A. PENGERTIAN SUFI
Menurut pengakuan dari banyak peneliti baik dari
kalangan Sufi maupun non Sufi, sepakat berpendapat bahwa kata Sufi belum
ada kata sepakat tentang asal kata dari kalimat tersebut. Bahkan
sebahagian tokoh-tokoh Sufi ada yang berpendapat bahwa definisi tasawuf
hampir mendekati 2000 pendapat[1].
Penyebab utama dari banyaknya perbedaan tentang hakikat Sufi kembali
kepada sekte dan fase-fase yang terdapat dalam pemikiran Sufi itu
sendiri.
Definisi yang lebih dekat dan populer adalah bahwa
asal kata Sufi dinisbatkan kepada pakaian yang sering dipakai oleh
orang-orang Sufi pada awal kemunculan mereka di kota Bashrah.[2]
Kebiasaan orang-orang Sufi dahulu adalah memakai
baju yang terbuat dari bulu domba yang tebal yang belum dihaluskan. Bulu
domba dalam bahasa Arab disebut shuf, maka dari kalimat ini lahir
istilah shufi atau shufiyyah.
Sebagaian orang-orang Sufi berpendapat bahwa
penamaan Sufi diambil dari istilah Ahlu Suffah, akan tetapi hal tersebut
jauh dari segi bahasa dan fakta kehidupan ahli Suffah. Para Ahli Suffah
tidak pernah berkeyakinan dan beribadah ala orang-orang Sufi.
Para Ahli Suffah tinggal di masjid untuk sementara
waktu saja, sampai mereka memiliki tempat tinggal. Mereka juga
orang-orang yang suka bekerja keras dan mencintai ilmu. Berbeda dengan
orang Sufi yang berdiam diri di masjid karena malas bekerja dan berdalil
itu sebagai bentuk tawakal. Pada hal tawakal bukanlah meninggalkan
usaha.
Kemudian penggunaan istilah Sufi untuk orang-orang
yang zuhud atau ahli ibadah tidak pernah dikenal pada masa Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam maupun dikalangan para Sahabat –radhiyallâhu'anhum–.
B. SEJARAH AWAL MUNCULNYA SUFI
Sebagaimana banyak perbedaan pendapat tentang makna Sufi demikian pula halnya tentang waktu kapan awal mula munculnya Sufi.[3]
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullâh–
menjelaskan bahwa Sufi pertama sekali muncul di Bashrah dan yang pertama
sekali memiliki padepokan Sufi adalah teman-teman dari Abdul Wâhid bin
Zaid. Waktu itu di Bashrah muncul suatu komunitas yang berlebih-lebihan
dalam masalah zuhud, ibadah, takut pada Allâh Ta'âla dan semisalnya.[4]
Diantara Ulama ada yang menyebutkan tentang sebab
yang mendukung lahirnya Sufi di Bashrah adalah dikarenakan wilayah
Bashrah sangat berdekatan dengan wilayah kebudayaan Persi dan kebudayaan
Yunani. Jika kita teliti tentang ajaran Sufi maka prediksi ini tidak
jauh dari kebenaran, karena kebanyakan kemiripan ajaran Sufi dengan
ajaran kedua kebudayaan tersebut.
Orang yang pertama sekali dikenal dengan sebutan
Sufi adalah Abu Hâsyim as-Sufi meninggal pada tahun 150 H. Kemudian
secara berangsur-angsur Sufi mulai berkembang keberbagai daerah-daerah
Islam pada sekitar akhir abad ke tiga hijriyah.
C. BEBERAPA AJARAN SUFI YANG DIADOPSI DARI LUAR ISLAM
Sufi memiliki banyak sekte, kemudian masingmasing
memilki tahapan atau tingkatan dalam ajaran mereka. Oleh sebab itu, bisa
dimengerti jika ada sebagian Sufi merasa keberatan bila disebut ajaran
mereka bersumber dari luar Islam. Namun, bila mereka telah sampai pada
tahapan atau tingkat senior (tingkat hakikat) dalam ajaran Sufi, mereka
akan terjebak dengan ajaran-ajaran tersebut.
Topik bahasan kita dalam tulisan ini adalah pada
tingkat senior dari kalangan Sufi. Atau Sufi yang eksrim dalam melakukan
berbagai macam bentuk bid’ah dalam agama, baik yang berhubungan dengan
keyakinan maupun ibadah dan akhlak. Setelah diteliti ternyata kebanyakan
dari ajaran tersebut teradopsi dari ajaran luar Islam, diantara mereka
ada yang menyadarinya dan kebanyakan dari mereka belum mengetahuinya.
Berikut ini kita sebutkan beberapa ajaran di luar Islam yang teradopsi kedalam ajaran Sufi:
1. Ajaran Yahudi
Ada beberapa ajaran Sufi yang di adopsi dari ajaran
Yahudi diantaranya dalam metode dan gaya berdzikir yang dilagukan serta
diiringi oleh berbagai alat musik. Seperti rebana, gambus, kecapi,
guitar, seruling, gendang dan lain-lain, sebagaimana yang dianjurkan
dalam kitab “Perjanjian Lama” milik kaum Yahudi, “Biarkan
orang-orang zionis bergembira dengan kekuasan mereka. Hendaklah mereka
memuji- Nya dengan bergoyang dan memukul rebana ...Haliluyaa... pujilah
Tuhan dalam kesuciannya. Pujilah Dia dengan gambus dan kecapi. Pujilah
Dia dengan memukul rebana dan bergoyang. Pujilah Dia dengan gitar dan
seruling. Pujilah Dia dengan berbagai warna sorak-sorai”.[5]
Disebutkan pula diantara sebab muasal penamaan
pengikut nabi Musa –'alaihissalam– dari orang-orang Bani Israil
dinamakan Yahudi adalah karena kebiasaan mereka ketika membaca Taurat
mengangguk-anggukkan kepala. Hal ini dapat kita saksikan sendiri
bagaimana orang-orang Yahudi ketika beribadah di depan Dinding Ratapan
(tempat ibadah mereka) yang terdapat di masjid Aqsha.
Abu Bakar Tharthûsy mengatakan, “Bergoyang
dalam berzikir dan berusaha agar pingsan, yang pertama sekali
melakukannya adalah pengikut Samiri ketika mengajak mereka untuk
menyembah ‘Ijil (anak sapi). Mereka bergoyang-goyang disekelilingnya dan
pura-pura pingsan. Maka ia adalah agama para penyembah ‘Ijil.
Barangsiapa menyerupai mereka berarti mereka termasuk golongan mereka”.[6]
Apa yang disebutkan oleh Abu Bakar Tharthûsy benar-benar di kisahkan dalam kitab suci orang Yahudi pada lembaran Khuruj ayat 32.[7]
Dalam ajaran sufi ada berbagai acara yang mereka
anggap ibadah yang pelaksanaannya sama persis dengan cara beribadah
orang-orang Yahudi yang kita sebutkan di atas. Ada acara yang disebut
dengan zikir jamâ’i, dubaan, rajaban, manaqiban, salawatan dan maulidan.
Dalam acara-cara tersebut akan kita dapati alat-alat
pujian yang digunakan orang-orang Yahudi dalam ibadah mereka. Seperti
gambus, rebana, kadang-kadang dilengkapi dengan guitar dan seruling
sambil berteriakteriak dalam mengucapkan kalimat-kalimat pujian kepada
Allâh Ta'âla dan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Kemudian hampir semua para Sufi kita dapatkan ketika
berzikir, kepalanya digoyang kekanan dan kekiri. Bahkan ada yang
benar-benar bergoyang sambil berdiri seperti dalam acara-acara sepesial
mereka. Perbuatan tersebut mereka anggap sebagai ibadah yang dapat
mendekatkan diri kepada Allâh Ta'âla.
Acara-acara tersebut biasanya dilaksanakan malam
hari dimulai dari jam 21.00 atau jam 22.00 sampai larut malam. Sebelum
acara dimulai, biasanya semenjak sore sudah diputar melalui alat
pengeras suara kaset nyanyi-nyanyian mulai dari kasidah, pop dan
dangdut, bahkan kadangkala jaipongan. Pelaksanaannya kadang-kadang di
masjid atau di rumah salah seorang jam’ah Sufi. Mereka tidak perduli
dengan orang-orang sekitar yang mau istirahat malam atau mungkin ada
yang sakit. Kadang-kadang musik diputar saat orangorang sedang
melaksanakan shalat Maghrib dan 'Isya.
Apa yang penulis sebutkan disini bukanlah
mengada-ngada, akan tetapi sesuatu yang penulis saksikan dengan dua mata
kepala, dan terdengar dengan dua telinga. Sebagai saksi dari apa yang
penulis sebutkan disini adalah para mahasiswa kami yang selalu terganggu
untuk belajar dan menulis tugas-tugas mereka.
Ajaran tasawuf seperti yang kita sebutkan diatas
tidak hanya terdapat di masa sekarang saja akan tetapi sudah berjalan
lama ditengah-tengah umat ini. Salah seorang Ulama telah mengupas
permasalahan ini dalam sebuah karyanya dan menjelaskan tentang berbagai
sisi kemungkaran dan kebatilan yang terdapat dalam ajaran Sufi tersebut.
Alhamdulillah penulis sendiri yang meneliti
manuskrip kitab tersebut. Judul kitab tersebut adalah Annahyu
‘Anirraqshi was Samâ’ karya al Imam al Hafizh Abu Muhammad Ad Dasyty
wafat tahun 665H. Kitab tersebut dicetak dalam dua jilid oleh percetakan
Wakaf Salam Riyadh-Saudi Arabia.
Kalau kita ambil dari tahun kehidupan Imam ad Dasyty
berarti ajaran Sufi seperti yang kita sebutkan di atas sudah berjalan
sejak sekitar delapan abad yang lalu. Namun, bila kita membaca kitab
Imam ad Dasyty tersebut, justru para Ulama sebelumnya sudah banyak
mengingkari perbuatan tersebut. Bahkan sudah ada pada masa Imam Syâfi’i
–rahimahullâh–, karena imam ad Dasyty dalam kitabnya tersebut
menyebutkan kecaman Imam Syâfi’i –rahimahullâh– dan ulama-ulama lain
terhadap komunitas Sufi yang ada pada masa mereka.
Kala itu komunitas Sufi hanya melakukan dzikir atau
membaca syair-syair zuhud dengan suara-suara yang sendukan. Imam Syâfi’i
–rahimahullâh– menyebut mereka sebagai orang Zindiq. Bagaimana jika
seandainya Imam Syâfi’i t dan para ulama tersebut menyasikan acaraacara
komunitas Sufi yang ada sekarang ini?
Ketika Imam Syâfi’i menyebut tentang hukum
at-Taghbîr, “Itu adalah rekayasa orangorang Zindiq untuk melalaikan
manusia dari al-Qur’ân”.[8]
Dalam salah satu ungkapan, beliau t berkata, “Aku
meninggalkan sesuatu di Baghdad yang disebut dengan Taghbîr. Hasil
rekayasa orang-orang Zindiq, agar bisa menjauhkan manusia dari
al-Qur’ân”.[9]
Ibnu Khaldun –rahimahullâh– menjelaskan dalam kitabnya al Muqaddimah[10], “Taghbîr adalah berdendang, jika dengan syair-syair disebut nyanyi, dan apabila dengan tahlilan disebut Taghbîr”.
Demikian pula Imam Azhari –rahimahullâh– menjelaskan dalam kitabnya Tahdzîbullughah[11], “Bila mendengar dzikir dan doa yang dilagukan mereka itu bergoyang, maka dari sini mereka dinamakan kaum Mughabbirah”.
Dalam masyarakat Sufi mendengar lantunan syair-syair
yang diiringi dengan gendang dan rebana serta alat musik lainnya lebih
meresap dalam hati mereka dari pada mendengarkan al-Qur’ân. Dan yang
lebih mengherankan adalah biasanya acara-acara tersebut lebih ramai dari
pada shalat berjamâah di masjid.
Kalau berzikir, salawatan, dubaan dan rajaban mereka
lakukan berjama’ah akan tetapi kalau shalat dilaksanakan
sendiri-sendiri, bahkan banyak diantara mereka yang melalaikan shalat.
Apalagi kalau acara-acara tersebut pelaksanaannya sampai larut malam
maka saat waktu shalat subuh masuk mereka mengantuk dan tidur nyenyak,
lalu shalat Shubuhnya lewat. Na’ûzubillâh min dzalik.
Berikut kita sebutkan perkataan para Ulama tentang Tahgbîr:
Yazîd bin Hârun –rahimahullâh– mengatakan, “Tahgbîr adalah bid’ah dhalalah, tiada yang melakukannya kecuali orang fasiq.”[12]
Salah seorang Ulama Syâfi’iyah Abu Thayib
ath-Thobarit mengatakan, “Sesungguhnya apa yang diyakini oleh kelompok
ini (Sufi) adalah menyelisihi ijmâ’ (kesepakatan) kaum Muslimin. Karena
tidak ada diantara mereka yang menjadikan hal itu sebagai agama dan
keta’atan. Menurut pandanganku hal tidak boleh dilakukan di
masjid-masjid dan dijâmi’-jâmi’, karena tempat-tempat tersebut adalah
tempat yang dimuliakan dan dihormati. Perbuatan kelompok ini adalah
menyelisihi ijmâ’ para Ulama”[13]
Berkata Imam Abu Bakar Tharthûsyi –rahimahullâh– ,
“Kelompok ini (Sufi) telah menyelisihi jamâ’ah kaum Muslimin. Karena
menjadikan nyanyinyanyian sebagai agama dan keta’atan. Dan mereka
melakukannya di masjid-masjid dan tempat-tempat yang terhormat lainnya.
Tidak ada seorangpun dari kalangan umat ini yang berpendapat
membolehkannya.”[14]
Kalau kita lihat ajaran Islam, maka kita dapati
bahwa Islam itu berseberangan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang
Sufi tersebut. Berikut ini kita coba kemukan beberapa dalil dari al-
Qur’ân dan Sunnah serta perkataan para Ulama mengenai metode dan gaya
ibadah orang-orang sufi yang tersebut di atas.
Allâh Ta'âla berfirman (yang artinya):
Dan pengaruhilah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu. (QS. al-Isrâ/17:64)
Ayat di atas adalah sanggahan Allâh Ta'âla kepada
Iblis yang enggan sujud, lalu Iblis meminta diberi tangguh sampai hari
kiamat, maka Allâh Ta'âla memberi tangguh kepadanya dan mempersilakannya
memperdaya anak Adam dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan
suaranya.
Menurut Imam Mujâhid –rahimahullâh– salah
seorang pakar tafsir dimasa Tâbi’iin mengatakan: bahwa yang dimaksud
dengan suaramu dalam ayat di atas ialah, “Nyanyi-nyanyian dan seruling”[15].
Allâh Ta'âla berfirman (yang artinya):
Sembahyang mereka di sekitar Baitullâh itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. (QS. al-Anfâl/8:35)
Ayat tersebut adalah celaan bagi kaum musyrikin yang beribadah disekitar Ka’bah dengan bertepuk tangan dan bersorak-sorai.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan
oleh komunitas Sufi ketika mereka melakukan Dubaan atau yang
semisalnya. Mereka bersorak sorai dan bertepuk tangan.
Allâh Ta'âla berfirman (yang artinya):
Dan di antara manusia yang membeli ucapan yang
melalaikan untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allâh Ta'âla tanpa
ilmu, dan menjadikankannya sebagai bahan olok-olokan. Bagi mereka adalah
azab yang menghinakan. (QS. Luqmân/31:6)
Hampir seluruh ahli Tafsir dari kalangan para
Shahabat dan Tâbi’în mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lahwal hadits
(ucapan yang melalaikan) dalam ini adalah nyanyi-nyanyian.[16]
Dalam ayat di atas terdapat celaan dan ancaman bagi
orang yang suka mendengarkan nyanyi-nyanyian. Apabila yang dinyanyikan
itu bait-bait yang menyebut nama Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya serta do’a
dan zikir-zikir yang terdapat dalam al-Qur’ân maka ini adalah bagian
dari memperolok-olok nama Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya serta
ayat-ayat-Nya!? Maka baginya di akhirat kelak adalah azab yang
menghinakan.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَلَكِنْ نَهَيْتُ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ
صَوْتٍ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ خَمْشِ وُخُوهٍ وَشَقِّ جُيُوبٍ وَرَنَّةِ
شَيْطَانٍ
"Akan tetapi aku melarang dari dua suara yang
bodoh dan durhaka; suara ketika ditimpa musibah; memukul muka dan
merobek pakaian serta tangisan (seruling) setan."[17]
Berkata Ibnu Mas’ud –radhiyallâhu 'anhu–, “Nyanyi itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati”[18]
Fudhail Ibnu ‘Iyâdh –rahimahullâh– mengatakan,
“Nyanyi adalah mantera zina, bila mantera zina telah berkumpul bersama
pandangan dan sentuhan, maka sungguh telah sempurna sebab-sebabnya.”[19]
Imam Ahmad –rahimahullâh– penah ditanya tentang
kasidah (syair-syair zuhud yang dilagukan), beliau menjawab, “Itu adalah
bid’ah, tidak boleh ikut duduk bersama mereka.”[20]
Hujjah sufi dalam membolehkan bergoyang saat berzikir
Diantara hujjah mereka dalam memboleh bergoyang
ketika saat berzikir, mereka berhujjah dengan kisah yang disebutkan
dalam sebuah hadits tentang orang Habasyah yang melakukan permainan
pedang di masjid Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.[21]
Jawaban terhadap hujjah orang Sufi tersebut adalah:
- Permainan pedang yang dilakukan orang-orang Habasyah tersebut bukan bergoyang-goyang akan tetapi dalam bentuk atraksi perperangan. Seperti maju menyerang musuh sambil mengayunkan pedang atau mundur sambil menangkis pedang lawan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi –rahimahullâh– dalam kitab beliau Syarah Shahîh Muslim.[22]
- Orang-orang Habasyah melakukan itu sebagai sarana latihan ketangkasan dalam menghadapi musuh, bukan sekedar main-main belaka.
- Tidak ada diantara mereka (orang-orang Habasyah) yang menganggap itu sebagai ibadah dan melakukan gerakan-gerakan serupa ketika mereka berzikir.
Diantara orang-orang Sufi ada pula yang berhujjah
dalam menhentak-hentakkan kaki mereka saat bergoyang dengan kisah Nabi
Ayyûb –'alaihissalam– ketika diperintahkan Allâh Ta'âla menghentakkah
kakinya kebumi.[23]
Jawaban atas hujjah mereka tersebut adalah:
- Nabi Ayyûb –'alaihissalam– melakukan itu atas perintah Allâh Ta'âla agar keluar mata air dari bumi sebagai obat dari penyakit yang beliau derita. Apakah orang-orang sufi menemukan perintah dari Allâh Ta'âla atau Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dalam melakukan hal yang sama ketika berzikir. Apakah orang-orang Sufi memiliki penyakit seperti Nabi Ayyûb –'alaihissalam–?
- Nabi Ayyûb –'alaihissalam– melakukan itu bukan dalam rangka berzikir pada Allâh Ta'âla, atau memandang itu sarana beribadah kepada Allâh Ta'âla. Karena Nabi Ayyûb –'alaihissalam– tidak pernah mengulangi melakukannya ketika beliau telah sembuh. Apalagi melakukannya dalam berzikir ?
- Kisah Nabi Ayyûb –'alaihissalam– telah diketahui oleh para Sahabat sebelum kita, namun tidak ada seorangpun diantara mereka yang menggambil pelajaran dari kisah tersebut dalam metode berzikir, atau mengajurkan hal serupa.
- Ibnu ‘Uqail –rahimahullâh– berkata, “Jika orang-orang sufi berhujjah dengan kisah Nabi Ayyûb –'alaihissalam– dalam perbuatan mereka tersebut. Berarti kita juga boleh berhujjah dengan kisah Nabi Musa –'alaihissalam– yang memukul batu dengan tongkat atas bolehnya memukul muka orang sufi dengan tongkat.”[24]
- Imam Ghazali mengatakan, “Bergoyang dalam berzikir adalah kebodohan
yang ada di atas pundak seseorang, tidak mungkin ia tinggalkan kecuali
dengan kesusahan”.[25]
Di sini Imam Ghazali berpendapat bahwa kebiasaan bergoyang dalam berzikir adalah perbuatan orang yang bodoh dan sulit untuk ditinggal. Kenapa sulit? Karena sudah kecanduan dan menganggapnya sarana ibadah.
Hujah Sufi dalam membolehkan nyanyian
Diantara hujjah orang sufi dalam membolehkan
bernyanyi dalam berzikir, mereka berhujjah dengan sebuah hadits yang
menceritakan tentang dua anak kecil melagukan syair-syair tentang perang
Bu’ats pada hari lebaran di rumah ‘Aisyah –radhiyallâhu 'anha–. Tatkala
Abu Bakar –radhiyallâhu 'anhu– masuk, ia menegur kedua anak kecil
tersebut. Lalu Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam berkata kepada
Abu bakar, “Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar, karena setiap umat
memiliki hari lebaran dan hari ini adalah hari lebaran kita”.[26]
Orang-orang Sufi menjadikan hadits ini sebagai hujjah untuk membolehkan nyanyi secara umum atau dalam berzikir secara khusus.
Jawaban para Ulama terhadap kekeliruan dalam memahami hadits tersebut :
- Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam hanya memberi pengecualian kepada anak-anak kecil pada hari lebaran atau acara pernikahan saja. Adapun orang dewasa tidak ada dalil yang membolehkannya, atau diluar waktu yang disebutkan. Perbuatan itu sama sekali tidak dianggap sebagai sarana ibadah. Adapun orang-orang sufi melakukannya setiap saat dan dianggap sebagai sarana ibadah kepada Allâh Ta'âla. Ditambah lagi yang melakukannya orang-orang yang sudah dewasa. Dan tidak pernah seorangpun dari para Sahabat maupun para Ulama melakukannya apalagi menganjurkannya.
- Jika nyanyi tersebut dilakukan sepanjang waktu berarti tidak ada artinya pengecualian yang terdapat dalam hadits tersebut.
- Abu Bakar –radhiyallâhu 'anhu– mengingkari perbuatan dua anak kecil tersebut karena ia mengetahui itu dilarang oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam sekalipun anak kecil yang melakukannya, akan tetapi Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa hal itu dibolehkan pada hari lebaran bagi anak kecil. Ini membuktikan bahwa hal itu pada dasarnya terlarang.
- Para Ulama juga menjelaskan bahwa syair yang dibolehkan pada hari lebaran khusus bagi anak kecil tersebut dengan syarat tidak mengandung unsur-unsur negatif. Seperti mengandung nilai-nilai kesyirikan, celaan atau kata-kata yang memancing hawa nafsu.
- Syair-syair yang dilagukan anak-anak kecil tersebut tidak seperti lagu-lagu yang ada di zaman sekarang yang diiringi dengan musik dan dengan suara yang mengiurkan. Bahkan sebelumnya dilakukan latihan berkali-kali.
- Dalam lafazh hadits tersebut menyebutkan bahwa kedua anak kecil bukanlah penyanyi. Dijelaskan oleh para Ulama maksudnya bahwa keduanya tidak memiliki kebiasaan menyanyi. Kemudian alasan Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam membolehkannya karena hari itu adalah hari lebaran sebagai saat untuk bergembira bagi anak-anak.
- Jika orang-orang Sufi berhujjah dalam kebiasaan mereka dengan perbuatan anak kecil yang terdapat dalam hadits tersebut. Berarti orang-orang Sufi suka mencontoh dan menyerupai perbuatan anak-anak kecil.
- Berkata Ibnu Hajar al-Asqalâni –rahimahullâh–, “Sekelompok orang-orang Sufi berhujjah dengan hadits ini dalam membolehkan nyanyi dan mendengarkannya baik dibantu alat musik maupun tidak. Cukup untuk membantah paerkataan mereka dengan ungkapan ‘Aisyah –radhiyallâhu 'anha– dalam hadits tersebut “Keduanya bukanlah penyanyi”. Kemudian Ibnu Hajar –rahimahullâh– menukil perkataan Imam Qurthubi –rahimahullâh–, “Adapun bid’ah yang biasa dilakukan orang-orang Sufi adalah hal yang tidak ada perselisihan tentang keharamannya ..... bahkan mereka sampai kepada puncak kebodohan sehingga menjadikannya sebagai ibadah dan amal shaleh serta menganggap hal itu membuahkan kebaikan. Ini adalah peninggalan orang-orang zindiq”.[27]
Kemudian orang-orang Sufi juga berhujjah dalam
perbuatan mereka tersebut dengan pengecualian yang dibolehkan oleh
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam pada saat walimah pernikahan.[28]
Jawabannya adalah adanya pengecualian pada saat
walimah pernikahan itu menunjukkan bahwa di luar acara walimahan
perbuatan itu terlarang. Kalau tidak, tentu tidak perlu dikecualikan
kalau seandainya dibolehkan dalam setiap saat.
2. Ajaran Nasrani
Ajaran Sufi yang di adopsi dari ajaran Nasrani diantaranya adalah Tarbiyah Ruhiyah.
Dalam agama Nasrani tarbiyah ruhiyah dilakukan
dengan beberapa bentuk. Mulai dari menghindari segala kenikmatan dunia,
seperti tidak mengkosumsi sesuatu yang enak dan lezat, tidak memakai
pakaian bagus, menjauhi pernikahan sampai pada tinggkat bersemedi di
gua-gua. Saat mereka menganggap telah mencapai puncak kesucian jiwa,
mereka meyakini bahwa Zat Allâh Ta'âla menyatu dengan diri mereka. Yang
mereka sebut dalam istilah mereka: Menyatunya Lahût dengan Nasût.
Hal serupa juga ditiru oleh orang-orang sufi dalam
mentarbiyah dirinya untuk mencapai tingkat hakikat. Bila mereka telah
sampai pada tingkat hakikat, mereka akan dapat mengetahui hal-hal yang
ghaib sekalipun. Bahkan yang lebih eksrim lagi mereka menganggap diri
mereka telah bersatu dengan Tuhan. Ketika itu mereka meyakini tidak
perlu lagi menjalankan perintahperintah agama. Menurut mereka
perintahperintah agama adalah bagi orang yang belum sampai pada tingkat
hakikat.
Kemudian juga dalam referensi orang-orang sufi sering menukil cerita-cerita rahib Nasrani.
Kesamaan lain adalah tidak menikah dengan alasan
agar lebih fokus beribadah demi mendapatkan surga. Ajaran ini terdapat
dalam Injil Matius fasal 19 ayat 12, yang berbunyi: “Ada orang yang
tidak kawin,... ia membuat dirinya demikian karena kerajaan surga.
Barangsiapa yang dapat melakukan maka hendaklah ia melakukannya”.
Dalam surat Paulus kepada penduduk Karnitus
fasal 7 ayat 1, berbnyi: “Sangat baik bagi seorang lelaki untuk tidak
menyentuh wanita”.
Berkata salah seorang tokoh sufi Abu Sulaiman
ad-Dârâny, “Tiga hal barangsiapa yang mencarinya maka sesungguhnya ia
telah condong pada dunia; mencari kebutuhan hidup, menikahi wanita dan
menulis hadits”.
Jika kita bandingkan apa yang diungkapkan oleh tokoh
Sufi ini dengan apa yang terdapat dalam ajaran Nasrani tidak jauh beda.
Menurut orang sufi menyiksa diri dengan tidak makan dan minum serta tidak
tidur adalah salah satu cara untuk menyucikan jiwa. Bahkan bila ia
sampai mengalami kondisi tidak sadarkan diri, ia akan dibuka baginya
hijab, lalu dari kondisi itu ia akan menerima ilham dan ilmu ladunni.
Bahkan ada diantara mereka yang meyakini akan menyatu dengan Tuhan.
Diantara ajaran Injil Matius fasal 10 ayat 9 dan 10,
berbunyi: “Janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam
ikat pinggangmu. Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan,
janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat”.
Demikian bunyi ayat-ayat Injil Matius tentang
anjuran meninggalkan segala hal yang dibutuhkan oleh seseorang dalam
mempertahankan hidup dalam perjalanannya. Hal yang sama akan kita
dapatkan pula dari ungkapan-ungkapan tokoh sufi sebagaimana yang sudah
sebutkan di atas.
Bagaimana pula aqidah hulûl dalam agama Nasrani?
Mari kita simak apa yang terdapat dalam Injil Matius pada
fasal 10 ayat 20: “Karena bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh
Bapamu; Dia yang akan berkata-kata di dalam kamu”.
Artinya ruh Tuhan menyusup kedalam diri seorang
rahib yang sudah layak untuk di masuki oleh Roh tersebut. Setelah
melalui proses penyucian jiwa dengan metode seperti yang kita sebutkan
sebelumnya. Demikian pula orang sufi meyakini hal yang sama, bila seorang
wali telah sampai pada tingkat hakikat maka sebahagian sifat Tuhan akan
menyusup ke dirinya. Menurut mereka dari situ seorang sufi akan memiliki
atau mengalami hal-hal yang diluar kemampuan manusia yang mereka sebut
sebagai karamah. Jika kita membaca tentang biografi dan kisah orang-orang
sufi kita akan mendapatkan cerita yang menggambarkan hal tersebut.
Bila hal di atas kita bandingkan dengan ajaran Islam
akan terlihat hal yang sangat bertolak belakang. Islam memrintahkan
untuk beramal akan tetapi juga melarang melupakan kenikmatan dunia yang
menjadi bagian mereka. Yang dilarang Islam adalah mendahulukan
kesenangan dunia dan melalaikan kesenangan akhirat. Islam adalah agama
yang seimbang dalam segala hal; baik dalam ideologi maupun ibadah dan
akhlak.
Firman Allâh Ta'âla (yang artinya):
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allâh Ta'âla kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
sebagaimana Allâh Ta'âla telah berbuat baik kepadamu. (QS. al-Qashash/28:77)
Dalam ayat ini sangat jelas Allâh Ta'âla menyuruh
kita untuk mencari karunia-Nya baik yang berhubungan dengan kebahagian
akhirat maupun kenikmatan duniawi.
Dan firman Allâh Ta'âla (yang artinya):
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
haramkan apa-apa yang baik yang telah Allâh Ta'âla halalkan bagi kamu,
dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allâh Ta'âla tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang
halal lagi baik dari apa yang Allâh Ta'âla telah rezekikan kepadamu". (QS. Al-Maidah/5:87-88)
Dalam ayat ini, Allâh Ta'âla dengan jelas melarang
kita melampaui batas yang telah ditentukan Allâh Ta'âla , seperti
mengharamkan seseuatu yang dihalalkan Allâh Ta'âla, melakukan ibadah
yang tidak pernah diperintahkan Allâh Ta'âla.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits, ada tiga orang
Sahabat mendatangi sebagian isteri Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam
untuk bertanya tentang bagaimana ibadah beliau jika beliau berada di
rumah beliau. Ketika mereka mendengar jawaban dari isteri Nabi
shallallâhu 'alaihi wa sallam, mereka memandang bahwa ibadah mereka
sangat sedikit sekali bila dibanding dengan ibadah Nabi shallallâhu
'alaihi wa sallam yang sudah diampuni dosanya yang berlalu dan yang akan
datang. Lalu mereka ingin bersungguh-sungguh untuk beribadah. Diantara
mereka ada yang ingin shalat malam tanpa tidur, yang lain ingin berpuasa
setiap hari tanpa berbuka seharipun, yang ketiga tidak mau menikah.
Saat berita itu sampai kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, beliau
marah dan menasehati mereka bertiga secara langsung dan juga menasehati
kaum Muslimin. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya):
Apakah kalian yang mengatakan begini-begini? Demi
Allâh saya adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada
Allâh diantara kalian. Akan tetapi saya berpuasa juga berbuka, saya
shalat malam numun juga tidur, dan saya mengawini wanita. Barangsiapa
tidak suka pada sunnahku! Maka ia tidak termasuk golonganku.
Bila kita lihat kehidupan Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wa sallam beliau juga makan daging, minum susu, menyisir rambut
dan memakai wangi-wangian.
Ketika beliau ditanya tentang sesorang yang memakai
pakaian bagus apakah itu termasuk kategori sombong? Beliau n menjawab
tidak, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang
lain.
Benarkah disebut karamah, hal-hal yang
dimiliki para sufi setelah mereka melakukan berbagai bentuk pratek
ibadah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya?
Para Ulama kita menjelaskan tidak semua hal luar
biasa yang dialami atau terjadi pada seseorang dinilai sebagai karamah
dari Allâh Ta'âla. Karena hal-hal luar biasa itu ada tiga bentuk; Ada
yang disebut karamah dan ada pula yang berbentuk tipuan setan, kemudian
ada pula yang disebut sebagai tanda-tanda semakin dekatnya hari kiamat.
Karena sebelum hari kiamat akan banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang
aneh-aneh.
Bisa disebut karamah bila seseorang tersebut
melaksanakan ibadah-ibadah yang berdasarkan ilmu yang terdapat dalam
al-Qur’ân dan Sunnah. Lalu ia mengamalkan ilmunya tersebut dengan
meneladani Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dan para sahabat –radhiyallâhu'anhum–.
Kemudian tidak terindikasi terlibat dalam berbagai acara-acara yang
menyimpang dari ajaran dan Sunnah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa
sallam.
Namun bisa juga hal luar biasa yang dialami atau
terjadi pada seseorang itu sebagai tipuan dari setan. Sebagaimana
terjadi pada orangorang yang merubah syariat yang dibawa Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam dan menggantinya dengan ajara-ajaran yang
direkayasanya sendiri atau setan yang merekayasa utnuk mereka. Seperti
yang pernah dialami oleh salah seorang teman kami. Ia pernah ditawari
oleh seseorang yang dianggap wali/kiyai untuk memiliki ilmu kebal, tahan
pedang dan senjata tajam lainnya. Sang wali memiliki ilmu tersebut dan
bisa diturunkan kepadanya. Caranya sangat mudah, yaitu berzikir selama
empat puluh hari dalam kelambu yang ada dalam rumahnya. Kemudian saat
berzikir ia membayangkan wajah sang wali dengan melihat foto yang
terpajang dalam kelambu tersebut.
Jika seseorang yang tidak memiliki ilmu agama yang
cukup, akan melihat secara sepintas bahwa hal itu tidak ada masalah dan
menilainya sebagai perbuatan baik, karena berzikir adalah ibadah yang
mulia.
Namun bagi orang yang mengerti agama dan aqidah yang benar akan menilai bahwa perbuatan itu menyimpang dari beberapa segi:
Pertama, dari segi tujuan zikir
yaitu untuk mendapatkan kekebalan? Kalau dengan cara berzikir bisa kebal
dari senjata tajam pasti Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dan
para Sahabat orang yang pertama sekali melakukannya dan memperoleh
keutamaan tersebut. Namun dalam kenyataan mereka bisa cedera bahkan
meninggal dalam peperangan?!
Kedua, Dari segi mengkhususkan
waktu dan tempat ? Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam tidak pernah
mengajurkan dan menentukan waktu selama empat puluh hari secara
terus-menerus berzikir. Atau harus dalam kelambu yang di dalamnya
dipajang foto sang wali/kiyai ? Akan tetapi Nabi shallallâhu 'alaihi wa
sallam mengajurkan berzikir kapan dan dimana saja, tanpa perlu
meninggalkan perkerjaaan dan kewajiban-kewajiban agama yang lainnya.
Ketiga, Jika ia berzikir selama
empat puluh hari terus-menerus dan tidak boleh keluar dari tempat
semediannya? Bagaimana shalat berjam’ahnya dan shalat Jum’atnya ? Ini
adalah cara setan menyesatkan seseorang yaitu mengutamakan amalan sunnah
daripada amalan-amalan wajib. Atau mengutamakan amalanamalan bid’ah
daripada amalan-amalan sunnah. Dan lebih sesat lagi menjadikan
perkara-perkara yang diharamkan dalam agama sebagai sarana ibadah!
Seperti nyanyian dan jogetan.
Keempat, Kenapa harus membayangkan
wajah sang wali/kiyai saat berzikir tersebut ? Kalau yang dibayangkan
wajah sang wali/kiyai saat berzikir ini berarti menjadikannya sebagai
tuhan yang terdapat dalam kadungan makna zikir yang dibacanya?
Dari sini dapat kita ukur apakah perkara yang luar
biasa yang dialami seseorang apakah datang dari Allâh Ta'âla atau datang
dari setan ? Dalam kehidupan orang-orang yang dianggap memilki karamah
sangat banyak cerita-cerita serupa. Padahal itu buka karamah tapi
tipudaya setan dalam menyesatkan manusia. Bagaimana mungkin orang yang
menyimpang dalam menjalankan ajaran agama akan memiliki karamah?!
Apakah ada orang sesat dan orang kafir sekalipun memiliki peristiwa-peristiwa yang luar biasa?
Jawabannya ada, seperti Dajjal dan beberapa kisah
nabi-nabi palsu, diantara mereka ada yang bisa menghilang dari
penglihatan manusia. Karena ia disembunyikan oleh setan-setan yang
membelanya.
Demikian pula Dajjal dapat melakukan hal-hal yang
luar biasa, sebagai fitnah bagi umat yang hidup dimasanya. Kebanyakan
manusia tertipu oleh Dajjal. Karena ia bisa menghidupkan seseorang yang
sudah mati dan mendatangkan hewan ternak yang banyak. Namun dijelaskan
oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam yang hidup itu bukan orang
telah mati, akan tetapi setan yang menjelma menyerupai orang yang sudah
mati tersebut dan menjelma menjadi onta-onta yang banyak.[29]
Demikian pula sebelum hari Kiamat akan banyak
terjadi peristiwa-peristiwa yang luar biasa atau aneh di tengah-tengah
kehidupan manusia, sebagai tanda-tanda semakin dekatnya hari Kiamat.
Sebagai contohnya hadits yang diriwayat Abu Hurairah –radhiyallâhu'anhu–
ia menceritakan, “Seekor Srigala mendekati gerombolan kambing yang
digembalakan, lalu ia menangkap satu ekor kambing dan lari. Ketika itu
sang pengembala langsung mengejar Srigala tersebut dan dapat
menyelamatkan kambing yang ditangkapnya. Lalu Srigala itu naik ke sebuah
bukit yang rendah seraya berkata kepada si pengembala kambing, “Engkau
telah merebut rizki yang diberikan Allâh Ta'âla kepadaku, engkau telah
merebutnya dariku.” Sang pengembala keheranan dan berkata, “Demi Allâh
aku belum pernah melihat Srigala berbicara seperti pada hari ini”.
Srigala menimpali ungkapan si pengembala, “Lebih ajib lagi seorang
laki-laki yang berada diantara dua bukit batu. Ia menceritakan kepada
kalian apa yang telah berlalu dan apa yang akan datang”. Si pengembala
itu adalah seorang Yahudi. Lalu ia menemui Nabi shallallâhu 'alaihi wa
sallam dan masuk Islam. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam
membenarkan kisahnya tersebut, kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya
itu adalah salah satu tanda dari tanda-tanda dekatnya hari kiamat. Boleh
jadi seseorang keluar rumah, ia tidak pulang sampai berbicara kepadanya
sendal dan tongkatnya memberitahukan tentang apa yang menimpa
keluarganya setelah ia tinggalkan”[30]
Dari kisah di atas ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil:
Pertama, peristiwa yang luar biasa
tidak mutlak sebagai karamah bagi seseorang yang mengalaminya seperti
kisah di atas yang dialami oleh seorang Yahudi yang belum masuk Islam.
Kedua, peristiwa yang luar biasa
yang dialami seseorang bukanlah mutlak sebagai ukuran kemuliaannya
disisi Allâh Ta'âla. Karena boleh jadi peristiwa tersebut sebagai salah
satu tanda dari tanda-tanda telah dekatnya hari Kiamat.
Ketiga, peristiwa luar biasa
tidaklah khsusus pada orang-orang shaleh, akan tetapi bisa dialami oleh
orang kafir bahkan binatang sekalipun. Seperti dalam kisah srigala ini,
sandal dan tongkat bisa berbicara. Bukan berarti bahwa srigala, sandal
dan tongkat itu memilki karamah atau kesaktian! Dan bisa diminta
menyembuhkan penyakit dan lain sebagainya. Demikian pula manusia
walaupun ia mengalami hal-hal yang luar biasa bukan berarti ia kita
sembah dan kita seru, kita minta untuk melakukan sesuatu untuk kita.
Seperti mencarikan jodoh, memberi ajimat pelaris, minta kesembuhan dan
lain sebagainya.
Demikian yang dapat kami jelaskan, sebetulnya masih
banyak ajaran-ajaran agama lain yang diadopsi oleh komunitas sufi,
seperti ajaran agama Majusi, Hindu, Budha, Konghucu, kepercayaan
animisme, agama Yunani kuno dan lain-lain. Akan tetapi sisisisi yang
diadopsi hampir sama. Seperti bergoyang-goyang ketika berzikir, ajaran
seperti ini terdapat dalam ajaran Yahudi, Animisme, Hindu dan Budha.
Demikian pula melagukan ayat-ayat dan syair-syair zuhud, ajaran seperti
ini terdapat dalam ajaran Hindu, Budha dan Nasrani.
Karena antara satu agama dengan agama yang lainnya
dari agama-agama tersebut saling memilki kemiripan dari sisi teologi dan
sistem peribadatan dalam mencapai kesucian jiwa. Atau mungkin diantara
agama-agama tersebut ada yang mengadopsi ajaran agama lain, seperti
ajaran Trinitas dalam agama Nasrani diambil dari ajaran Yunani kuno.
Allâhu Al hady Ila Sawaai As Sabîl.
Disusun Oleh Ustadz Dr. Ali Musri Semja Putra, M.A
Posting Komentar Blogger Facebook