Salah
satu nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah lisan. Lisan
laksana pedang bermata dua. Lisan dapat menjadi sarana ketakwaan kepada
Allah, sekaligus lisan juga dapat menjadi alat untuk mengikuti kehendak
syaithan. Oleh karena itu, lisan memiliki dua bahaya besar, yaitu:
mengucapkan perkara yang bathil dan tidak dipergunakan untuk
mengungkapkan kebenaran. Maka lisan wajib dijaga dan dikendalikan,
karena jika tidak dia akan menjadi ‘alat pembunuh’ yang berbahaya akibat
apa yang keluar darinya.
Sebagaimana perkataan seorang penyair: يموت الفتى من عثرة بلسانه وليس يموت المرء من عثرة الرجل فعثر ته بلسانه تذهب رأسه وعثرته بر جله تبراء على مهل Karena ketergelinciran lisan, seorang bisa mati Seorang tak akan mati karena tergelincir kaki Tergelincir lisan sebabkan kepala tiada Sedangkan tergelincir kaki akan sembuh tanpa luka
Salah satu ‘produk’ lisan adalah pujian. Pujian adalah ungkapan
kekaguman terhadap orang lain karena kelebihan yang dimilikinya, baik
itu berupa kecantikan atau ketampanan, kekayaan, kepintaran, dan
sebagainya. Manusia pada dasarnya senang dipuji dan dikagumi, karena
pujian diisyaratkan sebagai suatu bentuk perhatian orang lain terhadap
dirinya. Akan tetapi Islam telah mengatur tata cara dan adab memuji
terhadap orang lain yang mengandung banyak kebaikan.
Pujian terbagi menjadi pujian yang tercela dan pujian yang diperbolehkan, Pujian yang tercela
Yang dimaksud dengan pujian yang tercela adalah pujian yang berlebihan
dan pujian yang dapat menyebabkan orang yang dipuji merasa bangga diri
(‘ujub). Dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan
bahwa ada orang yang memuji temannya yang ada disamping Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ويلك قطعت عنق صا حبك, قطعت عنق صا حبك “Celakalah engkau, kau telah menggorok leher saudaramu. Kau telah meggorok leher saudaramu!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya beberapa kali. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, من كان منكم مادحا أخاه لا محالة فليقل: أحسب فلانا والله حسيبه ولا أزكي على الله أحسبه كذا وكذا إن كان يعلم ذلك منه
“Barang siapa yang terpaksa harus memuji saudaranya, maka katakanlah:
‘Aku kira si fulan demikian dan demikian, tetapi Allah-lah yang menilai
(keadaan sebenarnya). Aku tidak mau menilai atas nama Allah (kepada
seseorang) demikian dan demikian, jika memang kelebihan itu ada pada
dirinya.” [Hadits shahih, riwayat Bukhari (III/158) dan Muslim
(IV/2297)]
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, beliau
menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar ada
orang yang memuji saudaranya dengan sangat berlebihan. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, أهلكتم أو قطعتم ظهر الرجل “Kalian
telah mematahkan punggung saudara kalian (kalian telah
membinasakannya).” [Hadits shahih, riwayat Bukhari (III/158 dan Muslim
(IV/2297)]
Ibnu Baththal menyimpulkan bahwa larangan itu
diperuntukkan bagi orang yang memuji orang lain secara berlebihan dengan
pujian yang tidak layak dia terima. Dengan pujian ini orang yang dipuji
tersebut, dikhawatirkan akan merasa bangga diri, karena orang yang
dipuji mengira bahwa dia memang memiliki sifat atau kelebihan tersebut.
Sehingga terkadang dia menyepelekan atau tidak bersemangat untuk
menambah amal kebaikan karena dia sudah merasa yakin dengan pujian
tersebut.
Oleh karena itu, para ulama menjelaskan bahwa makna
hadits: ‘Taburkanlah debu ke muka orang yang memuji orang lain!’[1]
adalah berlaku untuk orang yang memuji orang lain namun dengan cara yang
berlebihan.[2]
Pujian yang dibolehkan Tidak diragukan lagi
bahwa memuji orang lain adalah termasuk penyakit lisan, jika
menyebabkan orang yang dipuji merasa bangga diri atau jika pujian
tersebut dilakukan secara serampangan atau melampaui batas, yakni
berlebih-lebihan. Namun, jika pujian itu tidak mengandung hal-hal
tersebut di atas, maka hukumnya diperbolehkan.
Imam Bukhari
rahimahullahu Ta’ala memberi judul untuk salah satu bab dalam kitab
Shahih beliau: “Bab Orang yang Memuji Saudaranya Berdasarkan Fakta yang
Diketahui”. Imam Bukhari menyebutkan bahwa Sa’ad radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Tidak pernah kudengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebut kepada seseorang yang berjalan di muka bumi ini sebagai calon
penghuni Surga kecuali hanya kepada ‘Abdullah bin Salam.” [Hadits
shahih, riwayat Bukhari (VII/87), lihat juga al-Fath (X/478)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melukiskan sifat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu sebagai berikut, ما لقيك الشيطان سا لكا فجا إلا سلك فجا عير فجك
“Jika syaithan berpapasan denganmu pada suatu jalan, niscaya dia akan
mencari jalan lain selain jalan yang engkau lalui.” [Hadits shahih,
riwayat Muslim (IV/1864) dan al-Fath (X/479)]
Pujian yang
diperbolehkan untuk diberikan kepada saudara kita adalah pujian yang
tidak berlebihan dan orang yang dipuji tidak dikhawatirkan merasa bangga
diri, maka pujian seperti ini diperbolehkan. Oleh karena itu, pujian
dengan sesuatu yang sesuai fakta dan dengan sewajarnya sajalah yang
diperbolehkan. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun dipuji
dalam syair, khutbah, dan pembicaraan. Akan tetapi, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menaburkan debu ke muka orang yang memujinya
dengan pujian yang wajar tersebut.[3]
Apa yang harus dikatakan ketika memuji? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, إذا رأى أحدكم من أخيه مـا يعجبه, فليدع له بالبركة
“Jika salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang menakjubkan
dari saudaranya, maka hendaklah dia mendo’akannya agar diberikan
keberkahan kepadanya.” [Hadits shahih, riwayat Imam Malik dalam
al-Muwaththa’ (II/716 no.2), Ibnu Majah dalam Shahih-nya (II/265) dan
Ahmad dalam Musnad-nya (III/447)]
Do’a mohon keberkahan saat mendapati (melihat) sesuatu yang menakjubkan dirinya pada saudaranya, مـا شـا ء الله لا قوة إلا بـالله, أللـهـم بارك عليه
“Maasyaa Allaah (atas kehendak Allah), tidak ada kekuatan melainkan
hanya dengan (pertolongan) Allah. Yaa Allah, berikanlah berkah
padanya.”[4]
Imam Nawawi rahimahullahu Ta’ala mengatakan bahwa
dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, banyak sekali hadits yang
berisi pujian kepada seseorang. Berdasarkan hal itu, para ulama
mengatakan bahwa cara mengkompromikan antara hadits-hadits yang
kelihatan bertentangan itu adalah dengan memaknai larangan itu berlaku
untuk pujian yang berlebihan, pujian yang ditambah-tambahi dengan
kedustaan atau pujian yang dikhawatirkan akan muncul rasa bangga diri di
dalam diri orang yang dipuji. Namun, jika tidak dikhawatirkan akan
terjadi hal demikian, maka diperbolehkan memuji meskipun dihadapan orang
tersebut. Hal ini dikarenakan kesempurnaan ketakwaan, keteguhan akal
dan kemantapan ilmu yang dimiliki oleh orang yang dipuji. Bahkan
hukumnya menjadi sunnah apabila dengan pujian, maka dia akan termotivasi
untuk senantiasa berbuat kebaikan, menambah amal kebaikan, dan
memberikan teladan yang baik kepada orang lain.[5] Allah lebih mengetahui akan hal ini. Wallahu a’lam.
_____________ Catatan kaki: [1] Hadits shahih, riwayat Muslim (IV/2297).
Dari Hammam bin al-Harits radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita bahwa
ada seseorang yang memuji Utsman radhiyallahu ‘anhu. Miqdad lalu duduk
berlutut. Al-Miqdad radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang bertubuh besar.
Beliau pun akhirnya menaburkan batu kerikil kepada orang tadi. Utsman
lalu berkata, ‘Apa yang sedang kamu lakukan?’ al-Miqdad berkata, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jikalau kalian melihat ada
orang yang memuji orang lain maka taburkanlah debu ke mukanya.’
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami untuk menaburkan debu ke muka orang yang memuji
dengan berlebihan. [2] Fat-hul Baari (X/477). [3] Idem. [4] Ad-Du’aa’ wal ‘Ilaaj bir Ruqaa minal Kitaab was Sunnah, Syaikh Sa’ad bin ‘Ali bin Wahf al-Qaththani, hal. 105.
[5] Syarah Imam Nawawi fii Shahih Muslim (XVIII/126), lihat juga
Afaatul Lisaan fii Dhau’il Kitaab was Sunnah, Syaikh Sa’ad bin ‘Ali bin
Wahf al-Qaththani.
Iam moslem..
Pengagum Rasulullah shalallahu alahi wasallam
Bolehkah pria berambut panjang? Kita tahu bahwa penampilan semacam
itu hanya pada wanita. Namun saat ini, beberapa pria sengaja
memanjangkan rambutnya.
Abu Darda’ pernah memin…
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Di beberapa sekolah,
sebagian pelajar diminta untuk menggambar makhluk …
Para ulama fikih berselisih pendapat tentang masalah ini sehingga
terpolar menjadi berbagai pendapat yang cukup banyak. (Lihat Al-Majmu’
2/34 Imam Nawawi). Di sini kami akan s…
Oleh
Ustadz Muhammad Arifin Badri
Dalam setiap proses pengobatan, langkah pertama yang ditempuh oleh
dokter atau tenaga medis adalah melakukan diagnosis. Tujuannya, ialah
…
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apakah boleh menunda mandi karena
junub hingga fajar terbit ? Dan apakah boleh bagi wanita unt…