Istilah “sufi” atau “tasawwuf” tentu sangat dikenal
di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat kebanyakan.
Istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian,
kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas masyarakat beranggapan
bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui
jalan tasawwuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang
selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawwuf,
berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu melekat
di tangan, dan bibir yang senantiasa komat-kamit melafazhkan dzikir.
Semua ini semakin menambah keyakinan bahwasanya merekalah orang-orang
yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allâh Ta'ala.
Sebelum membahas tentang hakikat tasawwuf yang
sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau
tidaknya suatu pemahaman bukan hanya dilihat dari pengakuan lisan atau
penampilan lahir semata. Barometer sesuai tidaknya pemahaman tersebut,
ialah menakarnya dengan Al-Qur‘ân dan Sunnah menurut yang dipahami oleh
Salafush-Shalih.
Imam al-Barbahâri rahimahullâh mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya, Syarh as-Sunnah dengan ucapan beliau:
“Perhatikan dan
cermatilah –semoga Allâh Ta'ala merahmatimu– semua orang yang
menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali
engkau terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman
tersebut, sampai engkau tanyakan dan meneliti kembali, apakah
ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat
Rasulullah radhiyallâhu'anhum atau pernah disampaikan oleh ulama
Ahlus-Sunnah? Kalau engkau mendapatkan ucapan/pemahaman tersebut sesuai
dengan pemahaman mereka, (maka) berpegang teguhlah engkau dengan
ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah (sekali-kali) engkau
meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) engkau
akan terjerumus ke dalam neraka!”[1]
Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan
membahas tentang hakikat tasawwuf, agar kita bisa melihat dan menilai
dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawwuf ini.
LAHIRNYA AJARAN TASHAWWUF
Tasawwuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal pada zaman para sahabat radhiyallâhu'anhum,
bahkan tidak dikenal pada zaman tiga generasi yang utama (generasi
Sahabat, Tâbi’in dan Tabi’it Tâbi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah
masa tiga generasi ini.[2]
Pertama kali muncul di kota Bashrah, Irak, yang
dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah
yang tidak terdapat di kota-kota (Islam) lainnya.[3]
Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullâh berkata dalam kitab at-Tashawwuf, al-Mansya’ wa al-Mashdar (hlm. 28):
“Ketika kita mengamati
lebih dalam ajaran-ajaran tasawwuf klasik maupun modern, dan
ucapan-ucapan mereka yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab
tasawwuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan
yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al-Qur`ân dan
Sunnah. Dan sama sekali, tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal
ajaran tasawwuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad Shallallâhu
'Alaihi Wasallam dan para sahabat beliau radhiyallâhu'anhum
yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allâh
Ta'ala. Justru sebaliknya, kita dapati ajaran tasawwuf ini diambil dan
dipungut dari kependetaan model Nashrani, dari kebrahmanaan model agama
Hindu, peribadatan model Yahudi, dan zuhud model agama Budha”.[4]
Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah
bahwa tasawwuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam. Hal ini
nampak jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli
tasawwuf, amalan-amalan ibadah yang asing dan jauh dari petunjuk Islam.
PRINSIP-PRINSIP DASAR AJARAN TASHAWWUF
YANG MENYIMPANG DARI PETUNJUK AL-QUR‘ÂN DAN SUNNAH[5]
YANG MENYIMPANG DARI PETUNJUK AL-QUR‘ÂN DAN SUNNAH[5]
Orang-orang ahli tashawwuf –khususnya yang ada pada
zaman sekarang– mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami
dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan
metode Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, dan menyimpang sangat jauh dari Al-
Qur‘ân dan Sunnah, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. |
Mereka membatasi ibadah hanya pada aspek
al-mahabbah (kecintaan) saja dengan mengenyampingkan aspek-aspek
lainnya, seperti aspek al-khauf (rasa takut) dan arraja‘ (pengharapan),
sebagaimana terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tashawwuf:
“Aku beribadah kepada Allâh Ta'ala, bukan karena aku mengharapkan masuk surga, dan juga bukan karena takut masuk neraka”. (!?)
Memang benar, aspek al-mahabbah
merupakan landasan ibadah. Akan tetapi, ibadah itu tidak hanya terbatas
pada aspek al-mahabbah saja, seperti persepsi orang-orang ahli
tashawwuf. Karena, ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang
melandasinya selain aspek al-mahabbah, misalnya aspek al-khauf,
ar-raja‘, adz-dzull (penghinaan diri), al-khudhû‘ (ketundukkan), do’a,
dan aspek-aspek lainnya.
Salah seorang ulama Salaf berkata:
“Barang siapa yang
beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan kecintaan semata, maka dia adalah
seorang zindiq (kafir). Barang siapa yang beribadah kepada Allâh Ta'ala
dengan pengharapan semata, maka dia adalah seorang Murji’ah. Barang
siapa yang beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan ketakutan semata, maka
dia adalah seorang Harûriyyah (Khawarij). Dan barang siapa yang
beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan kecintaan, ketakutan dan
pengharapan, maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang yang
bertauhid dengan benar)”.
Oleh karena itu, Allâh Ta'ala memuji
sifat para nabi dan rasul-Nya yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya
dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang
selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya.[6]
|
2. |
Orang-orang ahli tashawwuf, umumnya,
dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada
Al-Qur‘ân dan Sunnah, tetapi, pedoman mereka adalah bisikan jiwa dan
perasaan mereka, serta ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan
mereka.
Konkretnya dalam bentuk tarikat-tarikat
bid’ah, berbagai macam dzikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri.
Tidak jarang pula mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita khurafat
(yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits palsu
untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata:
“Orang-orang ahli
tashawwuf, dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala,
(mereka) berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang
dipegang oleh orang-orang Nashrani. Yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas
maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak
dikenal kejujurannya. Kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja
dia bukan seorang (nabi/rasul) yang terjaga dari kesalahan. Maka
(demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli tashawwuf), mereka
menjadikan para pemimpin dan guru-gurunya sebagai penentu/pembuat
syari’at agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan
para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/ pembuat syari’at agama
bagi mereka”.
|
3. |
Termasuk doktrin ajaran tashawwuf, ialah
keharusan berpegang teguh dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang
ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka. Hingga merasa
cukup dengan produk dzikir-dzikir tersebut, beribadah dan mendekatkan
diri kepada Allâh Ta'ala dengan selalu membacanya.
Bahkan tidak jarang mereka mengklaim
bahwa membaca dzikir-dzikir tersebut lebih utama daripada membaca
Al-Qur‘ân, dan mereka menamakannya dengan “dzikirnya orang-orang
khusus”. Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al-Qur‘ân dan Sunnah,
mereka namakan dengan “dzikirnya orang-orang umum”.
Kalimat thayyibah (lâ ilaha illallah),
menurut mereka termasuk “dzikirnya orang-orang umum”. Adapun “dzikirnya
orang-orang khusus” ialah melantunkan kata tunggal (الله) dengan
berulang-ulang. Lebih aneh lagi, mengulang-ulang kata (هُوَ/Dia), mereka
sebut sebagai “dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus”.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata:
“Barang siapa yang
beranggapan bahwa kalimat Lâ ilaha Illallâh adalah dzikirnya orang-orang
umum, dan dzikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal (الله),
serta dzikirnya orang- orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti
(هُوَ/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan”.
|
4. |
Sikap ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrim)
orang-orang ahli tashawwuf terhadap orang-orang yang mereka anggap telah
mencapai kedudukan ‘wali’ atau terhadap guru-guru tarikat mereka.
Pengertian wali dalam kamus mereka bertentangan dengan apa yang
ditetapkan oleh Al--Qur‘ân.
Wali (kekasih) Allâh Ta'ala adalah
orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allâh Ta'ala). Dan merupakan
kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Perlu
ditegaskan di sini, bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan
bagi orang- orang tertentu saja. Akan tetapi, setiap orang yang beriman
dan bertakwa, maka ia adalah wali (kekasih) Allâh Ta'ala.
Kedudukan sebagai wali Allâh Ta'ala juga
tidak menjadikan diri seseorang terpelihara dari kesalahan dan
kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap
mereka, menurut pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Adapun makna “wali” menurut kalangan
ahli tashawwuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Orang-orang ahli tashawwuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan
tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah) dalam
masalah ini. Mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang
tertentu saja tanpa dilandasi dengan dalil syari’at yang menunjukkan
kewalian orang-orang tersebut.
Bahkan, tidak jarang, mereka menobatkan
derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan
ketakwaannya, atau kepada orang yang dikenal mempunyai penyimpangan
dalam keimanan. Seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir
dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allâh Ta'ala, melakukan
hal-hal yang aneh-aneh atau di luar kebiasaan.
Kita dapat menjumpai mayoritas
orang-orang ahli tashawwuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya
dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah,
atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia.
Seperti terbang di udara menuju ke Makkah atau tempat-tempat lainnya.
Terkadang berjalan di atas air, ketika
ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau
setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menyelesaikan
keperluannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri,
memberitakan halhal yang ghaib (tidak nampak), dan lain-lain. Padahal,
kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa
pelakunya adalah wali Allâh Ta'ala.
Kaum mukminin telah sepakat dan
sependapat mengatakan, jika ada orang yang mampu terbang di udara atau
berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terpedaya dengan penampilan
tersebut sampai kita melihat, apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam? Apakah orang tersebut selalu
mentaati perintah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan menjauhi
larangannya?
Karena hal-hal yang di luar kemampuan
manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab,
ataupun orang munafik. Bisa juga dilakukan oleh para pelaku bid’ah
dengan bantuan setan/jin.
Oleh karena itu, setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas, sama sekali, tidak boleh dianggap sebagai wali Allâh.[7]
Kesesatan orang-orang ahli tashawwuf
tidak sampai di sini saja. Sebab, sikap mereka yang berlebih-lebihan dan
melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap
sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut
memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti mengetahui hal-hal yang ghaib.
Pada gilirannya, menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan
menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allâh Ta'ala.
|
5. |
Termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang
sesat adalah mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala dengan nyanyian,
tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan. Semua ini mereka anggap
sebagai amalan ibadah kepada Allâh Ta'ala (?!).
Dr. Shâbir Thu’aimah berkata dalam kitab ash- Shûfiyyah, Mu’taqadan wa Maslakan:
“Saat ini, tarian
shufi modern telah dipraktekkan oleh mayoritas tarikat Shufiyyah dalam
pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka. Para pengikut
thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik, yang terkadang
didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita.
Sedangkan para murid senior, dalam pesta ini duduk sambil mengisap
berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya
membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh
yang telah meninggal dunia…”.
|
6. |
Juga termasuk doktrin ajaran tashawwuf
yang sesat, yaitu apa yang mereka namakan sebagai suatu
keadaan/tingkatan, yang jika seseorang telah mencapainya, maka ia akan
bebas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul
sebagai hasil dari perkembangan ajaran tashawwuf. Karena asal mula
ajaran tashawwuf ialah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan
berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek, dan membawanya
pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas
dan jujur, menurut klaim mereka.
Tidak diragukan lagi –menurut pandangan
orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman– bahwa ucapan ini
termasuk kekufuran yang paling besar. Bahkan ucapan ini lebih buruk dari
pada ucapan orang-orang Yahudi dan Nashrani. Karena orang-orang Yahudi
dan Nashrani, mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka dan
mengingkari sebagian lainnya. Dan mereka itulah orang-orang kafir yang
sebenarnya. Mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allâh Ta'ala,
meyakini janji dan ancaman-Nya.
Kesimpulannya, orang-orang Yahudi dan
Nashrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus
(dengan datangnya agama Islam) dan telah mengalami perubahan dan
rekayasa, mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang
yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan
perintah Allâh Ta'ala secara keseluruhan. Karena dengan keyakinan
tersebut, berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci,
semua syariat dan semua agama.
Mereka sama sekali tidak berpegang
kepada perintah dan larangan Allâh Ta'ala. Bahkan mereka lebih buruk
dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari
ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab
yang masih berpegang dengan sebagian dari ajaran Nabi Ibrahim 'alaihissalam.
Untuk membenarkan keyakinan tersebut, di antara mereka ada yang berargumentasi dengan firman Allâh Ta'ala berikut ini:
Beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian).
Kata mereka :(Qs. al-Hijr/15 : 99)
“Makna ayat di atas ialah, sembahlah
Rabb-mu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika
kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah
atas dirimu …”.
Padahal pada hakikatnya, ayat ini justru menyanggah anggapan pandangan mereka.
Dikatakan oleh Hasan al-Bashri rahimahullâh:
“Sesungguhnya Allâh Ta'ala tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian,”
Kemudian Hasan al-Bashri rahimahullâh membaca ayat di atas.
Jadi, ayat di atas sangat jelas
menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia
mencapai usia dewasa dan berakal, sampai ketika kematian datang
menjemputnya. Dalam ajaran Islam, sama sekali tidak ada yang dinamakan
dengan tingkatan/keadaan, yang jika seseorang telah mencapainya maka
gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana persangkaan
orang-orang ahli tashawwuf.
|
PENUTUP
Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita
bahwa ajaran tashawwuf merupakan ajaran sesat yang menyimpang, sangat
jauh dari petunjuk Al-Qur‘ân dan Sunnah. Dengan mengamalkan ajaran ini
–na’udzu billah min dzalik– seseorang bukannya semakin dekat dengan
Allâh Ta'ala, tetapi justru semakin jauh dari-Nya. Dan hatinya, bukan
semakin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda.
Kemudian, jika muncul pertanyaan:
“Kalau begitu, bagaimana usaha yang harus kita lakukan untuk mensucikan jiwa dan hati kita?”
Maka jawabannya, sangat sederhana, yaitu pelajari dan
amalkan syari’at Islam ini lahir dan batin; dengan itulah jiwa dan hati
kita akan bersih.[8]
Karena di antara tugas utama yang dibawa para rasul ialah mensucikan
jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allâh
Ta'ala.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya:
“Sungguh Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh,
membersihkan (jiwa) mereka,
dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah).
Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
(Qs. Ali ‘Imrân/3 ayat 164)
ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh,
membersihkan (jiwa) mereka,
dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah).
Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
(Qs. Ali ‘Imrân/3 ayat 164)
Maka, orang yang paling banyak memahami dan
mengamalkan petunjuk Al-Qur‘an dan Sunnah dengan baik dan benar, maka
dialah yang paling bersih, suci hati dan jiwanya. Dan dialah yang paling
bertakwa kepada Allâh Ta'ala. Karena semua orang berilmu sepakat
mengatakan, bahwa penghalang utama yang menghalangi seorang manusia
dekat dengan Allâh Ta'ala ialah (kekotoran) jiwanya.[9]