بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي أكرم خواص عباده بالألفة في الدين،
ووفقهم لإكرام عباده المخلصين، وزينهم بالأخلاق الكريمة والشيم الرضية،
تأدباً بأفضل البشرية، وسيد الأمة محمد بن عبد الله بن عبد المطلب صلى الله
عليه وسلم.
Lidah itu memang lunak tidak bertulang, oleh karena itu orang
yang tidak menguasai ilmu beladiri sekalipun bisa bersilat lidah.
Lihatlah ..si fulan yang kemarin mengatakan ‘a’ hari ini berbalik
mengatakan ‘b’. si fulan yang lain, dusta ibarat gula-gula di lidahnya …
Lidah itu tajam laksana pedang bahkan ia adalah pedang bermata dua.
Jika luka tersayat pedang tidaklah susah untuk diobati ..tetapi hati
yang terluka ditikam kata-kata kemana kan dicarikan penawarnya? Entah
berapa banyak persaudaraan terputus ditebas lidah dan tidak sedikit pula
dua yang bersahabat jadi musuh bebuyutan karena tikaman lidah.
Padahal Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama ketika ditanya
siapa muslim yang paling afdhol? Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallama
menjawab, “Orang yang selamat kaum muslimin dari lisan dan tanganya”.[1]
Lidah itu berbisa bagai lidah ular yang bercabang dua. Bahkan ia bisa lebih berbahaya dari pada bisa ular.
Lidah juga bisa berobah menjadi binatang buas yang bahkan memangsa tuannya sendiri. Makanya mulutmu harimaumu …
عن أبي هريرة ، أنه سمع النبي (صلى الله عليه وسلم)
يقول : “إن العبد يتكلم بالكلمة ما يتبين فيها يزل بها إلى النار أبعد مما
بين المشرق والمغرب”
Dari ia Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia mendengar Nabi
shollallahu ‘alaihi wa sallama berkata, “Sesungguhnya seorang hamba
mengucapkan satu kata yang dia tidak tahu apakah itu baik atau
buruk,ternyata menggelincirkannya ke dalam neraka lebih jauh dari antara
timur dan barat”.
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Ketahuilah, bahwasanya
seyogyanya bagi setiap mukallaf hendaklah ia menjaga lisannya dari
seluruh ucapan kecuali ucapan yang ada maslahat padanya. Apabila
berbicara atau diam sama maslahatnya, maka yang sesuai sunnah adalah
memilih diam. Karena terkadang ucapan yang mubah dapat menyeret kepada
yang haram atau makruh, bahkan galibnya inilah yang terjadi, dan
keselamatan tidak ada yang bisa menyamai harganya”.[2]
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Termasuk baiknya
islamnya seseorang meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya”.[3]
Jagalah lidahmu duhai saudara
Jangan sampai ia mematukmu, karena dia adalah ular yang bisa
Tidak sedikit orang yang terkubur dibunuh lidahnya
Padahal para pemberani takut menghadapinya.
Seorang muslim, ketika dia hendak berbicara, ia menimbang apakah
berguna atau tidak? Jika tidak berguna dia memilih diam. Jika ternyata
berguna dia menimbang lagi ..apakah jika dia diam manfaatnya lebih besar
dari pada berbicara?
Imam Asy-Syafi’I berkata, “Jika seseorang berbicara hendaklah ia
memikirkan sebelum mengucapkannya, jika nyata maslahatnya ia berbicara
dan jika ia ragu, ia diam sampai jelas maslahatnya”.[4]
Beliau juga pernah menasehati sahabat yang juga muridnya, “Hai Robi’,
janganlah kamu berbicara dalam perkara yang tidak berguna bagimu.
Sesungguhnya jika engkau mengucapkan satu kata, ia akan menguasaimu dan
engkau tidak bisa menguasainya”.[5]
Lidah adalah duta hati, jika engkau ingin mengetahui hati seseorang,
lihatlah apa yang biasa dia ucapkan. Sesungguhnya itu akan menyingkap
apa yang dihatinya, suka atau tidak suka.
Karena lidah itu itu seperti kuali yang mendidih, lidah adalah
sendoknya. Perhatikanlah ketika seseorang berbicara, sesungguhnya ia
sedang menyendokkan isi hatinya kepadamu, dengan beragam rasa, pahit,
manis, asam, pedas dan lainnya. Sebagaimana engkau bisa merasakan
masakan dalam kuali dengan lidah. Engkau juga bisa merasakan hati lawan
bicaramu dengan gerak lidahnya ketika bertutur-kata.
Sungguh mengherankan, seseorang bisa dengan mudah menjaga dirinya
dari memakan yang haram, berbuat zalim, zina, mencuri, meminum khamar
dan dari memandang yang haram, tetapi tidak bisa menahan gerak lidahnya
yang lunak tidak bertulang. Bahkan seseorang yang zohirnya ta’at,
berwibawa, sopan tetapi dia membiarkan lidahnya mengucapkan kalimat yang
dianggapnya sepele padahal satu kalimat itu saja cukup untuk
mencampakkannya ke dalam neraka.
Suatu malam, di salah satu villa Malibuanai Padang Panjang, saya
berkumpul bersama beberapa ikhwan yang sebagian besarnya masih awwam
dalam hal agama.
Lalu secara dadakan, mereka meminta kesediaan saya untuk memberikan
sepatah dua kata naseha. Dalam rombongan itu ada seorang pria yang baru
mulai belajar mendekatkan diri kepada Allah ..sisa-sisa kelalaian masih
membekas diraut wajahnya.
Salah seorang yang tampak agak lebih tua, membuka majelis. Entah apa
yang ada dalam benaknya ketika itu, dia berbicara menyindir salah
seorang yang hadir – mungkin niatnya baik, ingin mengingatkan si fulan –
ia berkata, “Nanti di hari kiamat, pak fulan masuk surga. Saya masih
mencari-cari. Saya bertanya, ‘Pak fulan, mana si fulan’[6]. Pak … menjawab di sebelah’. Saya lihat ke sebelah rupanya di neraka”.
Semua yang hadir
gelak terbahak-bahak. Rasa sedih, kasihan,
marah membuat saya bungkam menghimpun aksara dan petuah yang semoga
berguna bagi diri saya dan yang hadir khususnya pembuka acara yang salah
kaprah menghunus lidahnya.
Saya jadi teringat hadits Nabi shollallahu ‘alahi wasallama yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jundub rodhiyallahu ‘anhu ia berkata,
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, ‘Seseorang
berkata, ‘Demi Allah, Allah tidak mengampuni si fulan’. Maka Allah
berkata, “Siapa orang yang lancang mendahuluiku mengatakan bahwa Aku
tidak mengampuni fulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuni si fulan dan
Aku hapus amalanmu”.
Ya Allah …
Satu kalimat saja yang dianggapnya remeh menghapuskan amal-amalnya.
Hilanglah sholat yang dulu dikerjakannya
Lenyaplah puasa yang dulu ditunaikannya
Sirnalah zakat, qiyam dan amal kebajikannya.
Karena kelancangan lidahnya mendahului apa yang menjadi hak Allah.
Bahkan orang yang dipandangnya rendah dan hina, yang dia kira masuk neraka. Malah diampuni Allah Ta’ala.
Dahulu, para salafus sholeh sangat menjaga lidah mereka. Setiap saat mereka meng-hisab kalimat yang mereka ucapkan.
Ibnu Buraidah berkata, “Aku melihat Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma
memegang lidahnya lalu berkata, ‘Katakanlah yang baik engkau pasti
beruntung. Atau diamlah dari keburukan engkau pasti selamat’. Maka
ditanyakan kepadanya, ‘Kenapa engkau mengucapkan ini?’. Ia menjawab,
“Aku dengar, bahwasanya seorang manusia tidak lebih menyesal dan marah
kepada anggota tubuhnya selain dari pada lidahnya kecuali orang yang
mengucapkan kata-kata yang baik atau menukilkan yang baik dengan
lidahnya”.
Sahabat Ibnu Mas’ud bersumpah dengan nama Allah yang tidak ada Ilah
yang diibadati dengan hak melainkan Dia bahwa tidak ada dimuka bumi ini
yang lebih patut untuk dipenjarakan dari pada lidahnya.
Yunus bin ‘Ubaid berkata, “Aku tidak melihat seseorang yang lidahnya
terjaga melainkan aku melihatnya pula pada seluruh amalannya. Dan
seorang yang rusak tutur katanya melainkan aku melihatnya tampak pada
seluruh amalanya”.
Fudhoil bin ‘Iyadh berpetuah, “Barangsiapa yang menganggap
perkataannya bagian dari amalnya, niscaya sedikit perkataannya pada
sesuatu yang tidak bermanfaat”.
Gerakan anggota tubuh yang paling ringan adalah lidah, namun itu pula yang paling besar bahayanya bagi seorang manusia.
Abu Hatim rahimahullah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal agar
berlaku adil kepada telinga dan mulutnya. Dia harus tahu, bahwa ia
diberi dua telinga dan satu mulut adalah agar ia lebih banyak mendengar
dari pada berbicara. Karena kalau dia berbicara bisa jadi dia akan
menyesali dan apabila tidak berbicara dia tidak menyesal. Dan dia akan
lebih mudah membantah apa yang tidak dia ucapkan dari pada membantah apa
yang telah dia ucapkan”.
Dulu, sebagian ulama tidak menerima hadits dari orang-orang yang berbicara atau mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak patut.
Pernah dikatakan kepada Al-Hakam bin Utaibah, “Kenapa engkau tidak
menulis hadits dari Zaadaan?”. Ia menjawab, “Dia banyak bicara”.
Lidah dapat menyebabkan dua petaka besar, jika seseorang selamat dari yang satunya belum tentu selamat dari yang berikutnya.
Dua petaka atau bencana itu adalah : petaka berbicara dan petaka diam.
Seorang yang bungkam dan mendiamkan kebenaran adalah setan yang bisu,
bermaksiat kepada Allah, bermuka dua dan menjilat , jika dia tidak
mengkhawatirkan bahaya atas dirinya.
Dan orang yang mengucapkan perkataan yang batil adalah setan yang
berbicara, bermaksiat kepada Allah dengan kata-kata yang ia ucapkan.
Adapun orang-orang yang berjalan di atas jalan yang lurus – semoga
Allah memasukkan kita ke dalam golongan mereka – berada di antara dua
petaka tersebut. Mereka menahan lidah mereka dari perkataan yang batil
dan melepaskannya untuk sesuatu yang mendatangkan manfaat kepada mereka
di akhirat. Oleh karena itu, kita tidak adakan dapatkan salah seorang
mereka melontarkan kata-kata yang tidak mendatangkan manfaat apalagi
yang bisa membahayakan di akhirat.
Seorang mukmin sepatutnya memiliki tutur-kata yang santun, bersih dan terjaga.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Bukanlah seorang
mukmin itu suka mencela, melaknat, berkata yang keji dan kotor”.[7]
Seorang hamba, bisa jadi di hari kiamat datang membawa kebaikan
sebesar gunung, lalu dia dapatkan ternyatalidahnya telah memusnahkan
semuanya. Atau sebaliknya, dia datang membawa kesalahan yang banyak
ternyata lidahnya menghapusnya karena dia banyak berdzikir dan yang
berkaitan dengannya.
Ketika seseorang datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama
lalu berkata, “Hai Rasulullah nasehatilah aku’”. Rasul shollallahu
‘alaihi wa sallama, “Jika engkau berdiri dalam sholatmu, maka sholatlah
seolah-olah itu sholat terakhirmu. Dan janganlah engkau mengucapkan
kalimat yang esok membuatmu menyesal dan bulatkanlah
bersungguh-sungguhlah memutus harapan terhadap apa yang ada ditengan
manusia”[8].
Kalau saja setiap kita memegang tiga wasiat ini; sholat dengan
khusyu’, menjaga lidah, dan menggantungkan harapan hanya kepada
Allah, niscaya keberuntungan menyertai langkahnya.
Oleh karena itu ketika Uqbah bin Amir bertanya kepada Rasulullah,
“Apa keselamatan itu?”. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama
menjawab, “Tahanlah lidahmu dan jadikanlah rumahmu lapang bagimu, serta
tangisilah kesalahanmu”[9].
Semoga Allah menjaga kita semua dari petaka lidah …
Semoga Allah menguatkan kita untuk menyuarakan kebenaran
Semoga Allah menguatkan kita untuk menahan lidah dari kebatilan, amin.
[1] Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ary.
[2] Al-Adzkar Imam An-Nawawi (1/332).
[3] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2318) dari Abu Hurairah.
[4] Al-Adzkar oleh Imam An-Nawawi (1/332).
[5] Al-Adzkar oleh Imam An-Nawawi (1/335).
[6] Maksudnya menyindir seseorang yang saya sebutkan sebelumnya.
[7]
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari di Adabul Mufrod, At-Tirmidzi,
Al-Hakim dan lainnya. Dishohihkan Al-Hakim dan disetujui oleh
Adz-Dzahabi dan Al-Albani. (Ash-Shohihah 1/319 no. 320).
[8] Diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dan dishohihkan oleh Al-Albani (Shohih Al-Jami’ no. 742)
[9] Diriwayatkan oleh Abdullah bin Al-Mubaarok dalam Az-Zuhud (no.134), Ahmad (5/259) dan At-Tirmidzi (2/65) (Ash-Shohihah 2/581).