0 Comment

Shalat wajib lima waktu merupakan ibadah yang tidak bisa dipisahkan dari diri seorang muslim. Ibadah shalat ini menjadi penyejuk hati dan pandangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Dalam pelaksanaannya, banyak hadits yang menjelaskan seberapa lama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saat shalat fardhu lima waktu tersebut. Dalam shalat Subuh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca sebanyak 60 sampai 100 ayat dalam dua raka'at. Bahkan diriwayatkan dalam Shahîhain (Shahîh al-Bukhari 2/251, Shahîh Muslim 4/179), bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca surat al-Wâqi'ah (96 ayat), al-Fath (29 ayat), al-Mukminûn (118 ayat), ath-Thûr (49 ayat), ar-Rûm (60 ayat), Yâsîn (83 ayat), ash-Shâffât (182 ayat).

Meskipun ash-Shaaffaat berjumlah 182 ayat, namun para sahabat menganggap surat ash-Shaaffat ini masih dalam konteks takhfif (ringan) yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ibnu 'Umar berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melakukan shalat yang ringan. Dahulu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin shalat kami (dengan membaca) surat ash-Shâffât [HR an-Nasâ`i dengan sanad shahîh].

Adapun ketika shalat Zhuhur, pada dua rakaat pertama, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca sebanyak 30-an ayat. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (Shahîh Muslim 4/172), bahwa lama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri pada dua rakaat pertama sebanding dengan membaca surat as-Sajdah. Sedangkan pada dua rakaat terakhir, terkadang beliau membaca sebanyak 15-an ayat (selain al-Fâtihah). Untuk yang terakhir ini, telah menjadi sebuah sunnah yang terlupakan.

Berkaitan dengan panjangnya shalat Zhuhur yang dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat, Abu Sa'id al Khudri pernah mengabarkan: "Shalat Zhuhur sudah mulai ditegakkan. Kemudian ada salah seorang dari kami yang bergegas menuju Baqi' untuk memenuhi kebutuhannya, lantas mendatangi keluarganya dan berwudhu, kemudian berjalan kembali menuju masjid, dalam keadaaan Rasulullah masih berada pada rakaat pertama, lantaran beliau memanjangkannya"[1]. Sedangkan saat menegakkan shalat 'Ashar, kebanyakan waktu yang beliau habiskan untuk melaksanakannya ialah separo waktu untuk mendirikan shalat Zhuhur.

Mengenai shalat Maghrib, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca surat-surat thiwâlul-mufashshal (mufashshal yang panjang), bermula dari surat Qâf sampai surat an Naba`, dan surat-surat yang panjangnya setara dengan surat-surat tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca surat ath-Thûr (49 ayat), Muhammad (38 ayat), al-Mursalât (50 ayat), al Anfâl (75 ayat). Begitu pula dengan surat al-A`râf (206 ayat), pernah dijadikan sebagai bacaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat Maghrib. Sementara itu, pada shalat 'Isya`, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca surat asy-Syamsy dan surat-surat yang sebanding dengannya.

Sekilas, nampak betapa panjang shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yang berarti memiliki memberatkan umatnya, jika mereka dituntut untuk mendirikan shalat seperti itu. Akan tetapi, Sahabat Anas bin Maalik Radhiyallahu anhu berkata: "Aku tidak pernah mengerjakan shalat di belakang imam yang lebih ringan dan lebih sempurna dibandingkan (shalat bersama) Rasulullah".[2]

Untuk mengetahui pengertian ringan dalam pernyataan Sahabat Anas Radhiyallahu anhu tersebut, maka tidak bisa tidak, dikembalikan pada praktek shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , satu-satunya imam di Madinah pada zaman dulu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin sholat orang-orang yang lemah, lanjut usia, dan orang-orang yang terlilit urusan. Maka jika disimpulkan, ringannya shalat yang dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mempertahankan aspek yang menjadi kesempurnaan ibadah mulia itu, seperti disampaikan oleh Sahabat Anas Radhiyallahu anhu.

Sehingga pengertian ringan bukan merujuk pada kebiasaan suatu tempat, madzhab, kemauan makmum atau "ijtihad" imam, karena nanti akan berujung pada kesimpulan yang berbeda-beda. Bukan pula dengan merujuk para "pencuri" dan "pematuk" shalat. Yaitu mereka yang merampungkan shalat secepat kilat, sehingga menghilangkan tuma'ninah, ruku', sujud dan i'tidal.


(Diadaptasi dari al-Qaulul-Mubîn fî Akhthâ`il-Mushallîn, Masyhûr Hasan Alu Salmân, Dâr Ibnil- Qayyim, Cet. IV, 1416 H – 1996 M, halaman 242-248)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahîh Muslim (4/173-174).
[2]. HR Muslim (4/186).

Posting Komentar Blogger

 
Top