CATATAN TERHADAP DEBAT
TERBUKA DENGAN WAHABI
Di KEMENAG
Kota Batam, 28 Desember 2013
Tulisan ini dibuat oleh Oleh: KH.Muhammad Idrus Ramli
Batam, 30 Desember 2013.
Ditanggapi
oleh Ust. Abu Mundzir Al-Ghifary
1.
Dalam dialog tersebut, perwakilan dari Ahlussunnah
Wal-Jama’ah sebagai
pembicara, hanya al-faqir Muhammad
Idrus Ramli. Sedangkan Kiai Thobari Syadzili, hanya
menemani duduk, tidak diberi waktu berbicara, kecuali 1 menit menjelang acara
dihentikan. Sementara
dari pihak Radio Hang atau Wahabi, adalah Ustadz
Zaenal Abidin dan Ustadz Firanda Andirja. Isu-isu dari kaum Wahabi, bahwa
perwakilan dari
Ahlussunnah adalah KH.Muhammad Idrus Ramli dan
beberapa orang, adalah tidak benar. Jadi yang benar,
debat 1 orang lawan 2 orang.
TANGGAPAN:
Perkataan 1 lawan 2 jelas bertentangan dengan kenyataan dari
moderator kemenag sudah menyampaikan bahwa yg dari NU 2 orang dan dipersilahkan
untuk berdiri dan dia berdiri berarti menyetujui dialog tsb. Tidak benar jika
beliau tdk diberikan waktu bicara karena waktu yg ada sudah dibagi dengan baik
oleh moderator, tapi jika yg banyak jawab adalah idrus ramli maka otomatis
waktunya dihabisin sama si romli. Kmudian di akhir acara dia juga menyampaikan
pendapatnya yg sbenarnya sama sekali tidak ‘ilmiyyah tidak ada hujjahnya dan
menyampaikan yg ada dalam keyaqinannya tanpa memandang dalil dalil yg sudah
dipaparkan kedua belah pihak.
2. Dalam acara dialog tersebut, semua pembicara
dibatasi oleh waktu. Karenanya mungkin
banyak pembicaraan Wahabi yang tidak sempat kami tanggapi,
dan sebaliknya.
TANGGAPAN:
Tetapi walaupun singkat, scara
garis besar sudah bisa kita lihat mana yang mengikuti dalil dan mana yang
membuat jalan baru dari sisi pendalilan. Dan menggunakan dalil dalil yg tidak
cocok dengan ritual yang dikerjakannya. Hingga tatkala terpepet tidak ada
hujjah kmudian menggunakan perkataan perkataan ulamaa’ mereka yang jelas jelas
tidak didukung oleh dalil sama skali dari hadits yg shahih.
3.
Dalam pengantar dialognya, Ustadz Zaenal Abidin Lc, yang mewakili pihak Wahabi,
mengaku sebagai warga NU (Nahdlatul Ulama) tulen. Padahal selama ini, dalam
ceramah-ceramahnya ia selalu membid’ahkan amaliah warga NU. Dan ternyata, dalam
dialog tersebut, Zaenal Abidin, tidak bisa menyembunyikan jatidirinya yang Wahabi.
Ia menyalahkan ajaran NU
seperti menerima bid’ah hasanah, melafalkan niat
dalam ibadah, qunut shubuh, tahlilan (kendurenan tujuh hari), Yasinan dan Yasin
Fadhilah. Silahkan pemirsa menilai sendiri dengan hati nurani. Zaenal mengaku
warga NU tulen, tetapi menyalahkan semua amaliah NU.
TANGGAPAN:
Beliau dulunya adalah lulusan ponpes tambakberas jombang yang
jelas jelas NU. Dan guru beliau juga NU. Jadi pada asalnya memang NU tulen.
Setelah itu beliau belajar di LIPIA dan juga bermajlis dengan Syaikh Abdul Azis
bin Abdullah bin Baaz rahimahullahuta’ala (mufti saudi arabia). Dan NU versi
ustadz zainal abidin ini adalah NU Kitab bukan NU organisasi. Krna kalau NU
kitab maka banyak kitab kitab yang dijadikan rujukan NU adalah kitab kitab dari
para ulamaa’ ahlussunnah, smisal : al imama asysyafi’I , al imam nawawy, Ibnu
Hajar atsqolany, Assuyuthi, dll.
Nah sedangkan NU organisasi jelas tidak bisa dijadikan sandaran kebenaran dalam
hal ini krna dlam organisasi NU sendiri
banyak perselisihan di dalamnya. Smisal Gusdur dgn muhaimin dll.
Maka yg dimaksud NU oleh ust zainal abidin adlah NU kitab, yang mana beliau
juga menyimpan rapi kitab kitab NU dari guru beliau.
4. Delegasi dari Wahabi, Zaenal maupun Firanda,
tidak menaruh hormat kepada pendapat para ulama besar sekaliber Imam Ahmad bin
Hanbal, Imam an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar dan lain-lain. Misalnya dalam bahasan
bid’ah hasanah, saya mengutip pendapat Imam an-Nawawi yang menjelaskan bahwa
hadits kullu bid’atin dhalalah, dibatasi dengan hadits man sanna sunnatan
hasanatan. Firanda tidak menghargai pendapat Imam an-Nawawi tersebut, dan
memilih
berpendapat sendiri. Padahal dia, masih belum layak
memiliki pendapat sendiri. Bahkan memahami karya para ulama juga sering keliru.
Pembaca dan pemirsa tentu tahu, bahwa ciri khas kaum liberal atau JIL adalah menolak
otoritas ulama.
TANGGAPAN:
Perkataan semisal ustadz zaenal abidin dan ustadz firanda tidak
menaruh hormat kepada para ulamaa besar, dan yg semisalnya ini jelas tuduhan
yang jauh dari kebenaran. Dan para pemirsa yang melihat video tersebut sangat
jelas mendengar bagaimana beliau banyak menukil pendapat-pendapat dari imam
nawawy rahimahullah dan para ulama’ syafi’iyyah yg lainnya. Dan bahkan tatkala
beliau menukilkan perkataan dari para ulamaa’ tersebut , ust. Idrus ramli yang
justru tidak mau mengikuti pemahaman imam madzhab syafi’I dan juga para ulamaa’
yg lain dalam hal pelafadzan niat. Dan justru dia menyandarkan perkataan satu
imam yang dijadikan pedoman olehnya dalam keadaan imam tersebut berpendapat
tanpa didukung hujjah. Dan menyelisihi imam yg lebih tinggi darinya. Kita bisa
lihat bagaimana kerepotan idrus ramli dalam hal mempertahankan permasalahan
pelafadzan niat. Pontang panting kesana kemari tanpa dalil sama sekali, hingga
dia katakan bahwa pelafadzan niat itu bebas saja tdk ditentukan dgn lafadz
tertentu, jelas ini adalah kesimpulan aqal saja yg mengada ada tanpa hujjah dan
tanpa contoh sama sekali dari Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dan para
sahabatnya. Dia katakan seolah olah ustadz firanda dan ust. Zaenal memiliki
ciri khas kaum liberat atau JIL yakni menolak otoritas ulama’, tentu jelas
skali ini fitnah besar yg dihembuskan. Di sebelah mana beliau mengingkari
otoritas ulamaa’ padahal pada diskusi di atas beliau berdua (ust. Zainal dan
Ust. Firanda) selalu menukil perkataan para ulamaa’. Hanya saja mungkin yg dikehendaki
oleh ramli adlah bahwa Ust. Firanda tidak mau mengikuti perkataan dari ulamaa’
yang ramli bawakan tapi malah membantah dengan perkataan ulamaa’ yang lebih
tinggi darinya dan justru mematahkan hujjah yg dia bawakan. Nah jika seperti
ini maka siapakah yang lebih dahulu terburu buru memvonis yaa ustaadz…??
Selama beliau berdua menempuh jalan dalam pendidikannya maka kita ktahui
bersama di perpustakaan saudi terdapat kitab kitab para ulamaa’ melimpah ruah
dan bahkan manuskrip aslinya juga ada. Ini semua menjadi rujukan ilmiyah yang
dipakai oleh para thulab di sana. Dan apa yang beliau berdua sampaikan juga
menukil dari para ulamaa’. Bagaimana mungkin anda katakan sebagaimana
JIL/liberal..? Allahulmusta’an..
Dan perkataan anda dalam hal ini sungguh tidak nyambung sama sekali dengan inti
persoalan.
5.
Zaenal dan Firanda menggunakan standar ganda dalam menilai pendapat para ulama.
Ketika pendapat mereka sesuai dengan semangatnya, mereka mati-matian menyerang
tradisi NU, seperti dalam kasus tradisi kenduri kematian selama 7 hari, yang
dihukumi makruh dalam kitab-kitab Syafi’iyah. Seakan-akan mereka lebih Syafi’iyah
dari pada warga NU. Akan tetapi ketika
pendapat para ulama tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka,
Firanda dan Zaenal menganggap pendapat tersebut tidak ada apa-apanya. Seperti
dalam bahasan bid’ah hasanah. Sikap mendua seperti ini, mirip sekali dengan
kebiasaan orang Syiah. Ketika hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim sesuai
dengan keinginan Syiah, mereka jadikan hujjah. Akan tetapi ketika hadits-hadits
tersebut berbeda dengan hawa nafsu Syiah, mereka tolak dan mereka dustakan.
TANGGAPAN:
Ucapan Idrus ramli dalam no. 5 ini sangat jauh dari kenyataan di
video yang bisa kita lihat bersama. Dan apa yang ada di video ini telah
mmbantah syubhat seperti ini. Jika perkataan ini disampaikan pada orang yang
tidak melihat video tersebut maka dengan mudah akan mempercayai tuduhan ini,
tetapi walhamdulillah apa yg tampak di video tersebut telah membantah syubhat
spt ini. Dan di no. 5 ini idrus ramli menyamakan al ustadz zainal abidin dan
ust. Firanda sbagaimana halnya SYI’AH. Nah tentu tuduhan ini sangatlah parah
bila ditinjau dari apa yang kita saksikan di video tersebut. Kemudian masalah
hadits kan sudah dijelaskan dengan gamblang banget dalam dialog tersebut, semestinya
idrus ramli tidak perlu membuat pernyataan seperti ini. Krna yg idrus ramli
maksudkan adalah tatkala ust. Zainal mendho’ifkan hadits yg idrus ramli
bawakan. Tapi sanggahan yg idrus ramli bawakan telah terpatahkan oleh pemaparan
ust. Zainal abidin. Tentu hal ini tidak bisa dijadikan sandaran bahwa ustadz
zainal mapun ust. Firanda menolak dan mendustakan tanpa ‘ILMU. Dan hal ini bisa
dilihat di video tersebut.
6.
Dalam bahasan qunut shubuh, Firanda melakukan kesalahan ilmiah ketika
mengomentari tanggapan Ust. Muhammad Idrus Ramli terhadap hadits Abi Malik al-Asyja’i.
Sebagaimana dimaklumi, dalam riwayat al-Tirmidzi, an-Nasa’i, Musnad Ahmad dan
Ibnu Hibban, Abu Malik al-Asyja’i menafikan qunut secara mutlak, baik qunut
nazilah maupun qunut shubuh. Tetapi Firanda mengatakan bahwa dalam kitab-kitab hadits,
hadits Abu Malik al-Asyja’i menggunakan redaksi yaqnutun fil fajri (qunut
shalat shubuh). Ternyata setelah kami periksa dalam kitab-kitab hadits, kalimat
fil fajri tidak ada dalam riwayat-riwayat tersebut. Silahkan diperiksa dalam
Sunan al-Tirmidzi juz 2 hal.252 (tahqiq Ahmad Syakir), Sunan al-Kubra
lin-Nasa’i, juz 1 hal. 341 tahqiq at-Turki atau
al-Mujtaba lin-Nasa’i juz 2 hal. 304 tahqiq Abu Ghuddah.
TANGGAPAN:
Mengenai lafadz بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ
yang dianggap idrus ramli tidak ada dalam kitab kitab hadits (YANG DIA
BACA) atau menganggap ust. Zainal abidin
dan ust. Firanda keliru maka kesimpulan yang terburu buru. Silahkan dicek di
kitab-kitab berikut:
Hadits Sa’ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja’i
قُلْتُ لأَبِيْ : “يَا أَبَتِ إِنَّكَ
صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ
وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ
سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ” فَقَالَ : “أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ”.
“Saya bertanya kepada ayahku : “Wahai ayahku,
engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan
di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum di sini dan
di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?”.
Maka dia menjawab : “Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara
baru (bid’ah)”. Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam
Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoy alisy
no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249,
Ath-Thobarany 8/no.8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihs an no.1989,
Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq
no.677-678 dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al dan dishohihkan oleh syeikh
Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih
Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shoh ihain.
7. Firanda memaksakan diri mengatakan bahwa hukum kenduri
kematian selama
tujuh hari menurut Syafi’iyah adalah makruh tahrim.
Padahal dalam kitab-
kitab Syafi’iyah, hukumnya adalah bid’ah yang
makruh dan tidak mustahabbah, alias bukan makruh tahrim. Untuk menguatkan
pandangannya, Firanda mengutip pernyataan Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari,
dalam Asna al-Mathalib, yang berkata “wa hadza zhahirun fit tahrim”. Ternyata
setelah kami periksa, Syaikhul Islam Zakariya, masih menghukumi kenduri
kematian dengan makruh atau bid’ah yang tidak mustahab (tidaksunnah). Sedangkan
keharaman yang menjadi makna zhahir hadits tersebut, oleh beliau dialihkan
kepada bukan tahrim. Hal ini dapat dipahami, ketika membaca dengan seksama,
bahwa Syaikhul Islam Zakariya dalam pernyataan tersebut, mengutip dari Imam
an-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin dan al-Majmu’, yang menghukumi kenduri
kematian dengan bid’ah yang tidak mustahab.
TANGGAPAN:
Pernyataan idrus Ramli ini telah dibantah tuntas di
sini:
Dalam pemaparan
tersebut ustadz firanda telah menjelaskan panjang lebar dan mematahkanhujjah
idrus ramli dan di akhir kata beliau menyatakan :
Jika memang para salaf selalu melakukan tahlilan selama tujuh hari
berturut-turut, dan juga hari ke 40, 100, dan 1000 hari sebagaimana yang
dipahami oleh ustadz Muhammad Idrus Ramli dan juga Kiyai Syadzily Tobari, maka
kenapa kita tidak menemukan sunnah ini disebutkan dalam kitab-kitab fikih
madzhab? apakah para ahli fikih empat madzhab sama sekali tidak mengetahui
sunnah ini?
Jika idrus ramli mengatakan bahwa para ulamaa’
terkemuka tersebut membolehkan tahlilan, maka tidak kita temui dalam kitab
kitab mereka yang menyatakan bahwa sejak zaman sahabat , tabi’in , imam yang
empat telah mempraktekan tahlilan yang mereka kerjakan. Dan ini tidak ada sama
sekali. Maka jelas bahwa yang mereka persangkakan itu adalah penafsiran mereka
sendiri, yang pada kenyataannya tidak ada bukti sama sekali yang membenarkan
persangkaan tersebut. Yakni para imam ahlussunnah tidak ada yang melaksanakan
acara ibadah TAHLILAN seperti yang mereka lakukan saat ini. Allahulmuwafiq.
8.
Zaenal Abidin, kurang memahami istilah-istilah keilmuan. Misalnya tentang
qiro’ah syadzdzah (bacaan yang aneh atau menyimpang), dalam membaca al-Qur’an.
Menurut Zaenal, orang yang membaca ayat al-Qur’an, apabila diulang-ulang maka
termasuk qiro’ah syadzdzah yang diharamkan. Sebaiknya Zaenal belajar ilmu qiro’ah
atau ilmu tafsir agar tidak keliru dalam hal-hal kecil.
TANGGAPAN:
Ustadz zaenal tidak
ada menyatakan bahwa bacaan yang diulang-ulang itu adalah Qiro'ah syadzdzah.
Perkataan ustadz zaenal : "... Kayak ini,ini ada yasin fadhilah,cara
membacanya yasin yasin yasin yasin yasin,ini kira2 qiro'ah apa gitu lho ?
Padahal Ibnul Abdil Barr saja sebagaimana yg telah dinukil Imam suyuti membaca
Al-Qur'an dengan qiro'ah syadzdzah ijma' haram,APALAGI INI SYADZDZAH AJA ENGGAK.
...."
Tidak ada sama sekali pernyataan ust zaenal bahwa membaca Al-Qur'an apabila
diulang-ulang maka termasuk qiro'ah syadzdzah,sepert yg Idrus Ramli tuduhkan.
Silahkan lihat video Jam ke 1 menit ke 40..
Ucapan ini adalah salah sasaran, karena ustadz zainal abidinlah yang
telah memaparkan kaidah kaidah tafsir berdasarkan ulamaa’ mufasiriin pada saat
mudzakarah dengan sa’id aqil munawar mantan menteri agama yang videonya bisa
dilihat di sini (bersambung part 1-part 10) :
http://www.youtube.com/watch?v=mZaB9cDtNaI
Kita semua termasuk
idrus ramli memang harus terus belajar, akan tetapi pantaskah kita katakan
kepada beliau sekaliber ust. Zainal abidin, lc hafidhahullah dengan perkataan
“SEBAIKNYA zaenal belajar dst…??” yang dimaksudkan untuk merendahkan ke’ilmuan
beliau. Maka sejak awal tulisan ini sudah sering idrus ramli mengucapkan kata
kata yg tidak pantas seperti ini.
9.
Dalam bahasan melafalkan niat, menurut Firanda dan Zaenal, redaksi niat harus
menggunakan redaksi usholli dan nawaitu
showmaghadin. Kalau redaksinya dirubah menjadi nawaitu an ushalliya atau inni
shoimun, dan atau ashuumu, menurut mereka adalah salah dalam madzhab
Syafi’iyah. Demikian beberapa catatan kami terhadap dialog kemarin.
TANGGAPAN:
Idrus Ramli salah faham dalam pernyataannya ini.
Karena yang dimaksud ustadz zaenal abidin dan ustadz firanda adalah bahwasanya
melafadzkan niat tidak berhujjah sama sekali, Maka jika dipaksa paksakan juga
aneh. Ini sudah disampaikan beliau. Semisal perkataan idrus ramli yang
mengatakan bahwa lafadznya bebas, nah ini dibantah dengan argumen bahwa jika
ada murid yg melafadzkan selain usholli maka tentu akan disalah salahkan oleh
kyainya. Dan ini ma’lum.
Di ponpes maupun di sekolahan maka tetap saja dianggap salah niat. Idrus ramli
membela diri dengan mengatakan bahwa bebas saja lafadz tsb, nah inipun tanpa
hujjah krna tidak pernah sama sekali hal ini ada contohnya dari Rasulullah dan
para sahabatnya, bahkan para imam empat itu sendiri tidak ada satupun yang
mencontohkan hal ini.
Jawabannya semakin aneh saja.
Wallahua’lam
bishshowaab.
sumber disini