0 Comment
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله



Sebagaimana kita tidak boleh beribadah melainkan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla, demi merealisasikan syahadat LÂ ILÂHA ILLALLÂH, demikian juga kita tidak boleh beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla atau mendekatkan diri kepada-Nya, melainkan hanya dengan cara yang diajarkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ’alaihi wa sallam, demi merealisasikan syahadat MUHAMMADURRASÛLULLÂH. Bila dua hal itu direalisasikan oleh seorang Mukmin, berarti ia telah mencintai Allâh Azza wa Jalla dan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Orang yang mencintai Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Azza wa Jalla akan selalu bersamanya dan Allâh Azza wa Jalla juga akan selalu menolongnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh Azza wa Jalla , ikutilah aku, niscaya Allâh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Ali ‘Imrân/3:31]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ، لَوْ أَنَّ مُوْسَى كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِيْ

Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, seandainya Nabi Musa masih hidup, niscaya tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku

Apabila Nabi Musa Alaihissallam yang digelari oleh Allâh Azza wa Jalla sebagai kalîmullâh saja tidak punya pilihan selain mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah selain beliau Alaihissallam memiliki pilihan lain ? Ini salah satu di antara dalil tegas yang mewajibkan ittiba’ (mengikuti dan meneladani) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena itu termasuk konsekuensi syahadat (persaksian) bahwasanya Muhammad adalah utusan Allâh Azza wa Jalla . Oleh sebab itu, Allâh Azza wa Jalla mewajibkan ittiba’ (mengikuti) hanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tidak kepada selain beliau. Itiiba’ kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tanda kecintaan Allâh Azza wa Jalla terhadap seorang hamba. Dan tidak diragukan lagi, bahwa orang yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla , tentu Allâh Azza wa Jalla akan selalu bersamanya dalam segala kondisi.

Jika hal ini telah diketahui, maka kepada saudara-saudara kami yang tertimpa musibah dengan memainkan atau mendengarkan nyanyian shufi, kami berkewajiban mengingatkan dengan hal-hal sebagai berikut :

a. Termasuk perkara yang tidak diragukan dan tidak samar bagi seorang ’alim pun, dari kalangan Ulama kaum Muslimin yang tahu benar al-Kitab dan as-Sunnah, serta manhaj Salafush Shalih, bahwa nyanyian shufi adalah perkara baru, tidak dikenal pada generasi-generasi yang dipersaksikan kebaikannya (oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu generasi shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in).

b. Termasuk perkara yang sudah diterima (perkara pasti) di kalangan Ulama bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla kecuali dengan ajaran yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

c. Termasuk perkara yang pasti di kalangan Ulama bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan apa-apa yang tidak disyari’atkan oleh Allâh Azza wa Jalla , walaupun pada asalnya hal itu disyari’atkan. Contohnya: adzan untuk shalat dua hari raya (padahal disyari’atkan adzan hanyalah untuk shalat wajib); shalat raghaib; shalawat di saat bersin;[1] dan lain-lain.

Jika hal itu telah diketahui, maka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan perkara yang Allâh Azza wa Jalla haramkan (seperti orang-orang Shufi yang bermain musik untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla !) lebih utama untuk diharamkan, bahkan sangat diharamkan. Karena dalam hal itu terdapat penyelisihan dan penentangan terhadap syari’at.

Bahkan nyanyian Shufi termasuk menyerupai orang-orang kafir, dari kalangan Nashara dan lainnya.

Oleh karena inilah para Ulama –dahulu dan sekarang- sangat keras mengingkari mereka.[2]

Apabila nasyid tersebut diiringi alat musik, maka hukumnya haram. Adapun jika tanpa diiringi alat musik, maka disini penulis nukilkan fatwa-fatwa para Ulama terdahulu dan para Ulama abad ini tentang hukumnya :

1. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat th. 795 H).
Beliau rahimahullah berkata, ”Mendengarkan kasidah-kasidah yang mengandung (anjuran) untuk zuhud, takut (akan adzab Allâh Azza wa Jalla ), dan kerinduan (kepada-Nya) banyak dilakukan oleh ahli suluk dan ahli ibadah dan bisa jadi mereka melantunkannya dengan salah satu bentuk nada (irama) demi memperoleh kelembutan hati. Kemudian ada di antara mereka yang memukul-mukul di atas kulit dengan menggunakan tongkat (maksudnya memukul beduk dan yang sepertinya). Mereka menamakan kasidah-kasidah tersebut dengan at-taghbîr, padahal sebagian besar Ulama membencinya. Yazid bin Harun berkata, ’Tidak ada yang memainkan taghbir kecuali orang fasik.’

Lantas kapankah taghbir itu mulai muncul ? Dalam riwayat shahih dari Imam asy-Syâfi’i dari riwayat al-Hasan bin ’Abdul ’Aziz al-Jarwi dan Yunus bin ’Abdul A’la bahwa beliau (Imam asy-Syafi’i) berkata, ’Aku meninggalkan sesuatu di Irak yang mereka sebut-sebut dengan at-taghbir, hasil buatan orang-orang zindiq (munafik). Dengannya mereka menghalangi manusia dari al-Qur-an.’ Imam Ahmad rahimahullah juga membencinya dan berkata, ’ (Taghbîr) itu bid’ah dan diada-adakan.’ Dikatakan kepada beliau, ’Sesungguhnya ia dapat melembutkan hati,’ beliau rahimahullah menjawab, ’Bid’ah.’”[3]

Beliau rahimahullah juga berkata, ”Tidak diragukan lagi bahwa mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mendengarkan nyanyian yang dilagukan apalagi diiringi alat musik merupakan salah satu hal yang diketahui secara pasti dari agama Islam bahkan dari seluruh syari’at para Rasul bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak termasuk sesuatu yang dapat mensucikan hati dan membersihkannya. Karena, Allâh Azza wa Jalla telah mensyari’atkan melalui lisan para Rasul-Nya segala apa yang dapat mensucikan jiwa dan membersihkannya dari segala kotoran dan bahayanya.”[4]

2. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
Beliau rahimahullah berkata, “Telah mutawatir dari Imam asy-Syâfi’i rahimahullah, beliau berkata :

خَلَّفْتُ بِبَغْدَادِ شَيْئًا أَحْدَثَتْهُ الزَّنَادِقَةُ ، يُسَمُّوْنَهُ التَّغْبِيْرِ ، يَصُدُّوْنَ بِهِ النَّاسُ عَنِ الْقُرْآنِ.

Ketika aku meninggalkan Iraq, disana muncul sesuatu yang disebut taghbîr, dibuat oleh orang-orang zindiq, untuk menghalangi kaum Muslimin dari al-Qur-an.

Taghbîr adalah syair yag mengajak untuk mencintai dunia, dilantunkan oleh seorang penyanyi, lalu sebagian hadirin memukul-mukul permadani atau bantal dengan menggunakan tongkat menirukan irama nyanyiannya. Taghbir ini mengandung segala macam kerusakan dan mengumpulkan segala yang haram, maka jangalah Anda terfitnah dengan orang alim yang jahat dan seorang ahli ibadah yang bodoh. Maka kalau Anda melihat kerusakan yang masuk ke tubuh umat Islam, maka disebabkan oleh dua golongan orang ini (orang alim yang jahat dan ahli ibadah yang bodoh).[5]

3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
Beliau rahimahullah berkata, “Apa yang disebutkan oleh Imam asy-Syâfi’i rahimahullah bahwa perbuatan itu adalah hasil ciptaan para zindiq (dan ucapan itu) berasal dari seorang imam yang ahli dalam ilmu ushul Islam. Karena pada dasarnya, tidak ada yang mempropagandakan dan menganjurkan nyanyian selain orang-orang zindiq, seperti Ibnu Rawandi, al-Farab, Ibnu Sina, dan yang semisal mereka, sebagaimana yang disebutkan oleh Abdurrahman as-Sulau dalam Mas’alah as-Sama’ dari Ibnu Rawandi.[6]

4. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah
Beliau menyatakan dalam ceramah yang direkam dalam kaset, dengan judul Hukum Nasyid Islami. Beliau rahimahullah menuturkan, “Sudah saatnya bagi dunia Islam untuk bangkit dari kelalaian dan tidur panjang untuk kembali kepada Islam, selangkah demi selangkah. Sudah saatnya bagi orang-orang yang berkepentingan untuk menyadari bahwa ada sekian banyak hukum yang bertentangan dengan syari’at, yang diambil, disahkan dan diterapkan oleh mereka, yang mereka namai dengan nama yang bukan berasal dari syari’at. Kita harus menyadari hakikat ini, berupa perubahan akibat karena perubahan nama, diantaranya apa yang dinamakan dengan nasyid Islami.

Selama empat belas abad tidak pernah ditemukan nasyid-nasyid yang kemudian disebut dengan nasyid Islami. Ini merupakan perkara baru yang diada-adakan pada zaman sekarang karena mengikuti satu dua orang yang pernah muncul sepanjang beberapa abad yang lampau, namun tidak lepas dari pengingkaran para pemuka Ulama, yaitu apa yang disebut dengan lagu-lagu shufi yang biasa dilantunkan dalam majelis-majelis mereka, yang mereka sebut dengan majelis dzikir... Sedangkan pada zaman sekarang ini nasyid-nasyid itu menggantikan posisi lagu-lagu yang biasa dilantunkan orang-orang Shufi, yang ternyata mereka mendapat serangan gencar dari para Ulama. Bahkan serangan ini tampak semakin gencar pada zaman sekarang, sampai akhirnya suara orang-orang Shufi tidak lagi terdengar…”[7]

5. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah
Beliau rahimahullah mengatakan, “Nasyid Islami merupakan nasyid yang diada-adakan, yang pernah dibuat oleh orang-orang shufi. Karena itu, nasyid tersebut harus ditinggalkan lalu beralih kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah, kecuali jika sedang berada di medan perang untuk membakar semangat jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla , maka hal itu bagus. Jika nasyid itu disertai tabuhan rebana atau gendang, maka ia menjadi jauh dari kebenaran.”[8]

Beliau rahimahullah juga pernah ditanya dengan pertanyaan yang berbunyi, "Saya mohon penjelasan dalam masalah nasyid –nasyid islami yang dijual oleh dapur rekaman– dan hukum membelinya?

Beliau rahimahullah menjawab, "Saya berikan kepada Anda kaidah umum :
a. Apabila nasyid itu diiringi dengan rebana maka hukumnya haram, karena rebana tidak boleh (dimainkan) kecuali pada waktu tertentu tidak untuk setiap waktu. Dan lebih haram lagi jika diiringi dengan alat musik atau gendang (bedug).

b. Apabila tidak diiringi alat musik maka kita lihat, apakah nasyid itu dinyanyikan seperti lagu-lagu yang tidak senonoh ? Maka yang seperti ini pun tidak boleh.

c. Apabila nasyid ini dinyanyikan oleh para pemudi yang suara mereka menggerakkan syahwat atau orang lain menikmati suaranya tanpa memperhatikan kandungan dari syair itu sendiri, maka ini pun tidak diperbolehkan.[9]

6. Syaikh Shâlih bin Fauzan hafizhahullâh
Beliau hafizhahullâh menyatakan dalam al-Khuthab al-Mimbariyyah (III/184-185) yang isinya sebagai berikut : ”Yang perlu diwaspadai ialah maraknya peredaran kaset-kaset nasyid di kalangan remaja aktivis agama, yang dibawakan beberapa orang penyanyi, yang mereka sebut dengan istilah “nasyid Islami”, yang pada dasarnya sama dengan lagu-lagu yang banyak beredar. Bahkan adakalanya dibawakan dengan suara yang menggoda, yang dijual di tempat-tempat penjualan kaset-kaset bacaan al-Qur'ân dan ceramah agama.

Penamaan nasyid-nasyid ini dengan sebutan “nasyid Islami” merupakan penamaan yang keliru karena Islam tidak mensyari’atkan nasyid-nasyid itu kepada kita, tetapi Dia mensyari’atkan berdzikir kepada-Nya, membaca al-Qur'ân, dan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Adapun nasyid-nasyid itu berasal dari agama orang-orang shufi yang memang biasa berbuat bid’ah, yang menjadikan agama sebagai permainan dan senda gurau. Menjadikan nasyid sebagai bagian dari agama mirip dengan perbuatan orang-orang Nasrani, yang menjadikan agama mereka berupa nyanyian-nyanyian yang dibawakan secara berbarengan. Yang harus dilakukan ialah justru mewaspadai nasyid-nasyid tersebut, melarang penjualan dan peredarannya karena nasyid-nasyid itu mendatangkan cobaan bagi orang yang selama ini penuh dengan semangat.[10]

7. Syaikh Ahmad bin Yahya bin Muhammad an-Najmi rahimahullah
Beliau rahimahullah mengatakan, “Saya tidak menganggap mendengarkan sya’ir itu adalah haram, karena Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam juga mendengarkannya. Tetapi, orang-orang pada zaman sekarang mengikuti jalan orang-orang shufi dalam masalah nasyid ini, yang katanya untuk membangkitkan hati.

Ibnul Jauzi menyebutkan dalam kitabnya, Naqdul ‘Ilmi wal ‘Ulamâ (hlm. 230) pernyataan Imam asy-Syâfi’i, “Aku meninggalkan sesuatu di Irak, yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq. Mereka membuat orang-orang sibuk dengannya dan meninggalkan al-Qur'ân, yang mereka sebut dengan istilah at-taghbîr.”

Ibnul Jauzi rahimahullah menyatakan, Abu Manshûr al-Azhari menyatakan bahwa al-mughbirah adalah orang-orang yang berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dengan do’a dan wirid. Mereka menyebut sya’ir yang berupa dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla itu dengan nama at-taghbîr. Seakan-akan jika mereka melantunkan sya’ir-sya’ir itu, maka mereka layak disebut mughbirah berdasarkan makna ini.

Menurut al-Zajjaj, mereka dinamakan mughbirah untuk mendorong manusia untuk hidup zuhud di dunia dan menginginkan akhirat.

Saya katakan, 'Urusan orang-orang shufi itu memang aneh. Mereka menganggap bahwa mereka menyuruh manusia hidup zuhud di dunia dengan nyanyian, mereka menginginkan akhirat dengan nyanyian pula. Apakah nyanyian itu menjadi sebab zuhud di dunia dan keinginan terhadap akhirat, atau hakikatnya adalah kebalikannya ? Saya tidak ragu dan siapa pun yang mengenal Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya ridak ragu bahwa nyanyian itu tidak membangkitkan kecuali keinginan terhadap dunia dan menghindari akhirat, merusak akhlak dan ilmu. Jika mereka memaksudkan untuk akhirat berarti itu merupakan ibadah. Suatu ibadah yang tidak disyari’atkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti bid’ah. Kesimpulannya, nasyid adalah bid’ah.”[11]

8. Syaikh Shâlih bin ‘Abdul ‘Aziz Aalu Syaikh hafizhahullâh
Beliau mengatakan, “Mendengarkan lagu-lagu yang diiringi tabuhan alat musik dan kasidah- kasidah zuhud, sama dengan sebutan at-taghbîr, yang mirip dengan tabuhan rebana atau gendang dari kulit, yang di sana dilantunkan kasidah-kasidah zuhud seperti yang dilakukan segolongan orang shufi yang menganjurkan kepada akhirat dan menghindari kehidupan dunia.

Para ulama mengingkari at-taghbîr ini dan mereka menolak untuk mendengarkan kasidah-kasidah yang dilagukan karena itu merupakan bid’ah. Lirik yang digunakan orang-orang shufi itu mirip dengan lagu. Para Ulama menganggapnya sebagai bid’ah yang baru. Keberadaannya sebagai bid’ah sangat jelas sekali karena tujuan pembuatan lirik-lirik itu untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , padahal sebagaimana yang diketahui, taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla tidak boleh dilakukan kecuali dengan cara yang disyari’atkan-Nya. Kasidah-kasisah ini juga sama dengan kasidah-kasidah yang disampaikan pada masa dahulu, yang kemudian disegarkan oleh orang-orang shufi pada masa sekarang. Ini merupakan bid’ah baru, dan hati manusia tidak boleh condong kepadanya.”[12]

9. Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah
Beliau berkata, “Yang perlu kami sampaikan di sini bahwa dzikir dan do’a dengan berlagu, dengan lirik yang disertai tabuhan alat musik, melantunkan sya’ir, tepuk tangan, semua itu merupakan perbuatan bid’ah yang sangat menjijikkan dan perbuatan yang buruk, lebih buruk daripada berbagai jenis pelanggaran dalam berdo’a dan berdzikir. Siapa pun yang melakukan itu atau sebagian diantaranya harus segera melepaskan diri darinya, tidak membuat dirinya tunduk kepada hawa nafsu dan bisikan setan. Siapa pun yang melihat sebagian dari hal-hal itu harus mengingkarinya. Siapa pun diantara kaum Muslimin yang memiliki kekuatan harus mencegahnya, mencela pelakunya, dan meluruskannya.”[13]

10. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah (wafat th. 597 H).
Beliau mengatakan, “Telah berkata para ahli fiqih dari sahabat-sahabat kami bahwa persaksian penyanyi dan penari tidak boleh diterima. Wallâhul muwaffiq.”[14]

11. Imam al-Hafizh Abu ‘Amr Ibnus Shalah rahimahullah (wafat th. 643 H).
Beliau ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan tepuk tangan, serta mereka menganggapnya sebagai perkara halal yang dapat mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , bahkan sebagai ibadah yang paling utama. Beliau berkata, “Mereka telah berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla , dengan pendapat tersebut mereka telah mengiringi orang-orang kebatinan yang menyimpang. Mereka juga telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan), sedangkan barangsiapa menyelisihi ijma’ terkena ancaman dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan di dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [an-Nisâ'/4:115] [15]

BERBAGAI KERUSAKAN YANG DITIMBULKAN DARI NYANYIAN SHUFI DAN NASYID ISLAMI
Berikut ini beberapa kerusakan dan sisi negatif nyanyian Shufi dan nasyid-nasyid berlabel Islam :
1. Menghabiskan waktu anak-anak hingga para pemuda-pemudi sehingga mereka tidak dapat memanfaatkan waktu itu untuk hal-hal yang bermanfaat bagi mereka.

2. Melakukan penyerupaan dengan musik-musik dari barat maupun timur, yang dilakukan para penyanyi dan pemusiknya.

3. Menyerupai lagu-lagu gereja yang biasa dinyanyikan orang-orang Nasrani ketika mereka sedang melakukan misa atau kebaktian di gereja.

4. Menyerupai kebiasaan orang-orang shufi yang berdzikir secara berbarengan dengan membentuk lingkaran.

5. Melibatkan anak-anak kecil dengan suaranya yang menarik dan merdu.

6. Melibatkan gadis-gadis remaja yang belum berusia baligh dengan beberapa usia yang berbeda, yang terkadang agak sulit untuk dibedakan antara suara mereka dengan suara remaja puteri yang sudah baligh jika tidak diperhatikan secara seksama.

7. Mengganti bacaan al-Qur'ân dengan lagu-lagu dan nasyid dalam rangka menarik perhatian para remaja dan pemuda, dengan alasan mereka tidak merespon jika diajak untuk mengaji al-Qur'ân.

8. Mengganti as-Sunnah dengan nasyid dengan alasan karena tidak ada respon jika diajak mempelajari as-Sunnah.

9. Memenuhi setiap penjuru dengan nasyid sehingga menggeser bacaan al-Qur'ân.

10. Munculnya beberapa grup nasyid yang terdiri dari beberapa personil penyanyi, lalu mereka tampil di tempat-tampat umum dan terbuka, di sekolah dan lain sebagainya.

11. Tindakan sebagian orang yang menyamakan lagu-lagu fasik dan cabul dengan makna-makna yang di dalamnya ada dzikrullâh, yang kemudian dilakukan manusia dalam acara-acara pertemuan mereka.

Menamakan sya’ir-sya’ir tersebut dengan ”Islami” lalu mereka memasukkan ke dalam syari’at Allâh Azza wa Jalla dan agama-Nya sesuatu yang bukan bagian darinya. Memang di antara Ahlus Sunnah ada yang melantunkan sya’ir-sya’ir namun tak seorang pun di antara mereka yang menyatakan bahwa ini bagian dari Islam, tapi masing-masing mempunyai hukumnya sendiri-sendiri. Anda mempunyai hak untuk membedakan antara yang mubah, mustahab, wajib, haram, dan makruh.[16]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVI/1433H/2012M]
_______
Footnote
[1]. Contoh yang beliau bawakan untuk menunjukkan tidak boleh kita mengadakan adzan pada shalat ‘iedain (dua hari raya), tidak boleh shalat raghaib pada bulan Rajab, dan tidak boleh shalawat pada saat bersin karena semua ini tidak ada contohnya dari Rasûlullâh n .
[2]. Tahrîmu Âlatit Tharb (hlm. 158-163) dengan ringkas. Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
[3]. Majmû’ Rasâil Ibni Rajab (Nuzhatul Asmâ') (II/463).
[4]. Majmû’ Rasâil Ibni Rajab (Nuzhatul Asmâ') (II/462).
[5]. Diringkas dari Ighâtsatul Lahafân (I/416-417, Imam Ibnul Qayyim, tahqiq: Syaikh Ali Hasan al-Halabi.
[6]. Majmû’ Fatâwâ (II/570).
[7]. Lihat al-Qaulul Mufîd fii Hukmil Anâsyîd (hlm. 31-32).
[8]. Fataawaa al-‘Aqiidah (hlm. 651, no. 369). Dinukil dari al-Qaulul Mufîd fii Hukmil Anâsyîd (hlm. 40).
[9]. Silsilah Liqâ-ât Bâbil Maftûh, al-Maktabah ash-Shautiyyah, kaset (no. 111-wajah kedua) yang ditandatangani oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Dinukil dari ar-Radd ‘alal Qardhawi wal Judai’i (hlm. 586) karya Syaikh ‘Abdullah bin Ramadhan bin Musa.
[10]. Lihat al-Qaulul Mufîd fii Hukmil Anâsyîd (hlm. 37-38)
[11]. al-Mauridul ‘Adzbuz Zulâl fiima untuqida ‘alâ Ba’dhi Manâhiji ad-Da’awiyyah minal ‘Aqâ-idi wal A’mâl (hlm. 223).
[12]. Dinukil dari al-Qaulul Mufîd fii Hukmil Anâsyîd (hlm. 44).
[13]. Tash-hîhud Du’â (hlm. 78).
[14]. Talbîs Iblîs (hlm. 237) dan al-Muntaqan Nafîs (hlm. 302).
[15]. Fatâwâ Ibnish Shalâh (hlm. 300-301). Dinukil dari Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 170).
[16]. Lihat al-Qaulul Mufîd fii Hukmil Anâsyîd (hlm. 10-11). Lihat buku penulis Hukum Lagu, Musik, dan Nasyid cet. Pustaka at-Taqwa.

Posting Komentar Blogger

 
Top