ini. Namun hendaklah kita memilih pendapat yang lebih selamat dan menetramkan hati. Wallâhu a’alam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVII/1435H/2014]

Posting Komentar Blogger

 
Top