RIWAYAT HIDUP
menurut data yang diambil dari blog miliknya,(www.idrusramli.com) Muhammad Idrus Ramli, lahir di Jerreng Barat, Gugut, Rambipuji, Jember, 1 Juli 1975. Pada masa kecilnya belajar al-Qur’an, tajwid, dasar-dasar agama dan gramatika Arab kepada Kiai Nasyith di Pondok Pesantren Nashirul Ulum, selain menamatkan SDN Gugut I tahun 1986. Melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan (1986-2004) dengan menamatkan Ibtidaiyah (1990), Tsanawiyah (1994) dan Aliyah (1997). Tahun 1994 ditugasi mengajar di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Darut Tauhid Injelan Panggung Sampang Madura. Tahun 2003 jalan-jalan ke Inggris dalam rangka studi komparatif.
menurut data yang diambil dari blog miliknya,(www.idrusramli.com) Muhammad Idrus Ramli, lahir di Jerreng Barat, Gugut, Rambipuji, Jember, 1 Juli 1975. Pada masa kecilnya belajar al-Qur’an, tajwid, dasar-dasar agama dan gramatika Arab kepada Kiai Nasyith di Pondok Pesantren Nashirul Ulum, selain menamatkan SDN Gugut I tahun 1986. Melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan (1986-2004) dengan menamatkan Ibtidaiyah (1990), Tsanawiyah (1994) dan Aliyah (1997). Tahun 1994 ditugasi mengajar di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Darut Tauhid Injelan Panggung Sampang Madura. Tahun 2003 jalan-jalan ke Inggris dalam rangka studi komparatif.
Ketika di pesantren sejak 1996-2003
aktif di Bahtsul Masail PC NU Kabupaten Pasuruan. Tahun 2002-2004 aktif
di kajian RMI Cabang Kabupaten Pasuruan. Setelah keluar dari Pondok
Pesantren Sidogiri 2004, diangkat menjadi Sekretaris Lembaga Bahtsul
Masail NU Jember 2004-2009 sambil mengajar di Pondok Pesantren Nurul
Islam Antirogo Jember. Tahun 2005 mengajar di Pondok Pesantren Nurul
Musthafa Benua Lima Amuntai Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Tahun
2007-2012 diangkat menjadi anggota Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa
Timur. Tahun 2008- 2013 diangkat menjadi Ketua Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr
dan Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail NU Kencong.
Sejak mengajar di pesantren 1998, sering
mengisi pelatihan kaderisasi Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang disebut
ANNAJAH (istilah ASWAJA di Pondok Pesantren Sidogiri). Setelah keluar
dari pesantren sering mengisi acara-acara seminar, halqah dan pelatihan
ASWAJA di beberapa cabang NU Jawa Timur dan Jawa Tengah. Aktif di
diskusi dua bulanan Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (INPAS)
Surabaya.
Pengalaman tulis menulis dimulai sejak
menjadi staf redaksi Majalah Ijtihad (1995-1996), Pemimpin Redaksi
Majalah Ijtihad (1997), Pemimpin Umum Buletin Istinbath (1998-2001), dan
Pemimpin Redaksi Jurnal TAMASYA (2003), di Pondok Pesantren Sidogiri.
Aktif menulis di beberapa media seperti Majalah Santri (RMI), Aula (NU
Jawa Timur), Jurnal al-Insan Jakarta, Buletin Sidogiri, Jurnal
Maktabatuna (Pondok Pesantren Sidogiri), Majalah Aschol (Pondok
Pesantren Syaikhona Kholil Demangan Bangkalan), Majalah Khittoh (NU
Jember) dan lain-lain. Tahun 2008-2013 menjadi Pemimpin Redaksi Majalah
Milenia ASWAJA (NU Rencong).
PEMIKIRAN IDRUS RAMLI
KH idrus ramli adalah seorang yang sangat memusuhi manhaj salaf atau kaum pemurni ajaran islam.
mari kita cermati tulisan yang ana ambil dari blognya abunamira sebagai berikut
Membaca rubrik Cakrawala Buletin Sidogiri edisi 26 Safar 1429 halaman 27-29 bertajuk: “Lembaran Hitam di Balik Penampilan Keren Kaum Wahabi” yang ditulis oleh Idrus Ramli, hati saya tergerak untuk memberikan tanggapan. Saya bukan seorang yang fanatik kepada Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, sebab saya yakin yang maksum dari kesalahan hanya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Saya merasa perlu menulis tanggapan ini karena menurut saya, tulisan Idrus Ramli –meminjam istilah Idrus Ramli- banyak kerapuhan di dalamnya.
PEMIKIRAN IDRUS RAMLI
KH idrus ramli adalah seorang yang sangat memusuhi manhaj salaf atau kaum pemurni ajaran islam.
mari kita cermati tulisan yang ana ambil dari blognya abunamira sebagai berikut
Membaca rubrik Cakrawala Buletin Sidogiri edisi 26 Safar 1429 halaman 27-29 bertajuk: “Lembaran Hitam di Balik Penampilan Keren Kaum Wahabi” yang ditulis oleh Idrus Ramli, hati saya tergerak untuk memberikan tanggapan. Saya bukan seorang yang fanatik kepada Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, sebab saya yakin yang maksum dari kesalahan hanya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Saya merasa perlu menulis tanggapan ini karena menurut saya, tulisan Idrus Ramli –meminjam istilah Idrus Ramli- banyak kerapuhan di dalamnya.
Pada bagian pengantar, Idrus Ramli
menulis, “Apabila diamati, sekte yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab an-Najdi (1115-1206 H/ 1703-1791 M), sebagai kepanjangan dari
pemikiran dan ideologi Ibnu Taimiyah al-Harrani (661-728 H/ 1263-1328 M)
akan didapati sekian banyak kerapuhan dalam sekian banyak aspek
keagamaan.” Idrus Ramli benar, bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab
meneruskan pemikiran dan ideologi Ibnu Tamiyah, tetapi keliru karena
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab tidak pernah mendirikan sekte atau organisasi
keagamaan apa pun. (Da’watusy Syaikh Muhammad ibni ‘Abdil Wahhab wa
Atsaruha fil ‘Alam al-Islami, Muhammad bin Abdullah bin Sulaiman,
Maktabah Syamilah, halaman 61).
Tanggapan
Pernyataannya bahwa ada sekian banyak
kerapuhan dalam sekian banyak aspek keagamaan dalam pemikiran dan
ideologi Muhammad bin Abdul Wahhab (dan Ibnu Taimiyah) perlu dikaji
ulang. Apakah Idrus Ramli sudah membaca semua karya Muhammad bin Abdul
Wahhab dan Ibnu Taimiyah, sehingga berani berkesimpulan seperti itu?
Apakah tidak sebaiknya kita melakukan cross check ke kitab-kitab yang
ditulis oleh keduanya, alih-alih hanya membaca tulisan-tulisan atau
buku-buku yang menghujat keduanya? Khusus untuk Ibnu Taimiyah, alih-alih
menjauhinya, buku “Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah” terbitan
pustaka Sidogiri justru mengutip goresan pena beliau di sana-sini.
Sejarah Hitam (?)
Idrus Ramli menulis bahwa Kaum Wahabi
(sebenarnya sebutan Wahabi diberikan oleh orang-orang Orientalis, lihat:
asy-Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab Hayatuhu wa Da’watuhu fir Ru`yah
al-Istisyraqiyah, Nashir bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwaim, Maktabah
Syamilah, halaman 84-88) menghalalkan darah kaum muslimin di Hijaz dan
menjarah harta mereka dengan menganggapnya sebagai harta ghanimah. Semua
itu, tulis Idrus Ramli, berangkat dari Paradigma Wahabi yang
mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah dan harta benda kaum
Ahlussunnah wal Jamaah pengikut madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali yang tinggal di kota itu.
Tanggapan
Sayang sekali saya tidak mempunyai
buku “asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab; ‘Aqidatuhus Salafiyyah wa
Da’watuhul Ishlahiyyah” yang menurut Idrus Ramli memuat lembaran hitam
sejarah ini. Tetapi saya membaca sejarah dakwah Muhammad bin Abdul
Wahhab dari dua buku “al-Imam Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab; Da’watuhu wa
Siratuhu” karya ‘Abdul ‘Aziz bin Baz (buku yang dirujuk Idrus Ramli
dipengantari oleh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz!) dan “Da’watusy Syaikh Muhammad
ibni Abdil Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alam al-Islami” karya Muhammad bin
Abdullah bin Sulaiman.
Di kedua buku itu disebutkan bahwa yang diperangi oleh tentara Muhammad bin Su’ud bukan kaum muslimin, melainkan orang-orang musyrik penyembah berhala, pohon, gua, dan kuburan. Bukan orang yang sekedar berziarah kubur; Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (juga Ibnu Taimiyah) tidak mengharamkan ziarah kubur. Bagaimana mungkin Muhammad bin Abdul Wahhab mengkafirkan dan menghalalkan darah dan harta para pengikut madzhab yang empat, sedangkan dia sendiri adalah salah seorang pengikut madzhab Hambali (Da’watusy Syaikh Muhammad ibni Abdil Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alam al-Islami, halaman 60; 83-90)
Kerapuhan Ideologi (?)Di kedua buku itu disebutkan bahwa yang diperangi oleh tentara Muhammad bin Su’ud bukan kaum muslimin, melainkan orang-orang musyrik penyembah berhala, pohon, gua, dan kuburan. Bukan orang yang sekedar berziarah kubur; Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (juga Ibnu Taimiyah) tidak mengharamkan ziarah kubur. Bagaimana mungkin Muhammad bin Abdul Wahhab mengkafirkan dan menghalalkan darah dan harta para pengikut madzhab yang empat, sedangkan dia sendiri adalah salah seorang pengikut madzhab Hambali (Da’watusy Syaikh Muhammad ibni Abdil Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alam al-Islami, halaman 60; 83-90)
Idrus Ramli menulis bahwa Wahabi terjerumus dalam paham Tajsim dan Tasybih.
Tanggapan
Jika yang dimaksud dengan Wahabi
adalah orang-orang yang sepaham dengan Muhammad bin Abdul Wahhab dan
tentunya Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri, saya perlu sampaikan bahwa
Idrus Ramli SALAH BESAR.
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang antipati terhadap paham
Tajsim dan Tasybih. (ar-Rasail asy-Syakhshiyah, Muhammad bin ‘Abdul
Wahhab, 133-134). Akidah Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyah
sama. Yakni meng-itsbat-kan sifat-sifat Allah sebagaimana disifatkan
oleh Allah dan Rasul-Nya. (ar-Rasail asy-Syakhshiyah, Muhammad bin
‘Abdul Wahhab, halaman 8; Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, II/ 240) Ini
pula akidah para Salaf dan bahkan akidah Abu Ja’far ath-Thahawiy yang
kitabnya dirujuk oleh Idrus Ramli (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah, Ibnu Abil
‘Izz, I/ 399).
Kerapuhan Tradisi (?)
Idrus Ramli menuduh kaum Wahabi (?)
tidak mencintai, tidak menghormati, dan tidak mengagungkan Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam . Alasannya, mereka tidak bertawassul dengan
Nabi, tidak bertabarruk, dan tidak merayakan maulid. Lebih lanjut Idrus
menyatakan bahwa secara tidak langsung mereka mengkafirkan Nabi Adam
as, para sahabat, ahli hadits, dan ulama Salaf yang menganjurkan
tawassul.
Tanggapan
Dari literatur yang saya baca di atas,
saya dapati bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab (dan Ibnu Taimiyah) tidak
menyamaratakan hukum tawassul. Menurutnya, tawassul itu ada yang sunnah,
ada yang bid’ah, dan ada yang masih diperselisihkan hukumnya oleh para
ulama.
Bertawasul dengan Nabi Shallallahu
Alaihi wasalam sepeninggal beliau termasuk yang diperselisihkan itu
(Mukhtashar al-Inshaf wa asy-Syarhul Kabir, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab,
halaman 208; Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, I/30) Apakah salah jika
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab memilih pendapat yang melarang tawassul
dengan Nabi saw sepeninggal beliau (juga tentang perayaan maulid Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam), sedangkan masalah itu adalah
masalah Khilafiyah?
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab menyerukan
cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasalam
dengan tradisi yang disepakati dan dipraktikkan oleh para ulama Salaf
seperti menyebarkan salam, memanjangkan jenggot, memakai sarung tidak
melebihi mata kaki (isbal), dan lain sebagainya.Tentang Nashiruddin al-Albani (saya kira maksudnya Muhammad Nashiruddin al-Albani) yang dituduh menyerukan pembongkaran al-Qubbatul Khadhra` dan mengeluarkan jasad Nabi shallallahu alaihi wasallam dari dalam masjid Nabawi, jika yang dimaksud Idrus Ramli adalah tulisan Muhammad Nashiruddin al-Albani (pakar hadits kenamaan abad 20, menurut buku “Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah” halaman 76. Tiga karya beliau dijadikan referensi buku itu) dalam kitabnya Tahdzirul Masajid, juz I/ 68; maka Idrus Ramli telah salah paham terhadap pernyataan beliau. Beliau sama sekali tidak menyerukan pembongkaran al-Qubbatul Khadhra` dan mengeluarkan jasad Nabi Shallallahu alaihi wasallam dari dalam masjid Nabawi. Beliau hanya mengusulkan kepada pemerintah Arab Saudi, jika hendak memugar masjid Nabawi, supaya memugarnya sedemikian rupa sehingga kuburan Nabi shallallahu alaihi wasallam dikembalikan seperti semula. Seperti keadaannya pada zaman Khulafa`ur Rasyidin; kuburan Nabi tidak termasuk bagian dari masjid Nabawi. Maknanya masjid diperluas ke arah yang tidak akan menabrak (baca: memasukkan) kuburan Nabi ke dalam masjid. Hadits-hadits shahih yang menjadi alasan beliau dapat dibaca di buku yang saya sebut di atas.
Tentang pengkafiran al-Albani terhadap Imam al-Bukhari, saya tidak percaya. Sebab ketika saya membaca kitab beliau yang saya sebut di atas, saya mendapati lebih dari sepuluh kali beliau mengutip hadits Imam al-Bukhari. Jika al-Albani mengkafirkannya, mestinya dia tidak memakai hadits-haditsnya lagi. Selain itu pasti ulama seluruh dunia mencoretnya dari daftar pakar hadits abad 20.
Di bagian penutup, Idrus Ramli mengutip sebuah hadits yang –ditulisnya– diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan lain-lain. ( Nabi r bersabda, “Di Najd, akan muncul generasi pengikut Setan”. Menurut para ulama, maksud generasi pengikut Setan dalam Hadis ini adalah kaum Wahabi.)Dengan bantuan Maktabah Syamilah, saya mencoba melacak hadits yang dimaksud. Saya ketikkan kata Najd (nun-jim-dal) dan saya pilih Kutubut Tis’ah. Dus, saya disodori 236 hasil pencarian, namun saya tidak mendapati hadits yang redaksinya sama dengan yang dimaksud oleh Idrus Ramli. (panjang lebar bantahan tentang Di Najd, akan muncul generasi pengikut Setan, maka klik : Muhammad bin Abdul Wahhab: Fitnah Nejed?)
Akhirnya, saya mengajak diri saya pribadi, saudara Idrus Ramli, dan seluruh pembaca untuk senantiasa mengintrospeksi diri dan bersikap adil kepada siapa pun. Bukankah kepada seorang Yahudi pun Rasulullah saw. bersikap adil?
“Dan janganlah kebencianmu kepada suatu kaum , mendorong kamu untuk berlaku tidak adil! Berlaku adillah! Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8 )
APAKAH DIA SEORANG YENG BENAR BENAR MENGERTI ILMU..?
untuk mengetahuinya,maka kita simak saja dialog berikut,yang tercantum dalam video http://youtu.be/ydQxcjAeB2Q
"Diantara cuplikan'debat'antara ustad Firanda dengan Ustad Muhammad Idrus Ramli di Batam yang membuat saya tertawa mendengarnya (sebenarnya gak ingin tertawa sih, tapi koq lucu) :
"Mengenai Talafuzh binniat (Melafazhkan Niat)
Ustad Idrus Ramli berdalil dengan ucapan Rasulullah -Shallallahu'Alaihi wa Sallam- ketika Nabi berdialog dgn siti Aisyah karena Siti Aisyah tidak masak makanan dan tidak ada makanan yg bisa dimakan dirumahnya maka Nabi mengatakan kpd Siti Aisyah :"idzan anaa shaa-im"(kalau begitu aku akan berpuasa) sebagai dalil bolehnya melafadzkan niat.
Ustadz Firanda menjawab: Hadits tsb yaitu"idzan anaa shaa-im"(kalau begitu aku akan berpuasa), maksudnya adalah Nabi mengabarkan kpd Aisyah bahwa Nabi Puasa karena tdk adanya makanan, bukan dalil untuk melafazhkan Niat Puasa, orang Nahdliyyin selama ini juga melafazhkan niat dengan ucapan:"nawaitu shauma ghodin..dst", apakah ada diantara mereka mengucapkan niat dengan lafadh:"idzan anaa shaa-im"..??
Ustad Idrus Ramli menyanggah:"Nggak mesti dengan lafadz"nawaitu shauma ghodin", lafazh apapun kalau maknanya sama gpp, bebas..!!"
Ustadz Zainal Abidin menjawab:"Kalo memang seperti itu, anak-anak sekolah ujian, trus ada soal:"sebutkan niat puasa ???"Trus dijawab sama anak tsb :"idzan anaa shaa-im"itu pasti disalahin dan dicoret sama gurunya, udah pasti salah.
Ustadz Firanda ketawa denger jawaban ustadz Zainal Abidin..
Saya juga nyengir ketika tahu bahwa ada niat puasa seperti itu, wah... berarti warga Nahdliyyin punya lafadz niat puasa baru sekarang yang dishahihkan oleh ust Idrus Ramli,,
silahkan nilai sendiri keilmuan KH muhammad idrus ramli..