0 Comment
Penulis : Ustadz Ruwaifi, Lc
Diantara tanda-tanda keselamatan seseorang di dunia dan di akhirat, adalah kepekaannya untuk melihat dan mengintrospeksi diri sebelum melihat dan mengoreksi orang lain. Dia akan sangat mengerti tentang kapasitas dirinya sebelum diri orang lain, sehingga ketika mendengar sabda Rasulullah  : ” Janganlah mencela para shahabatku, Janganlah mencela para shahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya (Allah), kalaulah salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar Gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai infaq salah seorang dari mereka (para shahabat) yang hanya sebesar cakupan tangan atau setengahnya”. (HR. Al- Bukhari no. 3673 dan Muslim no. 2540, dari shahabat Abu Sa’id Al Khudri)

Maka dia akan berupaya menahan hatinya untuk berburuk sangka kepada para shahabat dan menahan lisannya dari mencela mereka. Karena dia sadar, bukanlah kapasitasnya untuk membicarakan, menilai dan mengkritik orang-orang yang telah mendapatkan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya itu.

Namun disisi lain, kita tak pernah lupa akan sejarah orang-orang yang tak tahu diri. Orang-orang cebol (kerdil) yang ingin mengayuh lintang (bintang) di angkasa sambil melolong dengan lolongan-lolongan keji, berkedokkan kebebasan dan keterbukaan mengkritik.
Lolongan kaum Orientalis Kafir yang kemudian dikemas dengan kemasan sok ilmiah oleh antek-antek mereka dari anak-anak kaum muslimin untuk mengkritik para shahabat Rasulullah. Dan ini bukanlah hal yang baru dalam peradaban umat manusia.

Lolongan tersebut sesungguhnya kelanjutan dari lolongan kaum Syi’ah Rafidhah yang senantiasa berambisi menghancurkan citra Rasulullah dan agama islam yang dibawanya.

Al Imam Malik bin Anas berkata : “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi, namun tidak mampu. Maka mereka pun akhirnya mencela para shahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa beliau adalah orang jahat. Karena, kalau beliau itu orang baik pasti para shahabatnya adalah orang-orang yang baik pula”.(Ash Sharimul Maslul ‘Ala Syatimirrasul, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal.580)

Al Imam Abu Zur’ah Ar Razi berkata : “Jika engkau melihat siapa saja yang mencela seorang shahabat Rasulullah maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Hal itu karena keyakinan kami bahwa Rasulullah itu haq, Al Quran itu haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Quran dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah. Tujuan mereka dalam mencela para saksi kami (para shahabat) tidak lain untuk menghancurkan Al Quran dan As Sunnah. Mereka sesungguhnya lebih pantas untuk dicela dan mereka itu zanadiqoh”.(Al Kifayah, hal.49)

Para pembaca, semua shahabat Rasulullah adalah orang-orang baik dan adil, yang telah mendapatkan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya.

Al Imam Asy Syafi’i berkata : “Allah telah memuji para shahabat Rasulullah  di dalam Al Quran, Taurat, dan Injil. Keutamaan itupun telah terukir melalui lisan Rasulullah, suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh seorangpun setelah mereka. Semoga Allah menyayangi mereka dan menganugerahkan untuk mereka posisi tertinggi dikalangan Shiddiqin, Syuhada’ dan Shalihin. Merekalah yang menyampaikan ajaran Rasulullah kepada kita. Mereka menyaksikan turunnya wahyu kepada Rasulullah, sehingga mereka benar-benar mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah dari perkara-perkara yang sifatnya umum dan khusus, keharusan dan bimbingan. Mereka mengerti sunnah Rasulullah, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka diatas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berfikir dan memahami suatu perkara (berdasarkan ilmu). Pendapat-pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri”.(Manaqib Al Imam Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi I/441)

Al Imam An Nawawi berkata : “Para shahabat semuanya adil, baik yang terlibat dalam fitnah (pertempuran diantara mereka-pen) atau yang tidak terlibat di dalamnya, menurut ijma’ ulama yang diperhitungkan kata-katanya”.(At Taqrib ma’a Tadribirrawi 2/190)

Al Hafizh Ibnu Katsir berkata : “Menurut Ahlus sunnah wal jama’ah, semua shahabat itu adil, karena adanya pujian dari Allah di dalam Al Quran dan (Rasulullah) di dalam sunnahnya terhadap segala akhlaq dan perbuatan mereka, serta terhadap apa yang mereka korbankan dari harta dan nyawa bersama Rasulullah, dengan semata-mata mengharap pahala dan balasan yang mulia disisi Allah”.(Al Ba’its Al Hatsits hal.154)

Al Imam Ibnul Mulaqqin berkata : “Semua shahabat Rasulullah mempunyai kekhususan, yaitu tidak perlu ditanyakan tentang keadilannya. Karena mereka telah mendapatkan rekomendasi di dalam Al Quran dan As sunnah serta ijma’ ulama yang diperhitungkan kata-katanya”. (Al Muqni’ fii Ulumil Hadits 2/492, dinukil dari Al Inthishar Lish Shahbi Wal Aal hal.218)

Al Imam Ibnul Atsir berkata : “Para shahabat seperti para perawi lainnya dalam hal itu semua kecuali dalam hal Al Jarh wat Ta’dil, karena mereka semua adalah orang-orang yang adil, dan tidak boleh dikritik. Demikian itu karena Allah dan Rasul-Nya telah merekomendasi dan memuji mereka …” (Usdul Ghobah 1/10, dinukil dari Al Inthishar, hal.222)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani berkata : “Ahlus Sunnah sepakat bahwasanya semua shahabat adalah orang-orang yang adil, dan tidaklah menyelisihi dalam hal ini kecuali orang-orang yang nyeleneh dari kalangan ahlul bid’ah”.(Al Ishabah 1/10-11)

Asy Syaikh Mahmud Muhammad Syakir berkata : “Bila demikian agungnya keutamaan bershahabat dengan Rasulullah, maka seorang muslim manakah yang mampu setelah ini untuk menjulurkan lisannya mencela seseorang dari shahabat Muhammad Rasulullah ?! dengan lisan manakah dia meminta udzur tatkala saling beragumentasi dihadapan Rabb mereka (dihari kiamat)?! Apa yang hendak dia katakan disaat telah tegak baginya hujjah dari Al Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya ?! Hendak lari kemanakah dia dari adzab Allah pada hari (kiamat) itu?! (Majalah Al Muslimun, edisi 3 Th 1371 H, dinukil dari Kitab Matha’in Sayyid Quthub Fii Ash-habi Rasulillah hal 11 ) .

Para pembaca, maka dari itu orang-orang yang sok menilai, mengkritik dan mencela para shahabat, tak lain ibarat seekor kambing kerdil yang berambisi (dengan tanduknya) menghancurkan batu besar yang sangat kokoh. Batu itu pun tetap utuh tak bergeming, sedangkan si kambing kerdil menuai petaka.

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Barangsiapa melakukannya (mencela shahabat Nabi-pen), maka wajib diberi pelajaran dan dihukum, tidak diberi ampun, bahkan terus dihukum hingga bertaubat. Jika bertaubat maka diampuni, namun jika bersikukuh dengannya maka terus dihukum dan dipenjara sampai mati atau rujuk”. (Ash Sharimul Maslul, hal.568)

Al Imam Malik bin Anas berkata : “Barangsiapa mencaci Nabi maka (hukumannya) dibunuh, dan barangsiapa mencela para shahabat maka diberi pelajaran”. (Ash Sharimul Maslul, hal.569) Al Imam Ishaq bin Rahawaih berkata : “Barangsiapa mencela para shahabat Nabi maka harus dihukum dan dipenjara”.(Ash Sharimul Maslul, hal.568)

Dengan demikian, apakah para pencela itu dikafirkan?
Para pembaca, berdasarkan keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Ash Sharimul Maslul, hal.586-587, maka dapatlah disarikan sebagai berikut :
  1. Mencela shahabat, dengan diiringi pernyataan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan, atau dialah yang sebenarnya sebagai Nabi dan Malaikat Jibril keliru dalam menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad, atau menganggap bahwa Al Quran kurang sekian ayat dan ada yang disembunyikan dan lain sebagainya, maka tidak diragukan lagi kekafirannya, bahkan tidak diragukan pula kekafiran orang yang ragu akan kekafiran mereka.
  2. Mencela mereka namun tidak menjatuhkan keadilan dan agama mereka. Misalnya mensifati sebagian mereka dengan kikir, pengecut, ilmunya sedikit, atau kurang zuhud dan lain sebagainya, maka yang seperti ini berhak diberi pelajaran/dihukum dan tidak dikafirkan.
  3. Melaknat dan menjelek-jelekkan mereka dengan lafazh yang umum, maka masih diragukan apakah dikafirkan ataukah tidak, karena adanya kemungkinan antara laknat kemarahan dan laknat yang bersumber dari keyakinan.
  4. Mencela mereka sampai pada tingkatan meyakini bahwa mereka telah murtad sepeninggal Rasulullah kecuali hanya beberapa orang dari mereka saja, atau semua telah melakukan kefasikan (sepeninggal beliau), maka yang seperti ini tidak diragukan akan kekafirannya.
Akhir kata, demikianlah kesudahan buruk bagi orang-orang yang mencela shahabat Rasulullah. Semoga Allah menjauhkan kita dari akhlak tercela ini, dan tiada yang dapat kami ucapkan kecuali sebuah harapan dari Allah yang terukir dalam lantunan do’a : “Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian terhadap orang-orang beriman bercokol pada hati kami, Wahai Rabb kami, sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”(Al Hasyr:10).

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Posting Komentar Blogger

 
Top