
“Kita dulu enjoy saja melakukan kesyirikan, mungkin karena belum tahu pengertian tauhid yang sebenarnya” (Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal. 90)
“Kita
biasa melakukan ziarah ngalap berkah sekaligus kirim pahala bacaan
kepada penghuni kubur/mayit. Sebenarnya, hal tersebut atas dasar
kebodohan kita. Bagaimana tidak, contohnya adalah saya sendiri di kala
masih berumur 12 tahun sudah mulai melakukan ziarah ngalap berkah
dan kirim pahala bacaan, dan waktu itu saya belum tahu ilmu sama
sekali, yang ada hanya taklid buta. Saat itu saya hanya melihat
banyak orang yang melakukan, dan bahkan banyak juga kyai yang
mengamalkannya. Hingga saya menduga dan beranggapan bahwa hal itu
adalah suatu kebenaran.” (Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal. 210)
Beliau
adalah Kyai Afrokhi Abdul Ghoni, pendiri sekaligus pengasuh pondok
pesantren “Rahmatullah”. Nama beliau tidak hanya dibicarakan oleh
teman-teman dari Kediri saja, namun juga banyak diperbincangkan oleh
teman-teman pengajian di Surabaya, Gresik, Malang dan Ponorogo.
Keberanian
beliau dalam menantang arus budaya para kyai yang tidak sejalan
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih yang telah berurat berakar
dalam lingkungan pesantrennya, sikap penentangan beliau terhadap
arus kyai itu bukan berlandaskan apriori belaka, bukan pula didasari
oleh rasa kebencian kepada suatu golongan, emosi atau dendam, namun
merupakan Kehendak, Hidayah dan Taufiq dari Allah ta’ala.
Kyai
Afrokhi hanya sekedar menyampaikan yang ma’ruf dan mencegah dari
yang mungkar, mengatakan yang haq adalah haq dan yang batil adalah
batil. namun, usaha beliau itu dianggap sebagai sebuah makar terhadap
ajaran Nahdhatul Ulama (NU), sehingga beliau layak dikeluarkan dari
keanggotaan NU secara sepihak tanpa mengklarifikasikan permasalahan itu
kepada beliau.
Kyai
Afrokhi tidak mengetahui adanya pemecatan dirinya dari keanggotaan
NU. Beliau mengetahui hal itu dari para tetangga dan kerabatnya.
Seandainya para Kyai, Gus dan Habib itu tidak hanya mengedepankan
egonya, kemudian mereka mau bermusyawarah dan mau mendengarkan
permasalahan ajaran agama ini, kemudian mempertanyakan kenapa beliau
sampai berbuat demikian, beliau tentu bisa menjelaskan permasalahan
agama ini dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih yang
harus benar-benar diajarkan kepada para santri serta umat pada
umumnya.
Seandainya
para Kyai itu mau mengkaji kembali ajaran dan tradisi budaya yang
berurat berakar yang telah dikritisi dan digugat oleh banyak pihak.
Bukan hanya oleh Kyai Afrokhi sendiri, namun juga dari para ulama
tanah haram juga telah menggugat dan mengkritisi penyakit kronis
dalam aqidah NU yang telah mengakar mengurat kepada para santri dan
masyarakat. Jika mereka itu mau mendengarkan perkataan para ulama
itu, tentunya penyakit-penyakit kronis yang ada dalam tubuh NU akan
bisa terobati. Aqidah umatnya akan terselamatkan dari penyakit TBC
(Tahayul, Bid’ah, Churofat). Sehingga Kyai-kyai NU, habib, Gus serta
asatidznya lebih dewasa jika ada orang yang mau dengan ikhlas
menunjukkan kesesatan yang ada dalam ajaran NU dan yang telah banyak
menyimpang dari tuntunan Rasulullah dan para sahabatnya. Maka, Insya
Allah, NU khususnya dan para ‘alim NU pada umumnya akan menjadi
barometer keagamaan dan keilmuan. ‘Alimnya yang berbasis kepada
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, yang sesuai dengan misi NU itu
sendiri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, sehingga para ‘alim serta Kyai
yang duduk pada kelembagaannya berhak menyandang predikat sebagai
pewaris para Nabi.
Namun
sayang, dakwah yang disampaikan oleh Kyai Afrokhi dipandang sebelah
mata oleh para Kyai NU setempat. Mereka juga meragukan keloyalan
beliau terhadap ajaran NU. Dengan demikian, beliau harus menerima
konsekuensi berupa pemecatan dari kepengurusan keanggotaannya sebagai
a’wan NU Kandangan, Kediri, sekaligus dikucilkan dari lingkungan
para kyai dan lingkungan pesantren. Mereka semua memboikot aktivitas
dakwah Kyai Afrokhi.
Walaupun
beliau mendapat perlakuan yang demikian, beliau tetap menyikapinya
dengan ketenangan jiwa yang nampak terpancar dari dalam dirinya.
Siapakah
yang berani menempuh jalan seperti jalan yang ditempuh oleh Kyai
Afrokhi, yang penuh cobaan dan cobaan? Atau Kyai mana yang ingin
senasib dengan beliau yang tiba-tiba dikucilkan oleh komunitasnya
karena meninggalkan ajaran-ajaran tradisi yang tidak sesuai dengan
syari’at Islam yang haq? Kalau bukan karena panggilan iman, kalau bukan
karena pertolongan dari Allah niscaya kita tidak akan mampu.
Kyai
Afrokhi adalah sosok yang kuat. Beliau menentang arus orang-orang
yang bergelar sama dengan gelar beliau. yakni Kyai. Di saat banyak
para Kyai yang bergelimang dalam kesyirikan, kebid’ahan dan
tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang haq, di saat
itulah beliau tersadar dan menantang arus yang ada. Itulah jalan
hidup yang penuh cobaan dan ujian.
Bagi
Kyai Afrokhi untuk apa kewibawaan dan penghormatan tersandang, harta
melimpah serta jabatan terpikul, namun murka Allah dekat dengannya,
dan Allah tidak akan menolongnya di hari tidak bermanfaat harta dan
anak-anak. Beliau lebih memilih jalan keselamatan dengan meninggalkan
tradisi yang selama ini beliau gandrungi.
Inilah
fenomena kyai yang telah bertaubat kepada Allah dari ajaran-ajaran
syirik, bid’ah dan kufur. Walaupun Kyai Afrokhi ditinggalkan oleh
para kyai ahli bid’ah, jama’ah serta santri beliau, ketegaran dan
ketenangan beliau dalam menghadapi realita hidup begitu nampak dalam
perilakunya. Dengan tawadhu’ serta penuh tawakkal kepada Allah,
beliau mampu mengatasi permasalahan hidup.
Pernyataan taubat Kyai Afrokhi:
“Untuk
itulah buku ini saya susun sebagai koreksi total atas kekeliruan
yang saya amalkan dan sekaligus merupakan permohonan maaf saya kepada
warga Nahdhatul Ulama (NU) dimanapun berada yang merasa saya
sesatkan dalam kebid’ahan Marhabanan, baca barzanji atau diba’an,
maulidan, haul dan selamatan dari alif sampai ya` yang sudah berbau
kesyirikan dan juga sebagai wujud pertaubatan saya. Semoga Allah
senantiasa menerima taubat dan mengampuni segala dosa-dosa saya yang
lalu (Amin ya robbal ‘alamin)”
(Dinukil
dan diketik ulang dengan gubahan seperlunya dari buku “Buku Putih
Kyai NU” oleh Kyai Afrokhi Abdul Ghoni, Pendiri dan Pengasuh Ponpes
Rohmatulloh-Kediri-, mantan A’wan Syuriah MWC NU Kandangan Kediri)
catatan:
Note ini ditulis hanya semata-mata sebagai nasehat, bukan karena ada
alasan sentimen atau kebencian terhadap sebuah kelompok. Silahkan
nukil dan share serta pergunakan untuk kebutuhan dakwah ilalloh.
-Abu Shofiyah Aqil Azizi- jazahullah khairan