
Bahaya, kerusakan dan kerugian adalah kenyataan yang harus dihadapi manusia di dunia ini. Sehingga kemungkinan terjadi resiko dalam kehidupan, khususnya kehidupan ekonomi sangat besar. Tentu saja ini membutuhkan persiapan sejumlah dana tertentu sejak dini.
Oleh karena itu banyak orang mengambil cara dan sistem untuk dapat menghindari resiko kerugian dan bahaya tersebut. Diantaranya dengan asuransi yang merupakan sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan menyalurkan resiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya.
Sisem ini sudah berkembang luas dinegara Indonesia secara khusus dan dunia secara umumnya. Sehingga memerlukan penjelasan permasalahan ini dalam tinjauan syari’at islam.
Asuransi Secara Umum
Kata asuransi ini dalam bahasa inggris disebut Insurance dan dalam bahasa prancis disebut Assurance. Sedangkan dalam bahasa arab disebut at-Ta’mien. Asuransi ini didefinisikan dalam kamus umum bahasa Indonesia sebagai perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu akan membayar uang kepada pihak yang lain, bila terjadi kecelakaan dan sebagainya, sedang pihak yang lain itu akan membayar iuran. [1]
Demikian juga telah didefinisikan
dalam perundang-undangan negara Indonesia sebagai perjanjian antara dua
pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke
tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
[2]
Sedangkan sebagian ulama syari’at dan ahli fikih memberikan definisi yang beragam, diantaranya:
1. Pendapat pertama,
asuransi adalah perjanjian jaminan dari fihak pemberi jaminan (yaitu
perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin
atau ganti barang yang lain, kepada fihak yang diberi jaminan (yaitu
nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau kepastian bahaya,
yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau
pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan. [3]
2. Pendapat kedua,
asuransi adalah perjanjian yang mengikat diri penanggung sesuai tuntutan
perjanjian untuk membayar kepada pihak tertanggung atau nasabah yang
memberikan syarat tanggungan untuk kemaslahatannya sejumlah uang atau
upah rutin atau ganti harta lainnya pada waktu terjadinya musibah atau
terwujudnya resiko yang telah dijelaskan dalam perjanjian. Hal tersebut
diberikan sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan
tertanggung kepada penanggung (pihak asuransi). [4]
3. Pendapat ketiga,
asuransi adalah pengikatan diri pihak pertama kepada pihak kedua dengan
memberikan ganti berupa uang yang diserahkan kepada pihak kedua atau
orang yang ditunjuknya ketika terjadi resiko kerugian yang telah
dijelaskan dalam akad. Itu sebagai imbalan dari yang diserahkan pihak
kedua berupa sejumlah uang tertentu dalam bentuk angsuran atau yang
lainnya. [5]
Dari definisi yang beraneka ragam tersebut terdapat kata sepakat dalam beberapa hal berikut ini:
- Adanya ijab dan qabul dari pihak penanggung (al-Mu’ammin) dan tertanggung (al-Mu’ammin Lahu).
- Adanya obyek yang menjadi arahan asuransi.
-
Tertanggung menyerahkan kepada penanggung (pengelola asuransi) sejumlah
uang baik dengan tunai atau angsuran sesuai kesepakatan kedua belah
pihak, yang dinamakan premi.
-
Penanggung memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila terjadi
kerusakan seluruhnya atau sebagiannya. Inilah asuransi yang umumnya
berlaku dan ini dinamakan asuransi konvensional (al-Ta’mien al-Tijaari)
yang dilarang mayoritas ulama dan peneliti masalah kontemporer dewasa
ini. Juga menjadi ketetapan majlis Hai’ah kibar Ulama (majlis ulama
besar Saudi Arabia) no. 55 tanggal 4/4/1397 H dan ketetapan no 9 dari
Majlis Majma’ al-Fiqh dibawah Munazhomah al-Mu’tamar al-Islami (OKI).
[6]
Demikian juga diharamkan dalam keputusan al-Mu’tamar al-’Alami al-Awal lil Iqtishad al-Islami di Makkah tahun 1396H. [7]
Kemudian para ulama memberikan
solusi dalam masalah ini dengan merumuskan satu jenis asuransi syari’at
yang didasarkan kepada akad tabarru’at [8] yang dinamakan at-Ta’mien
at-Ta’awuni (asuransi ta’awun) atau at-Ta’mien at-Tabaaduli.
Pengertian Asuransi Ta’awun (at-Ta’mien at-Ta’awuni)
Para ulama kontemporer mendefinisikan at-Ta’mien at-Ta’awuni dengan beberapa definisi, diantaranya:
1. Pendapat pertama,
asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang yang memiliki resiko
bahaya tertentu. Hal itu dengan cara mereka mengumpulkan sejumlah uang
secara berserikat. Sejumlah uang ini dikhususkan untuk mengganti
kerugian yang sepantasnya kepada orang yang tertimpa kerugian diantara
mereka. Apabila premi yang terkumpulkan tidak cukup untuk itu, maka
anggota diminta mengumpulkan tambahan untuk menutupi kekurangan
tersebut. Apabila lebih dari yang dikeluarkan dari ganti rugi tersebut
maka setiap anggota berhak meminta kembali kelebihan tersebut. Setiap
anggota dari asuransi ini adalah penanggung dan tertanggung sekaligus.
Asuransi ini dikelola oleh sebagian anggotanya. Akan jelas gambaran
jenis asuransi ini adalah seperti bentuk usaha kerjasama dan solidaritas
yang tidak bertujuan mencari keuntungan (bisnis) dan tujuannya hanyalah
mengganti kerugian yang menimpa sebagian anggotanya dengan kesepakatan
mereka membaginya diantara mereka sesuai dengan tata cara yang
dijelaskan. [9]
2. Pendapat kedua,
asuransi ta’awun adalah kerjasama sejumlah orang yang memiliki kesamaan
resiko bahaya tertentu untuk mengganti kerugian yang menimpa salah
seorang dari mereka dengan cara mengumpulkan sejumlah uang untuk
kemudian menunaikan ganti rugi ketika terjadi resiko bahaya yang sudah
ditetapkan. [10]
3. Pendapat ketiga,
asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang membuat shunduq
(tempat mengumpulkan dana) yang mereka danai dengan angsuran tertentu
yang dibayar setiap dari mereka. Setiap mereka mengambil dari shunduq
tersebut bagian tertentu apabila tertimpa kerugian (bahaya) tertentu.
4. Pendapat keempat,
asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang yang menanggung
resiko bahaya serupa dan setiap mereka memiliki bagian tertentu yang
dikhususkan untuk menunaikan ganti rugi yang pantas bagi yang terkena
bahaya. Apabila bagian yang terkumpul (secara syarikat) tersebut
melebihi yang harus dikeluarkan sebagai ganti rugi maka anggota memiliki
hak untuk meminta kembali. Apabila kurang maka para anggota diminta
untuk membayar iuran tambahan untuk menutupi kekurangannya atau
dikurangi ganti rugi yang seharusnya sesuai ketidak mampuan tersebut.
Anggota asuransi ta’awun ini tidak berusaha merealisasikan keuntungan
namun hanya berusaha mengurangi kerugian yang dihadapi sebagian
anggotanya, sehingga mereka melakukan akad transaksi untuk saling
membantu menanggung musibah yang menimpa sebagian mereka. [11]
Sehingga dari keterangan diatas
dapat disimpulkan bahwa asuransi ta’awun adalah bergeraknya sejumlah
orang yang masing-masing sepakat untuk mengganti kerugian yang menimpa
salah seorang dari mereka sebagai akibat resiko bahaya tertentu dan itu
diambil dari kumpulan iuran yang setiap dari mereka telah bersepakat
membayarnya. Ini adalah akad tabarru’ yang bertujuan saling membantu dan
tidak bertujuan perniagaan dan cari keuntungan. Sebagaimana juga akad
ini tidak terkandung riba, spekulasi terlarang, gharar dan perjudian.
(tentang gharar, baca juga artikel Mengenal Jual-Beli Gharar)
Gambaran paling gampangnya
adalah misalnya ada satu keluarga atau sejumlah orang membuat shunduq
lalu mereka menyerahkan sejumlah uang yang nantinya dari kumpulan uang
tersebut digunakan untuk ganti rugi kepada anggotanya yang mendapatkan
musibah (bahaya). Apabila uang yang terkumpul tersebut tidak
menutupinya, maka mereka menutupi kekurangannya. Apabila berlebih
setelah penunaian ganti rugi tersebut maka dikembalikan kepada mereka
atau dijadikan modal untuk masa yang akan datang. Hal ini mungkin dapat
diperluas menjadi satu lembaga atau yayasan yang memiliki petugas yang
khusus mengelolanya untuk mendapatkan dan menyimpan uang-uang tersebut
serta mengeluarkannya. Lembaga ini boleh juga memiliki pengelola yang
merencanakan rencana kerja dan managementnya. Semua pekerja dan petugas
berikut pengelolanya mendapatkan gaji tertentu atau mereka melakukannya
dengan sukarela. Namun semua harus dibangun untuk tidak cari keuntungan
(bisnis) dan seluruh sisinya bertujuan untuk ta’awun (saling tolong
menolong). [12]
Dari sini dapat dijelaskan karekteristik asuransi ta’awun sebagai berikut :
Tujuan dari asuransi ta’awun
adalah murni takaful dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup
kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah.
Akad
asuransi ta’awun adalah akad tabarru’. Hal ini tampak tergambarkan
dalam hubungan antara nasabah (anggotanya), dimana bila kurang mereka
menambah dan bila lebih mereka punya hak minta dikembalikan sisanya.
Dasar fikroh asuransi ta’awun
ditegakkan pada pembagian kerugian bahaya tertentu atas sejumlah orang,
dimana setiap orang memberikan saham dalam membantu menutupi kerugian
tersebut diantara mereka. Sehingga orang yang ikut serta dalam asuransi
ini saling bertukar dalam menanggung resiko bahaya diantara mereka.
Pada umumnya asuransi ta’awun
ini berkembang pada kelompok yang punya ikatan khusus dan telah lama,
seperti kekerabatan atau satu pekerjaan (profesi).
Penggantian ganti rugi atas
resiko bahaya yang ada diambil dari yang ada di shunduq (simpanan)
asuransi, apabila tidak mencukupi maka terkadang diminta tambahan dari
anggota atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja. [13]
Perbedaan Antara Asuransi Ta’awun dan Konvensional. [14]
Dari karekteristik diatas dan
definisi yang disampaikan para ulama kontemporer tentang asuransi
ta’awun dapat dijelaskan perbedaan antara asuransi ini dengan yang
konvensional. Diantaranya:
1. Asuransi ta’awun
termasuk akad tabarru yang bermaksud murni takaful dan ta’awun (saling
tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan
musibah. Sehingga premi dari anggotanya bersifat hibah (tabarru’).
Berbeda dengan asuransi konvensional yang bermaksud mencari keuntungan
berdasarkan akad al-Mu’awwadhoh al-Ihtimaliyah (bisnis oriented yang
berspekulasi yang dalam bahasa Prancis contrats aleatoirs).
2. Penggantian ganti rugi
atas resiko bahaya dalam asuransi ta’awun diambil dari jumlah premi
yang ada di shunduq (simpanan) asuransi. Apabila tidak mencukupi maka
adakalanya minta tambahan dari anggota atau mencukupkan dengan menutupi
sebagian kerugian saja. Sehingga tidak ada keharusan menutupi seluruh
kerugian yang ada bila anggota tidak sepakat menutupi seluruhnya.
Berbeda dengan asuransi konvensional yang mengikat diri untuk menutupi
seluruh kerugian yang ada (sesuai kesepakatan) sebagai ganti premi
asuransi yang dibayar tertanggung. Hal ini menyebabkan perusahaan
asuransi mengikat diri untuk menanggung semua resiko sendiri tanpa
adanya bantuan dari nasabah lainnya. Oleh karena itu tujuan akadnya
adalah cari keuntungan, namun keuntungannya tidak bias untuk kedua belah
pihak. Bahkan apabila perusahaan asuransi tersebut untung maka nasabah
(tertanggung) merugi dan bila nasabah (tertanggung) untung maka
perusahaan tersebut merugi. Dan ini merupakan memakan harta dengan batil
karena berisi keuntungan satu pihak diatas kerugian pihak yang lainnya.
3. Dalam asuransi
konvensional bisa jadi perusahaan asuransi tidak mampu membayar ganti
rugi kepada nasabahnya apabila melewati batas ukuran yang telah
ditetapkan perusahaan untuk dirinya. Sedangkan dalam asuransi ta’awun,
seluruh nasabah tolong menolong dalam menunaikan ganti rugi yang harus
dikeluarkan dan pembayaran ganti rugi sesuai dengan yang ada dari peran
para anggotanya.
4. Asuransi ta’awun tidak
dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari selisih premi yang dibayar
dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila ada selisih (sisa) dari
pembayaran klaim maka dikembalikan kepada anggota (tertanggung).
Sedangkan sisa dalam perusahaan asuransi konvensional dimiliki
perusahaan.
5. Penanggung
(al-Mu’ammin) dalam asuransi ta’awun adalah tertanggung (al-Mu’ammin
Lahu) sendiri. Sedangkan dalam asuransi konvensional, penanggung
(al-Mu’ammin) adalah pihak luar.
6. Premi yang dibayarkan
tertanggung dalam asuransi ta’awun digunakan untuk kebaikan mereka
seluruhnya. Karena tujuannya tidak untuk berbisnis dengan usaha
tersebut, namun dimaksudkan untuk menutupi ganti kerugian dan biaya
operasinal perusahaan saja Sedangkan dalam system konvensional premi
tersebut digunakan untuk kemaslahatan perusahaan dan keuntungannya
semata Karena tujuannya adalah berbisnis dengan usaha asuransi tersenut
untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pembayaran premi
para nasabahnya.
7. Asuransi ta’awun bebas
dari riba, spekulasi dan perjudian serta gharar yang terlarang.
Sedangkan asuransi konvensional tidak lepas dari hal-hal tersebut.
8. Dalam asuransi ta’awun, hubungan antara nasabah dengan perusahaan asuransi ta’awun ada pada asas berikut ini:
a. Pengelola perusahaan
melaksanakan managemen operasional asuransi berupa menyiapkan surat
tanda keanggotaan (watsiqah), mengumpulkan premi, mengeluarkan klaim
(ganti rugi) dan selainnya dari pengelolaannya dengan mendapatkan gaji
tertentu yang jelas. Itu karena mereka menjadi pengelola operasional
asuransi dan ditulis secara jelas jumlah fee (gaji) tersebut.
b. Pengelola perusahaan
melakukan pengembangan modal yang ada untuk mendapatkan izin membentuk
perusahaan dan juga memiliki kebolehan mengembangkan harta asuransi yang
diserahkan para nasabahnya. Dengan ketentuan mereka berhak mendapatkan
bagian keuntungan dari pengembangan harta asuransi sebagai mudhoorib
(pengelola pengembangan modal dengan mudhorabah).
c. Perusahaan memiliki
dua hitungan yang terpisah. Pertama untuk pengembangan modal perusahaan
dan kedua hitungan harta asuransi dan sisa harta asuransi murni milik
nasabah (pembayar premi).
d. Pengelola perusahaan
bertanggung jawab apa yang menjadi tanggung jawab al-Mudhoorib dari
aktivitas pengelolaan yang berhubungan dengan pengembangan modal sebagai
imbalan bagian keuntungan mudhorabah, sebagaimana juga bertanggung
jawab pada semua pengeluaran kantor asuransi sebagai imbalan fee (gaji)
pengelolaan yang menjadi hak mereka. [15]
Sedangkan hubungan antara
nasabah dengan perusahan asuransi dalam asuransi konvensional adalah
semua premi yang dibayar nasabah (tertanggung) menjadi harta milik
perusahaan yang dicampur dengan modal perusahaan sebagai imbalan
pembayaran klaim asuransi. Sehingga tidak ada dua hitungan yang
terpisah.
1. Nasabah dalam
perusahaan asuransi ta’awun dianggap anggota syarikat yang memiliki hak
terhadap keuntungan yang dihasilkan dari usaha pengembangan modal
mereka. Sedangkan dalam asuransi konvensional, para nasabah tidak
dianggap syarikat, sehingga tidak berhak sama sekali dari keuntungan
pengembangan modal mereka bahkan perusahan sendirilah yang mengambil
seluruh keuntungan yang ada.
2. Perusahaan asuransi
ta’awun tidak mengembangkan hartanya pada hal-hal yang diharamkan.
Sedangkan asuransi konvensional tidak memperdulikan hal dan haram dalam
pengembangan hartanya.
Demikianlah beberapa perbedaan yang ada. Mudah-mudahan semakin memperjelas permasalahan asuransi ta’awun ini. Wabillahittaufiq.
Maroji' :
- Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnah ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta)
- Al-’Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah, Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 2006M, Dar Kunuuz Isybiliyaa, KSA
- al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA
- Fiqhu an-Nawaazil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, DR. Muhammad bin Husein al-Jiezaani, cetakan pertama tahun 1426H, dar Ibnu al-Juazi.
- Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2. (lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net)
________
Footnotes:
[1] Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan W.J.S Purwodarminto, cetakan ke-8 tahun 1984, Balai Pustaka, hal 63.
[2] Lihat Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian.
[3] Lihat pembahasan tentang asuransi oleh Ustadz Muslim Atsary pada artikel Menyoal Asuransi Dalam Islam
[4] Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnah ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta) Saudi Arabiya, 4/36.
[5] At-Ta’mien wa Ahkamuhu oleh al-Tsanayaan hal 40, dinukil dari kitab Al-’Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah Wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 2006M, Dar Kunuuz Isybiliyaa, KSA hal. 288.
[6] Lihat al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 255.
[7] Fiqhu an-Nawaazil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, DR. Muhammad bin Husein al-Jiezaani, cetakan pertama tahun 1426H, dar Ibnu al-Juazi, 3/267.
[8] Akad Tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial, lihat Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
[9] Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnahu ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta) Saudi Arabiya, 4/38.
[10] Nidzom at-Ta’mien, Musthofa al-Zarqa’ hal. 42 dinukil dari kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal. 289.
[11] Al-Ghoror wa Atsaruhu fi al-’Uquud, DR. al-Dhoriir, cetakan kedua dari Mathbu’aat Majmu’ah Dalah al-Barokah, hlm 638 dinukil dari Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2. (lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net )
[12] Lihat tentang hal ini dalam pembahasan at-Ta’mien at-Ta’awuni al-Murakkab dalam kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal. 291-311.
[13] Kelima karekteristik ini diambil dari kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal 290-291
[14] kami ringkas dari dua sumber yaitu Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2-3 dan al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal 290-291 serta al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa hlm 255-256
[15] Sebagaimana menjadi hasil keputusan dari Nadwah (Simposium) al-Barkah ke 12 untuk ekonomi islam, ketetapan dan anjuran Nadwah al-Barkah lil Iqtishad al-Islami hal. 212.
Read more: http://abuayaz.blogspot.com/2011/11/asuransi-syariah-vs-asuransi.html#ixzz2Eo4Shs2M