Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
D. Anjuran Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.[1]
Di antara hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disyari’atkan
Allah Subhanahu wa Ta'ala atas ummatnya adalah agar mereka mengucapkan
shalawat dan salam untuk beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala dan para
Malaikat-Nya telah bershalawat kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada para
hamba-Nya agar mengucapkan shalawat dan taslim kepada beliau. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzaab: 56]
Diriwayatkan bahwa makna shalawat Allah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam adalah pujian Allah atas beliau di hadapan para Malaikat-Nya,
sedang shalawat Malaikat berarti mendo’akan beliau, dan shalawat
ummatnya berarti permohonan ampun bagi beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan tentang kedudukan hamba dan
Rasul-Nya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tempat yang
tertinggi, bahwasanya Dia memujinya di hadapan para Malaikat yang
terdekat, dan bahwa para Malaikat pun mendo’akan untuknya, lalu Allah
memerintahkan segenap penghuni alam ini untuk mengucapkan shalawat dan
salam atasnya, sehingga bersatulah pujian untuk beliau di alam yang
tertinggi dengan alam terendah (bumi).
Adapun makna: “Ucapkanlah salam untuknya” adalah berilah beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam penghormatan dengan penghormatan Islam.
Dan jika bershalawat kepada Nabi Muhammad hendaklah seseorang
menghimpunnya dengan salam untuk beliau. Karena itu hendaknya tidak
membatasi dengan salah satunya saja. Misalnya dengan mengucapkan:
“Shallallaahu ‘alaih (semoga shalawat dilimpahkan untuknya)” atau hanya
mengucapkan: “‘alaihis salaam (semoga dilimpahkan untuknya
keselamatan).” Hal itu karena Allah memerintahkan untuk mengucapkan
keduanya.
Mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
diperintahkan oleh syari’at pada waktu-waktu yang dipentingkan, baik
yang hukumnya wajib atau sunnah muakkadah. Dalam kitab Jalaa’ul Afhaam,
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan 41 waktu (tempat). Beliau
rahimahullah memulai dengan sesuatu yang paling penting yakni ketika
shalat di akhir tasyahhud. Di waktu tersebut para ulama sepakat tentang
disyari’atkannya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
namun mereka berselisih tentang hukum wajibnya. Di antara waktu lain
yang beliau sebutkan adalah di akhir Qunut, kemudian saat khutbah,
seperti khutbah Jum’at, hari raya dan istisqa’, kemudian setelah
menjawab muadzdzin, ketika berdo’a, ketika masuk dan keluar dari masjid,
juga ketika menyebut nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kaum
Muslimin tentang tatacara mengucapkan shalawat. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat
kepadanya pada hari Jum’at.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَكْثِرُوا الصَّلاَةَ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمُعَةِ،
فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا.
“Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada hari dan malam
Jum’at, barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali niscaya Allah
bershalawat kepadanya sepuluh kali.”[2]
Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa manfaat dari
mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana
beliau menyebutkan ada 40 manfaat. Di antara manfaat itu adalah:
1. Shalawat merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah.
2. Mendapatkan 10 kali shalawat dari Allah bagi yang bershalawat sekali untuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
3. Diharapkan dikabulkannya do’a apabila didahului dengan shalawat tersebut.
4. Shalawat merupakan sebab mendapatkan syafa’at dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, jika ketika mengucapkan shalawat diiringi dengan
permohonan kepada Allah agar memberikan wasilah (kedudukan yang tinggi)
kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Kiamat.
5. Shalawat merupakan sebab diampuninya dosa-dosa.
6. Shalawat merupakan sebab sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab orang yang mengucapkan shalawat dan salam kepadanya.[3]
Tetapi tidak dibenarkan mengkhususkan waktu dan cara tertentu dalam
bershalawat dan memuji beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali
berdasarkan dalil shahih dari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Para ulama Ahlus
Sunnah telah banyak meriwayatkan lafazh-lafazh shalawat yang shahih,
sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam kepada para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.
Di antaranya adalah:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ،
اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا
بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ
مَجِيْدٌ.
“Ya Allah, berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad,
sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga
Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia. Ya Allah,
berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana
Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.
Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Maha-mulia.” [4]
Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi yang
mulia ini, juga bagi keluarga beliau, para Sahabat, dan orang-orang yang
mengikuti jejak beliau hingga hari Kiamat.
E. Larangan Ghuluw Dan Berlebih-Lebihan Dalam Memuji Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Ghuluw artinya melampaui batas. Dikatakan: “ غَلاَ يَغْلُو غُلُوًّا ,” jika ia melampaui batas dalam ukuran. Allah berfirman:
لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ
“Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” [An-Nisaa': 171]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.
“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama,
karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang
sebelum kalian.” [5]
Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap
ghuluw dalam beragama, baik kepada orang shalih atau dianggap wali,
maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a
kepadanya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar.
Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam memuji
serta berbohong karenanya. Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah melampaui batas dalam
menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba
dan Rasul (utusan) Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari
sifat-sifat Ilahiyyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta
pertolongan kepada beliau, tawassul dengan beliau, atau tawassul dengan
kedudukan dan kehormatan beliau, bersumpah dengan nama beliau, sebagai
bentuk ‘ubudiyyah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, perbuatan ini
adalah syirik.
Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah
melarang hal tersebut melalui sabda beliau:
لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagai-mana
orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam.
Aku hanyalah hamba-Nya, maka kata-kanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu
(hamba Allah dan Rasul-Nya).’”[6]
Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah
kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana yang telah
dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissallam, sehingga
mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku
sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka katakanlah: “Hamba
Allah dan Rasul (utusan)-Nya.” [7]
‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu anhu berkata, “Ketika aku pergi
bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid
(penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.
“Sayyid (penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling
agung kebaikannya.” Serta merta beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengatakan:
قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.
“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau
seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh
syaithan.” [8]
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Sebagian orang berkata kepada
beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan
putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera
sayyid kami!’ Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ
الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ، عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ
أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ
وَجَلَّ.
“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan!
Jangan kalian terbujuk oleh syaithan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad,
hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat
(menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan
kepadaku.” [9]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membenci jika orang-orang memujinya
dengan berbagai ungkapan seperti: “Engkau adalah sayyidku, engkau
adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang
paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di
antara kami.” Padahal sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling
utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun demikian, beliau melarang
mereka agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui batas dan
berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau
dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di
dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. Dua sifat
itu adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari
apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan dan Allah ridhai. Tetapi
banyak manusia yang melanggar larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan
kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang
tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Hal itu sebagaimana yang
mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, dalam kasidah atau anasyid, di mana mereka tidak membedakan
antara hak Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hak Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah dalam kasidah nuniyyah-nya berkata:
ِللهِ حَقٌّ لاَ يَكُوْنُ لِغَيْرِهِ
وَلِعَبْدِهِ حَقٌّ هُمَا حَقَّانِ
لاَ تَجْعَلُوا الْحَقَّيْنِ حَقًّا وَاحِدًا
مِنْ غَيْرِ تَمْيِيْزٍ وَلاَ فُرْقَانِ
“Allah memiliki hak yang tidak dimiliki selain-Nya,
bagi hamba pun ada hak, dan ia adalah dua hak yang berbeda.
Jangan kalian jadikan dua hak itu menjadi satu hak,
tanpa memisahkan dan tanpa membedakannya.” [10]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Bahasan tentang shalawat selengkapnya dapat dilihat pada kitab
Jalaa-ul Afhaam fii Fadhlish Shalaah was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil
Anaam (hal. 453-556), karya al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dengan
ta’liq dan takhrij Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.
[2]. HR. Al-Baihaqi (III/249) dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu,
sanad hadits ini hasan. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no.
1407) oleh Syaikh al-Albani rahimahullah.
[3]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 158-159).
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 3370/Fat-hul Baari (VI/408)), Muslim (no. 406),
Abu Dawud (no. 976, 977, 978), at-Tirmidzi (no. 483), an-Nasa-i
(III/47-48), Ibnu Majah (no. 904), Ahmad (IV/243-244) dan lain-lain,
dari Sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu.
Untuk mengetahui lafazh-lafazh shalawat lainnya yang diriwayatkan secara
shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dapat dilihat dalam buku
Do’a dan Wirid (hal. 178-180), oleh penulis, cet. VI/ Pustaka Imam
asy-Syafi’i, Jakarta, th. 2006 H.
[5]. HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasa-i (V/268), Ibnu Majah (no. 3029),
Ibnu Khu-zaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu anhuma. Sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim.
Dishahihkan oleh Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 3445), at-Tirmidzi dalam Mukhtasharusy
Syamaa-il al-Mu-hammadiyyah (no. 284), Ahmad (I/23, 24, 47, 55),
ad-Darimi (II/320) dan yang lainnya, dari Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu anhu.
[7]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 151).
[8]. HR. Abu Dawud (no 4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhari dalam
al-Adabul Mufrad (no 211/ Shahiihul Adabil Mufrad no 155), an-Nasai
dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 247, 249). Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-‘Asqalani berkata: “Rawi-rawi-nya shahih. Dishahihkan oleh para ulama
(ahli hadits).” (Fat-hul Baari V/179)
[9]. HR. Ahmad (III/153, 241, 249), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal
Lailah (no. 249, 250) dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis
Sunnah wal Jamaa’ah (no. 2675). Sanadnya shahih dari Sahabat Anas bin
Malik Radhiyallahu anhu.
[10]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 152) oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.
larangan ghuluw terhadap rasulullah
9 min read