0 Comment
Pertanyaan.
Dalam shalat setelah mengucapkan salam, apakah ada hadits tentang :
1. Mengusap wajah
2. Mengucapkan Alhamdulillah
3. Imam berbalik menghadap makmum. Bagaimana jika tidak berbalik ? Adakah contoh dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
4. Langsung bersalaman setelah salam. Apakah ada hadits yang mengaturnya
5. Imam memimpin dzikir dan do’a dengan menggunakan pengeras suara adakah contohnya
6. Berdzikir menggunakan tasbih

Jawaban
Pertanyaan yang beruntun ini akan kami jawab satu persatu.

1.Untuk pertanyaan point satu dan dua yaitu mengusap wajah dan membaca alhamdulillah langsung setelah shAlat belum kami dapati dalilnya, sebaiknya tidak dilakukan sampai jelas keshahihan dalilnya. Karena setiap ibadah itu tidak boleh dilakukan sampai ada dalil yang menganjurkan.

2. Seorang imam hendaknya tetap duduk menghadap kiblat sampai selesai beristighfar tiga kali dan mengucapkan :

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ .

Ini yang dilakukan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ لَمْ يَقْعُدْ إِلَّا مِقْدَارَ مَا يَقُولُ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

Dari Aisyah beliau berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu tidak duduk (menghadap kiblat) kecuali seukuran bacaan :

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ. [HR Muslim]

Syaikh Muhammad Bin Shâlih al-Utsaimîn menyatakan: Yang utama seorang imam tetap menghadap kiblat sampai membaca istighfar 3 kali dan doa :

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

kemudian berpaling kearah makmum. [Fatâwâ Arkân al-Islâm, hal. 335]

Syaikhul Islam menyatakan: Sepatutnya seorang makmum tidak berdiri hingga imam berpaling, maksudnya berpindah dari menghadap kiblat. Dan seorang imam tidak sepatutnya duduk setelah salam menghadap kiblat kecuali seukuran membaca istighfar 3 kali dan mengucapkan:

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ.

imam telah berpindah, yang ingin bangun, maka boleh bangun dan yang ingin duduk berdzikir maka boleh duduk. [Majmû’ Fatâwâ 22/505]

Kalimat “berpindah dari kiblat” maksudnya adalah menghadap makmum, Berdasarkan hadits al-Baraa’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَمِينِهِ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ

Kami dahulu apabila telah sholat dibelakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka kami senang berada disebelah kanannya yang ia menghadap kepada kami dengan wajahnya. [HR Muslim]

Beliau kemudian menyatakan bahwa Hadits ini menunjukkan beliau dahulu menghadap makmum (setelah selesai sholat). [Majmû’ Fatâwâ 22/501]

Menghadap kearah makmum ini hukumnya sunat. Bila tidak dilakukan maka imam tidak berdosa. Wallahu a’lam.

3. Sedangkan masalah bersalaman atau berjabat tangan setelah melakukan shalat, maka itu tidak ada dasarnya bahkan banyak ulama menghukuminya sebagai perbuatan bid’ah. Karena tidak ada seorangpun para sahabat atau salaf shalih yang melakukannya atau berjabat tangan dengan orang sekitarnya setelah selesai sholat. Diantara ulama yang menghukuminya sebagai bidah adalah :

a. al-‘Iz bin Abdussalam rahimahullah yang dijuluki sulthan al-Ulama menyatakan : “Berjabat tangan (bersalaman) setelah selesai shalat Shubuh dan ‘Ashr adalah bidah. [Fatâwâ al-‘Iz bin Abdissalam hlm. 46 dinukil dari al-Qaulul Mubîn Fi Akhthâ’il Mushallîn hlm. 294]

b. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah mengatakan : “Adapun bersalaman setelah shalat maka itu bid’ah. [Silsilah Ahâdîts Shahîhah 1/23].

c. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa bersalaman model ini tidak diketahui dasarnya dari perbuatan para sahabat. [Fatâwâ Manârul Islâm, 1/218]

d. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Ali Jibrîn hafizhahullah berkata : Banyak orang yang shalat menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan orang yang disampingnya. Hal itu dilakukan setelah salam dari shalat wajib dan mereka berdoa dengan mengucapkan : Taqabbalallâhu. Ini adalah kebidahan yang tidak pernah dinukilkan dari para salaf. [al-Qaulul Mubîn fi Akhthâ`il Mushallîn, hlm. 293]

Dengan demikian, jelaslah bahwa perbuatan ini adalah perbuatan bid’ah dan kita harus segera meninggalkannya.

4. Mengenai imam yang memimpin dzikir.
Seorang imam tidak boleh memimpin dzikir dan do’a setelah shalat dengan suara keras baik menggunakan pengeras suara atau tanpa pengeras suara, baik yang dibaca secara berjamaah (koor) tersebut adalah dzikir yang ada dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ataupun tidak ada contohnya, meski hal ini sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh banyak orang diberbagai tempat.

Yang menyebabkan perbuatan ini terlarang, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam –pembawa risalah ini- tidak pernah melakukannya. Sebagaimana dijelaskan oleh imam asy-Syâthibi rahimahullah dalam penuturan beliau rahimahullah : “Telah diketahui bahwa berdo’a secara berjamaah (yang dipimpin) secara terus menerus tidak pernah ada dari perbuatan, perkataan dan persetujuan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. [al-I’tishâm 1/352]

Bahkan penulis kitab as-Sunan wa al-Mubtada’ât menyatakan : Istighfâr secara berjamaah dengan satu suara setelah salam dari shalat adalah bid’ah. [al-Qaulul Mubîn fi Akhthâ`il Mushallîn, hlm. 304].

5. Mengenai menghitung dzikir dengan tasbih.
Menghitung dzikir sebaiknya dilakukan dengan jari jemari karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghitung dzikir beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menggunakan tangan kanan. Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu anhu menjelaskan dalam pernyataan beliau Radhiyallahu anhu :

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ بِيَمِينِهِ

Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghitung tasbih dengan tangan kanannya [HR Abu Daud]

Hadits ini menunjukkan bahwa menghitung dzikir menggunakan tangan kanan lebih utama dari selainnya. Sedangkan dengan tasbih yang dikenal sekarang atau alat yang ditekan , maka itu menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada sejumlah kaum wanita agar menghitung dengan jari-jemari. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ اعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ

Wahai sekalian kaum wanita hitunglah (dzikir) dengan jari jemari, karena mereka akan ditanya dan akan diminta bicara. [HR Abu Daud].

Syaikh bin Bâz rahimahullah saat menjawab pertanyaan tentang hukum menggunakan alat tasbih menyatakan : “Tidak menggunakannya lebih utama dan sebagian ulama melarangnya. Yang lebih utama adalah bertasbih dengan jari-jemari sebagaimana hal itu dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. [Fatâwâ Syaikh bin Bâz 1/76 dinukil dari al-Qaulul Mubîn fi Akhthâ`il Mushallîn, hlm. 299].

Sedangkan syaikh al-Albâni rahimahullah menyatakan : “Seandainya alat tasbih tersebut tidak memiliki keburukan kecuali satu yaitu mematikan sunnah menghitung dzikir dengan jari-jemari atau hampir menghilangkan sunnat tersebut –disertai kesepakatan para ulama bahwa menghitung zikir dengan jari-jemari lebih utama-, maka cukuplah itu (untuk menghukuminya sebagai bidah). [al-Qaulul Mubîn fi Akhthâ`il Mushallîn, hlm. 230].

Syaikh al Albaani rahimahullah menjelaskan kebidahan menghitung dzikir dengan alat ini pada kitab silsilah ahâdîts ad-Dha’îfah 1/117.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M.]

Posting Komentar Blogger

 
Top