A. Pengantar
Sunnah Nabawiyyah sebagai penjelas kitab suci Al-Qur’an telah
membahas secara gamblang tentang masalah-masalah “ilmu ghaib” yang
berada di luar alam kita seperti Malaikat, Jin, Arsy, Kursi dan
sebagainya. Sunnah juga membahas secara detail tentang kejadian setelah
kematian berupa nikmat dan siksa kubur, kebangkitan hari kiamat,
syafa’at, timbangan, shirat, surga, neraka dan sebagainya. Semua ini
telah dibahas tuntas dalam Sunnah Nabawiyyah Shahihah sehingga tiada
peluang bagi seseorang untuk ragu-ragu dalam masalah ini.
Perlu kita ingat bersama bahwa pembicaraan kita adalah mengenai
hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah saja. Adapun hadits-hadits
yang tidak shahih, maka hal itu di luar tema pembicaraan kita dan telah
dimaklumi bersama bahwa hal itu tidak bisa dijadikan sandaran dalam
agama.
Sebagai seorang muslim sejati, kita harus pasrah menerima
hadits-hadits shahih tersebut dan tidak mementahkannya hanya karena
tidak diterima oleh logika kita atau dimustahilkan oleh akal pikiran
kita. Kita semua tahu bahwa manusia pada zaman sekarang ini telah mampu
membuat berbagai kecanggihan teknologi yang seandainya saja diberitakan
kepada salah seorang yang hidup dahulu kala, niscaya dia akan
memustahilkannya dan mungkin menvonis penceritanya sebagai orang gila.
Kalau demikian, lantas bagaimana dengan kemampuan Allah, Dzat Yang tidak
ada sesuatupun di langit dan di bumi yang dapat mengalahkannya?!!
Oleh karenanya para ulama menegaskan bahwa agama mungkin saja datang
dengan sesuatu yang membuat bingung akal seorang, tetapi tidak mungkin
dia datang dengan sesuatu yang dimustahilkan akal. Dari sinilah maka
tidak mungkin dalil bertentangan dengan akal selama-lamanya. Apabila ada
yang terkesan demikian, maka perlu dikoreksi, kemungkinan dalilnya yang
tidak shahih, atau dalil akalnya yang tidak benar[1].
Saudara pembaca yang semoga selalu dirahmati Allah, kajian kita kali
ini masuk dalam kategori kaidah di atas, lantaran haditsnya shahih
menurut undang-undang ilmu hadits dan merupakan masalah ghaib sehingga
harus diterima oleh seorang muslim dengan pasrah tanpa
memertentangkannya dengan logikanya. Namun kenapa masih banyak suara
sumbang?! Mengapa hadits ini masih sering diobok-obok oleh orang?!
Semoga tulisan ini dapat menggugah kita dari kelalaian kita selama ini
dan menghilangkan kerancuan yang melekat pada hati kita selama ini.
Amiin Ya Rabbal Alamin.
B. TAKHRIJ HADITS
Ketahuilah wahai saudaraku tercinta -semoga Allah selalu memberkahi anda- bahwa hadits pembahasan kita ini derajatnya adalah SHAHIH tanpa
sedikitpun keraguan di dalamnya, diriwayatkan oleh para ulama
terpercaya dari sahabat Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Umar, Abu
Hurairah, Anas bin Malik dan sebagainya. Berikut keterangannya:
- Riwayat Abu Sa’id al-Khudri
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يُؤْتَى بِالْمَوْتِ كَهَيْئَةِ
كَبْشٍ أَمْلَحٍ فَيُنَادِي بِهِ مُنَادٍ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ !
فَيَشْرَئِبُوْنَ وَيَنْظُرُوْنَ, فَيَقًُوْلُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟
فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ, هَذَا الْمَوْتُ, وَكُلُّهُمْ قَدْ رَآهُ, ثُمَّ
يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ النَّارِ فَيَشْرَئِبُوْنَ وَيَنْظُرُوْنَ,
فَيَقُوْلُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ, هَذَا
الْمَوْتُ وَكُلُّهْمْ قَدْ رَآهُ فَيُذْبَحُ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ
ثُمَّ يَقُوْلُ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُوْدٌ فَلاَ مَوْتَ, وَيَا
أَهْلَ النَّارِ خُلُوْدٌ فَلاَ مَوْتَ, ثُمَّ قَرَأَ (وَأَنْذِرْهُمْ
يَوْمَ الْحَسْرَةِ إِذْ قُضِيَ الأَمْرُ وَهُمْ فِيْ غَفْلَةٍ وَهُمْ لاَ
يُؤْمِنُوْنَ) وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى الدُّنْيَا
Dari Abu Sa’id al-Khudri berkata: Rasulullah bersabda: “Kematian
didatangkan pada bentuk kambing berkulit hitam putih, lalu seorang
penyeru memanggil: Wahai penduduk surga! Mereka
menengok dan melihat, penyeru itu berkata: Apakah kalian mengenal
ini? Mereka menjawab: Ya, ini adalah kematian, mereka semua telah
melihatnya. Kemudian penyeru memanggil: Wahai penduduk neraka! Mereka
menengok dan melihat, penyeru itu berkata: Apakah kalian mengenal ini?
Mereka menjawab: Ya, ini adalah kematian, mereka semua telah melihatnya,
lalu disembelih diantara surga dan neraka, lalu berkata: Wahai penduduk
surga, kekekalan tiada kematian setelahnya, dan hai penduduk neraka,
kekekalan dan tiada kematian setelahnya, lalu beliau membaca (Dan
berilah mereka peringatan tatkala ditetapkan perkara sedangkan mereka
dalam kelalaian dan mereka tidak beriman). Dan beliau mengisyaratkan
dengan tangannya ke dunia.
SHAHIH. Diriwayatkan:
- Bukhari 4730, 6549,
- Muslim 2849,
- Ahmad 3/9,
- Tirmidzi 3156,
- Nasai dalam Sunan Kubra 11316,
- al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 4366 dan Ma’alim Tanzil 1/232,
- al-Ajurri dalam asy-Syari’ah 944,
- Abu Nuaim dalam Hilyah Auliya’ 8/184,
- ath-Thabari dalam Jamiul Bayan 16/87,
- al-Baihaqi dalam al-Ba’tsu wa Nusyur 640,
- Abdu bin Humaid dalam al-Muntakhab 912.
- Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”
- Al-Baghawi berkata: “Hadits ini disepakati keshahihannya”.
2. Riwayat Abdullah bin Umar
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِذَا صَارَ أَهْلُ الْجَنَّةِ إِلَى
الْجَنَّةِ وَأَهْلُ النَّارِ إِلَى النَّارِ جِيْءَ بِالْمَوْتِ حَتَّى
يُجْعَلَ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ يُذْبَحُ ثُمَّ يُنَادِي
مُنَادٍ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ لاَ مَوْتَ وَيَا أَهْلَ النَّارِ لاَ
مَوْتَ فَيَزْدَادُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَرَحًا إِلَى فَرَحِهِمْ
وَيَزْدَادُ أَهْلُ النَّارِ حُزْنًا إِلَى حُزْنِهِمْ
Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah
bersabda: “Apabila penduduk surga telah memasuki surga dan penduduk
neraka memasuki neraka, maka didatangkan kematian lalu diletakkan
diantara surga dan neraka kemudian disembelih kemudian diserukan oleh
penyeru: Wahai enduduk surga tiada kematian lagi dan wahai penduduk
neraka tiada kematian lagi. Penduduk surga semakin bertambah kegembiraan
mereka dan penduduk neraka semakin bertambah kesedihan mereka”.
SHAHIH. Diriwayatkan:
- Bukhari 6548,
- Muslim 2850,
- Ahmad 2/118, 120, 121,
- ath-Thabrani dalam al-Mu’jam Kabir 13337,
- Abu Nuaim dalam Hilyah Auliya’ 8/183-184,
- al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 4367,
- Ibnu Adi dalam al-Kamil 5/1680,
- al-Baihaqi dalam al-Ba’ts wa Nusyur 642
- Al-Baghawi berkata: “Hadits disepakati keshahihannya”.
3. Riwayat Abu Hurairah
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله
عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يُؤْتَى
بِالْمَوْتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُوْقَفُ عَلىَ الصَّرَاطِ فَيُقَالُ :
يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ ! فَيَطَلَّعُوْنَ خَائِفِيْنَ وَجِلِيْنَ أَنْ
يَخْرُجُوْا مِنْ مَكاَنِهِمْ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ, ثُمَّ يُقَالُ : يَا
أَهْلَ النَّارِ فَيَطَلَّعُوْنَ مُسْتَبْشِرِيْنَ فَرِحِيْنَ أَنْ
يَخْرُجٌوْا مِنْ مَكَانِهِمْ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ, فَيُقَالُ : هَلْ
تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ قَالُوْا : نَعَمْ, هَذَا الْمَوْتُ, قَالَ :
فَيُؤْمَرُ بِهِ فَيُذْبَحُ عَلَى الصِّرَاطِ ثُمَّ يُقَالُ
لِلْفَرِيْقَيْنِ كِلاَهُمَا : خُلُوْدٌ فِيْمَا يَجِدُوْنَ لاَ مَوْتَ
فِيْهَا أَبَدًا
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah
bersabda: Kematian didatangkan pada hari kiamat lalu diletakkan di atas
shirat (jembatan) lalu diserukan: Wahai penduduk surga! Mereka
mengintip ketakutan untuk keluar dari tempat mereka. Kemudian dikatakan:
Wahai penduduk neraka! Mereka mengintip penuh gembira dengan harapan
keluar dari tempat mereka, lalu dikatakan: Apakah kalian mengenal ini?
Mereka menjawab: Ya, ini adalah kematian, kemudian diperintahkan untuk
disembelih di atas shirat dan dikatakan kepada kedua golongan tersebut:
Kekekalan apa yang kalian dapati, tiada kematian di dalamnya
selama-lamnya.
HASAN SHAHIH. Diriwayatkan:
- Ahmad 2/261,
- Ibnu Majah 4327,
- Ibnu Hibban dalam Shahihnya 7450,
- al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/83,
- ad-Darimi 2814,
- al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah 941,
- Abu Ishaq bin Harb dalam Musnad Abu Hurairah 6,
- Abdu bin Humaid dan Ibnu Mardawaih sebagaimana dalam ad-Durr Mantsur 1/102 oleh as-Suyuthi.
- Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih, sesuai syarat Muslim”.
- Al-Mundziri dalam at-Targhib wa Tarhib 3/1394: “Riwayat Ibnu Majah dengan sanad jayyid (bagus)”.
- Syaikh al-Albani berkata dalam Shahih Ibnu Majah: “Hasan Shahih”.
4. Riwayat Anas bin Malik
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ :
قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : يُؤْتَى بِالْمَوْتِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُ كَبْشٌ أَمْلَحٌ فَيُوْقَفُ بَيْنَ الْجَنَّةِ
وَالنَّارِ ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ !
فَيَقُوْلُوْنَ : لَبَّيْكَ رَبَّنَا, قَالَ : فَيُقَالُ : هَلْ
تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ رَبَّنَا, هَذَا الْمَوْتُ,
ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ النَّارِ ! فَيَقُوْلُوْنَ :
لَبَّيْكَ رَبَّنَا, قَالَ : فَيُقَالُ لَهُمْ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟
فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ رَبَّنَا, هَذَا الْمَوْتُ, فَيُذْبَحُ كَمَا
تُذْبَحُ الشَّاةُ فَيَأْمَنُ هَؤُلاَءِ وَيَنْقَطِعُ رَجَاءُ هَؤُلاَءِ
Dari Anas bin Malik berkata:
Rasulullah bersabda: Kematian didatangkan pada hari kiamat seakan
kambing berkulit hitam putih lalu diletakkan diantara surga dan neraka
dan diserukan oleh penyeru: Wahai penduduk surga! Mereka mengatakan:
Kami penuhi panggilanmu wahai Rabb kami, lalu dikatakan: Apakah kalian
mengenal ini? Mereka menjawab: Ya, wahai Rabb kami, ini adalah kematian.
Kemudian diserukan oleh penyeru: Wahai penduduk neraka! Mereka
mengatakan: Kami penuhi panggilanmu wahai Rabb kami, lalu dikatakan:
Apakah kalian mengenal ini? Mereka menjawab: Ya, wahai Rabb kami, ini
adalah kematian, kemudian disembelih sebagaimana kambing disembelih,
maka mereka (penduduk surga) merasa aman dan mereka (penduduk neraka)
putus harapan mereka.
SHAHIH. Riwayat:
- Abu Ya’la dalam Musnadnya 5/278,
- ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath 3672,
- al-Bazzar 3557 -Kasyful Astar-
- Al-Haitsami berkata: “Para perawinya perawi shahih kecuali Khalid ath-Thahi dan dia tsiqah (terpercaya)”.
- Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib wa Tarhib 3/1394: “Riwayat Abu Ya’la, Thabrani, al-Bazzar dan sanad mereka shahih”. Dan disetujui al-Albani dalam Shahih Targhibnya.
Walhasil, sebagaimana
yang anda lihat sendiri wahai saudaraku, hadits ini derajatnya shahih,
diriwayatkan oleh para ulama hadits terpercaya dalam kitab-kitab mereka.
Maka janganlah anda mudah terpedaya dengan hembusan syubhat yang
menantang di hadapan anda, bahkan gulingkanlah dia dengan kekuatan ilmu
yang anda miliki. Jadilah dan banggalah dirimu sebagai pembela
Rasulullah dan janganlah merasa takut, sesungguhnya pasukan Allah pasti
akan menang!!
.
C. MENYINGKAP TIRAI SYUBHAT
Setelah membawakan dua hadits di atas dari riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa’id al-Khudri, penulis Kaifa Nata’amal Ma’a Sunnah Nabawiyyah
hal. 160-161 membuat suatu pertanyaan meragukan: “Tahukah anda
bagaimana cara memahami hadits ini? Bagaimana kematian disembelih?
Ataukah kematian mengalami mati?
Al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi berkata: “Hadits ini dianggap rumit
karena bertentangan dengan logika karena kematian adalah sifat dan sifat
tidak berubah menjadi dzat, lantas bagaimana kok disembelih? Oleh
karenanya sebagian kelompok mementahkan keabsahan hadits ini dan
menolaknya. Kelompok lainnya mentakwil (menafsirkan tidak sesuai
dhahirnya) seraya mengatakan: “Ini adalah majaz (kata kiasan) bukan
hakekat sebenarnya”. Lainnya lagi menimpali: “Yang benar adalah
disembelih seperti hakekatnya, tetapi yang disembelih adalah malaikat
pencabut nyawa, semua orang mengenalnya karena dialah yang mencabut
nyawa mereka”. Al-Hafizh mengatakan: “Pendapat ini disetujui oleh
kalangan mutaakhirin (belakangan)”.
Semua penafsiran ini adalah untuk lolos dari menfafsirkan hadits
secara hakekatnya yang bertentangan dengan logika sebagaimana kata Ibnul
Arabi.
Cara ini lebih utama daripada menolak hadits, karena hadits ini telah
shahih dari jalur-jalur terpercaya dari banyak sahabat. Sungguh
merupakan tindakan serampangan kalau hadits ini ditolak padahal bisa
kita tafsirkan seperti di atas…”.
Jawaban:
Sebelumnya terlebih dahulu kita berterima kasih kepada penulis di
atas, karena beliau sedikit meringankan beban kita, lantaran beliau
sepakat dengan kita tentang keabsahan hadits ini, bahkan beliau
menegaskan bahwa merupakan tindakan ngawur kalau kita menolak
keshahihan hadits ini. Sekali lagi kami berterima kasih atas pengakuan
ini, namun masih tersisa masalah lain yang masih mengundang tanda tanya
yang gatal di pikiran kita semua, yaitu apakah hadits ini secara
hakekatnya ataukan dia hanya sekedar majaz seperti yang dikuatkan oleh
penulis di atas[2]?!! Inilah yang akan kita singkap dalam point-point berikut ini:
.
Pertama: Masalah Keimanan
Kaidah yang harus kita tanamkan bersama dalam masalah ini dan juga
masalah-masalah keyakinan terhadap masalah ghaib lainnya adalah iman
terhadap khabar yang datang dari Allah, sebagaimana firmanNya:
هُدََى لِلْمُتَّقِيْنَ . الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ
Petunjuk bagi orang-orang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib. (QS. Al-Baqarah: 3)[3]
Oleh karena para ulama dan imam seperti Sufyan ats-Tsauri, Malik bin
Anas, Ibnul Mubarak, Ibnu Uyainah, Waki’ dan sebagainya mereka
meriwayatkan hadits ini kemudian mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan
dan diimani tanpa ditanyakan: Bagaimana? Inilah yang dipilih oleh ahli
hadits, yaitu meriwayatkan hadits ini dan diimani sebagaimana datangnya
tanpa dikhayalkan atau ditanyakan: Bagaimana?[4].
Dari sini anda tahu rahasia kenapa para ulama mencantumkan masalah
ini dalam kitab-kitab aqidah, semisal Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Al-Iqtishad fil I’tiqad hal. 194, Ibnu Qudamah dalam Lum’ah I’tiqad hal.133 -Syarh Ibnu Utsaimin- , Shiddiq Hasan Khan dalam Qathfu Tsamar hal. 125, bahkan dalam kitabnya Juz’ fiihi Imtihan Sunni Minal Bid’i
hal. 343, Abdul Wahid asy-Syirazi menjadikan masalah ini sebagai
pembeda antara ahli Sunnah dengan ahli bid’ah, beliau mengatakan: “Kalau
ada yang ditanya apakah maut akan didatangkan dan disembelih ataukah
tidak? Apabila dia menjawab: Disembelih antara surga dan neraka, maka
dia ahlus Sunnah. Namun apabila dia mengingkarinya maka dia ahli
bid’ah”.
Jadi, masalah ini adalah masalah keyakinan dan keimanan yang di luar kapasitas akal seorang[5],
yang harus diterima oleh seorang muslim dengan penuh kepasrahan. Kita
berdoa kepada Allah agar menjadikan kita termasuk hamba-hambaNya yang
beriman.
.
Kedua: Hakekat Atau Majaz?!
Ada kaidah penting dan populer di kalangan ulama yang harus kita
fahami juga dalam masalah ini, yaitu sebuah kaidah yang berbunyi:
الأَصْلُ فِي الْكَلاَمِ
الْحَقِيْقَةُ فَلاَ يُعْدَلُ بِهِ إِلَى الْمَجَازِ -إِنْ قُلْنَا بِهِ-
إِلاَّ إِذَا تَعَذَّرَتِ الْحَقِيْقَةُ
Kaidah asal suatu ungkapan adalah
hakekatnya, tidak boleh dibawa kepada majaz (kiasan) –kalau kita
berpendapat ada majaz- kecuali apabila tidak mungkin diartikan secara
hakekatnya[6].
Sebagai contoh sederhana: Lafadz (الأَسَدُ), pada asalnya dia
bermakna singa, salah satu hewan buas. Apabila kita mendapati kata
tersebut, maka pada asalnya adalah bermakna binatang singa, kecuali
kalau ada indikasi yang menghalangi kita untuk mengartikan secara
hakekatnya, seperti dalam kalimat berikut:
رَأَيْتُ الأَسَدَ يَخْطُبُ الْجُمُعَةَ عَلَى الْمِنْبَرِ
Saya melihat singa khutbah jumat di atas minbar.
Dalam kalimat ini, tidak mungkin “singa” bermakna hewan, tetapi
maksudnya adalah seorang pemberani, karena ada indikasi kuat yang
mengahalangi kita untuk mengartikan secara hakekatnya.
Bentuk penerapan kaidah ini ke dalam hadits pembahasan adalah kata
“maut” tetap kita artikan secara zhahirnya yaitu kematian, sampai ada
indikasi kuat yang memalingkan dari makna aslinya. Wallahu A’lam.
Ketiga: Jangan Ragukan Kemampuan Allah!!
Hal ini juga harus kita yakini bersama bahwa Allah Maha mampu, tidak
ada sesutupun yang tidak mampu Dia lakukan. Oleh karenanya, janganlah
kita ukur kemampuan Allah dengan kemampuan makhluk, sebagaimana jangan
kita ukur masalah akherat dengan masalah dunia, karena hal itu di luar
kapasitas akal kita. Berikut beberapa dalil yang semoga bisa dijadikan
sebagai gambaran bahwa perubahan dari sifat kepeda benda bukanlah suatu
yang mustahil bagi Allah. Allah telah mengkhabarkan bahwa Dia akan
menimbang amal perbuatan hambaNya:
ونضع الموازين القسط ليوم القيامة فلا تظلم نفس شيئا وإن كان مثقال حبة من خردل أتينا بها وكفى بنا حاسبين
Kami akan memasang timbangan yang
tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seorang barang
sedikitpun. Dan jika (amalan) itu hanya seberat biji sawi pun pasti Kami
mendatangkan (pahala)nya dan cukup Kami sebagai pembuat perhitungan. (QS. Al-Anbiya’: 47)
Hal ini harus kita yakini bersama, sekalipun secara akal kita yang
terbatas bahwa amal perbuatan bukanlah benda yang bisa ditimbang.
اقْرَؤُوْا الزَّهْرَاوَيْنِ
الْبَقَرَةَ وَسُوْرَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ
Bacalah dua bunga, surat Al-Baqarah dan surat Ali Imron, karena keduanya akan datang pada hari kiamat seperti naungan.[7]
Dan dalam hadits tentang adzab dan nikmat kubur, diantaranya Nabi mengkhabarkan:
وَيَأْتِيْهِ رَجُلٌ حَسَنُ
الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيْحِ فَيَقُوْلُ : أَبْشِرْ
بِالَّذِيْ يَسُرُّكَ, هَذَا يَوْمُكَ الَّذِيْ كُنْتَ تُوْعَدُ,
فَيَقُوْلُ لَهُ : مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِئُ بِالْخَيْرِ؟
فَيَقُوْلُ : أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ
Lalu datang padanya seorang berwajah
tampan, berbaju bagus, dan aromanya wangi seraya mengatakan:
Bergembiralah dengan hari yang menyenangkanmu, haru yang engkau
dijanjikan untuknya, si mayit mengatakan: Siapakah dirimu, wajahmu
seperti wajah orang yang datang dengan kebaikan, dia menjawab: Saya
adalah amalmu yang shalih. [8]
Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang serupa. Nah, kalau
demikian apakah mustahil kalau Allah akan merubah kematian dalam bentuk
kambing kemudian disembelih antara surga dan neraka?!! Apakah hal itu
sulit bagi Allah wahai hamba Allah?!! Tidak, demi Allah, kecuali bagi
orang-orang yang lemah imannya. [9]
.
Keempat: Komentar Ulama
Sebagaimana biasanya dalam tulisan-tulisan lainnya, metode dalam
tulisan kami hanyalah menyusun dan menukil warisan peninggalan para
ulama kita dalam kitab-kitab mereka, kami tidak mengada-ngada atau
membuat sesuatu yang baru dalam agama. Demikian halnya masalah ini, kami
dibimbing oleh para ulama kita dalam memahami hadits ini. Berikut
sedikit nukilan komentar mereka:
1. Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata:
“Kambing dan sembelihan dan persaksian penduduk Surga dan Neraka adalah
pada hakekatnya, bukan khayalan atau sekadar kata kiasan, sebagaimana
sebagian manusia terjatuh dalam kesalahan yang amat fatal sekali dalam
masalah ini seraya mengatakan: “mati adalah sifat dan sifat tidak bisa
menjadi benda apalagi disembelih”. Semua ini adalah tidak benar, karena
Allah menjadikan amalan bisa membentuk, merubah sifat menjadi benda,
atau merubah benda menjadi sifat. Semua ini adalah hal yang mungkin bagi
Allah, bukan sesuatu yang mustahil. Tidak perlu kita bersusah payah
mengatakan: “Yang disembelih adalah malaikat maut, karena semua ini
adalah ralat yang rusak kepada Allah dan rasulNya, serta penafsiran
bathil yang tidak diterima oleh akal maupun dalil. Faktor penyebabnya
adalah dangkalnya pemamahan terhadap maksud ucapan Nabi…”. [10]
Beliau juga memiliki ucapan yang bagus dalam kitabnya Al-Kafiyah asy-Syafiyah fil Inthishar lil Firqah Najiyah[11]
329-331 dengan judul “Pasal tentang disembelihnya kematian antara surga
dan neraka, serta bantahan terhada orang yang mengartikan hal itu
adalah Malaikat maut, atau itu hanyalah majaz bukan hakekatnya”.
2. Al-Allamah as-Saffarini berkata: “Al-Hakim
at-Tirmidzi menukil bahwa madzhab salaf tentang hadits ini adalah tidak
memperbincangkan maknanya, kita beriman dengannya dan kita serahkan
ilmunya kepada Allah”. Setelah menukilkan penafsiran-penafsiran tentang
hadits ini, beliau berkomentar: “Pendapat yang kami anut bahwa kematian
adalah sesuatu yang ada dan merupakan dzat bukan sifat, serta makhluk
dalam bentuk kambing sebagaimana telah shahih hadits-hadits tentangnya
dari Nabi yang mulia dan dinukil oleh para imam serta dihimpun oleh para
penulis pilihan”. [12]
3. Syaikh Muhammad Khalil Harras mengatakan: “Hal
ini tidak mustahil dalam kemampuan Allah, bisa saja suatu sifat dirubah
menjadi benda, demikian juga sebaliknya. Semua itu mungkin dan bisa
terjadi. Telah banyak dalil yang menunjukkan tentang berubahnya suatu
sifat menjadi dzat”.
Lanjutnya: “Kalau telah tetap bahwa beberapa amalan, bacaan dan
selainnya dirubah oleh Allah menjadi suatu benda yang ditimbang, datang
dan berbicara, maka tidak ada penghalang selama-lamanya kalau Allah
merubah kematian menjadi bentuk kambing yang dilihat oleh penduduk surga
agar bertambah gembira dan penduduk neraka agar bertambah sengsara.
Kematian merupakan makhluk dengan ketegasan Al-Qur’an. Allah berfirman:
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
Dialah Allah Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Al-Mulk: 2)
Dan tidak ragu lagi bahwa makhluk bisa saja dirubah oleh Allah kepada
bentuk lain, dari sifat kepada dzat dan dari dzat kepada sifat. Semua
ini adalah mungkin dalam kemampuan Allah. Hanya saja orang-orang jahil
itu tidak menghormati Allah sepenuhnya sehingga mereka menganggap bahwa
perubahan tersebut adalah mustahil, lalu mereka perlu untuk mendatangkan
penafsiran-penafsiran bathil. Diantara mereka ada yang mendustakannya
dan diantara mereka ada yang sibuk memalingkan artinya, dan sebagian
lagi kebingungan tidak mengerti harus ngomong apa karena virus
orang-orang jahil telah memenuhi telinganya sehingga dia buta dari
memahami Al-Qur’an yang mulia..”. [13]
4. Al-Allamah Ahmad Syakir setelah
menukil ucapan Ibnul Arabi di atas, beliau berkomentar: “Semua ini
adalah bertele-tele dan bersusah payah terhadap masalah ghaib yang
disembunyikan ilmunya oleh Allah. Kewajiban kita hanyalah beriman dengan
berita yang datang sebagaimana adanya, kita tidak mengingkari atau
menyelewengkan artinya. Hadits ini shahih, maknanya juga shahih dari
riwayat Abu Sa’id al-Khudri dalam Bukhari, dan riwayat Abu Hurairah
dalam Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Alam ghaib yang berada di luar alam
kita tidak bisa digambarkan oleh akal kita dengan apa yang kita saksikan
di muka bumi ini…benda dan sifat hanyalah sebuah istilah untuk
mempermudah pemahaman. Sebaiknya bagi seorang adalah beriman dan beramal
shalih kemudian menyerahkan masalah ghaib kepada Dzat Yang mengetahui
alam ghaib, dengan demikian niscaya dia akan selamat di hari kiamat.
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ
مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ
كَلِمَاتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan
menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah
lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami
datangkan tambahan sebanyak itu”. (QS. Al-Kahfi: 109). [14]
.
D. FIQIH HADITS
Hadits yang mulia ini dijadikan dalil oleh para ulama tentang masalah
keabadian surga dan neraka dan bahwa keduanya tidak akan fana. Hal ini
disamping telah ditunjukkan oleh hadits di atas, juga telah ditetapkan
dalam Al-Qur’an dan merupakan ijma’ ulama kaum muslimin.
Dalil Al-Qur’an:
Sangat banyak sekali dali-dalil Al-Qur’an yang menunjukkan hal ini, diantaranya:
(QS. An-Nisa’: 57)
(QS. An-Nisa’: 168-169)
Dalil Ijma’:
Masalah ini juga merupakan kesepakatan ulama sunnah sebagaimana
dinukil oleh banyak ulama, diantaranya, Al-Qurthubi beliau berkata:
“Hadits-hadits shahih ini merupakan dalil yang tegas tentang kekalnya
penduduk neraka selama-lamanya tanpa kematian, kehidupan, ketenangan dan
keselamatan…Barangsiapa mengatakan bahwa mereka akan keluar darinya dan
bahwa neraka akan kosong serta fana maka dia telah keluar dari rel akal
dan menyelisihi ajaran yang dibawa oleh Nabi serta kesepakatan ahli
sunnah.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ
الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ
مَصِيْرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya. Dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang beriman, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan dan
Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)
Hanya saja bagian atas Jahannam akan kosong yaitu tempat orang-orang bermaksiat dari kalangan ahli tauhid”. [15]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Para salaf umat ini,
para imam dan seluruh ahli Sunnah wal Jama’ah telah bersepakat bahwa
sebagian makhluk ada yang tidak fana selama-lamanya seperti surga,
neraka, arsy dan sebagainya. Tidak ada yang mengatakan bahwa seluruh
makhluk itu fana kecuali kelompok ahli kalam, ahli bid’ah seperti Jahm
bin Shafwan dan sealiran dengannya dari kalangan Mu’tazilah. Pendapat
ini bathil dan menyelisihi kitabullah, sunnah Rasulullah dan kesepakatan
salaf”[16]. [17]
Sebagai penutup, kita nukilkan bait al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi[18] sebagai berikut:
ثَمَانِيَةٌ حُكْمُ الْبَقَاءِ يَعُمُّهَا
مِنَ الْخَلْقِ وَالْبَاقُوْنَ فِيْ حَيِّزِ الْعَدَمْ
هِيَ الْعَرْشُ وَالْكُرْسِيُّ وَنَارٌ وَجَنَّةٌ
وَعَجْبٌ وَأَرْوَاحٌ كَذَا اللَّوْحُ وَالْقَلَمْ
Delapan perkara yang telah ditetapkan kekekalannya
Dari Makhuk, dan selainnya akan hancur binasa
Yaitu Arsy, Kursi, Neraka, Surga
Ajb (tulang belakang), Ruh, Lauh Mahfudh, dan Pena.
Penyusun: Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
[1] Lihat Kaifa Nata’amal Ma’a Sunnah NabawiyyahDr. Yusuf al-Qardhawi hal. 173
[2] Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi dalam al-Aqlaniyyun hal. 71-73 mengkritik motede yang ditempuh oleh penulis Kaifa Nata’amal Ma’a Sunnah Nabawiyyah ini dan menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan metode terselubung dalam menggugat hadits Nabi.
[3] Muqaddimah al-Albani dalam Raf’ul Astar li Ibthal Qailina bi Fanai Nar, ash-Shan’ani hal. 45
[4] Lihat Sunan Tirmidzi no. 2557
[5] Dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah hal. 234, Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan bahwa orang yang mengingkari hadits ini hanyalah mereka yang berakal dangkal!!.
[6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Kaidah asal suatu ungkapan
adalah secara hakekatnya. Hal ini telah disepakati oleh seluruh manusia
dari berbagai bahasa, karena tujuan bahasa tidak sempurna kecuali dengan
hal itu”. (Tanbih Rajulil Aqil 2/487). Ibnu Badran juga
berkata: “Kapan saja ada lafadz, maka harus dibawa kepada hakekat dalam
babnya, baik bahasa, syara’ maupun ‘urf (kebiasaan)”. (a-Madkhal hal. 174)
[7] HR. Muslim: 804
[8]
Shahih. HR. Ahmad 4/287, Abu Dawud 2/281, al-Hakim 1/37 dll,
dishahihkan Abu Nuaim, al-Hakim, adz-Dzahabi, al-Baihaqi, Ibnu Qayyim,
al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 202.
[9] Lihat Hadii Arwah Ila Biladi Afrah Ibnu Qayyim hal. 486-487, Syarh Aqidah Thahawiyah Ibnu Abil Azzi al-Hanafi 1/93, Syarh Qashidah Nuniyah Khalil Harras 2/431-4333.
[10] Hadii Arwah Ila Biladi Afrah hal. 486.
[11] Yang populer dengan Nuniyah Ibnu Qayyim. Lihat pula syarh kitab ini seperti Taudhih Maqashid wa Tashih Qawaid Ibnu Isa 2/591, Syarh Qashidah Nuniyah Khalil Harras 2/430-433, Syarh Qashidah Nuniyah Ibnu Utsaimin (kaset no. 58/B), at-Ta’liq Mukhtashar Shalih al-Fauzan 3/1276-1281.
[12] Lawamiul Anwar 2/236.
[13] Syarh Qashidah Nuniyah 2/431-433
[14] Musnad Imam Ahmad 8/240-241/no. 5993
[15] at-Tadzkirah li Ahwal Akhirah 2/511-512)
[16]
Ucapan bagus ini menepis issu yang beredar bahwa Ibnu Taimiyyah
berpendapat kalau Neraka itu fana. Telah nyata dengan bukti-bukti
ilmiyah bahwa beliau berlepas diri dari issu tersebut, demikian pula
murid beliau Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sebagaimana dijelaskan secara
bagus oleh para peneliti masalah ini, diantaranya Dr. Ali al-Harbi
al-Yamani dalam risalahnya “Kasyfu Astar li Ibthal Iddi’a Fana Nar al-Mansub li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah wa Tilmidzhi Ibnu Qayyim”. (Lihat pula Ibnu Qayyim al-Jauziyyah Bakr Abu Zaid hal. 108, al-Minhah Ilahiyah Abdul Akhir hal. 276-277, Ta’liq asy-Syari’ah 3/1371-1375 oleh Dr. Abdullah bin Umar, Daf’u Syubah al-Ghawiyyah Murad Syukri hal. 111-113, Da’awil Munawiin li Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Dr Abdullah bin Shalih al-Ghushn hal. 610-624)
[17] Majmu Fatawa 18/307.
[18] Demikianlah yang benar sebagaimana disandarkan oleh Syaikh Ibnu Isa dalam Taudhih Maqashid 1/96 dan Syaikh Abdul Karim Barjas dalam Ash-Shafahat an-Nadhirah hal. 225 . Adapun apa yang dikatakan Syaikh al-Albani dalam Muqaddimah Raf’ul Astar hal. 18 dan muqadddimah Al-Ayaat al-Bayyinat hal. 91 bahwa ini adalah ucapan Ibnu Qayyim dalam Nuniyahnya, maka kami tidak mengerti hal ini, sebab sangat jelas sekali bahwa qafiyah bait ini bukan qafiyah nun. Wallahu A’lam.
Posting Komentar