Īmān syar’iy atau iman dalam arti syar`i terdiri dari qawl (perkataan) dan ‘amal (perbuatan). Yang dimaksud perkataan adalah qawl al-qalb (perka-taan hati) dan qawl al-lisān (perkataan lisan). Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan adalah ‘amal al-qalb (perbuatan hati) dan ‘amal al-jawārih
(perbuatan anggota badan). Jadi iman memiliki dua aspek, yaitu aspek
hati dan aspek anggota badan (termasuk lisan). Aspek hati ada dua
bagian, yaitu perkataan hati dan perbuatan hati. Demikian pula aspek
anggota badan, berupa perkataan lisan dan perbuatan anggota badan. Empat
ba-gian tersebut semuanya adalah iman. Manakala keempat bagian tersebut
ada pada diri seseorang, maka setiap bagiannya dinamakan iman,
seba-gaimana keseluruhannya pun dinamakan iman[1].
Seseorang tidak dinamakan mu`min (orang yang beriman),
apabila salah satu dari empat bagian iman tidak ada (tidak ada sama
sekali atau yang tidak ada adalah bagian tertentu yang ketiadaannya
berarti kekufuran), kecuali kalau yang tidak ada adalah sisi anggota
badan dikarenakan ke-tidak-sanggupan, seperti orang bisu, yang tidak
mungkin sanggup untuk bersyahadat. Yang dimaksud dengan perkataan hati
adalah ilmu yang diketahui dan diyakini oleh hati. Dalam diri orang yang
beriman, perka-taan hati ini akan melahirkan pekerjaan (perbuatan)
hati, yaitu ketundukan kepada Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–,
takut dan cinta kepada-Nya, dan lain sebagainya yang termasuk amal
perbuatan hati. Apabila perkataan hati tidak dapat melahirkan amal
perbuatan hati seperti tadi, maka iman pun tidak akan terwujud, dan
orang tersebut tidak dinamakan sebagai orang yang beriman.Kemudian, apabila perbuatan hati terwujud, maka tidak boleh tidak, perkataan lisan dan perbuatan anggota badan pun akan terwujud pula. Hal ini adalah suatu kepastian yang tidak akan pernah diragukan oleh setiap orang yang berakal. Apabila perkataan lisan dan perbuatan anggota badan tidak terwujud, maka dapat dipastikan bahwa perbuatan hati tidak terlahirkan. Dengan demikian, perkataan hatinya tidak ada gunanya, dan pemiliknya pun bukanlah orang yang beriman. Hal demikian terjadi pada Iblis yang mengetahui serta mengakui keesaan dan uluhiyyah Allah –Sub-hānahu wa Ta’ālā–, tetapi tidak terlahirkan padanya perbuatan hati, seperti tunduk kepada-Nya dan lainnya. Demikian pula dengan Fir`aun yang mengetahui kebenaran Nabi Musa –‘Alayhi as-Salam–, tetapi tidak terwu-jud padanya perbuatan hati yang merupakan tuntutan dari pengetahuan-nya tersebut.
Imam al-Bukhāriy –Rahimahullah– berkata[2]:
( لَقَيْتُ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفِ رَجُلٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ
بِالأَمْصَارِ فَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْهُمْ يَخْتَلِفُ فِى أَنَّ
الإِيْمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ يَزِيْدُ وَيَنْقُصُ )
“Telah kutemui lebih dari seribu ulama di banyak negeri, tidak satu pun dari mereka yang berselisih bahwa iman adalah qawl wa ‘amal (perkataan dan perbuatan), bisa bertambah dan juga bisa berkurang.”
[1] Lihat: ash-Shalāh wa Hukm Tārikihā (Beirut: al-Maktab al-Islāmiy, 1408 H), hal. 54.
[2] Imam al-Lālikā’iy, Syarh Ushūl I’tiqād Ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah (Riyadh: Dār Thayyibah), 5/886 dan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalāniy, Fath al-Bārī (Beirut: Dār al-Ma’rifah), 1/47.