
Yang harus diketahui terlebih dahulu
bahwa tidak ada hak suami yang harus ditunaikan istri melainkan telah
diseimbangkan dengan kewajiban istri itu sendiri. Sebagaimana tidak ada
hak istri yang harus ditunaikan suami melainkan juga telah
diseimbangkan dengan kewajiban suami. Artinya kapan suami memiliki hak
atas istri maka pada saat yang sama istri pun memiliki hak atas
suaminya dalam keadaan yang seimbang. Yang demikian itu karena pasutri
butuh keharmonisan dalam menjalani kehidupan berumah tangga untuk
menggapai taqwa. Dalam al-Qur’an Alloh subhanahu wata’ala menyebutkan
keseimbangan antara hak dan kewajiban pasutri dalam firman-Nya:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf… (QS. Al-Baqoroh [2]: 228)
Memahami Makna Ayat
Lebih lanjut marilah kita pahami ayat tersebut dengan menyimak uraian para ulama ahli tafsir berikut ini;
Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala
mengatakan: “Adapun tentang firman Alloh azza wajalla (yang tersebut di
atas) maknanya adalah bahwa para istri memiliki hak atas suami mereka
sama seperti para suami memiliki hak atas para istri mereka, sehingga
hendaknya masing-masing menunaikan hak pasangannya dengan cara yang
baik.”.
Kemudian Imam al-Qurthubi juga
menyebutkan hal yang sama dengan mengatakan: “Adapun firman Alloh
subhanahu wata’ala (yang tersebut di atas) padanya terdapat tiga
permasalahan. Pertama, firman Alloh azza wajalla : ” …dan para
istri memiliki hak… “, ini maknanya adalah bahwa para istri memiliki
hak-hak hubungan suami-istri atas suami mereka yang sama dengan hak-hak
suami….”
Imam ath-Thobari rahimahullahu ta’ala
menyebutkan hal yang senada, bahkan beliau memperjelas makna sebagian
hak yang dimaksud dalam ayat tersebut dengan mengatakan: “Sebagian ahli
tafsir yang lain mengatakan maknanya ialah mereka (para istri)
memiliki hak atas berhiasnya suami sebagaimana para suami memiliki hak
atas berhiasnya istri-istri mereka menurut selera pasangan
masing-masing.”.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa hak
menikmati keindahan berhiasnya pasangan antara pasutri adalah sama dan
seimbang, dan bahwa tuntutan berdandan tidak hanya tertuju bagi kaum
wanita saja, namun termasuk kaum laki-laki juga dituntut melakukannya.
Bila istri dituntut berdandan oleh suaminya agar ia bisa menikmati
keelokannya maka suami hendaknya mengimbangi tuntutannya dengan
memperhatikan penampilannya di hadapan istrinya. Begitulah kiranya
makna bahwa seorang istri memiliki hak yang seimbang dengan
kewajibannya sebagaimana yang ditetapkan oleh Alloh subhanahu wata’ala
dalam firman-Nya yang tersebut di atas.
Salaf pun Berdandan
Yang menguatkan makna bahwa para istri
pun berhak atas berhiasnya suami mereka ialah riwayat yang menyebutkan
bahwa sahabat Abdulloh Ibnu Abbas radhiyallahu anhu pun berdandan untuk
istrinya. Riwayat inilah yang dijadikan sebagai salah satu sandaran
dalam menafsirkan ayat tersebut di atas oleh ketiga ulama ahli tafsir
di atas. Yaitu sebuah riwayat yang menyebutkan perkataan Waqi’ dari
Basyir bin Sulaiman dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dia
berkata: “Sungguh aku suka berhias untuk istri sebagaimana aku suka ia
berhias untukku sebab Alloh subhanahu wata’ala berfirman …(kemudian
beliau menyebutkan firman Alloh di atas). “Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir
ath-Thobari dan Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya.
Imam al-Qurthubi secara tegas menguatkan
penafsiran beliau terhadap ayat tersebut seraya berkata: “…, oleh
sebab itulah Ibnu Abbas mengatakan, “Sungguh aku pun berhias untuk
istriku sebagaimana ia berhias untukku, dan aku tidak suka menuntut
seluruh hak-hakku dari istriku sehingga mengharuskan aku untuk memenuhi
seluruh hak-haknya juga, yang demikian itu sebab Alloh subhanahu
wata’ala berfirman… (kemudian beliau menyebutkan firmn Alloh di atas),
maknanya berhias yang tidak sampai berbuat dosa.”.
Hikmah Suami Berdandan
Sudah kita ma’lumi bahwa setiap kita
dituntut agar menunaikan seluruh kewajiban secara baik dan menyeluruh,
tentu termasuk di dalamnya adalah hak berdandan. Sebab itu semua
termasuk bentuk pergaulan suami istri yang baik. Artinya, dengan
berdandan berarti suami istri telah saling mempergauli sesama
pasangannya dengan baik.
Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala
mengatakan: “Adapun tentang firman Alloh subhanahu wata’ala (yang
artinya): “… dan pergaulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik…
“, maka maknanya adalah perbagusilah ucapanmu kepada mereka, dan
baguskan perbuatan serta penampilanmu sebatas yang kalian sanggupi.
Yang demikian itu sebagaimana kalian menyukai hal itu ada pada mereka,
maka lakukanlah hal yang sama untuk mereka, sebagaimana Alloh subhanahu
wata’ala berfirman (yang artinya): ”… dan mereka memiiki hak yang
setimpal dengan kewajibannya dengan cara yang baik….”
Sungguh benar apa yang beliau katakan
bahwa berdandan termasuk bentuk pergaulan yang baik antara pasutri.
Sebab dengan berdandan penampilan fisik seorang suami atau istri akan
lebih dihargai dan disyukuri oleh pasangannya. Dan dengan berdandan
kebersihan dan kesehatan tubuh akan terpelihara. Yang pasti bahwa
berdandan di samping memiliki makna bagi diri pelakunya ia juga
bermakna bagi orang lain, yaitu bagi pasangan hidupnya. Sehingga hanya
orang yang kurang berilmu atau kurang kecerdasannya yang tidak bisa
mengambil hikmah dari berdandan untuk pasangannya.
Imam al-Qurthubi setelah menyebutkan
hikmah berdandan sebagai bentuk pergaulan pasutri yang baik, lalu
beliau menyebutkan sebuah riwayat bahwa Yahya bin Abdurrohman
al-Hanzholi berkata: “Aku mendatangi Muhammad bin al-Hanafiyah kemudian
ia pun keluar menemuiku dengan mengenakan baju mantel merah sementara
jenggotnya meneteskan minyak wangi. Lalu aku pun berkata kepadanya,
“Apa-apaan ini? Ia menjawab, “Baju mantel ini ialah baju yang telah
istriku pilihkan untuk aku kenakan, ia juga yang telah melumuriku
dengan minyak wangi ini. Sungguh para istri sangat menyukai apa yang
ada pada kita sebagaimana kita sangat menyukai sesuatu yang ada pada
mereka.”
Itulah sebagian teladan bagi para
pasutri, bagaimana seharusnya mereka memulai menciptakan keharmonisan
hidup berumah tangga. Dalam hal berdandan sangat ditekankan adanya
saling pengertian. Hendaknya istri memilihkan sesuatu yang baik buat
suami, dan sebaliknya suami memilihkan sesuatu yang baik untuk
dikenakan oleh istrinya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa bila istri berdandan untuk suami akan membuahkan kedekatan yang makin menguatkan cinta kasih, maka tatkala suami berdandan buat istrinya tentu akan membuahkan hal yang serupa atau bahkan lebih dari itu.
Coba perhatikan tatkala sebagian pasutri
mengenyampingkan masalah ini. Di saat suami bersama istri dia
berpenampilan ala kadarnya, demikian pula suami, sehingga masing-masing
dari suami istri melihat dengan pandangan matanya sesuatu yang kurang
atau bahkan sama sekali tidak ia sukai pada pasangannya. Dalam keadaan
demikian sangat memungkinkan timbulnya sikap saling menjauh –kalau
bukan berpaling – dan pergaulan pun terasa hambar tanpa cinta kasih,
tanpa keharmonisan dan keselarasan. Lalu bagaimana pasutri semacam ini
akan bersama menggapai taqwa? Wallohul Muwaffiq.
[1] Pembahasan ini banyak mengambil dari tafsir QS. 2: 228 dan QS. 4: 19 dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir ath-Thobari dan tafsir al-Qurthubi, dengan beberapa tambahan keterangan dari buku-buku lainnya.