Khilafah adalah cita-cita yang didambakan
oleh seluruh kaum muslimin, lebih-lebih bagi mereka yang menjadi
aktivis dakwah. Khilafah merupakan hadiah yang Allah persembahkan bagi
umat ini setelah mereka berusaha untuk meniti kebenaran. Karenanya, kami
ingatkan tulisan ini hanyalah sekelumit usaha untuk mewujudkan
cita-cita munculnya khilafah. Tulisan ini bukanlah upaya untuk memecah belah persatuan kaum muslimin.
Tulisan ini hanyalah sebatas nasehat antar sesama muslim yang
mencita-citakan kesatuan dan persatuan kaum muslimin di atas kebenaran.
Kelompok yang Pertama Kali Menjadikan Khilafah Sebagai Prinsip Dakwah
Syaikh DR. Shalih bin Sa’ad As Suhaimi
pernah ditanya tentang prinsip dakwah imamah (khilafah) dalam kesempatan
dauroh bulan Juli 2008 di Mojokerto. Beliau menjawab:
“Imamah atau khilafah, yang pertama kali menjadikannya sebagai prinsip adalah kelompok Syi’ah dan Mu’tazilah. Imamah memang diharapkan. Setiap muslim berkeinginan agar kaum muslimin berada di bawah satu bendera dan satu khalifah. Namun keadaan ini (kaum muslimin di atas satu khilafah) sedah berakhir sejak masa Khulafa’ur rasyidun atau sejak keluarnya Abdur Rahman Ad Dakhil dari kekhalifahan Abbasiyah….” (dikutip dari Majalah Adz Dzakhiirah edisi 42 tahun 1429 H).
“Imamah atau khilafah, yang pertama kali menjadikannya sebagai prinsip adalah kelompok Syi’ah dan Mu’tazilah. Imamah memang diharapkan. Setiap muslim berkeinginan agar kaum muslimin berada di bawah satu bendera dan satu khalifah. Namun keadaan ini (kaum muslimin di atas satu khilafah) sedah berakhir sejak masa Khulafa’ur rasyidun atau sejak keluarnya Abdur Rahman Ad Dakhil dari kekhalifahan Abbasiyah….” (dikutip dari Majalah Adz Dzakhiirah edisi 42 tahun 1429 H).
Orang-orang syi’ah menjadikan Imamah
(kekhalifahan) sebagai salah satu rukun iman mereka. Berikut adalah
kutipan perkataan tokoh-tokoh syi’ah:
Muhammad Ridlo al Mudhofar Ar Rofidhi mengatakan: “Kami berkeyakinan bahwasanya imamah adalah salah satu asas agama. Keimanan tidak sempurna kecuali dengan memiliki keyakinan tersebut…” (dikutip dari Madkhol Ila al aqidah al islamiyah)
Muhammad Ridlo al Mudhofar Ar Rofidhi mengatakan: “Kami berkeyakinan bahwasanya imamah adalah salah satu asas agama. Keimanan tidak sempurna kecuali dengan memiliki keyakinan tersebut…” (dikutip dari Madkhol Ila al aqidah al islamiyah)
Ibnul Muthohir al Hully dalam muqodimah kitabnya yang berjudul Minhajul Karomah mengatakan: “Amma ba’du,
ini adalah risalah dan makalah yang mulia, yang berisi tentang
pembahasan paling penting dalam masalah agama dan permasalahan paling
utama bagi kaum muslimin; yaitu masalah imamah, dengan imamah bisa
didapatkan derajat kemuliaan. Imamah adalah salah satu rukun iman. (Minhajul Karomah 1/20, sebagaimana dinukil oleh Syaikh Rabi’ dalam Manhajul Anbiya fi Da’wah).
Bahkan sebagian mereka beranggapan lebih
jauh dari pada perkataan tokoh sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa
imamah lebih penting dari pada masalah Nubuwah (kenabian). Salah satu
tokoh dan ulama mereka di zaman ini, Hadi At Thohroni mengatakan:
“Imamah itu lebih mulia dibandingkan nubuwah. Karena imamah adalah
tingkatan ketiga yang dengannya Allah memuliakan Ibrohim setelah
(seblumnya) mengalami derajat Nubuwah dan Al Khullah. (dikutip dari Madkhol Ila al aqidah al islamiyah).
Yang dimaksud Nubuwah adalah diangkatnya
seseorang menjadi nabi. Sedangkan yang dimaksud Imamah adalah
diangkatnya seseorang menjadi imam atau pemimpin. Dan yang dimaksud Al
Khullah adalah diangkatnya seseorang menjadi kekasih terdekatnya Allah.
Maksud perkataan Hadi At Thohroni adalah derajat diangkatnya seseorang
menjadi imam atau pemimpin itu lebih mulia dari pada status diangkatnya
seseorang menjadi nabi. Karena menjadi imam itu tingkatannya paling
tinggi, yang di bawahnya ada tingkatan al khullah dan di bawahnya lagi
baru tingkatan kenabian.
Hal yang senada juga pernah disampaikan
oleh Abul A’la Al Maududi salah satu tokoh pergerakan di timur tengah.
Beliau mengatakan: “Hakekat tujuan beragama adalah menegakkan aturan
imamah yang baik dan lurus.” (Al Ushul Al Akhlaqiyah).
Alasan Mereka yang Gemar Meneriakkan Tegaknya Khilafah
Berikut kami sisipkan kutipan pendapat
dan alasan mereka untuk menegakkan khilafah. Diambil dari salah satu
makalah yang diterbitkan di situs mereka.
“Menegakkan Khilafah dan menunjuk seorang Khalifah adalah kewajiban bagi setiap Muslim di seluruh dunia, lelaki dan perempuan. Melaksanakan kewajiban ini sama saja seperti menjalankan kewajiban lain yang telah Allah Swt perintahkan kepada kita, tanpa boleh merasa puas kepada diri sendiri. Khilafah adalah persoalan vital bagi kaum Muslim.” (lih. Apa itu Khilafah?)
“Menegakkan Khilafah dan menunjuk seorang Khalifah adalah kewajiban bagi setiap Muslim di seluruh dunia, lelaki dan perempuan. Melaksanakan kewajiban ini sama saja seperti menjalankan kewajiban lain yang telah Allah Swt perintahkan kepada kita, tanpa boleh merasa puas kepada diri sendiri. Khilafah adalah persoalan vital bagi kaum Muslim.” (lih. Apa itu Khilafah?)
“Penderitaan dan kesengsaraan dunia yang
dihasilkan dari negara-negara kapitalis, khususnya AS, tidak akan lenyap
kecuali dengan tegaknya negara Khilafah yang akan menerapkan ideology
yang haq, yaitu Islam yang agung yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamin.” (Mafahim Siyasiyah
li…hal.105)
“kita telah mengetahui bahwa umat Islam
akan segera kembali menjadi negara adidaya, yaitu dalam Khilafah
Rasyidah.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.122)
“Masalah Timur Tengah ini tidak akan pernah dapat diselesaikan kecuali dengan berdirinya negara Khilafah Islam.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.135)
“Maka itu, keburukan yang telah mencengkeram dunia selama berabad-abad itu haruslah dibatasi. Harus pula diwujudkan sebuah negara yang mampu membatasi keburukan itu, yaitu negara Khilafah Islamiyah.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.222)
“Masalah Timur Tengah ini tidak akan pernah dapat diselesaikan kecuali dengan berdirinya negara Khilafah Islam.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.135)
“Maka itu, keburukan yang telah mencengkeram dunia selama berabad-abad itu haruslah dibatasi. Harus pula diwujudkan sebuah negara yang mampu membatasi keburukan itu, yaitu negara Khilafah Islamiyah.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.222)
Jika boleh
disimpulkan, maka bisa ditarik satu benang merah bahwa tujuan utama
kelompok ini dalam mendakwahkan tegaknya khilafah adalah menyelesaikan
masalah umat. Karena bagi mereka,
hanya dengan khilafah semata semua permasalahan umat ini bisa selesai.
Setelah kaum muslimin berhasil mendirikan khilafah barulah mereka secara
bersama-sama berdakwah menegakkan keadilan dan memerangi kedzaliman di
muka bumi ini. Dakwah mengajak orang untuk mentauhidkan Allah baru
diutamakan setelah tegaknya khilafah.
Tidak ada satupun orang yang menganggap
jelek tujuan ini. Bisa dikatakan semua orang akan sepakat dengan tujuan
yang indah dan mulia ini. Memperjuangkan kesejahteraan umat merupakan
satu tekad yang mulia. Namun…ada yang perlu dijadikan bahan diskusi,
benarkah bahwa khilafah adalah satu-satunya solusi bagi permasalahan
umat. Sehingga hampir semua masalah umat hanya diberi satu jawaban “SEMUA INI BISA SELESAI HANYA DENGAN KHILAFAH”..?? (lih. Judul Bulettin Al Islam ketika memberikan jawaban atas kasus Gaza dua bulan yang lalu).
Jalan Menuju Kejayaan Umat Hanya Satu
Banyak jalan menuju mekkah. Demikian
anggapan sebagian orang. Karena prinsip ini, sebagian orang acuh
terhadap berbagai fenomena perselisihan yang terjadi di kalangan kaum
muslimin. Selama niatnya baik dan ada tekad untuk memperjuangkan islam,
apapun caranya, semuanya tak jadi masalah. Mari sejenak kita renungkan.
Kita meyakini bahwasanya Allah tidaklah menurunkan syariat ini baik yang
penting maupun yang paling penting kecuali semuanya merupakan solusi
terbaik bagi umat manusia untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Maka semua yang Dia ajarkan, baik melalui Al Qur’an maupun contoh
perbuatan NabiNya merupakan jalan utama untuk menggapai kejayaan umat.
Dengan kata lain, siapapun yang mengharapkan kejayaan umat namun dia memilih jalan yang tidak diajarkan oleh Allah dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bisa dipastikan harapannya tidak akan tercapai.
Disebutkan dalam hadis Ibn Mas’ud ketika menceritakan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membuat satu garis lurus, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan Allah”. Setelah itu, beliau membuat beberapa garis cabang di sebelah kanan dan kiri garis lurus, kemudian beliau bersabda: “Ini ada banyak jalan, pada masing-masing jalan ada setan yang mengajak untuk menuju jalan tersebut.” Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah di surat Al An’am 153, yang artinya: “Inilah jalanku yang lurus, ikutilah. Janganlah kamu mengikuti banyak jalan cabang, karena kalian akan berpecah dari jalanya.” (HR.
Ahmad dan dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Berdasarkan
riwayat ini bisa kita tegaskan jalan yang benar menuju kejayaan HANYA
SATU.
Antara Al Qur’an, Hadis dan Sejarah
Seringkali orang yang berprinsip khilafah
sebagai prioritas utama ketika menjelaskan pentingnya khilafah mereka
menunjukkan bukti-bukti sejarah. Terutama sejarah khilafah Utsmaniyah
yang runtuh pada abad ke-18 M. Berikut beberapa klaim mereka tentang
sejarah kemenangan khilafah:
“Daulah Utsmaniyah, sebagai Negara Khilafah Islamiyah, pernah menjadi negara pertama hampir tiga abad lamanya, tanpa satu pesaing pun untuk kedudukannya hingga pertengahan abad ke-18 M.” (Mafahim Siayasiyah li…hal.34)
“Daulah Utsmaniyah telah membangkitkan kengerian di semua orang Kristen Eropa dan terwujud suatu kebiasaan umum di kalangan Kristen bahwa pasukan Islam itu tidak terkalahkan,” (Mafahim Siayasiyah li…hal.45)
“Ringkasnya, kondisi berbagai negara di dunia yang mengalami perubahan adalah sebagai berikut: Dunia pada masa lampau didominasi oleh Daulah Utsmaniyah, Prusia, Rusia, Austria, Inggris, dan Perancis. Negara-negara inilah yang dahulu mengendalikan berbagai urusan dunia, mengancam perdamaian, dan memutuskan perang.” (Mafahim Siayasiyah li…hal. 71)
“Daulah Utsmaniyah, sebagai Negara Khilafah Islamiyah, pernah menjadi negara pertama hampir tiga abad lamanya, tanpa satu pesaing pun untuk kedudukannya hingga pertengahan abad ke-18 M.” (Mafahim Siayasiyah li…hal.34)
“Daulah Utsmaniyah telah membangkitkan kengerian di semua orang Kristen Eropa dan terwujud suatu kebiasaan umum di kalangan Kristen bahwa pasukan Islam itu tidak terkalahkan,” (Mafahim Siayasiyah li…hal.45)
“Ringkasnya, kondisi berbagai negara di dunia yang mengalami perubahan adalah sebagai berikut: Dunia pada masa lampau didominasi oleh Daulah Utsmaniyah, Prusia, Rusia, Austria, Inggris, dan Perancis. Negara-negara inilah yang dahulu mengendalikan berbagai urusan dunia, mengancam perdamaian, dan memutuskan perang.” (Mafahim Siayasiyah li…hal. 71)
Meskipun kutipan di atas diakui belum
mewakili keseluruhan, namun penulis menyimpulkan, setelah membaca buku
Mafahim Siayasiyah li.. bahwa terkesan mereka lebih menonjolkan
bukti-bukti sejarah untuk mendukung prinsip mereka. Jika begitu hebatnya
sejarah untuk dijadikan bukti mutlak prioritas khilafah, di manakah
porsi Al Qur’an dan As Sunnah?
Bukankah prinsip dakwah adalah bagian yang sangat vital dalam islam?
Lalu mungkinkah penjelasan Al Qur’an dan Hadis tentang ini kurang mencukupi, sehingga kita harus beralih pada klaim sejarah?
Jangan sampai kita bersikap apriori dan
menutup mata terhadp kajian Al Qur’an dan Hadis dalam menentukan
jawaban. Kita memiliki koridor baku yang ditetapkan dalam Al Qur’an dan
Hadis. Semata klaim sejarah belum cukup. Sebagaimana penjelasan ahli
sejarah bahwasanya sejarah belum tentu sesuai fakta. Sejarah bukanlah
realita. Klaim sejarah bisa dimanipulasi berdasarkan sudut pandang
masing-masing pengamat. Karenanya, kesimpulan sejarah banyak dilatar
belakangi dengan berbagai kepentingan. Kita tidak menutup mata atas
kebaikan daulah Utsmaniyah yang telah menaklukkan beberapa negeri kafir.
Bagi pengamat yang dilatar belakangi
obsesi khilafah mengatakan bahwa daulah Utsmaniyah merupakan khilafah
islamiyah yang terakhir runtuh. Namun bagi pengamat lainnya khilafah
islamiyah al udzma sudah berakhir sejak keluarnya Abdur Rahman Ad Dakhil
dari kekhalifahan Abbasiyah. Karena sejak saat itu kekuasaan kaum
muslimin sudah terpecah. (lih. Keterangan Syaikh Sholeh Suhaimi di
majalah Adz Dzakhiroh edisi 42, 1419 H). Di sisi lain, bagi pengamat
orang menganggap daulah Utsmaniyah merupakan bukti sejarah kejayaan umat
karena khilafah. Namun bagi pengamat sejarah yang lain berpendapat
sebaliknya, daulah Utsmaniyah sama sekali tidak menghukumi kaum muslimin
dengan syariat Allah, kecuali dalam kaum muslimin yang tinggal di
negeri mereka sendiri, dan itupun hanya sesuai dengan madzhab hanafi.
Bahkan daulah Utsmaniyah telah menjadi pelindung bagi bid’ah dan kesyirikan.
Lebih dari itu, raja terakhir dari daulah
ini, Sultan Abdul Hamid II telah menjadikan Muhammad As Shayadi
–pemimpin thariqoh Ar Rifa’iyah- sebagai penasehat utama kerajaan. (lih.
Ar Rad ‘Ala Hizb. Karya Abdur Rahman bin Muhammad Sa’id Ad Dimsyaqi, hal. 71 & 72).
Ringkasnya, semata klaim sejarah bukanlah
bukti utama untuk menegakkan satu prinsip dakwah. Bahkan klaim sejarah
bukanlah bukti untuk menunjukkan realita. Namun bukan berarti kita
menolak sejarah seutuhnya. Bahkan jika itu realita, kita terima
seutuhnya. Akan tetapi selayaknya kita jadikan Al Qur’an dan Hadis
sebagai acuan utama untuk menegakkan prinsip dakwah.
Mari kita pegangi dua prinsip di atas
baik-baik, untuk memberikan jawaban yang tepat dan bijak terhadap
permasalahan khilafah. Kita tetapkan jalan menuju kejayaan umat islam
hanya satu, yaitu jalan yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadis. Oleh
karena itu, jika meneriakkan prioritas khilafah adalah SESUAI DENGAN
KORIDOR Al Qur’an dan Hadis maka mari kita sepakati bahwa Khilafah
adalah JALAN SATU yang ditegaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai jalan keselamatan. Sebaliknya, jika memprioritaskan khilafah
bukanlah jalan menuju kejayaan umat sebagimana yang DIGARISKAN Al Qur’an
dan hadis maka berarti jalur ini termasuk diantara jalan menyimpang
yang didiami setan.
Tinjauan Al Qur’an, Hadis dan Realita Sejarah
Penjelasan masalah ini bisa kita temukan
dengan gamblang dalam Al Qur’an, Hadis, dan sejarah. Jika diantara kita
ada yang merasa sulit untuk diajak menjawab masalah ini dengan Al Qur’an
dan Al Hadis berdasarkan metode pemahaman ulama masa silam, mungkin
bisa mempelajari REALITA SEJARAH kaum muslimin. Mudah-mudahan itu bisa
memberikan jawaban yang menenangkan. Mengingat keterbatasan tempat,
berikut hanya akan diberikan jawaban ringkas dan sederhana. Kami
berharap semoga Allah menjadikannya bermanfaat.
Pertama, tinjauan dalil Al Qur’an
Tujuan utama Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul, dan Menurunkan kitab-kitabNya
Allah berfirman, yang artinya: “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS. Adz Dzariyat: 56).
Allah berfirman yang artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwa tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku. Maka sembahlah Aku!” (QS. Al Anbiya’: 25).
Allah juga berfirman: “Inilah satu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Agar kamu tidak menyembah selain Allah…” (QS. Hud: 1-2).
Allah berfirman, yang artinya: “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS. Adz Dzariyat: 56).
Allah berfirman yang artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwa tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku. Maka sembahlah Aku!” (QS. Al Anbiya’: 25).
Allah juga berfirman: “Inilah satu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Agar kamu tidak menyembah selain Allah…” (QS. Hud: 1-2).
Ibadah yang dilakukan oleh manusia tidak
bisa dinamakan ibadah kepada Allah kecuali dengan meninggalkan
pembatal-pembatal ibadah. Diantaranya adalah kesyirikan. Artinya, Ketika
beribadah manusia dituntut untuk mentauhidkan Allah. Sebagaimana shalat
tidak bisa disebut shalat keculai jika bersih dari pembatal shalat.
Oleh karena itu, makna kata ibadah dalam ayat ini adalah adalah tauhid.
Karena hakekat ibadah adalah menatuhidkan Allah dalam setiap menjalakan
perintah dan larangan.
Khilafah adalah hadiah dari Allah bagi setiap orang yang bertauhid
Allah berfirman yang artinya: “Dan Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal sholeh bahwa Allah sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi (baca: mewujudkan khilafah) sebagaimana Allah telah memberikan kekuasaan kepada orang-orang sebelum kalian. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Dia ridhoi untuk mereka (Islam), dan Dia sungguh akan mengganti keadaan mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman. Mereka beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu apappun.” (QS. An Nur: 55).
Allah berfirman yang artinya: “Dan Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal sholeh bahwa Allah sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi (baca: mewujudkan khilafah) sebagaimana Allah telah memberikan kekuasaan kepada orang-orang sebelum kalian. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Dia ridhoi untuk mereka (Islam), dan Dia sungguh akan mengganti keadaan mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman. Mereka beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu apappun.” (QS. An Nur: 55).
Dalam tafsir Al Jalain dijelaskan bahwa Allah telah mewujudkan janjiNya kepada kaum muslimin (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat) dan Allah memuji mereka dengan firmanNya di akhir ayat di atas: “Mereka beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu apapun.” Maka ayat ini berstatus sebagai alasan kenapa Allah memberikan kekuasaan kepada mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat).
Oleh karena itu, secara urutan manusia
dituntut untuk menegakkan tauhid terlebih dahulu barulah kemudian Allah
memberikan hadiah kepada kaum muslimin dengan diwujudkannya kekuasaan
(khilafah) bagi mereka. Bukan sebaliknya, khilafah dulu baru semua
penyimpangan diselesaikan. Karena sebagaimana yang dijelaskan dalam
tafsir di atas bahwa tauhid merupakan syarat mutlak suatu kaum itu
mendapatkan khilafah. Dan demikianlah realita yang terjadi pada
dakwahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah belasan
tahun beliau mengajak umat kepada tauhid barulah Allah memberikan
kekuasaan kepada beliau dan para sahabat tepatnya setelah mereka hijrah
ke madinah.
Kedua, tinjauan dari dalil hadits
Oleh karena itu, dalam sejarah dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tercatat
bahwa beliau hanya mengajak umat untuk tunduk dan taat kepada Allah
terutama tauhid. Tidak pernah sedikitpun mengajak umat untuk mendirikan
daulah islam. Bahkan sebaliknya, beliau menolak semua tawaran
orang-orang musyrikin Quraisy untuk menjadi raja Mekkah. Karena tujuan
utama beliau bukanlah mencari kekuasaan namun mengajak manusia untuk
memurnikan tauhid kepada Allah. Dan demikianlah keadaan dakwah para
rasul ‘alaihim as sholatu was salam mereka tidaklah hadir di
masyarakatnya untuk memusnahkan daulah yang berkuasa di sana kemudian
membangun daulah yang baru. Mereka tidak menuntut untuk dijadikan raja
maupun penguasa. Namun mereka datang dengan membawa hidayah bagi umat
manusia, menyelamatkan mereka dari kesesatan dan kemusyrikan.
Bahkan beliau sendiri pernah ditawari oleh Rabnya (Allah ta’ala)
dan diberi pilihan antara menjadi seorang rasul sekaligus raja ataukah
menjadi seorang rasul yang statusnya hanya hamba biasa. Kemudian beliau
memilih untuk menjadi rasul yang statusnya hanya hamba biasa.
(sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Al Bukhari & Muslim).
Andaikan obsesi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
menegakkan khilafah di muka bumi ini maka tentu beliau akan memenuhi
tawaran orang kafir Quraisy atau bahkan tawaran Allah ta’ala untuk
menjadi penguasa jazirah arab baru kemudian mendakwahkan tauhid. Ini
menunjukkan bahwa sedikitpun beliau tidak berobsesi untuk menegakkan
kekuasaan, namun obsesi beliau hanya satu, yaitu mengajak umat untuk
berislam dengan mentauhidkan Allah sepenuhnya.
Ketiga, bukti sejarah bahwa kekuasaan bukanlah jaminan kemenangan
Sekali lagi, kita tidak menolak sejarah.
Jika itu realita maka kita terima sepenuhnya. Berikut kami sisipkan
beberapa realita sejarah bahwa kekuasaan tidaklah menjamin diterimanya
dakwah.
Pertama, kisah raja Romawi yang sezaman dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, raja Heraklius. Disebutkan dalam shahih Al Bukhari hadis ke-7 di Bab “Bad’ul wahyi” bahwa setelah raja Heraklius menerima surat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia paham betul bahwa beliau adalah Nabi akhir zaman setelah berdialog dengan salah satu orang Quraisy (Abu Sufyan) yang berdagang ke Syam dan membandingkannya dengan apa yang ada di injil. Kemudian Heraklius memerintahkan para pembesar-pembesar Romawi untuk berkumpul di Daskarah (istana yang dikelilingi benteng) yang berada di kota Hims.
Pertama, kisah raja Romawi yang sezaman dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, raja Heraklius. Disebutkan dalam shahih Al Bukhari hadis ke-7 di Bab “Bad’ul wahyi” bahwa setelah raja Heraklius menerima surat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia paham betul bahwa beliau adalah Nabi akhir zaman setelah berdialog dengan salah satu orang Quraisy (Abu Sufyan) yang berdagang ke Syam dan membandingkannya dengan apa yang ada di injil. Kemudian Heraklius memerintahkan para pembesar-pembesar Romawi untuk berkumpul di Daskarah (istana yang dikelilingi benteng) yang berada di kota Hims.
Setelah semuanya masuk, dia perintahkan
untuk menutup semua pintu istana. Kemudian Raja Nasrani ini berpidato:
“Wahai masyarakat Romawi, siapa yang ingin mendapatkan kejayaan,
kebenaran, dan kerajaan yang kokoh maka hendaknya dia membai’at Nabi
ini.” Tiba-tiba para hadirin bubar berlarian seperti keledai liar menuju
pintu-pintu istana. Namun ternyata semuanya tertutup. Setelah Heraklius
melihat mereka pada berlarian dan dia putus untuk bisa mengajak mereka
beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, raja ini
meminta agar mereka berkumpul kembali. Kemudian dia berpidato: “Apa yang
aku katakan barusan sesungguhnya hanyalah untuk menguji komitmen kalian
terhadap agama kalian (nasrani).” Kemudian para hadirin bersujud pada
Heraklius dan mau menerima keputusannya. Dan inilah akhir keadaan Heraklius.
Kedua, kisah raja Najasyi sang penguasa
negeri Habasyah. Disebutkan dalam buku-buku siroh nabawiyah bahwa
setelah Raja Najasyi mendengar keterangan tentang dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan mendengar bacaan surat Maryam yang disampaikan oleh Ja’far (salah
satu sahabat yang berhijrah ke Habasyah), beliau menangis dan masuk
Islam. Hanya saja Raja yang adil ini menyembunyikan Islamnya di hadapan
para uskup-uskupnya. Oleh karena itu, Allah ta’ala tidak memerintahkan NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Para ahli sejarah menjelaskan analisis hal tersebut disebabkan:
a) Posisi rijaluddin (tokoh agama)
nasrani yang cukup kuat dalam pemerintahan. Keadaan ini selanjutnya
membuat mereka mampu menghalangi dakwah islam di tengah masyarakat
Habasyah
b) Raja Najasyi, meskipun beliau itu raja
yang adil dan telah masuk islam, namun beliau tidak mampu menunjukkan
secara terang-terangan kepada rakyatnya bahwa beliau telah meninggalkan
nasrani. Ini menunjukkan kelemahan hukumnya. Sehingga setinggi apapun
posisinya tidak mampu mengubah Habasyah menjadi daulah islamiyah. (lih. Siroh Nabawiyah jilid I, Mediu)
Demikianlah pelajaran berharga dari
keadaan dua raja tersebut. Kekuasaannya tidak mampu menampakkan
aqidahnya. Berbeda dengan Fir’aun. Sebab utama dia mampu menguasai
kaumnya disebutkan oleh Allah dalam firmannya, yang artinya: “dia menakut-nakuti kaumnya, sehingga mereka mentaati Fir’aun..”
(QS. Zukhruf: 54). Disebutkan dalam tafsir Jalalain bahwasanya Fir’aun
menginginkan agar rakyatnya mendustakan Musa dengan menakut-nakuti
mereka. Kemudian mereka-pun taat kepada Fir’aun. Mari kita bandingkan
antara dua kasus di atas. Raja Najasyi dan Kaisar Romawi tidak mampu
memaksakan aqidahnya karena sebelumnya dia tidak menyiapkan keadaan hati
rakyatnya untuk menerima islam. Berbeda dengan Fir’aun, dia berhasil
menguasai rakyatnya dan memaksa mereka untuk mewujudkan keinginannya
setelah sebelumnya dia menyiapkan keadaan hati rakyatnya agar meyakini
bahwa tujuan Musa adalah mengusir kalian dari Mesir.
Bisakah kita bayangkan, ketika Allah
mewujudkan khilafah bagi kaum muslimin, sementara kebanyakan mereka
tidak paham syariat islam. Mungkinkah mereka akan menerima aturan
syariat yang ditetapkan oleh khilafah? Mungkin bisa kita pastikan; yang
ada hanyalah kudeta. Bisa jadi ketika khalifah ingin menghilangkan
kesyirikan, kemaksiatan, dan kebid’ahan, namun justru para pemuja
kesyirikan, bid’ah dan maksiat akan melawan. Dengan kekuatan apa
khilafah akan memaksa, sementara kelompok mereka (pemuja syirik, bid’ah
dan maksiat) jauh lebih banyak dibandingkan mereka yang memahami
syariat. Atau… mungkin dengan alternatif yang kedua. Sistem Khilafah
membiarkan sepenuhnya setiap kegiatan keagamaan rakyatnya meskipun itu
sarat dengan syirik, khurafat, dan bid’ah. Karena yang penting rakyat
bisa tenang, sehingga bersama-sama rakyat bisa menggulingkan kekuasaan
hegemoni orang yahudi & nasrani. Membiarkan rakyatnya bergelimang
dengan kesyirikan selama hukum hudud (seperti potong tangan, qisos,
cambuk, dst.) ditegakkan? Demikiankah sistem khilafah yang diinginkan?
Dengan tegas kita katakan: “Sistem ini bukan sistem khilafah islam!!!”
ini sistem khilafah syirkiyah bukan islamiyah. Belum lagi ketika
khilafah ini berdiri, sementara banyak masyarakat masih ambisi untuk
meraih jabatan… apa yang terjadi? Tidak lain adalah perebutan
kekuasaan.. dari mana kaum muslimin bisa bersatu.
Lalu mana yang lebih penting… berdakwah
mengajak umat untuk membenahi agama mereka dengan menyempurnakan tauhid
mereka masing-masing, ataukah… mengajak semua elemen untuk menegakkan
khilafah tanpa peduli bagaimana aqidah mereka? Jika tujuannya untuk
memahamkan rakyat dengan syariat maka harusnya yang pertama kali
dilakukan adalah mendahulukan mengajarkan syariat islam sebelum
mengajarkan fiqih politik. Kita mengkhawatirkan, jangan-jangan obsesi
menggalang umat untuk mewujudkan khilafah ini hanyalah akan menjadi
angan-angan belaka yang tidak mungkin terwujudkan selama kita membiarkan
umat islam masih bergelimang dengan syirik, bid’ah dan maksiat. Mari
kita renungkan perkataan para ulama:
“Siapa yang menginginkan sesuatu sebelum waktunya maka dia dihukum dengan tidak mendapatkannya”
“Siapa yang menginginkan sesuatu sebelum waktunya maka dia dihukum dengan tidak mendapatkannya”
Bahaya Sikap Lebih Mengutamakan Penegakan Khilafah Di Atas Lainnya
Ada beberapa konsekwensi negatif ketika seseorang itu berlebih-lebihan terhadap khilafah. Diantaranya:
- Menganggap semua oknum yang tidak memiliki andil dalam penegakan khilafah sebagai orang sesat. Jika dia mati maka mati dalam keadaan membawa aqidah jahiliyah. Atau dengan bahasa yang lebih kasar, mati kafir. Diantara dalil yang digunakan untuk menguatkan anggapan ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang berpisah dari jama’ah (mereka maknai dengan khilafah) maka dia mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyah.” (HR. Al Bukhari). Karenanya siapa saja yang tidak mau gabung dengan khilafah, atau tidak ikut andil dalam menegakkan khilafah (karena khilafah belum berdiri) maka dia mati seperti matinya orang jahiliyah. Yang benar, hadis ini sama sekali tidak menunjukkan makna di atas. Karena yang dimaksud keluar dari jamaah adalah memberontak kepala negara kaum muslimin yang sah. Sedangkan yang dimaksud mati jahiliyah adalah mati dalam keadaan bermaksiat bukan mati kafir. (lih. Fathul Bari 20/58).
- Meremehkan dosa besar atau bahkan kekafiran. Setelah Khumaini
berhasil memberangus rezim Reza Pahlevi, datanglah beberapa utusan dari
kelompok yang gemar memprioritaskan khilafah untuk menemui Khumaini dan
menawarkan penegakan khilafah kepadanya. (lih. Majalah Al Khilafah At Tahririyah,
edisi 18 bulan Agustus 1989). Disamping itu, kelompok ini juga sempat
memuji tulisan Al Khumaini yang berjudul Al Hukumah Al Islamiyah, dimana
pada tulisan ini ditegaskan Khumaini bahwa Imam (Khalafah) itu lebih
utama dibandingkan malaikat atau para nabi. (lih. Majalah Al Wa’i At Tahririyah
edisi 26, tahun ke-3 Dzul Qo’dah 1409). Padahal para ulama telah
menyatakan kafirnya orang yang beranggapan: “para imam lebih utama
dibandingkan para nabi.” (lih. Pernyataan Syaikhul Islam dan beberapa
ulama lainnya sebagaimana disebutkan oleh Ibn Hajar Al Haitami dalam Al I’lam bi Qowathi’il Islam).
Ditambah lagi keadaan orang-orang syi’ah yang mencela para sahabat, menghina para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengkultuskan ahli bait, menyimpangkan Al Qur’an dan beberapa penyelewengan syi’ah yang keterlaluan lainnya, bagi kelompok khilafah itu bukan masalah besar. Itu masalah kecil dalam pandangan mereka jika dibandingkan dengan masalah penegakan khilafah. Bukankah ini berarti merelakan untuk mengorbankan aqidah yang benar demi tegak dan kembalinya khilafah. - Menganggap ajaran agama terbagi dua; bagian inti dan kulit. Kenyataan lain ketika terlalu ambisi terhadap khilafah. Mereka menggolongkan ke dalam dua golongan. Bagian inti dan kulit. Setiap masalah penting bagi mereka digolongkan sebagai inti agama, sementara masalah yang kurang penting bagi mereka digolongkan bagian kulit, meskipun hakikatnya itu dosa besar. Akibatnya, ketika diingatkan bahaya bid’ah, atau ancaman untuk orang-orang yang celananya menyelisihi syariat, atau masalah wanita terjun ke jalan, mereka menganggap itu masalah kurang penting. Karena lebih penting menjaga perasaan masyarakat agar mau menerima dakwah mereka ketimbang mengingatkan mereka yang justru membuat mereka lari.
- Munculnya obsesi kekuasaan sehingga tega untuk mencela ulama. Setelah mereka terkesima dengan sejarah khilafah daulah Utsmaniyah, mereka merasa terpukul berat dengan runtuhnya daulah ini. Sehingga tidak heran, ada sebagian di antara mereka yang memperingati tanggal mulai runtuhnya daulah Utsmaniyah dalam rangka mengenang sejarah berakhirnya khilafah bagi mereka. Sayangnya, kesedihan ini membuahkan satu sikap yang kurang tepat. Setelah meruntut sekian penyebab runtuhnya daulah Utsmaniyah mereka berkesimpulan bahwa salah sebab runtuhnya daulah ini adalah dakwah tauhid yang digencarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang bekerja sama dengan inggris. Abdul Qodim Zalum mengatakan: “Sesungguhnya tentara inggris telah membantu mereka (dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) dengan senjata dan harta untuk membangun asaa madzhab, mereka menginginkan untuk menguasai Karbala dan kuburan Al Hasan. Dan ketika kota Madinah sudah jatuh ke tangan mereka, merera hendak merobohkan kubah besar yang menaungi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam… dan masalah ini telah banyak diketahui, bahwa penyebab semua ini adalah Wahabiyah, anteknya inggris.” (lih. Kaifa Hudimat Al Khilafah hal. 10-12 karya Abdul Qodim Zalum, cet. 1962).
Perkataan Salah Satu Tokoh Pergerakan
Berikut perkataan salah satu tokoh da’i
pergerakan, yang kebanyakan pengikutnya mendambakan tegaknya khilafah.
Dalam kesempatan kajian di Darul Hadis di Mekkah, beliau juga pernah
ditanya:
Isi pertanyaan: Sebagian mengatakan bahwa islam akan kembali jaya dengan hakimiyah (khilafah), sebagian yang lain mengatakan islam akan kembali jaya melalui jalur pelurusan aqidah dan tarbiyah jamaah. Manakah yang benar?
Beliau menjawab: “Dari manakah datangnya kekuasaan (khilafah) agama ini di muka bumi jika tidak ada da’i-da’i yang mengajak untuk meluruskan aqidah dan beriman dengan iman yang benar. Kemudian mereka diuji dalam beragama dan mereka bersabar, mereka juga berjihad di jalan Allah. Kemudian hukum agama Allah akan ditegakkan di bumi. Satu permasalahan yang sangat jelas sekali. Hakim (Khalifah) tidaklah datang dari langit, tidak pula turun dari langit. Segala sesuatu datang dari langit namun dengan usaha keras manusia. Allah tetapkan hal ini untuk manusia. Allah berfirman yang artinya: “Andaikan Allah menghendaki Allah akan menolong kalian dari (kejahatan) mereka (orang kafir). Namun Allah menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain..” (QS. Muhammad: 4). Maka wajib kita awali dengan meluruskan aqidah dan mendidik generasi dengan aqidah yang benar. Generasi yang akan diuji kemudian mereka mampu bersabar atas ujian, sebagaimana bersabarnya generasi yang pertama.” (Dikutip dari kitab: Minhaj Al Firqoh An Najiyah karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).
Isi pertanyaan: Sebagian mengatakan bahwa islam akan kembali jaya dengan hakimiyah (khilafah), sebagian yang lain mengatakan islam akan kembali jaya melalui jalur pelurusan aqidah dan tarbiyah jamaah. Manakah yang benar?
Beliau menjawab: “Dari manakah datangnya kekuasaan (khilafah) agama ini di muka bumi jika tidak ada da’i-da’i yang mengajak untuk meluruskan aqidah dan beriman dengan iman yang benar. Kemudian mereka diuji dalam beragama dan mereka bersabar, mereka juga berjihad di jalan Allah. Kemudian hukum agama Allah akan ditegakkan di bumi. Satu permasalahan yang sangat jelas sekali. Hakim (Khalifah) tidaklah datang dari langit, tidak pula turun dari langit. Segala sesuatu datang dari langit namun dengan usaha keras manusia. Allah tetapkan hal ini untuk manusia. Allah berfirman yang artinya: “Andaikan Allah menghendaki Allah akan menolong kalian dari (kejahatan) mereka (orang kafir). Namun Allah menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain..” (QS. Muhammad: 4). Maka wajib kita awali dengan meluruskan aqidah dan mendidik generasi dengan aqidah yang benar. Generasi yang akan diuji kemudian mereka mampu bersabar atas ujian, sebagaimana bersabarnya generasi yang pertama.” (Dikutip dari kitab: Minhaj Al Firqoh An Najiyah karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).
Terakhir kami akhiri tulisan ini dengan
kutipan pidato salah satu da’i pergerakan internasional. Perkataan ini
kami letakkan di akhir tulisan ini dengan harapan bisa menjadi
kesimpulan bagi pembahasan di atas. Kami hanya bisa mengharapkan,
andaikan pengikut beliau menuruti apa yang beliau sampaikan.
“Tegakkanlah daulah islam di hati kalian masing-masing, niscaya daulah ini akan tegak di bumi kalian”
Posting Komentar Blogger Facebook