1 Comment
Yang penting kan niatnya, kalau niat kita baik, masak sih kebaikan kita tidak diterima. Cukupkah beramal bermodalkan niat dan meraba-raba kebaikan menurut perasaan?
Kata orang berilmu, manakala ibadah dilakukan tanpa disertai niat, maka hanyalah menghasilkan kelelahan saja. Sementara niat tanpa keikhlasan, maka yang ada hanyalah riya’ (pamer), dan ikhlas tanpa ittiba’ (mengikuti petunjuk Rasulullah), maka akan percuma. Maka bagi kita yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaknya meluruskan niat setelah memahami hakikat ikhlas, dan memperbaiki amalannya dengan cara memahami hakikat ittiba’.
Seorang muslim berada dalam ‘perdagangan’ yang keuntungannya berupa Surga Firdaus yang paling tinggi, menghitung-hitung tentang kesalahan dirinya lebih utama daripada menghitung-hitung keuntungan dunia. Maka, wajib atas setiap orang yang mempunyai keinginan keras untuk berimana kepada Allah dan hari akhirat, untuk tidak lalai dalam menghitung kesalahan dirinya dan membatasi diri dalam gerak-geriknya, diamnya dan pemikirannya, karena setiap detik dari seluruh umurnya adalah harta yang mahal harganya.
“Setiap amalan itu pasti mempunyai permulaan dan tujuan akhir. Suatu amalam tidak akan menjadi ketaatan sampai didasarkan atas keimanan, maka keimanan adalah pembangkitnya, bukan adat, bukan hawa nafsu, bukan pula karena mencari pujian dan kedudukan, dan sebagainya. Tapi, permulaannya harus berasal dari iman dan tujuan akhirnya adalah pahala Allah Ta’ala, serta mengharapkan keridhaanNya, yaitu al-ihtisab (mengharap pahala)” demikian menurut Ibnul Qayyim.

Hati Yang Takut
Hati para hamba berada di antara dua jari ar-Rahman, Dia membolak-balikkannya sesuai dengan kehendakNya. Ya Allah, tetapkan hati kami di atas agamaMu. Terkadang, seseorang dihampiri aral yang merintangi dari maksudnya yang ikhlas, maka ia terhalang dari pahala yang dijanjikan tanpa ia sadari, karena pahala itu hanya diberikan atas amalan yang ikhlas saja.
Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (adzab) Rabb mereka, dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun), dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (al-Mukminun 57-60).
Mengomentari ayat, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut…” Aisyah bertanya kepada Rasulullah, “Apakah mereka orang-orang yang minum arak dan mencuri?” Beliau menjawab, “Tidak wahai putri ash-Shiddiq, tapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, melaksanakan shalat, dan bersedekah, sedangkan mereka merasa takut amalan-amalan itu tidak diterima. Mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan.” (Hasan dengan syawahidnya, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 3175, Ahmad VI/159, 205 dan al-Hakim III/393-394).
Allah menyebutkan kaum mukminin yang bersegera dalam kebaikan dengan sifat yang paling baik, walaupun mereka telah melaksanakan ibadah dengan sebaik-baiknya, tetapi mereka senantiasa merasa takut amalan mereka tidak diterima. Hanya saja mereka bukan khawatir Allah tidak memberikan pahala kepada mereka. Karena Allah tidak akan pernah mengingkari janji-janjiNya.
Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, maka Allah akan memberikan kepada mereka phala amalan-amalan mereka dengan sempurna…” (Ali ‘Imran 57)
Bahkan, Allah menambahkan untuk mereka karunia, kebaikan dan NikmatNya. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya…” (al-Fathir 30)
Tapi, karena mereka merasa takut belum melaksanakan amalan-amalan sesuai dengan syariat-syariat ibadah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, maka mereka tidak bisa memastikan bahwa mereka telah melaksanakannya sesuai dengan keinginan Allah, tetapi mereka mengira telah melakukan kekurangan dalam hal tersebut. Oleh karena itu mereka merasa takut amalan mereka tidak diterima, maka mereka pun berlomba-lomba dalam kebaikan dan amalan shalil.
Wajar jika para shiddiqin selalu menunaikan hak Allah, ketimbang menuntut hak mereka kepada Allah. Hasilnya memang beda, Allah pun memberikan kenikmatan berupa rasa penyesalan terhadap diri mereka karena mereka merasa belum dapat memenuhi hak-hak Allah dengan sempurna, mereka mengetahui bahwa keselamatan hanya dapat dicapai dengan ampunan Allah dan rahmatNya.
Sementara fenomena yang banyak berkembang luas pada zaman sekarang, umat Islam lebih banyak menuntut hak mereka kepada Allah, sementara hak Allah banyak mereka terlantarkan alias dimaksiati, hak Allah bukan untuk diingat melainkan dilupakan begitu pula hak Allah bukan untuk disyukuri tapi malah dikufuri. Akhirnya, mereka terputus dari Allah, hati mereka telah tertutup untuk mengenal, mencintai, merasakan kerinduan untuk bertemu denganNya dan bersyukur terhadap nikmatNya.
Pembatal Amal
Banyak hal yang menyebabkan amal seseorang menjadi batal, yang paling jelas dan kasat mata adalah kufur, syirik, murtad dan nifak. Orang yang meninggal dalam keadaan kafir, musyrik atau murtad, tidaklah sah amalan-amalan baiknya, seperti sedekah, silaturrahim, menjaga hak-hak tetangga dan sebagainya. Karena syarat sahnya ibadah adalah mengetahui untuk siapa ia beribadah. Sedangkan orang kafir kehilangan syarat ini, maka amalannya pun batal.
Selain itu, riya’ yang asal katanya ar-Ru’yah (melihat) merupakan pembatal amal seseorang. Sebuah permisalan orang yang beramal dengan riya’ sangat gamblang disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 264,
…Seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya; kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka, perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa dengan hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih. Merkea tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Tak hanya itu, orang yang mengungkit-ungkit kebaikan disertai menyakiti (hati) orang yang diberi kebaikan, maka amalnya pun menjadi pupus. Berinfak di jalan Allah termasuk perbuatan baik yang mendekatkan seorang hamba kepada Rabbnya dengan sedekat-dekatnya dan menjaga diri dari suul khatimah. Bahayanya, apabila infak itu disertai dengan menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti perasaan orang yang menerima, persoalannya tentu saja akan menjadi lain alias sirna seperti dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 262.
Terakhir, berbuat bid’ah dalam agama. Mana yang lebih baik, orang yang berbuat bid’ah dengan orang yang berbuat maksiat? Tentu saja orang yang berbuat maksiat walau kedua-duanya jelek. Soalnya, orang yang berbuat maksiat tahu perbuatannya dosa. Sementara orang yang berbuat bid’ah tidak merasa berdosa, bahkan mereka berargumentasi dengan dalil al-Qur’an maupun hadits, walaupun dalil yang mereka pergunakan lemah. Misalnya, seseorang shalat tapi tidak berdasarkan ittiba’, otomatis shalatnya tidak akan diterima. “Barangsiapa yang mengada-ada dalam perkara (agama) ini yang tidak ada asal darinya, maka ia tertolak“. (HR. al-Bukhari V/301, dan Muslim XII/16).
Kini, saatnya kita beramal dengan ikhlas dan ittiba’, agar menjadi bekal kelak di akhirat. Wallahu A’lam
***
Disalin dari majalah Nabila Vol. 2 No.15, Desember 2005
Sumber Mubhilatul A’mal fii Dahu’il Qur’an al Karim was Sunnah ash-Shahihah al-Muthaharah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.

Posting Komentar Blogger

 
Top