قال ابن إسحاق : ، اتخذوا إسافا ونائلة على موضع زمزم ينحرون عندهما وكان إساف ونائلة رجلا وامرأة من جرهم – هو إساف بن بغي ونائلة بنت ديك – فوقع إساف على نائلة في الكعبة ، فمسخهما الله حجرين
“Kaum kafir Quraisy menjadikan Isaf dan
Nailah [sebagai berhala sesembahan] di dekat sumur Zamzam, mereka
menyembelih qurban di sisi mereka berdua. Isaf dan Nailah dahulunya
adalah seorang laki-laki dan wanita dari suku Jurhum –yaitu Isaf bin
Baghy dan Nailah binti Diik- Isaf Menzinahi Nailah di dalam Ka’bah, maka
Allah mengubah mereka berdua menjadi dua buah batu.”[1]
‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
ما زلنا نسمع أن إسافا ونائلة كانا رجلا وامرأة من جرهم ، أحدثا في الكعبة ، فمسخهما الله تعالى حجرين والله أعلم
“Kami dahulunya selalu mendengar kisah
mengenai Isaf dan Nailah, mereka berdua adalah laki-laki dan wanita dari
suku Jurhum, mereka berdua berzina di dalam Ka’bah, maka Allah mengubah
mereka berdua menjadi dua buah batu. Wallahu A’lam.”[2]
Ulama ahli Tafsir Ath-Thabari membawakan atsar dari Asy-Sya’bi,
أن وَثَنًا كان في الجاهلية على الصفا يسمى”إسافًا”، ووثنًا على المرْوة يسمى”نائلة”، فكان أهل الجاهلية إذا طافوا بالبيت مَسحوا الوثَنين. فلما جاء الإسلام وكُسرت الأوثان
“Ada sebuah berhala di zaman jahiliyah di
Shafa yang bernama “isaf” dan satu lagi berhala di Marwah yang
dinamakan Nailah. Masyarakat jahiliyah jika thawaf di Ka’bah, mereka
mengusap [mengharap berkah] kedua berhala tersebut. Tatkala datang
Islam, kedua berhala tersebut dihancurkan.”[3]
Manusia yang mulia jadi hina dengan kesyirikan
Lihat bagaimana dua sejoli yang
seharusnya diberi hukuman atau bahkan dicemooh oleh orang malah disembah
dan diagungkan oleh pelaku kesyirikan.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah berkata,
الشرك مهانة للانسانية : إنه إهانة لكرامة الانسان، و انحطاط لقدره و منزلته ، فقد استخلفه الله في الأرض و كرّمه و علمه الأسماء كلها، و سخر له ما في السموات و ما في الأرض جميعا منه ، و جعل له السيادة على كل ما في هذا الكو ، و لكنه جهِل نفسه و جعل بعض عناصر هذا الكون إلها معبودا يخضع له و يذل ، و أي إهانة للانسان أكثر من أن يرى -إلى يومنا هذا- مئات الملايين من البشر في الهند يعبدون البقر التي خلقها الله للانسان و لتخدمه و هي صحيحة و يأكلها و هي ذبيحة ، ثم ترى بعض المسلمين يعكفون على قبور الموتى و يسألونهم حاجاتهم و هم عبيد
“Syirik adalah kehinaan bagi manusia,
syirik adalah kehinaan bagi kemuliaan manusia, perendahan derajat dan
kedudukan mereka. Allah telah menjadikan mereka khalifah di muka bumi,
memuliakan mereka, mengajarkan mereka nama-nama semua, menundukkan bagi
mereka apa yang ada di langit dan di bumi seluruhnya dan menjadikan
kebahagiaan bagi mereka apa yang ada di alam semesta. Akan tetapi mereka
membodohi diri mereka sendiri. Mereka menjadikan berbagai unsur di
semesta ini sebagai tuhan yang disembah, menundukkan diri dan
merendahkan diri padanya.
Kehinaan kesyirikan sangat parah jika
dilihat pada zaman sekarang ini, 200 Juta orang di India menyembah sapi
yang Allah ciptakan untuk manusia guna berkhidmad kepada manusia,
dimakan dagingnya ketika disembelih. Kemudian kalian bisa melihat
sebagian kaum muslim yang beribadah [menyembah] disekitar kuburan orang
mati, meminta kepada kuburan hajat mereka padahal mereka juga hamba
semisal mereka.”[4]
Contoh lainnya hinanya pelaku kesyirikan
-Sapi Albino keraton Solo “Kiayi Slamet”
yang dianggap suci dan “ngalap berkah”, kotoran tahinya diperebutkan
sebagai membawa keberuntungan, bahkan ada yang menggunakan kotoran untuk
dipakai cuci muka
-seseorang harus permisi dan takut ketika
lewat pohon yang angker kemudian memberikan sesaji supaya yang lewat
tidak diganggu. Padahal manusia tidak perlu takut dengan hal seperti ini
-memberi sesembahan sesajen kepada Ratu
pantai selatan setiap tahun atau kepada makhluk halus penjaga gunung
merapi. Padahal ini tidak perlu, menghinakan manusia dan membuang-buang
waktu, tenaga dan harta.
Demikianlah para pelaku kseyirikan hina
bahkan lebih hina dan sesat dari binatang ternak, karena binatang ternak
saja terkadang saling serang dengan binatang ternak yang lain. Akan
tetapi pelaku kesyirikan malah mengagungkannya. Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلاً
“Atau apakah kamu mengira bahwa
kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain
hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya
(dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqon:44).
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاء فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ
“Barangsiapa mempersekutukan sesuatu
dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar
oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” [Al-Hajj:
31]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menafsirkan,
كذلك المشرك، فالإيمان بمنزلة السماء، محفوظة مرفوعة. ومن ترك الإيمان، بمنزلة الساقط من السماء، عرضة للآفات والبليات، فإما أن تخطفه الطير فتقطعه أعضاء، كذلك المشرك إذا ترك الاعتصام بالإيمان تخطفته الشياطين من كل جانب، ومزقوه، وأذهبوا عليه دينه ودنياه
“Demikianlah kesyirikan, keimanan
sebagaimana langit, ia terjaga dan tinggi, barangsiapa yang meninggalkan
keimanan, maka sebagaimana benda yang jatuh dari langit, maka akan
mudah mengalami gangguan dan godaan, bisa jadi disambar oleh burung lalu
memotong angota tubuh. Demikian juga pelaku kesyirikan, jika
meninggalkan berpegang teguh dengan keimanan, maka akan digoda oleh
syaitan dari segala sisi, lalu merobek-robeknya dan menghancurkan agama
dan dunianya.”[5]
wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam
Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
11 Jumadil akhir 1432 H, Bertepatan 3 Mei 2012
Penyusun: Raehanul Bahraen
Judul Asli : Hinanya Kesyirikan: Dua Sejoli Berzina Di Dalam Ka’bah, Lalu Disembah
Judul Asli : Hinanya Kesyirikan: Dua Sejoli Berzina Di Dalam Ka’bah, Lalu Disembah
Artikel www.muslimafiyah.com
_______________________________
_______________________________
[1] Sirah Ibnu Hisyam 1/82, Syamilah
[2] idem
[3] Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran 3/231, Muassasah Risalah, cet. I, 1420 H, Syamilah
[4] Minhaj Firqotun Najiyah hal. 78, Darul Haramain
[5] Taisir karimir Rahmah hal. 509, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. I, 1424 H