0 Comment
Sebagian besar kaum muslimin, khususnya yang mempelajari agamanya dan rajin shalat malam, meyakini bahwa shalat malam pada sepertiga malam yang terakhir dan berdo’a saat itu adalah waktu yang sangat baik dan berkah. Hal ini dikarenakan adanya informasi (hadits) dari Rasulullah yang shahih. Namun, terlepas dari itu, mereka berbeda-beda memahami hadits tersebut. Ada yang berkeyakinan keistimewaan waktu itu karena rahmat Allah, ada yang berkeyakinan bahwa saat itu Allah benar-benar turun ke langit dunia sesuai dengan kebesaran dan kemuliaan-Nya, bahkan ada yang tidak percaya sama sekali. Perbedaan ini disebabkan adanya syubhat (sesuatu yang membuat ragu, keragu-raguan) dalam memahami hadits itu. Apa saja syubhat itu dan bagaimana jawabannya?


Sebagian Salaf mengatakan,




Tidaklah seorang melakukan suatu kebid’ahan kecuali dicabut kelezatan
hadits dari hatinya.a

Tauhid Asma’ wa Sifatb merupakan perkara urgen dalam wilayah tauhid, karena bagaimana mungkin
seorang beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya tanpa mengenal
nama dan sifat Dzat yang dia ibadahi. Pada zaman salaf dahulu, masalah
ini tidak terlalu rumit lantaran mereka dapat menyikapinya secara
proporsional. Namun masalah ini kini menjadi krusial, lantaran percikan
syubhat para ahli bid’ah yang kurang puas dengan manhaj salaf dalam
Asma wa Sifat, sehingga mereka memplintir dan merubah dalil yang shahih
dari makna aslinya, padahal kalau disadari, sebenarnya mereka telah
membeo kaum Yahudi yang hina.



Contohnya terlalu banyak kalau mau diuraikan satu persatu, tetapi
cukuplah sebagai perwakilan, hadits tentang nuzul (turunnya) Allah
ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, di mana haits ini telah
diobok-obok oleh tangan sebagian kalangan yang tersesat jalan dan
terombang-ambing dalam kebingungan dan kegelapan.


Nah, pada kesempatan kali ini kita akan mencoba untuk mengkaji hadits
tersebut dan menguraikan belitan syubhat para pengekor hawa nafsu
seputar hadits tersebut. Semoga Allah selalu meneguhkan kita untuk
meniti di atas jalan-Nya yang lurus. Amiin


Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,



Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga
malam terakhir. Dia berfirman,
Siapa yang berdo’a kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta
kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku,
maka akan Aku ampuni.c



Dari segi sanad, sepertinya para ahli bid’ah tidak dapat berkutik
apa-apa lagi, lantaran sangat kuatnya. Namun mereka tetap tidak putus
asa untuk menaburkan debu dengan mengarahkan bidikan pada matan (kandungan)
hadits ini, seperti




Tasybih




Mereka mengatakan,1



Kalau kita tetapkan bahwa Allah punya sifat turun, itu berarti Allah
serupa dengan makhluk, padahal ini bertentangan dengan ayat,
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. (QS. Asy-Syura:
11)
.2

Jawaban:


Kaidah kita dalam masalah asma wa sifat (nama dan sifat Allah) adalah
menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an atau
Rasulullah dalam haditsnya yang shahih tanpa menyerupakan sesuatupun
dan mensucikan-Nya tanpa mengingkari sifat-Nya, sebagaimana firman
Allah,



Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar dan Melihat. (QS. Asy-Syura: 11).

Firman Allah, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya”
merupakan bantahan terhadap golongan musyabbihah (golongan yang menyerupakan
Allah dengan makhluk).


Firman-Nya, “Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
merupakan bantahan terhadap golongan yang merubah makna sifat dan
mengingkarinya. Jadi, kewajiban kita adalah menetapkan apa yang telah
ditetapkan oleh Allah dan menafikan apa yang Dia nafikan tanpa tahrif
(merubah makna) dan ta’thil (mengingkarinya).


Inilah manhaj (metode, cara) selamat yang harus ditempuh oleh setiap
muslim, karena dibangun atas dasar ilmu dan kelurusan dalam i’tiqad
(keyakinan, aqidah).3

Imam Syaukani berkata,



Barangsiapa yang memahami dan merenungi ayat mulia ini dengan sebenar-benarnya,
niscaya dia akan meniti di atas jalan yang putih dan jelas di persimpangan
perselisihan manusia dalam masalah sifat-sifat Allah. Lebih mantap
lagi apabila engkau merenungi makna firman Allah, “Dan Dia
Maha Mendengar lagi Maha Melihat”, karena penetapan ini setelah
peniadaan sesuatu yang serupa telah mengandung keyakinan yang mantap
dan obat penawar hati.


Wahai pencari kebenaran, pegangilah hujjah yang jelas dan kuat ini,
niscaya engkau dapat memberantas berbagai corak kebid’ahan dan meremukkan
argumen para tokoh kesesatan dan ahli filsafat.4

Jadi, kita menetapkan sifat “turun” bagi Allah sebagaimana
dikhabarkan oleh Nabi yang mulia tanpa menyerupakan-Nya dengan turunnya
makhluk. Apabila ada yang mengingkarinya dengan alasan, “Kalau
kita tetapkan berarti kita menyerupakannya dengan makhluk”
maka ini bathil.


Kita tanyakan kepadanya, “Apakah anda menetapkan sifat mendengar
dan melihat bagi Allah?” Jika dia tidak menetapkannya, maka
dia telah mengingkari ayat di atas. Dan apabila dia menetapkannya,
maka dia telah kontradiksi karena makhluk juga mempunyai sifat mendengar
dan melihat.


Kalau dia berkata, “Kita tetapkan sifat melihat dan mendengar
bagi Allah, tetapi tidak sama dengan melihat dan mendegar makhluk-Nya.”
Kita jawab, “Demikian pula kita tetapkan (sifat) turunnya
Allah tetapi tidak sama dengan turunnya makhluk-Nya. Mengapa kalian
menetapkan sebagian sifat, tetapi tidak menetapkan sifat lainnya,
padahal sama-sama berlandaskan dalil yang shahih? Sungguh ini suatu
kontradiksi yang sangat ajaib (aneh) sekali.


Jadi sekali lagi, menetapkan sifat turun bagi Allah bukan berarti
kita menyerupakan-Nya dengan makhluk, tidak ada seorang ulama salaf-pun
yang berpaham demikian, bahkan kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,



Apabila seseorang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya,
seperti mengatakan istiwa’ Allah serupa dengan istiwa’ makhluk-Nya,
atau turunnya Allah serupa dengan turunnya makhluk, maka dia adalah
mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan, karena Al-Qur’an dan
As-Sunnah serta akal menjelaskan bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk
dalam segala segi.5

Lucunya, mereka menuding kaum salaf yang menetapkan sebagaimana manhaj
yang benar sebagai kaum musyabbihah atau mujassimah! Subhanallah,
hanya kepada Allah kita mengadu!


Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan,



Seluruh Ahli Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengartikan secara
zhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimananya sifat-sifat
tersebut.


Adapun Jahmiyah, Mu’tazilah dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat
Allah dan tidak mengartikannya secara zhahirnya. Lucunya mereka menuding
bahwa orang yang menetapkannya termasuk Musyabbih6 (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk).7





Tahrif




Banyak sekali takwil (penyelewengan arti) dan tahrid (perubahan makna)
yang menyelimuti hadits yang tegas ini. Mereka mengatakan, “Bukan
turun, tetapi perintah Allah!” Adalagi yang mengatakan, “Rahmat
Allah!” Ada yang mentakwilkan, “Malaikat dari para
malaikat Allah!” Adapun KH. Sirajuddin Abbas, berpendapat
lain lagi,



Maksud hadits ini -menurut Ahlus Sunnah- bahwasanya pintu rahmat
Tuhan terbuka malam hari seluas-luasnya, khusus pada akhir-akhir malam.
Sekalian do’a dan permohonan diterima ketika itu. Oleh karena itu
hendaklah mendo’a banyak-banyak setiap malam. Inilah maksudnya hadits
ini.8

Jawab:


Tahrif seperti ini adalah bathil ditinjau dari dua segi:



  1. Secara global. Asal suatu ungkapan adalah hakekat (bukan majas) sampai
    ada dalil yang memalingkannya kepada makna majas. Sungguh amat mustahil
    sekali bila Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali
    dan berulangkali mengucapkan suatu ungkapan yang didengar oleh banyak
    sahabatnya, namun kemudian beliau tidak menjelaskan makna sesungguhnya!


    Siapakah orang yang lebih sayang terhadap umat manusia?! Nabi kita
    Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataukah kaum Mu’tazilah dan
    Asya’irah? Tidakkah mereka menyadari bahwa merubah arti dari zhahirnya
    adalah perilaku kaum Yahudi yang dikecam oleh Allah?



    Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.
    (QS. An-Nisa’: 46).


    Lalu orang-orang yang zhalim mengganti ucapan yang tidak diperintahkan
    kepada mereka. (QS. Al-Baqarah: 59).

    Semoga Allah merahmati Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah tatkala mengatakan,



    Orang Yahudi diperintahkan untuk mengatakan hiththah (ampunilah)


    Mereka enggan, bahkan berkata, “Hinthah (gandum)”
    demi kehinaan


    Demikian pula Jahmi. Dikatakan padanya, “Istawa (tinggi)”


    Mereka enggan dan menambah huruf (menjadi istaula9 -yang artinya- berkuasa).10

    Tambahan huruf “Nun” Yahudi dan “Lam”
    Jahmi, keduanya dalam timbangan syar’i adalah tambahan (yang terlarang
    -red. vbaitullah.or.id).

  2. Secara terperinci. Urusan dan nikmat Allah tidaklah turun pada saat
    khusus sepertiga malam terakhir saja, bahkan kapanpun waktunya. Allah
    berfirman,



    Dan apa saja ni’mat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).
    (QS. An-Nahl: 53).

    Kemudian apalah faedahnya nikmat dan urusan Allah hanya turun ke langit
    dunia saja tetapi tidak turun ke bumi?!


    Adapun kalau diartikan “malaikat” maka kita jawab,



    Apakah masuk akal kalau malaikat mengatakan, “Siapa yang
    berdo’a kepada-Ku, maka Aku akan kabulkan.”

    Maka jelaslah tahrif ini adalah bathil, termentahkan oleh fakta lapangan.11

    Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Al-Allamah Imam Abdul Aziz bin Baz
    tatkala membantah perubahan makna (tahrif) seperti ini,



    Ini merupakan kesalahan yang nyata sekali, bertentangan dengan nash-nash
    yang shahih yang menetapkan nuzul (turunnya) Allah. Pendapat yang
    benar adalah pendapat salafush shalih, yaitu meyakini turunnya Allah
    dan memahami riwayat ini sebagaimana datangnya, tanpa takyif (membagaimanakan),
    tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).


    Inilah jalan yang paling benar, paling selamat, paling cocok, dan
    paling bijaksana. Pegangilah keyakinan ini dan gigitlah dengan gigi
    gerahammu serta waspadalah dari keyakinan-keyakinan yang menyelisihinya.
    Semoga engkau bahagia dan selamat.12





Akal-akalan




KH. Sirajuddin Abbas berkata dalam buku hitamnya, “Aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah” hal. 276,



Sebagaimana dimaklumi dunia ini bundar, malam di suatu tempat, siang
di tempat yang lain, kalau di Indonesia matahari sudah terbenam dan
sudah malam maka di Makkah baru pukul dua belas siang. Kalau di Indonesia
siang bolong umpamanya pukul sepuluh pagi, maka di Belanda betul-betul
pukul dua malam. Dan begitulah seterusnya.


Nah, kalau Tuhan turun ke bawah pada sepertiga malam sebagaimana turunnya
Ibnu Taimiyah, maka pekerjaan Tuhan hanya turun-turun saja setiap
waktu bagi seluruh penduduk dunia. Karena waktu malam sepertiga terakhir
bergantian di seluruh dunia, sedangkan Tuhan hanya satu.

Jawaban:


Penulis telah membantah syubhat ini kurang lebih dari tiga tahun lamanya,13 saya katakan waktu itu:



Demikianlah jika seseorang telah dimotori oleh akalnya! Mengapakah
tuan menggambarkan Allah sedemikan rupa? Mengapakah tuan tidak pasrah
terhadap hadits Rasul yang shahih? Bukankah Allah berfirman,
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
(QS. An-Nisa’: 65).

Imam Bukhari meriwayatkan dari Imam Az-Zuhri bahwasanya beliau mengatakan,



Wahyu itu dari Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
menyampaikan, kewajiban kita hanyalah pasrah dan tunduk.14

Imam Ath-Thahawi berkata,



Tidaklah selamat seorang hamba dalam agamanya kecuali apabila dia
tunduk dan pasrah terhadap Allah dan Rasul-Nya dan mengembalikan segala
kesamaran kepada Dzat Yang Maha Mengetahui.15

Kewajiban kita dalam hadits-hadits seperti ini adalah:



  1. Beriman dengan nash-nash yang shahih
  2. Tidak bertanya bagaimananya serta menggambarkannya, baik dalam fikiran,
    terlebih lagi dalam ungkapan. Karena hal itu termasuk berkata terhadap
    Allah tanpa dasar ilmu, sedangkan Allah tak dapat dijangkau dengan
    akal fikiran.
  3. Tidak menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Allah berfirman,



    Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
    Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Asy-Syura: 11).

Apabila kita memahami kewajiban ini, maka tidak akan ada lagi kerancuan
dalam hadits nuzul atau lainnya yang menerangkan sifat-sifat Allah.
Yang penting, jika tiba sepertiga malam terakhir, maka Rabb turun
ke langit dunia.16





Catatan Kaki


a
Dar’u Ta’arudhil Aqli wa Naqli 1/221 oleh Ibnu Taimiyah.
b
Tauhid Asma’ wa Sifat adalah Tauhid dalam meyakini dengan makna yang benar dari nama dan sifat Allah. -red. vbaitullah.
c
HR. Bukhari: 1145 dan Muslim: 758.
1
Bandingkan dengan buku “I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah” hal. 272-273 oleh K.H. Sirajuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, cet. ke 19, Jakarta 1994. Ironisnya, tatkala penulis ke sebuah toko buku di Surabaya, ternyata kitab sesat dan menyesatkan ini dicetak ulang lagi oleh penerbit tersebut dengan cetakan yang baru dan mewah! Laa haula wa laa quwwata illa billah.
2
Perhatikanlah wahai saudaraku, para ahli bid’ah memenggal dalil dan tidak menyempurnakannya, karena lafadz (ayat di atas) berikutnya akan membungkam fahamnya! Inikah amanah ilmiyah ataukah ini perilaku keji kaum Yahudi yang beriman dengan sebagian dan mengkufuri sebagian lainnya?!
3
Lihat Taqrib At-Tadammuriyah, hal. 12 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
4
Fathul Qadir 4/528.
5
Majmu’ Fatawa 5/252. Ucapan mantap ini mendustakan cerita yang banyak beredar bahwa Ibnu Taimiyah menyerupakan turunnya Allah dengan turunnya beliau dari mimbar, sebagaimana sering dipropagandakan oleh kaum kuburiyiyun dan ahli bid’ah, seperti KH. Sirajuddin Abbas dalam buku hitamnya I’tiqad Ahli Sunnah, hal. 266-267 dan 40 Masalah Agama 2/215-217; Tengku Zulkarnaen dalam bukunya, Salah Faham Penyakit Umat Islam Masa Kini -Jawaban Atas Buku Raport Merah Aa Gym- hal. 175.
Faedah: Buku “Salah Faham Umat Islam” memang sangat tepat sekali dengan judulnya, yaitu buku Salah Faham. Karena baru halaman pertama saja sudah diawali dengan dua salah faham penulisnya. Akibatnya sebenarnya pak Tengku Zulkarnaen mau membela Aa Gym, tetapi kenyataannya justru menonjok. Demikian kata pak Hartono Ahmad Jaiz dalam Majalah Media Dakwah, Rajab 1424/September 2003, hal. 38.
6
Contoh mudah, tuduhan KH. Sirajuddin Abbas terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Katanya dalam buku yang sama pada hal. 262,
Akan tetapi sangat disayangkan, bahwa beliau terpengaruh dengan paham-paham kaum Musyabbihah dan Mujassimah, yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk
Pada hal. 263,
Jadi beliau sebenarnya harus dimasukkan dalam Bab kaum Mujassimah atau Musyabbihah, karena ada persamaannya dalam i’tiqad.
7
At-Tamhid 3/351.
8
I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, hal. 276.
… istaula9
Mereka menambah huruf “Lam” pada kata “istawa” sehingga menjadi “istaula”. red. vbaitullah.or.id
10
Anehnya, KH. Sirajuddin Abbas dalam bukunya, I’tiqad Ahlussunnah hal. 271-273 termasuk pembela tahrif makna istawa dengan “menguasai”, bahkan membantah para ulama’ yang mengartikannya secara lahirnya, yaitu “tinggi”. Tak cukup hanya itu, bahkan dia juga menganggap mereka (yakni orang -termasuk para ulama’- yang mengartikan “tinggi” -red. vbaitullah.or.id) sesat lagi menyesatkan!
11
Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 5/415-417; Mukhtashar Shawaiq Mursalah, 2/221-224; Syarh Aqidah Wasithiyah Ibnu Utsaimin 2/434-435.
12
Ta’liq Fathul Bari, 3/30.
13
Dalam makalahnya berjudul, “Membongkar Kebohongan Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah” di muat dalam majalah As-Sunnah edisi 12/V/1422 H/2001 M.
14
Lihat Fathul Bari 13/512.
15
Lihat Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 199.
16
Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Utsaimin 1/216.

_____________________________________________

Abu Muhammad Umar As-Salafi

Posting Komentar Blogger

 
Top