Telah tersebar sebuah dialog unik antara pentolan Sufi dengan syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Pentolan tersebut adalah ibnu Athaillah Al
Sakandary.
Sangat mudah untuk menemukan dialog
ini di halaman internet, terutama versi Indonesia yang merupakan
terjemahan dari sebuah buku karya Pemuka Naqsabandi kenamaan yang
bermukim di Amerika Muhammad Hisyam Kabbani yang juga musuh
bebuyutan Naqsabandi yang dianut kebanyakan kalangan Sufi di Indonesia.
Dia menulis cerita ini dalam bukunya yang berjudul Islamic Beliefs & Doctrine According to Ahl al-Sunna: A Repudiation of “Salafi” Innovations. Kesulitan justeru saya dapati ketika mencari maraji dan sumber utama dialog ini
Setelah
bersusah payah mencari sumber utama kisah ini, Alhamdulillah saya
mendapatkannya dalam sebuah Kitab yang dikarang oleh Abdurrahman As
Sarqawy dengan judul Ibnu Taimiyah Al Faqih Al Muadzdzab. Semua buku yang menampilkan cerita ini pasti menukil dari kitab ini.
Sangat penting bagi kita untuk mengetahui validitas dari dialog ini.
Orang-orang
yang sepakat dengan dialog ini berpendapat bahwa Ibnu taimiyah
tercerahkan oleh ibnu Athoillah setelah sebelumnya mengecam keras Sufi
dan tokohnya dalam banyak tulisannya, namun kalangan ekstrim dari sufi
menganggap bahwa ibnu taimiyah bertekuk lutut dengan hujjah yang
ditampilkan oleh Ibnu Athaillah, karena memang terlihat dalam diskusi
ini ibnu Taimiyah tidak garang dan dominan serta cendrung menyetujui
pandangan Ibnu Athaillah.
Kalangan moderat menanggapi kisah ini sebagai contoh gaya perdebatan yang patut ditiru oleh dua orang yang sedang berselisih.
Berbeda
dengan tanggapan pertama dan kedua, para pengikut Madrasah Ibnu
Taimiyah menolak validitas cerita ini karena sumber-sumbernya yang tidak
bisa ditelusuri dan terdapat kesalahan fatal dalam sumber maupun konten
dialog. Selain itu realitas setelah dialog ini sama sekali tidak
menunjukkan perubahan terhadap Ibnu taimiyah layaknya orang yang telah
setuju dengan pemahaman Sufi.
Kecacatan dalam dialog ini mereka jabarkan dari 3 sisi
Abdurrahman
As Sarqawy yang lahir tahun 1920 Masehi atau tahun 1339 Hijriah dan
Wafat tahun 1980 diketahui merupakan penulis syiah sekaligus mahir
membuat naskah drama.
Karirnya dalam dua hal tersebut cukup signifikan. Beberapa karangannya adalah
ابن تيمية: الفقيه المعذب
الحسين ثائراً
علي إمام المتقين
الحسين شهيداً
محمد رسول الحرية
Kitab-kitab
tersebut membuat geram ulama Al Azhar karena banyaknya kebohongan dan
pemalsuan, Apalagi terkait kisah Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyah,
pembunuhan Hussein,dan kedudukan Khulafaurrasyidin yang sama persis
dengan keyakinan syiah.
Salah satu kitabnya yang berjudul Muhammad Rasulul Hurriyah mendapat perhatian serius dari syaikh Muhammad Abu Zahra guru dari Syaikh Qaradhawi.
Beberapa kesalahan fatal yang disengaja oleh pengarangnya terdapat dalam kitab tersebut, diantaranya;
- Peperangan yang dilakukan Oleh Rasulullah adalah ijtihad Rasul sendiri bukan berdasarkan wahyu
- Pembunuhan yang dilakukan Syariyyah Abdullah Bin Jahsyi adalah kesalahan Rasulullah, Padahal itu Ijtihad Abdullah Bin Jahsyi. sekalipun pembunuhan itu terjadi, Allah tetap menurunkan ayat yang membela Abdullah bin Jahsyi
- Rasulullah menikahi zainab karena dorongan diri sendiri dan hawa nafsu
- membuat keragu-raguan dalam Alqur’an
- meragukan kemutawatiran Alqur’an
- dll
dalam kitab lain ia menyerang
Ahlussunnah sesuai dengan kekhasan kaum Syiah, ia mengatakan bahwa Ali
lebih utama memegang kekhalifahan dan abu Bakr, Umar dan Utsman telah
merampas kekhalifahan dari Ali Bin Abu thalib. Selain itu ketiga Sahabat
tersebut dan juga Muawiyah telah ia kafirkan.
Dari gambaran pengarang kitab Ibnu taimiyah Al Faqih Al Muadzdzab
kita akan mulai tercerahkan bahwa kisah ini sangat mungkin rekaan,
karena kita ketahui banyak karya Ibnu Taimiyah yang membuat fanatis
syiah bertekuk lutut dan terdiam.[1]
Kedua: Penisbatan cerita
Dalam Kitab Ibnu Taimiyah Al Faqih Al Muadzdzab saya tidak mendapatkan maraji apapun terkait dialog tersebut, kitab tersebut sama sekali tanpa tahqiq
begitu juga penulisnya tidak menyebutkan sama sekali sumber penukilan
cerita tersebut. Cerita tersebut amat detail seolah penulisnya hadir
dalam dialog tersebut, padahal antara Ibnu taimiyah dan pengarangnya
terpisah dalam rentang lebih dari 670 tahun. Sekalipun begitu, dialog
tersebut tidak aneh kalau saja dikarang oleh seorang ahli pembuat naskah
drama.
Sekalipun tidak terdapat maraji dalam kitab tersebut, namun anehnya Hisyam Kabbani menyertakan maraji dialog yang secara jelas mirip dengan apa yang ada dalam Kitab Ibnu Taimiyah AlFaqih Al Muadzdzab dalam salah satu bukunya yang berjudul Islamic Beliefs & Doctrine According to Ahl al-Sunna: A Repudiation of “Salafi” Innovations
Diawal dialog tersebut dia menyebutkan:
Text of the Debate
From Usul al-Wusulby Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Kathir, Ibn al-Athir,
and other authors of biographical dictionaries and biographies have
transmitted to us this authentic historical debate. It gives an idea of
the ethics of debate among the people of learning. It documents the
controversy between a pivotal personality in tasawwuf, Shaykh Ahmad Ibn
Ata’ Allah al-Iskandari, and an equally important person of the
so-called “Salafi” movement, Shaykh Ahmad Ibn ‘Abd al-Halim Ibn Taymiyya
during the Mamluke era in Egypt under the reign of the Sultan Muhammad
Ibn Qalawun (al-Malik al-Nasir).
Namun setelah ditelusuri terdapat kesalahan fatal diantaranya;
- Ibnu Athir (baca dalam bahasa Indonesia ibnu Atsir) telah Wafat tahun 630 hijriah sedangkan Ibnu Taimiyah baru dilahirkan tahun 661 Hijriah
- Ibnu katsir juga tidak menyebutkan cerita tersebut dalam kitabnya Albidayah Wannihayah, malah informasi yang didapatkan dari kitab tersebut justeru makin melemahkan validitas dialog tersebut. Disebutkan bahwa Ibnu taimiyah memang pernah Ke Iskandariyah untuk menjalani hukuman penjara pada tahun 707 Hijriah dan dibebaskan sebelum tahun 709 Hijriah. Beliau memang sempat kembali Mengunjungi iskandariyah di Mesir pada bulan Syawwal tahun 709 Hijriah, namun sayangnya ibnu Athoillah telah Wafat pada bulan Jumadil Akhir tahun yang sama. Artinya terpaut 4 bulan dari kedatangan Ibnu Taimiyah ke Mesir, Apakah dialog ini terjadi antara ibnu taimiyah dan Arwahnya Ibnu Athoillah?
- Dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi tahun 707 Hijriah, justeru ibnu katsir menyebutkan bahwa Ibnu Athaillah merupakan biang keladi yang melaporkan Ibnu taimiyah kepada sulthan dan beliau dijebloskan kepenjara karenanya, sedangkan dialog tersebut sama sekali tidak menampakkan bahwa Ibnu Athaillah pernah bertemu dan mengusulkan agar Ibnu taimiyah dijebloskan ke penjara.
Ketiga: keanehan konten dialog
Dalam
dialog tersebut baik dikitab asli maupun di buku Hisyam Kabbani
disebutkan bahwa ibnu Athaillah banyak membela Ibn Arabi dan Ibnu
Taimiyah hanya menanggapi dengan mengatakan
“You have spoken well if only your master were as you say, for he would then be as far as possible from unbelief. But what he has said cannot sustain the meanings that you have given in my view
Artinya:
“Anda
telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda
katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah
ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.”
Bagi
siapapun yang menggeluti Kitab-kitab Ibnu Taimiyah niscaya Ia akan
menemukan bahwa Ibnu Taimiyah amat bersemangat dalam memperingatkan kaum
Muslimin dari bahaya paham kafir ibnu Arabi dan tak pernah diriwayatkan
bahwa beliau mementahkan kecaman serta pengkafirannya terhadap ibnu
Arabi. Beliau telah menulis panjang lebar sebuah risalah khusus tentang
ibnu Arabi sebagai bantahan terhadap keyakinannya yang menyatakan bahwa
Fir’aun termasuk mukmin. Syaikh Abdurrahman bin Abdul khalik telah
menulis sebuah kitab kecil tentang pertentangan antara ibnu Taimiyah dan
Ibnu Arabi terkait paham wihdatul wujud yang dipeluk oleh Ibnu Arabi.
Dalam Majmu Fatawa disebutkan bahwa Ibnu Taimiyah telah mengkafirkan
Ibnu Arabi sekalipun begitu banyak kutipan kata-kata mutiaranya yang
membuatnya lebih dekat dengan Islam.
Dalam
halaman lain di juz yang sama beliau mengecam Hulul, ittihad, dan
sejensnya sebagai keyakinan yang lebih buruk daripada Aqidah Nasrani
dan merupakan Zindik, keluar dari islam, dan wajib dibunuh.
Dalam dialog tersebut baik dikitab asli maupun di buku Hisyam Kabbani juga disebutkan jawaban ibnu Taimiyah :
Ibn
Taymiyya: In the hadith the Prophet, on him be peace, said: “I am the
city of knowledge and ‘Ali is its door.”7 Sayyidina ‘Ali is the one
mujahid who never went out to battle except to return victoriously. What
scholar or jurist who came after him struggled for the sake of Allah
using tongue, pen and sword at the same time? He was a most accomplished
Companion of the Prophet — may Allah honor his countenance. His words
are a radiant lamp which have illumined me during the entire course of
my life after the Qur’an and Sunna. Ah! one who is ever short of
provision and long in his journeying.
Artinya :
IBN
TAYMIYAH: Dalam salah satu haditsnya, rasul saw bersabda: “Saya adalah
kota ilmu dan Ali lah pintunya”. Sayyidina Ali adalah merupakan seorang
mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran kecuali dengan membawa
kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha sesudahnya yang mampu berjuang
demi Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus? Dialah sahabat
rasul yang paling sempurna-semoga Allah membalas kebaikannya. Ucapannya
bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah al quran
dan sunnah. Duhai! Seseorang yang meski sedikit perbekalannya namun
panjang perjuangannya.
Ibnu
Taimiyah adalah seorang Ahlussunnah yang mengakui bahwa Ali memiliki
banyak keutamaan, namun Jawaban ibnu taimiyah ini cukup aneh, karena
dalam Majmu fatawa dan Minhajussunnah beliau justeru menegaskan
kedhaifan hadits ini bahkan menganggapnya Maudhu. Beliau mengatakan
dalam Majmu fatawa 18/375
ومما
يرونه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: ( أنا مدينة العلم وعلي بابها
).. فأجاب: هذا حديث ضعيف , بل موضوع عند أهل المعرفة بالحديث
‘termasuk
yang mereka anggap dari nabi Shallallahu Alaihi Wasallam adalah bahwa
beliau bersabda: saya adalah kota Ilmu sedangkan Ali adalah Pintunya
Maka ibnu taimiyah menjawab: hadits ini dhaif bahkan Palsu berdasarkan kalangan ahli yang mengetahui hadits.
Saya
telah mencoba untuk mencari pendapat pembela Hisyam Kabbani dan
Abdurrahman As Sarqawi terkait dengan validitas cerita Ini, namun mereka
hanya menampilakan cerita tanpa mampu menghadirkan maraji yang dapat
ditelusuri untuk membuktikan keotentikan cerita yang mereka sebarkan
ini. Maraji yang ditampilkan oleh Hisyam Kabbani justeru makin menambah
kebohongan cerita Ini
Wallahu a’lam
Semoga bermanfaat
[1] Silahkan membaca lebih lanjut tentang Abdurrahman Al syarqawi dalam situs www.alkashf.net
Posting Komentar Blogger Facebook