Arisan dikenal oleh sebagian orang Arab dengan istilah jam’iyyah (kumpulan
peserta arisan). Ini termasuk masalah kontemporer yang tengah marak
ditekuni oleh banyak kaum muslimin mengingat manfaat yang mereka rasakan
darinya. Masalah ini diperselisihkan oleh ulama ahli fatwa masa kini.
1. Ada yang berpendapat haram.
Al-‘Allamah Shalih al-Fauzan hafizhahullah berfatwa,
“Ini dinamakan pengutangan di antara sekumpulan orang (arisan) dan
perkara ini kehalalannya diragukan. Sebab, arisan adalah piutang dengan
syarat adanya timbal balik dengan diutangi pula dan termasuk piutang
yang menarik manfaat. Karena dua alasan tersebut, arisan haram.
Di antara ulama ada yang berfatwa boleh dengan
alasan manfaat yang ditarik karena pengutangan itu tidak khusus pada
salah satu pihak (pemiutang) melainkan pada kedua belah pihak. Menurut
saya, yang rajih (terkuat) adalah pendapat pertama (yang mengharamkan).
Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا.
“Setiap piutang yang menarik suatu manfaat, hal itu adalah riba.”1 (Lihat kitab Asna al-Mathalib hlm. 240, al- Ghammaz ‘ala al-Lammaz hlm. 173, dan Tamyiz al-Khabits min ath-Thayyib hlm. 124)
Seluruh ulama telah sepakat atas makna yang
terkandung pada hadits ini, sementara itu arisan termasuk dalam makna
ini. Selain itu, arisan termasuk pengutangan yang mengandung syarat
diutangi pula sebagai timbal baliknya, padahal Nabi Shallallaahu ‘alaihi
wa sallam melarang adanya dua akad dalam satu akad.Wallahu a’lam.”2
2. Ada yang berpendapat boleh.
Ini adalah fatwa Ibnu Baz—bersama Haiat Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi) yang dipimpinnya—dan Ibnu ‘Utsaimin. Berikut kutipan fatwa mereka.
• Al-Imam Ibnu Baz rahimahumullah ditanya
mengenai hukum arisan. Gambarannya, sekelompok pengajar mengumpulkan
sejumlah uang di akhir bulan dari gaji mereka, lalu mereka memberikannya
kepada salah seorang dari mereka, lalu diberikan kepada orang
berikutnya di akhir bulan berikutnya, demikian seterusnya sampai seluruh
peserta mengambil uang yang telah dikumpulkannya selama ini. Beliau t
menjawab, “Hal itu tidak mengapa. Arisan adalah piutang yang tidak
mengandung syarat memberi tambahan manfaat kepada siapa pun. Majelis
Haiat Kibar al-‘Ulama telah mempelajari masalah ini dan mayoritas
mereka membolehkannya mengingat adanya maslahat untuk seluruh peserta
arisan tanpa mengandung mudarat. Hanya Allah Subhaanahu wa ta’ala yang
memberi taufik.”
• Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin berfatwa dalam syarah Bulughul Maram,
“Terjadi masalah di kalangan para pegawai yang gajinya dipotong setiap
bulan (untuk dikumpulkan) senilai tertentu menurut kesepakatan mereka.
Uang itu lantas diberikan kepada salah seorang dari mereka di bulan
pertama, lalu kepada orang kedua di bulan kedua, dan seterusnya hingga
uang itu bergilir kepada seluruh peserta (arisan). Apakah masalah ini
tergolong piutang yang menarik manfaat/riba?
Jawabannya, tidak. Hal itu bukan piutang yang
menarik manfaat/ riba, karena tidak ada peserta yang mendapatkan uang
lebih dari jumlah yang telah diberikannya. Ada yang berkata, ‘Bukankah
disyaratkan piutang itu dibayar sepenuhnya kepadanya, yang berarti
syarat pada piutang (yang menarik manfaat/riba)?’
Kami jawab bahwa hal itu bukan syarat adanya
akad lain, tetapi semata-mata syarat agar utang itu dilunasi. Artinya,
peserta memberikannya kepada peserta lainnya dengan syarat ia
mengembalikannya kepadanya senilai itu juga, tidak lebih dari itu.
Berdasarkan keterangan ini, pendapat bahwa
arisan termasuk piutang yang menarik manfaat/riba adalah anggapan yang
keliru. Sebab, arisan adalah piutang yang tidak mengandung penarikan
manfaat/riba sama sekali. Seandainya peserta memiutangi uang senilai
seribu dengan syarat dikembalikan dua ribu, tentu saja hal itu tidak
boleh, karena tergolong piutang yang menarik manfaat/riba.”
Alhasil, yang benar menurut kami adalah pendapat yang membolehkan. Adapun kedua alasan yang dikemukakan oleh al-‘Allamah al-Fauzan sebagai dasar untuk menghukumi haramnya arisan telah terbantah pada kedua fatwa ini. Arisan bukan piutang yang menarik manfaat/riba, karena setiap peserta arisan tidak mengambil uang lebih dari uangnya sendiri yang dikumpulkannya selama berjalannya arisan.
Arisan bukan pengutangan yang mengandung
syarat diutangi pula sebagai timbal baliknya. Sebab, setiap peserta yang
mendapat undian (giliran) untuk mendapatkan sejumlah uang arisan yang
terkumpul berarti dia diutangi oleh peserta arisan berikutnya (yang
belum dapat giliran).
Adapun peserta yang telah dapat giliran,
setorannya untuk membayar utangnya kepada peserta-peserta yang belum
dapat giliran. Demikianlah seterusnya hingga berakhir.
Jadi, tidak ada sama sekali persyaratan akad lain yang membonceng padanya untuk memetik riba.
Wallahu a’lam.
Namun, pada perkembangannya ada model-model
arisan yang diboncengi dengan lelang motor atau semacamnya yang perlu
diwaspadai. Sebab, boleh jadi itu tergolong pengutangan yang menarik
manfaat/riba sehingga haram. Hal itu apabila peserta arisan yang
mendapat giliran di putaran-putaran berikutnya atau putaran terakhir
diuntungkan oleh peserta-peserta sebelumnya dengan mendapat kelebihan
dari nilai uang yang dikumpulkannya selama arisan berlangsung. Wallahul musta’an.