Sebagian kalangan mengemukakan alasan ketika suatu ibadah yang tidak ada dalilnya disanggah dengan celotehan, “
Kan asalnya boleh kita beribadah, kenapa dilarang?”
Sebenarnya orang yang mengemukakan semacam ini tidak paham akan kaedah
yang digariskan oleh para ulama bahwa hukum asal suatu amalan ibadah
adalah haram sampai adanya dalil. Berbeda dengan perkara duniawi
(seperti HP, FB, internet), maka hukum asalnya itu boleh sampai ada
dalil yang mengharamkan. Jadi, kedua kaedah ini tidak boleh
dicampuradukkan. Sehingga bagi yang membuat suatu amalan tanpa tuntunan,
bisa kita tanyakan, “
Mana dalil yang memerintahkan?”
Ada kaedah fikih yang cukup
ma’ruf di kalangan para ulama,
الأصل في العبادات التحريم
“
Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil).”
Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri -
semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau-
berkata, “(Dengan kaedah di atas) tidak boleh seseorang beribadah
kepada Allah dengan suatu ibadah kecuali jika ada dalil dari syari’at
yang menunjukkan ibadah tersebut diperintahkan. Sehingga tidak boleh
bagi kita membuat-buat suatu ibadah baru dengan maksud beribadah pada
Allah dengannya. Bisa jadi ibadah yang direka-reka itu murni baru atau
sudah ada tetapi dibuatlah tata cara yang baru yang tidak dituntunkan
dalam Islam, atau bisa jadi ibadah tersebut dikhususkan pada waktu dan
tempat tertentu. Ini semua tidak dituntunkan dan diharamkan.” (
Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 90).
Dalil Kaedah
Dalil yang menerangkan kaedah di atas adalah dalil-dalil yang menerangkan tercelanya perbuatan bid’ah.
Bid’ah
adalah amalan yang tidak dituntunkan dalam Islam, yang tidak ada
pendukung dalil. Dan bid’ah yang tercela adalah dalam perkara agama,
bukan dalam urusan dunia.
Di antara dalil kaedah adalah firman Allah
Ta’ala,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Al Ahzab: 21).
Juga didukung dengan hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“
Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).
Begitu pula dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah disebutkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“
Hati-hatilah dengan perkara baru dalam agama. Karena setiap
perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, An Nasa-i no. 46. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa kita baru bisa melaksanakan
suatu ibadah jika ada dalilnya, serta tidak boleh kita merekayasa suatu
ibadah tanpa ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya.
Perkataan Ulama
Ulama Syafi’i berkata mengenai kaedah yang kita kaji saat ini,
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
“Hukum asal ibadah adalah
tawaqquf (diam sampai datang dalil).” Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari
(5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi
rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada
dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah
adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu
Hajar
rahimahullah juga berkata,
أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف
“Penetapan ibadah diambil dari
tawqif (adanya dalil)” (
Fathul Bari, 2: 80).
Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ
“Umumnya ibadah adalah
ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaedah ini disebutkan oleh beliau dalam kitab
Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.
Dalam buku ulama Syafi’iyah lainnya, yaitu kitab
Ghoyatul Bayan Syarh Zubd Ibnu Ruslan disebutkan,
الأصل في العبادات التوقيف
“Hukum asal ibadah adalah
tawqif (menunggu sampai adanya dalil).”
Ibnu Muflih berkata dalam
Al Adabu Asy Syar’iyah,
أَنَّ
الْأَعْمَالَ الدِّينِيَّةَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُتَّخَذَ شَيْءٌ سَبَبًا
إلَّا أَنْ تَكُونَ مَشْرُوعَةً فَإِنَّ الْعِبَادَاتِ مَبْنَاهَا عَلَى
التَّوْقِيفِ
“Sesungguhnya
amal diniyah (amal ibadah) tidak boleh
dijadikan sebagai sebab kecuali jika telah disyari’atkan karena standar
ibadah boleh dilakukan sampai ada dalil.”
Imam Ahmad dan para fuqoha ahli hadits -Imam Syafi’i termasuk di dalamnya- berkata,
إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ
“Hukum asal ibadah adalah
tauqif (menunggu sampai adanya dalil)” (Dinukil dari
Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 29: 17)
Ibnu Taimiyah lebih memperjelas kaedah untuk membedakan ibadah dan non-ibadah. Beliau
rahimahullah berkata,
إنَّ
الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إلَّا
مَا شَرَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى . وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ :
{ أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ
بِهِ اللَّهُ } . وَالْعَادَاتُ الْأَصْلُ فِيهَا الْعَفْوُ فَلَا
يَحْظُرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَرَّمَهُ وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى
قَوْلِهِ : { قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ
فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا } وَلِهَذَا ذَمَّ اللَّهُ
الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ شَرَعُوا مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ
اللَّهُ وَحَرَّمُوا مَا لَمْ يُحَرِّمْهُ
“Hukum asal ibadah adalah
tawqifiyah (dilaksanakan jika ada
dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai ada perintah dari Allah.
Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”
(QS. Asy Syura: 21). Sedangkan perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya
adalah dimaafkan, maka tidaklah ada larangan untuk dilakukan sampai
datang dalil larangan. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah
(yang artinya), “
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezki
yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan
(sebagiannya) halal” (QS. Yunus: 59). Oleh karena itu, Allah
mencela orang-orang musyrik yang membuat syari’at yang tidak diizinkan
oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (
Majmu’ Al Fatawa, 29: 17).
Contoh Penerapan Kaedah
– Beribadah dengan tepuk tangan dan musik dalam rangka
taqorrub pada Allah seperti yang dilakukan kalangan sufi.
– Perayaan tahun baru Islam dan Maulid Nabi.
– Shalat tasbih karena didukung oleh hadits dho’if
[1].
Demikian contoh-contoh yang disampaikan oleh guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri
hafizhohullah dalam
Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah, hal. 91.
Tambahan Bid’ah dalam Ibadah
Kadang amalan tanpa tuntunan (alias: bid’ah) adalah hanya sekedar
tambahan dari ibadah yang asli. Apakah tambahan ini membatalkan amalan
yang asli?
Di sini ada dua rincian:
1- Jika tambahan tersebut bersambung (
muttashilah) dengan ibadah yang asli, ketika ini, ibadah asli ikut rusak.
Contoh: Jika seseorang melakukan shalat Zhuhur lima raka’at (dengan
sengaja), maka keseluruhan shalatnya batal. Dalam kondisi ini, tambahan
raka’at tadi bersambung dengan raka’at yang asli (yaitu empat raka’at).
2- Jika tambahan tersembut terpisah (
munfashilah). Maka ketika itu, ibadah asli tidak rusak (batal).
Contoh: Jika seseorang berwudhu’ dan mengusap anggota wudhunya
(dengan sengaja) sebanyak empat kali-empat kali. Kali keempat di situ
dihukumi bid’ah namun tidak merusak usapan tiga kali sebelumnya.
Alasannya, karena usapan pertama sampai ketiga dituntunkan sedangkan
keempat itu tambahan (tidak ada asalnya), sehingga dianggap terpisah.
Lihat keterangan akan hal ini dalam
Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 92 oleh guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri
hafizhohullah.
Tidak Tepat!
Tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah ibadah, ada yang berujar, “
Kan tidak ada dalil yang melarang? Gitu saja kok repot …”. Maka cukup kami sanggah bahwa hadits ‘Aisyah sudah sebagai dalil yang melarang untuk membuat ibadah tanpa tuntunan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim no. 1718). Hadits ini sudah jelas menunjukkan bahwa kita
harus berhenti sampai ada dalil, baru kita boleh melaksanakan suatu
ibadah. Jika ada yang membuat suatu ibadah tanpa dalil, maka kita bisa
larang dengan hadits ini dan itu sudah cukup tanpa mesti menunggu dalil
khusus. Karena perkataan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam itu
jaami’ul kalim, maksudnya adalah
singkat namun syarat makna. Jadi dengan kalimat pendek saja sudah bisa menolak berbagai amalan tanpa tuntunan, tanpa mesti dirinci satu per satu.
Murid Imam Nawawi, Ibnu ‘Atthor
rahimahullah menjelaskan
mengenai hadits di atas, “Para ulama menganggap perbuatan bid’ah yang
tidak pernah diajarkan dalam Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak
berilmu, di mana amalan tersebut adalah sesuatu yang tidak ada landasan
(alias: tidak berdalil), maka sudah sepantasnya hal ini diingkari.
Pelaku bid’ah cukup disanggah dengan hadits yang shahih dan tegas ini
karena perbuatan bid’ah itu mencacati ibadah.” (Lihat
Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan ‘
Mukhtashor An Nawawi’, hal. 72)
Sehingga bagi yang melakukan amalan tanpa tuntunan, malah kita tanya, “
Mana dalil yang memerintahkan untuk melakukan ibadah tersebut?” Jangan dibalik tanya, “
Mana dalil yang mengharamkan?”
Jika ia bertanya seperti pertanyaan kedua, ini jelas tidak paham kaedah
yang digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah, juga tidak paham
perkataan ulama.
Kaedah yang kita kaji saat ini menunjukkan bagaimana Islam
betul-betul menjaga syari’at, tidak dirusak oleh kejahilan dan
kebid’ahan.
Hanya Allah yang memberikan petunjuk ke jalan penuh hidayah.
—
Suatu ketika, Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah
melihat seseorang yang shalat lebih dari 2 raka’at setelah terbitnya
fajar. Orang tersebut memperbanyak ruku’ dan sujud. Kemudian beliau
melarang orang tersebut meneruskan sholatnya. Orang tersebut pun
berkata, “Hai Abu Muhammad (panggilan Sa’id Ibnul Musayyib-pen)! Apakah
Allah akan menyiksa aku karena sholatku?” Beliau menjawab, “Tidak, akan
tetapi Allah akan menyiksamu karena kamu menyelisihi sunnah!”
—
muhammad abduh tuasikal
[1]
Walaupun tentang penshohihan hadits shalat tasbih, para ulama
berselisih pendapat.