Siapakah
yang menyangka saat itu, keharuman pribadinya kelak akan merebak di
sepanjang sejarah Islam di setiap dada kaum muslimin? Siapakah yang
menyangka, bahwa wanita yang mulia ini akan mendapatkan sebuah keutamaan
yang besar yang telah ditetapkan Allah baginya? Siapakah yang
menyangka, wanita cantik jelita ini akan mendampingi manusia yang paling
mulia dalam rentang awal perjalanan dakwahnya? Siapakah yang menyangka
saat itu…?
Muslimin manakah yang tak pernah mendengar sebutan namanya? Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay Al-Qurasyiyah Al-Asadiyah radhiyallahu‘anha yang tercatat sebagai istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam sekaligus wanita pertama yang membenarkan pengangkatan Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasalam sebagai nabi dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi Wasalam
Muslimin manakah yang tak pernah mendengar sebutan namanya? Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay Al-Qurasyiyah Al-Asadiyah radhiyallahu‘anha yang tercatat sebagai istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam sekaligus wanita pertama yang membenarkan pengangkatan Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasalam sebagai nabi dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi Wasalam
Sebelumnya dia dikenal sebagai seorang
wanita yang menjaga kehormatan dirinya sehingga melekatlah sebutan
ath-thaahirah pada dirinya. Dia seorang janda dari suaminya yang
terdahulu, Abu Halah bin Zararah bin an-Nabbasy bin ‘Ady at-Tamimi,
kemudian menikah dengan ‘Atiq bin ‘A’idz bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin
Makhzum. Saat dia kembali menjanda, seluruh pemuka Quraisy mengangankan
agar dapat menyuntingnya.
Sebagaimana umumnya Quraisy yang hidup sebagai pedagang, Khadijah radhiyallahu‘anha adalah wanita pedagang yang mulia dan banyak harta. Tiada yang mengira, ternyata pekerjaannya itu akan mengantarkan pertemuannya dengan manusia yang paling mulia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam.
Ia memberikan tawaran kepada seorang pemuda bernama Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasalam untuk membawa hartanya ke Syam, disertai budaknya yang bernama Maisarah. Perdagangan yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasalam itu memberikan keuntungan yang berlipat. Tak hanya itu, Maisarah pun membawa buah tutur yang mengesankan tentang diri Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasalam.
Penuturan Maisarah membekas dalam hati Khadijah radhiyallahu’anha. Dia pun terkesan pada kejujuran, amanah, dan kebaikan akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam. Tersimpan keinginan yang kuat dalam dirinya untuk memperoleh kebaikan itu, hingga diutuslah seseorang untuk menjumpai beliau dan menyampaikan hasratnya. Dia tawarkan dirinya untuk dipersunting Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasalam, seorang pemuda yang saat itu berusia dua puluh lima tahun. Gayung pun bersambut.
Namun, ayah Khadijah enggan untuk menikahkannya. Khadijah, wanita yang cerdas itu tak tinggal diam. Ia tak ingin terluput dari kebaikan yang telah bergayut dalam angannya. Dibuatnya makanan dan minuman, diundangnya ayah beserta teman-temannya dari kalangan Quraisy. Mereka pun makan dan minum hingga mabuk. Saat itulah Khadijah mengemukakan kepada ayahnya, “Sesungguhnya Muhammad bin ‘Abdillah telah mengkhitbahku, maka nikahkanlah aku dengannya.” Dinikahkanlah Khadijah dengan Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasalam, dan segera Khadijah memakaikan wewangian dan perhiasan pada diri ayahnya, sebagaimana kebiasaan mereka pada saat itu.
Tatkala sadar dari mabuknya, ayah Khadijah mendapati dirinya mengenakan wewangian dan perhiasan. Ia bertanya keheranan, “Mengapa aku? Apa ini?” Khadijah berkata kepada ayahnya, “Engkau telah menikahkanku dengan Muhammad bin ‘Abdillah.” Ayahnya pun berang, “Apakah aku akan menikahkanmu dengan anak yatim Abu Thalib? Tidak, demi umurku!” Khadijah menjawab, “Apakah engkau tidak malu, engkau ingin menampakkan kebodohanmu di hadapan orang-orang Quraisy dengan menyatakan kepada mereka bahwa engkau saat itu menikahkanku dalam keadaan mabuk?” Tak henti-henti Khadijah berucap demikian hingga ayahnya ridha.
Wanita jelita itu, Khadijah radhiyallahu‘anha, mendapati kembali belahan hatinya dalam usia empat puluh tahun. Tergurat peristiwa ini dalam sejarah lima belas tahun sebelum Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasalam diangkat sebagai nabi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan Khadijah radhiyallahu’anha mendampingi seorang nabi. Awal mula wahyu turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam berupa mimpi yang baik yang datang dengan jelas seperti munculnya cahaya subuh. Kemudian Allah jadikan beliau Shallallahu ‘alaihi Wasalam gemar menyendiri di gua Hira’, ber-tahannuts beberapa malam di sana. Lalu biasanya beliau kembali sejenak kepada keluarganya untuk menyiapkan bekal. Demikian yang terus berlangsung, hingga datanglah al-haq, dibawa oleh seorang malaikat.
Peristiwa ini sangat mengguncang hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam. Bergegas-gegas beliau kembali menemui Khadijah radhiyallahu’anha dalam keadaan takut dan berkata, “Selimuti aku, selimuti aku!” Diselimutilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam hingga beliau merasa tenang dan hilang rasa takutnya. Kemudian mulailah beliau mengisahkan apa yang terjadi pada dirinya. Beliau mengatakan kepada Khadijah, “Aku khawatir terjadi sesuatu pada diriku.”
Mengalirlah tutur kata penuh kebaikan dari lisan Khadijah radhiyallahu’anha, membiaskan ketenangan dalam dada suaminya, “Tidak, demi Allah. Allah tidak akan merendahkanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkau adalah seorang yang suka menyambung kekerabatan, menanggung beban orang yang kesusahan, memberi harta pada orang yang tidak memiliki, menjamu tamu dan membantu orang yang membela kebenaran.”
Sebagaimana umumnya Quraisy yang hidup sebagai pedagang, Khadijah radhiyallahu‘anha adalah wanita pedagang yang mulia dan banyak harta. Tiada yang mengira, ternyata pekerjaannya itu akan mengantarkan pertemuannya dengan manusia yang paling mulia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam.
Ia memberikan tawaran kepada seorang pemuda bernama Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasalam untuk membawa hartanya ke Syam, disertai budaknya yang bernama Maisarah. Perdagangan yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasalam itu memberikan keuntungan yang berlipat. Tak hanya itu, Maisarah pun membawa buah tutur yang mengesankan tentang diri Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasalam.
Penuturan Maisarah membekas dalam hati Khadijah radhiyallahu’anha. Dia pun terkesan pada kejujuran, amanah, dan kebaikan akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam. Tersimpan keinginan yang kuat dalam dirinya untuk memperoleh kebaikan itu, hingga diutuslah seseorang untuk menjumpai beliau dan menyampaikan hasratnya. Dia tawarkan dirinya untuk dipersunting Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasalam, seorang pemuda yang saat itu berusia dua puluh lima tahun. Gayung pun bersambut.
Namun, ayah Khadijah enggan untuk menikahkannya. Khadijah, wanita yang cerdas itu tak tinggal diam. Ia tak ingin terluput dari kebaikan yang telah bergayut dalam angannya. Dibuatnya makanan dan minuman, diundangnya ayah beserta teman-temannya dari kalangan Quraisy. Mereka pun makan dan minum hingga mabuk. Saat itulah Khadijah mengemukakan kepada ayahnya, “Sesungguhnya Muhammad bin ‘Abdillah telah mengkhitbahku, maka nikahkanlah aku dengannya.” Dinikahkanlah Khadijah dengan Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasalam, dan segera Khadijah memakaikan wewangian dan perhiasan pada diri ayahnya, sebagaimana kebiasaan mereka pada saat itu.
Tatkala sadar dari mabuknya, ayah Khadijah mendapati dirinya mengenakan wewangian dan perhiasan. Ia bertanya keheranan, “Mengapa aku? Apa ini?” Khadijah berkata kepada ayahnya, “Engkau telah menikahkanku dengan Muhammad bin ‘Abdillah.” Ayahnya pun berang, “Apakah aku akan menikahkanmu dengan anak yatim Abu Thalib? Tidak, demi umurku!” Khadijah menjawab, “Apakah engkau tidak malu, engkau ingin menampakkan kebodohanmu di hadapan orang-orang Quraisy dengan menyatakan kepada mereka bahwa engkau saat itu menikahkanku dalam keadaan mabuk?” Tak henti-henti Khadijah berucap demikian hingga ayahnya ridha.
Wanita jelita itu, Khadijah radhiyallahu‘anha, mendapati kembali belahan hatinya dalam usia empat puluh tahun. Tergurat peristiwa ini dalam sejarah lima belas tahun sebelum Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasalam diangkat sebagai nabi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan Khadijah radhiyallahu’anha mendampingi seorang nabi. Awal mula wahyu turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam berupa mimpi yang baik yang datang dengan jelas seperti munculnya cahaya subuh. Kemudian Allah jadikan beliau Shallallahu ‘alaihi Wasalam gemar menyendiri di gua Hira’, ber-tahannuts beberapa malam di sana. Lalu biasanya beliau kembali sejenak kepada keluarganya untuk menyiapkan bekal. Demikian yang terus berlangsung, hingga datanglah al-haq, dibawa oleh seorang malaikat.
Peristiwa ini sangat mengguncang hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam. Bergegas-gegas beliau kembali menemui Khadijah radhiyallahu’anha dalam keadaan takut dan berkata, “Selimuti aku, selimuti aku!” Diselimutilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam hingga beliau merasa tenang dan hilang rasa takutnya. Kemudian mulailah beliau mengisahkan apa yang terjadi pada dirinya. Beliau mengatakan kepada Khadijah, “Aku khawatir terjadi sesuatu pada diriku.”
Mengalirlah tutur kata penuh kebaikan dari lisan Khadijah radhiyallahu’anha, membiaskan ketenangan dalam dada suaminya, “Tidak, demi Allah. Allah tidak akan merendahkanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkau adalah seorang yang suka menyambung kekerabatan, menanggung beban orang yang kesusahan, memberi harta pada orang yang tidak memiliki, menjamu tamu dan membantu orang yang membela kebenaran.”
Lalu Khadijah
radhiyallahu’anha membawa suaminya menemui Waraqah bin Naufal bin Asad
bin ‘Abdil ‘Uzza, anak paman Khadijah radhiyallahu’anha, seorang yang
beragama Nashrani pada masa itu dan telah menulis al-Kitab dalam bahasa
Ibrani. Dia adalah seorang laki-laki yang lanjut usia dan telah buta.
Khadijah radhiyallahu’anha berkata padanya, “Wahai anak pamanku,
dengarkanlah penuturan anak saudaramu ini.” Waraqah pun bertanya, “Wahai
anak saudaraku, apa yang engkau lihat?”
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasalam menuturkan pada Waraqah apa yang beliau
lihat. Setelah itu, Waraqah mengatakan, “Itu adalah Namus yang Allah
turunkan kepada Musa. Aduhai kiranya aku masih muda pada saat itu!
Aduhai kiranya aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu!” Mendengar itu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam bertanya, “Apakah mereka akan
mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya. Tidak ada seorang pun yang membawa
seperti yang engkau bawa kecuali pasti dimusuhi. Kalau aku menemui masa
itu, sungguh-sungguh aku akan menolongmu.” Namun tak lama kemudian,
Waraqah meninggal.
Inilah kiprah
pertama Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu’anha semenjak masa
nubuwah. Dia pulalah orang pertama yang shalat bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasalam dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anha.
Terus mengalir dukungan dan pertolongan Khadijah radhiyallahu’anha
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam dalam menghadapi kaumnya.
Setiap kali beliau mendengar sesuatu yang tidak beliau sukai dari
kaumnya, beliau menjumpai Khadijah radhiyallahu’anha. Lalu Khadijah pun
menguatkan hati beliau, meringankan beban yang beliau rasakan dari
manusia.
Tak hanya itu
kebaikan Khadijah radhiyallahu’anha. Dia berikan apa yang dimiliki
kepada suami yang dicintainya. Bahkan ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasalam menampakkan rasa senangnya pada Zaid bin Haritsah, budak
yang berada di bawah kepemilikannya, Khadijah pun menghibahkan budak
itu kepada suaminya. Inilah yang mengantarkan Zaid memperoleh kemuliaan
menjadi salah satu orang yang terdahulu beriman.
Dialah Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu’anha. Kemuliaan itu telah diraihnya semenjak ia masih ada di muka dunia. Tatkala Jibril ‘Alaihis Salam datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, ini dia Khadijah. Dia akan datang membawa bejana berisi makanan atau minuman. Bila ia datang padamu, sampaikanlah salam padanya dari Rabbnya dan dariku, dan sampaikan pula kabar gembira tentang rumah di dalam surga dari mutiara yang berlubang, yang tak ada keributan di dalamnya, dan tidak pula keletihan.”
Tiba pungkasnya masa Khadijah radhiyallahu’anha mendampingi suaminya yang mulia. Khadijah radhiyallahu’anha kembali kepada Rabbnya ‘Azza wa Jalla, tak lama berselang setelah meninggalnya Abu Thalib, paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam. Tahun itu menjadi tahun berduka bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam. Kaum musyrikin pun semakin berani mengganggu beliau sampai akhirnya Allah perintahkan beliau untuk meninggalkan Makkah menuju negeri hijrah, Madinah, tiga tahun setelah itu.
Dialah Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu’anha. Kemuliaan itu telah diraihnya semenjak ia masih ada di muka dunia. Tatkala Jibril ‘Alaihis Salam datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, ini dia Khadijah. Dia akan datang membawa bejana berisi makanan atau minuman. Bila ia datang padamu, sampaikanlah salam padanya dari Rabbnya dan dariku, dan sampaikan pula kabar gembira tentang rumah di dalam surga dari mutiara yang berlubang, yang tak ada keributan di dalamnya, dan tidak pula keletihan.”
Tiba pungkasnya masa Khadijah radhiyallahu’anha mendampingi suaminya yang mulia. Khadijah radhiyallahu’anha kembali kepada Rabbnya ‘Azza wa Jalla, tak lama berselang setelah meninggalnya Abu Thalib, paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam. Tahun itu menjadi tahun berduka bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam. Kaum musyrikin pun semakin berani mengganggu beliau sampai akhirnya Allah perintahkan beliau untuk meninggalkan Makkah menuju negeri hijrah, Madinah, tiga tahun setelah itu.
Khadijah bintu
Khuwailid radhiyallahu’anha. Kemuliaannya, kebaikannya dan kesetiaannya
senantiasa dikenang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam hingga
merebaklah kecemburuan ‘Aisyah radhiyallahu’anha, “Bukankah dia itu
hanya seorang wanita tua yang Allah telah mengganti bagimu dengan yang
lebih baik darinya?” Perkataan itu membuat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasalam marah, “Tidak, demi Allah. Tidaklah Allah mengganti
dengan seseorang yang lebih baik darinya. Dia beriman ketika manusia
mengkufuriku, dia membenarkan aku ketika manusia mendustakanku, dia
memberikan hartanya padaku saat manusia menahan hartanya dariku, dan
Allah memberikan aku anak darinya yang tidak diberikan dari selainnya.”
Khadijah bintu
Khuwailid radhiyallahu’anha. Kemuliaan itu telah dijanjikan melalui
lisan mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalam, “Wanita ahli
surga yang paling utama adalah Khadijah bintu Khuwailid, Fathimah bintu
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasalam, Maryam bintu ‘Imran, dan Asiyah
bintu Muzahim istri Fir’aun.” Semoga Allah meridhainya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
(Hadiah untuk putriku tersayang, Khadijah bintu Abi Ishaq, untuk suamiku tercinta dan untuk istri-istri suamiku yang mulia)
DAFTAR PUSTAKA:
(Hadiah untuk putriku tersayang, Khadijah bintu Abi Ishaq, untuk suamiku tercinta dan untuk istri-istri suamiku yang mulia)
DAFTAR PUSTAKA:
Al-Ishabah, Al-Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
Mukhtashar Sirah ar-Rasul, Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab
Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Al-Bukhari
Shahih As-Sirah An-Nabawiyah, Asy-Syaikh Ibrahim Al-‘Aly
Siyar A’lamin Nubala’, Al-Imam Adz-Dzahabi
Mukhtashar Sirah ar-Rasul, Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab
Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Al-Bukhari
Shahih As-Sirah An-Nabawiyah, Asy-Syaikh Ibrahim Al-‘Aly
Siyar A’lamin Nubala’, Al-Imam Adz-Dzahabi
Judul Asli: Khadijah Bintu Khuwailid: Penopang Duka Khairul Anam