Pemaparan sejarah para Ulama sangat bermanfaat bagi
generasi berikutnya agar dapat meneladani tokoh-tokoh umat tersebut.
Ibnu Khalikân rahimahullâh berkata dalam Wafayâtu al-A’yân (1/20), “Aku
sebutkan (biografi) sejumlah orang yang aku lihat mereka secara langsung
dan aku kutip berita tentang mereka, atau orang-orang yang hidup di
masaku, namun aku tidak sempat menjumpai mereka tujuannya agar
orang-orang (generasi) yang datang setelahku bisa mengetahui (baiknya)
kondisi mereka”. (Kutipan dari al-Albâni Durûs wa Mawâqif wa ‘Ibar hlm.
7).
Di antara tokoh ternama dan menonjol dengan
khidmahnya dalam bidang ilmu hadits, yaitu Abu Abdillâh Muhammad bin
Ismâil yang lazim dikenal dengan nama Imam al-Bukhâri. Beliau dilahirkan
di Bukhara, tanggal 13 Syawal 194 H. Ayah Imam al-Bukhâri, seorang yang
bertakwa dan wara’, sempat belajar dari Imam Mâlik rahimahullâh dan
berjumpa Hammad bin Zaid dan Ibnul Mubârak. Namun Allâh Ta'âla
berkehendak mewafatkannya saat Imam al-Bukhâri masih kanak-kanak. Karena
itu, beliau tumbuh dan berkembang dalam tarbiyah dan asuhan sang ibu.
Imam al-Bukhâri rahimahullâh memulai perjalanan
ilmiahnya sejak dini. Beliau juga telah menghafalkan al- Qur`ân semenjak
kecil. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan beliau senang dan suka
menghafal hadits-hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam. Kegemaran
yang didukung kecerdasan serta taufiq dari Allâh Ta'âla, menjadikan
beliau sangat menonjol dalam ilmu hadits. Pujian demi demi pujian beliau
dapatkan, baik semasa beliau masih hidup maupun setelah beliau
diwafatkan oleh Allâh Ta'âla.
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullâh (wafat th. 241 H)
berkata, “Belum pernah ada di Khurasan orang yang melahirkan anak
seperti Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhâri. (Siyar A’lâmin Nubalâ’,
XII/419)
Abu Hâtim ar-Râzi rahimahullâh (wafat th. 277 H)
berkata, “Tidak ada orang yang keluar dari Khurasan yang lebih hafal
dari Muhammad bin Ismâ’îl (al-Bukhâri) dan tidak ada yang datang ke Iraq
yang lebih ‘alim dari al-Bukhâri rahimahullâh (Muqaddimah Fat-hil Bâri,
hlm. 484, cet. Dârul Fikr)
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Fadhl bin Bahram
ad-Dârimi rahimahullâh (wafat th. 255 H) berkata, “Saya melihat Ulama di
Haramain, Hijâz, Syâm, dan Iraq. Dan tidak ada yang lebih sempurna
(ajma’) daripada Muhammad bin Isma’il. Beliau (al-Bukhâri) adalah orang
yang paling ‘alim diantara kami dan paling faqih serta paling banyak
muridnya. (Muqaddimah Fat-hul Bâri, hlm. 484)
Pujian tidak hanya terbatas pada pribadi beliau
rahimahullâh, karya-karya beliau pun sarat dengan pujian. Bahkan Salah
satu kitab karya beliau rahimahullâh dinobatkan sebagai kitab hadits
terbaik oleh para Ulama. Kitab yang bernama lengkap al-Jâmi’ al-Musnad
ash-Shahîh al-Mukhtashar min Umûri Rasûlillâh Shallallâhu 'alaihi wa
Sallam wa Sunanihi wa Ayyâmihi yang kemudian mashur dengan sebutan
Shahîh al-Bukhâri ini, disusun oleh Imam al-Bukhâri dalam waktu 16
tahun.
Imam an-Nawawi rahimahullâh mengungkapkan, “Para
Ulama –rahimahumullâhu- telah sepakat menyatakan bahwa kitab yang paling
Shahîh setelah al-Qur`an adalah ash-Shahîhain; Shahîh al-Bukhâri dan
Shahîh Muslim. Umat telah menerima keduanya dengan baik. Kitab Shahîh
al-Bukhâri adalah yang tershahîh dari keduanya dan lebih banyak
mengandung faedah dan pengetahuan, baik yang nampak maupun masih samar.
(al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim 1/14. Lihat Fiqhud Dakwah min Shahîh
al-Bukhâri, 1/28)
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullâh (wafat th. 774 H)
penyusun kitab tafsir yang sangat dikenal oleh kaum Muslimin ini
mengatakan, “Para Ulama telah bersepakat menerimanya (Shahîh al-Bukhâri)
dan keshahîhan semua yang ada di dalamnya, begitu juga semua umat
Islam.” (al-Bidâyah wan Nihâyah (XI/250, Cet. II, th. 1431 H, Daar Ibnu
Katsîr)
Pernyataan Imam Nawawi rahimahullâh dan Ibnu Katsîr
rahimahullâh ini sudah cukup untuk menunjukkan betapa tinggi dan penting
kedudukan Shahîh al-Bukhâri bagi kaum Muslimin secara umum. Sebuah
kitab yang dijelaskan oleh penulisnya, “Tidak ada satupun hadits yang
aku takhrij dalam kitab ini melainkan yang shahîh, dan hadits shahîh
yang aku tinggalkan (tidak aku masukkan ke dalam kitab ini) masih lebih
banyak lagi”. (Hadyus Sâri Muqaddimah Fat-hul Bâri’ Syarah Shahîh
al-Bukhâri (hlm. 9) oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh).
Inilah penegasan dari penyusunnya yang digelari oleh para Ulama dengan Amirul Mukminin fil Hadîts,
bahwa semua hadits bersanad yang beliau cantumkan dalam kitab itu
adalah shahîh, namun bukan berarti semua hadits Shahîh sudah tercantum
di sana, sebagaimana beliau tegaskan dalam kalimat berikutnya. Inilah
Imam al-Bukhâri rahimahullâh dan kitabnya.
Lalu setelah kita mengetahuinya, bagaimana
seharusnya kita menyikapinya? Tentu sebagai insan yang beriman,
kewajiban kita adalah memperlakukannya sebagaimana para Ulama Islam
memperlakukannya, bukan sebagaimana pandangan orang hasad yang sudah
terkontaminasi pikirannya oleh pikiran-pikiran barat yang nota bene
benci dengan Islam, meskipun disajikan dengan nama dan istilah memukau
semisal “Studi Kritis” dan lain sebagainya.
Semoga Allâh Ta'âla senantiasa memberikan petunjuk
kepada kita, seluruh kaum Muslimin sehingga bisa membedakan antara yang
haq dan batil di tengah usaha gencar para pembenci Islam untuk
mengaburkannya.
(Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI)
Posting Komentar Blogger Facebook