0 Comment

بسم الله الرحمن الرحيم

BANTAHAN POKOK SUBHAT MEREKA YANG MENGATAKAN BAHWA DZAT ALLOH TIDAK BERTEMPAT
BAB : bahwa ALLOH azza wa jalla di  langit
dari Mu’awiyah bin Al-Hakam radhiyallahu ‘anhu, suatu saat Mu’awiyah mengadukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal dirinya yang memukul budak wanitanya karena marah. Mu’awiyah menceritakan perihalnya:
وَكَانَتْ لِى جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِى قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِى آدَمَ آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ لَكِنِّى صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَىَّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ أُعْتِقُهَا قَالَ « ائْتِنِى بِهَا ». فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ لَهَا « أَيْنَ اللَّهُ ». قَالَتْ فِى السَّمَاءِ. قَالَ « مَنْ أَنَا ». قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ « أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ »
“Dulu saya memiliki budak perempuan yang menggembala kambingku di arah Gunung Uhud dan Jawâniyyah. Dia pun pergi pada suatu hari, ternyata ada serigala yang membawa domba dari kambingnya. Dan, saya adalah seorang dari Bani Adam, saya pernah merasa menyesal sebagaimana mereka juga menyesal. Akan tetapi, saya pun memukulnya sekali. Aku pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menganggap besar hal ini atasku. Aku pun mengatakan, ‘wahai Rasulullah, apakah saya harus membebaskannya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, ‘Hadapkanlah dia kepadaku.’ Aku pun mendatangkannya di hadapan Rasulullah. Beliau pun bersabda, ‘Di mana Allah?’ Budak itu mengatakan, ‘Di langit.’ Beliau bertanya kembali, ‘Siapa saya?’ Dia menjawab, ‘Anda utusan Allah.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, ‘Bebaskanlah dia karena dia adalah seorang wanita mukmin.’” [H.R. Muslim, Abu Dawud, An-Nasa`i, Ahmad dan lainnya].
BAB : ALLOH subhana wa ta’ala bersemayam di atas arsy

Dalil Sifat Istiwa’

Sifat istiwa’ adalah salah satu sifat Allah yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk diriNya dalam tujuh ayat Al-Quran, yaitu Surat Al-A’raf: 54, Yunus: 3, Ar-Ra’d: 2, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4 dan Al-Hadid: 4, semuanya dengan lafazh:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Artinya:
“Kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).”
Dan dalam Surat Thaha 5 dengan lafazh:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya:
“Yang Maha Penyayang di atas ‘Arsy (singgasana) berada.”
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam juga telah menetapkan sifat ini untuk Allah dalam beberapa hadits, diantaranya:
1. Hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:
لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ -فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ- إِنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي
“Ketika Allah menciptakan makhluk (maksudnya menciptakan jenis makhluk), Dia menuliskan di kitab-Nya (Al-Lauh Al-Mahfuzh) – dan kitab itu bersama-Nya di atas ‘Arsy (singgasana) – : “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam memegang tangannya (Abu Hurairah) dan berkata:
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، إِنَّ اللهَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرَضِيْنَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ، ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, dishahihkan Al-Albani dalam Mukhtasharul ‘Uluw)
3. Hadits Qatadah bin An-Nu’man rodiallahu’anhu bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullahshollallahu’alaihiwasallam bersabda:
لَمَّا فَرَغَ اللهُ مِنْ خَلْقِهِ اسْتَوَى عَلَى عَرْشِهِ.
“Ketika Allah selesai mencipta, Dia berada di atas ‘Arsy singgasana-Nya.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dan Adz-Dzahabi berkata: Para perawinya tsiqah)
Arti Istiwa’
Lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى) dalam bahasa Arab – yang dengannya Allah menurunkan wahyu – berarti (عَلاَ وَارْتَفَعَ), yaitu berada di atas (tinggi/di ketinggian). Hal ini adalah kesepakatan salaf dan ahli bahasa. Tidak ada yang memahaminya dengan arti lain di kalangan salaf dan ahli bahasa.
Adapun ‘Arsy, secara bahasa artinya Singgasana kekuasaan. ‘Arsy adalah makhluk tertinggi. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
“Maka jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Al-Firdaus, karena sungguh ia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya singgasana Sang Maha Pengasih, dan darinya sungai-sungai surga mengalir.” (HR. Al-Bukhari)
‘Arsy juga termasuk makhluk paling besar. Allah menyifatinya dengan ‘adhim (besar) dalam Surat An-Nahl: 26. Ibnu Abbas rodiallahu’anhu berkata:
الْكُرْسِيُّ مَوْضِعُ الْقَدَمَيْنِ ، وَالْعَرْشُ لاَ يَقْدِرُ قَدْرَهُ إِلاَّ اللهُ تعالى.
“Kursi adalah tempat kedua kaki (Allah), dan ‘Arsy (singgasana) tidak ada yang mengetahui ukurannya selain Allah Ta’ala.” (Hadits mauquf riwayat Al-Hakim dan dishahihkan Adz-Dzahabi dan Al-Albani)
Allah juga menyifatinya dengan Karim (mulia) dalam Surat Al-Mukminun: 116 dan Majid (agung) dalam Surat Al-Buruj: 15.
Dalam suatu hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dijelaskan bahwa ‘Arsy memiliki kaki, dan dalam surat Ghafir: 7 dan Al-Haaqqah: 17 disebutkan bahwa ‘Arsy dibawa oleh malaikat-malaikat Allah.
Ayat dan hadits yang menjelaskan tentang istiwa’ di atas ‘Arsy menunjukkan hal-hal berikut:
  1. Penetapan sifat istiwa di atas ‘Arsy bagi Allah, sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.
  2. Bahwa Dzat Allah berada di atas.
Beberapa Peringatan Penting
Pertama:
Istiwa’ adalah hakikat dan bukan majas. Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab yang dengannya wahyu diturunkan. Yang tidak kita ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak menjelaskannya. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha (الرحمن على العرش استوى), Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ.
“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali)
Kedua:
Wajib mengimani dan menetapkan sifat istiwa’ tanpa merubah (ta’wil/tahrif) pengertiannya, juga tanpa menyerupakan (tasybih/tamtsil) sifat ini dengan sifat istiwa’ makhluk.
Ketiga:
Menafsirkan istawa (اِسْتَوَى) dengan istawla (اِسْتَوْلَى) yang artinya
menguasai adalah salah satu bentuk ta’wil yang bathil. Penafsiran ini tidak dikenal di kalangan generasi awal umat Islam, tidak juga di kalangan ahli bahasa Arab. Abul Hasan Al-Asy’ari menyebutkan bahwa penafsiran ini pertama kali dimunculkan oleh orang-orang Jahmiyyah dan Mu’tazilah. Mereka ingin menafikan sifat keberadaan Allah di atas langit dengan penafsiran ini. Kita tidak menafikan sifat kekuasaan bagi Allah, tapi bukan itu arti istiwa’.
Keempat:
Penerjemahan kata istawa (اِسْتَوَى) dengan “bersemayam” perlu di tinjau ulang, karena dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa bersemayam berarti duduk, tinggal, berkediaman. Padahal arti istawa bukanlah ini, sebagaimana telah dijelaskan.
Kelima:
Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy tidak berarti bahwa Allah membutuhkannya, tapi justru ‘arsy yang membutuhkan Allah seperti makhluk-makhluk yang lain. Dengan hikmah-Nya Allah menciptakan ‘Arsy untuk istiwa’ diatasnya, dan Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan apapun. Wallahu a’lam.
D. Faedah Mempelajari Asma dan Sifat Allah
Semoga Allah merahmati Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi yang berkata: “……Ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama) adalah ilmu paling mulia, karena kemulian suatu ilmu tergantung pada apa yang dipelajarinya. Ia adalah Fiqih Akbar dibandingkan dengan Ilmu Fiqih furu’ (cabang-cabang agama). Karenanya Imam Abu Hanifah menamakan apa yang telah beliau ucapkan dan beliau kumpulkan dalam lembaran-lembaran berisi pokok-pokok agama sebagai “Al-Fiqhul Akbar“. Kebutuhan para hamba kepadanya melebihi semua kebutuhan, dan keterdesakan mereka kepadanya di atas semua keterdesakan, karena tiada kehidupan untuk hati, juga tidak ada kesenangan dan ketenangan, kecuali dengan mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan Asma’, Sifat dan Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu mencintaiNya lebih dari yang lain, dan berusaha mendekatkan diri kepadaNya tanpa yang lain……”
***
Referensi:
  1. Al-Mausu’ah Asy-Syamilah, dikeluarkan oleh Divisi Rekaman Masjid Nabawi.
  2. Syarah ‘Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi.
  3. Mudzakkirah Tauhid, Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.

Posting Komentar Blogger

 
Top