Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnad-nya, dari Abdurrahman bin Abi
Umairah al Azdi, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut Mu'awiyah dan berkata:
"Ya, Allah. Jadikanlah ia orang yang menuntun kepada hidayah dan berilah
ia hidayah".[1]
Ishaq bin Rahuyah berkata,"Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang
keutamaan Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu ; (dan) an Nasaa-í juga berkata
demikian."
Hadits yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Abdurrahman bin Abi Umairah di atas.
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma telah memuji Mu'awiyah Radhiyallahu
'anhu atas ilmu fiqih yang dimilikinya. Imam al Bukhari meriwayatkan di
dalam Shahih-nya, dari jalur Nafi' bin Umar dari Ibnu Abi Mulaikah,
bahwasanya ada yang berkata kepada Ibnu Abbas: "Mengapa Anda tidak
menasihati Amirul Mukminin Mu'awiyah? Sesungguhnya dia hanya berwitir
satu rakaat saja!"
"Benar," katanya,"Dia adalah seorang faqih!"[2]
Ibnu Abbas juga mengabarkan, Mu'awiyah termasuk sahabat Nabi. Imam al
Bukhari meriwayatkan dari jalur Utsman bin al Aswad dari Ibnu Abi
Mulaikah, ia berkata: "Mu'awiyah mengerjakan witir satu rakaat setelah
Isya', sedang maula Ibnu Abbas melihatnya. Diapun melaporkannya kepada
Ibnu Abbas. Beliau berkata,'Biarkan, sesungguhnya ia telah menyertai
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam'.[3]"
Di antara keutamaan Mu'awiyah, dia merupakan panglima pertama yang
berperang mengarungi lautan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah mengabarkan hal itu. Imam al Bukhari meriwayatkan dalam
Shahih-nya, dari hadits Ummu Haram Radhiyallahu 'anha, bahwa ia
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا
"Pasukan pertama dari umatku yang berperang mengarungi lautan telah dipastikan bagi mereka (yakni surga)".[4]
Mu'awiyahlah yang bertindak sebagai panglima angkatan laut tersebut.
Angkatan laut kaum Muslimin berperang mengarungi lautan pada masa
kekhalifahan beliau. Pasukan tersebut dipimpin oleh puteranya, Yazid.
Imam al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari jalur Muhammad bin Yahya
bin Hibban, dari Anas bin Malik dari bibinya, Ummu Haram binti Milhan
Radhiyallahu 'anhuma berkata: "Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam tidur dekat dariku. Kemudian beliau terbangun, lalu
tersenyum. Aku bertanya: "Apa gerangan yang membuatmu tersenyum?" Beliau
menjawab:
أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ يَرْكَبُونَ هَذَا الْبَحْرَ الْأَخْضَرَ كَالْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ
"Telah ditampakkan kepadaku beberapa orang dari umatku yang mengarungi
samudera biru ini, laksana para raja di atas singgasananya!"
"Mohonlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka!" pinta Ummu
Haram. Lalu Rasulullah mendoakannya. Kemudian beliau tidur lagi. Dan
beliau melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, lalu Ummu Haram
bertanya seperti di atas, dan Rasulullah menjawabnya seperti jawaban
sebelumnya. Ummu Haram berkata,"Mohonlah kepada Allah agar aku termasuk
golongan mereka," Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab,"Engkau termasuk golongan pertama (dari angkatan laut
tersebut)!"
Kemudian Ummu Haram keluar berperang menyertai suaminya, yakni Ubadah
bin Shamit Radhiyallahu 'anhuma, bersama pasukan angkatan laut yang
pertama kali diberangkatkan di bawah kepemimpinan Mu'awiyah.
Sekembalinya dari peperangan tersebut, mereka singgah di Syam, lalu
diserahkan kepadanya seekor kuda tunggangan. Kuda tunggangan tersebut
membuatnya jatuh, hingga ia meninggal Radhiyallahu 'anhuma.[5]
Di antara keutamaan Mu'awiyah, yaitu kedudukan beliau sebagai khalul
(paman) kaum Mukmimin, sebab saudara perempuannya, Ummu Habibah
Radhiyallahu 'anhuma, adalah isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Keutamaan beliau lainnya, adalah kedudukan beliau sebagai
penulis wahyu Rasul Rabbil 'Alamin. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih
Muslim, yakni ketika Abu Sufyan Radhiyallahu 'anhu berkata kepada
Rasulullah: "Mu'awiyah aku angkat sebagai penulismu," Rasulullah
menjawab,"Ya!" [6]
Beliau termasuk orang yang pintar dari kalangan umat ini. Ibnu Sa'ad
meriwayatkan dalam ath Thabawat : "Affan bin Muslim meriwayatkan dari
Wuhaib dari Daud dari Amir, ia berkata,'Hakim umat ini ada empat,
(yaitu) Umar, Ali, Zaid dan Abu Musa Radhiyallahu 'anhum. Orang yang
pintar (dari) umat ini ada empat, (yaitu) Amru bin al Ash, Mu'awiyah bin
Abi Sufyan, al Mughirah bin Syu'bah dan Ziyad Radhiyallahu 'anhum
'.[7]"
Khalifah Umar mengangkatnya sebagai Gubernur Syam, dan terus memegang
jabatan itu pada masa kekhalifahan Utsman Radhiyallahu 'anhu. Beliau
sangat pandai dalam mengendalikan pemerintahan, dan ahli dalam mengatur
negara.
Imam al Bukhari meriwayatkan dalam Tarikh-nya, dari Ibrahim bin Musa dan
Hisyam bin Yusuf dari Ma'mar, ia berkata: "Saya mendengar Hammam bin
Munabbih meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia
berkata: "Belum pernah saya menemukan orang yang paling ahli dalam
mengatur pemerintahan selain Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu "[8]
Al Khallal meriwayatkan dalam kitab as Sunnah, dari jalur Abdul Malik al
Maimuni, dari Abu Salamah dari Abdullah bin al Mubarak, dari Ma'mar
dari Hammam bin Munabbih, ia berkata: "Saya telah mendengar Abdullah bin
Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata,'Belum saya dapati orang yang lebih
ahli dalam mengatur negara, selain Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu.
Orang-orang mendatanginya dengan perasaan senang tanpa merasa sempit,
tertekan, gelisah ataupun marah'."[9]
Al Khallal juga meriwayatkan dari jalur Muhammad bin Mukhallad bin Hafsh
al Aththar dari Muhammad bin al Mutsanna, dari Nuh bin Yazid bin Sinan
dari Ibrahim bin Sa'ad, dari Muhammad bin Ishaq dari Nafi' dari Abdullah
bin Umar Radhiyallahu 'anhuma , ia berkata: "Belum pernah aku melihat
orang yang pintar memimpin setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, selain Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu," aku pun bertanya,"Apakah
ia lebih pintar memimpin daripada Abu Bakar?" Ibnu Umar menjawab,"Abu
Bakar lebih baik daripada Mu'awiyah."
"Apakah ia lebih pintar memimpin daripada Utsman?" tanyaku lagi. Ibnu
Umar menjawab,"Semoga Allah merahmati Utsman, beliau lebih baik daripada
Mu'awiyah, akan tetapi Mu'awiyah lebih pintar memimpin daripada
Utsman."[10]
Sungguh beruntung Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu, karena telah menyertai
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau adalah salah seorang
penulis wahyu, berjihad bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Terdapat hubungan kekerabatan dan hubungan ipar antara beliau
dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Umar dan Utsman
mengangkatnya sebagai Gubernur wilayah Syam. Pengangkatan sebagai
Gubernur oleh Umar dan Utsman tersebut, sudah cukup menjadi bukti
keutamaannya. Dan juga pujian Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma atas
kedalaman fiqhnya, dan kecakapannya dalam mengatur negara.
Ibnu Umar melontarkan pernyataannya berkenaan dengan kesantunan
Mu'awiyah, dan kecakapannya dalam memimpin. Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu
telah melaksanakan tugas sebagai kepala negara dengan sebaik-baiknya.
Beliau juga telah memimpin dunia dengan kesempurnaan akal, kedalaman
kasih-sayangnya, keluasan jiwanya, dan dengan kekuatan pengaruh dan
pemikirannya, ia telah membuat segenap kaum Muslimin ridha dengan
kedermawanan dan kesantunannya.
PERKATAAN SEJUMLAH ULAMA TENTANG MU'AWIYAH
Ibnu Asakir dalam tarikhnya meriwayatkan dari jalur Malik bin Anas dari
az Zuhri, ia berkata: "Saya pernah bertanya kepada Sa'id bin al Musayyib
tentang sahabat Rasulullah. Beliau berkata kepadaku,'Dengarkanlah, hai
Zuhri. Barangsiapa mati dalam keadaan mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali, dan meyakini sepuluh orang sahabat yang telah dijamin masuk surga,
memohon rahmat bagi Mu'awiyah, maka Allah pasti membebaskannya dari
pertanyaan-pertanyaan saat hisab'."[11]
Ibnu Asakir juga meriwayatkan dari Qubaishah bin Jabir, ia berkata:
"Belum pernah aku melihat orang yang paling besar kesantunannya, lebih
banyak kemuliaannya, dan lebih lembut dalam mengambil keputusan, selain
Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu"[12].
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata: "Seandainya kalian
melihat Mu'awiyah, niscaya kalian akan mengatakan 'Inilah Mahdi'."[13]
MU'AWIYAH LEBIH UTAMA DARIPADA UMAR BIN ABDUL AZIZ
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ibrahim bin Maisarah, ia berkata: "Belum
pernah aku melihat Umar bin Abdul Aziz memukul seorangpun, kecuali
seseorang yang mencaci Mu'awiyah. Beliau mencambuknya dengan beberapa
kali cambukan".[14]
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Muhammad bin Yahya bin Sa'id, ia berkata:
Abdullah bin al Mubarak pernah ditanya tentang Mu'awiyah,"Apa
pandanganmu tentangnya?" Beliau menjawab,"Apa yang harus kukatakan
terhadap lelaki, yang ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengucapkan 'Allah mendengar hamba yang memujiNya', Mu'awiyah
menyambutnya dari belakang 'Segala puji bagiMu, wahai Rabb kami'."
Lalu ada yang bertanya: "Apa pandanganmu terhadap Mu'awiyah, apakah
menurutmu ia lebih utama daripada Umar bin Abdul Aziz?" Beliau
berkata,"Sungguh celaka aku ini. Mu'awiyah yang telah menyertai
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sudah tentu lebih utama dan
lebih baik daripada Umar bin Abdul Aziz."[15]
Al Khatib meriwayatkan dalam tarikhnya, dari Rabbah bin al Jarrah al
Maushili, ia berkata: Saya pernah mendengar seorang lelaki bertanya
kepada al Mu'aafi bin Imran: "Wahai, Abu Mas'ud. Bagaimanakah kedudukan
Umar bin Abdul Aziz dibandingkan dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan?"
Mendangar perkataan itu, ia marah besar dan berkata: "Sahabat Nabi tidak
dapat dibandingkan dengan siapapun. Mu'awiyah adalah sahabat
Rasulullah, ipar beliau, penulis beliau, orang kepercayaan beliau dalam
menulis wahyu Allah Azza wa Jalla"[16].
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Isa bin Khalifah al Hadzdza', ia berkata:
Suatu ketika al Fadhl bin Anbasah duduk bersamaku di sebuah toko. Lalu
ia ditanya: "Manakah yang lebih utama, Umar bin Abdul Aziz ataukah
Mu'awiyah?" Diapun menunjukkan keheranannya terhadap pertanyaan itu,
lalu berkata: "Subhaanallah, patutkah disamakan orang yang telah melihat
Rasulullah dengan orang yang belum pernah melihat beliau?" Ia
mengulangi ucapan itu tiga kali.[17]
Ibnu Asakir meriwayatkan dari al Fadhl bin Ziyad, ia berkata: Saya
mendengar Abu Abdillah ditanya tentang seseorang yang merendahkan
Mu'awiyah dan Amru bin al Ash Radhiyallahu 'anhuma , apakah boleh ia
dikatakan Rafidhi (pengikut paham Rafidhah)? Dia berkata,"Sungguh, hanya
orang yang menyimpan i'tikad buruk sajalah yang berani mencela
keduanya. Sungguh, hanya orang yang menyimpan i'tikad buruk sajalah yang
mau membenci salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam."[18]
Itulah Mu'awiyah dan beberapa keutamaan beliau, serta pernyataan para
ulama tentangnya. Sungguh celaka orang yang mencela dan membencinya,
bahkan sampai menuduhnya munafik, wal iyadzu billah!
Sebagian orang-orang sesat dan menyimpang dari jalan yang benar,
adakalanya menulis atau berkomentar tentang sahabat Nabi. Kita lihat,
secara zhahir mereka itu fasik. Bahkan mungkin tidak mengerjakan shalat
di masjid. Lantas, patutkah orang seperti ini berkomentar tentang
sebaik-baik khalifah setelah para nabi dan rasul? Sampai-sampai mereka
mengeluarkan Mu'awiyah dan orang-orang yang masuk Islam setelah
penaklukan kota Makkah dari deretan sahabat Nabi? Tidak menganggap
mereka sebagai sahabat. Menurut mereka, sahabat itu hanyalah kaum
Muhajirin dan Anshar saja, adapun selain mereka tidak termasuk
orang-orang yang shalih dan lurus?!
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mendatangi pekuburan, lalu berkata:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ
اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا
قَالُوا أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَنْتُمْ
أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ فَقَالُوا
كَيْفَ تَعْرِفُ مَنْ لَمْ يَأْتِ بَعْدُ مِنْ أُمَّتِكَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ فَقَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ
مُحَجَّلَةٌ بَيْنَ ظَهْرَيْ خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَا يَعْرِفُ خَيْلَهُ
قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ غُرًّا
مُحَجَّلِينَ مِنَ الْوُضُوءِ وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا
لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ
أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ
فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا
"Salam kesejahteraan atas kalian, wahai penghuni perkampungan kaum
Mukminin. Dan aku Insya Allah akan menyusul kalian. Sungguh aku sangat
merindukan untuk bertemu dengan saudara-saudara kita," para sahabatpun
bertanya: "Bukankah kami ini saudara-saudaramu?" Beliau menjawab,"Kalian
adalah para sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita adalah mereka
yang datang kemudian."
Mereka bertanya,"Bagaimana engkau dapat mengenali umatmu yang belum muncul, wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab,"Bagaimana pendapat kalian tentang seorang lelaki yang
memiliki seekor kuda yang terdapat bercak putih di antara kuda-kuda
hitam pekat? Bukankah ia dapat mengenali kudanya itu?"
"Tentu saja, wahai Rasulullah!" jawab kami.
Rasul melanjutkan: "Sungguh mereka akan datang dengan tanda putih karena
air wudhu'. Dan akulah yang mendahului kalian tiba di Haudh (telaga).
Ketahuilah, ada beberapa orang yang terlempar dari Haudhku, sebagaimana
terlemparnya unta yang hilang. Aku memanggil mereka: 'Kemarilah,' lalu
dikatakan kepadaku,'Sesungguhnya, sepeninggalmu, mereka telah
merobah-robah agama,' maka kukatakan,'Menjauhlah, menjauhlah'."[19]
Setiap mukmin yang datang setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak termasuk sahabat. Yang disebut sahabat adalah, setiap
mukmin yang telah bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan mati di atas keimanan.
Itulah pengertian yang dipahami sahabat, sebagaimana katakan oleh
Abdullah bin Abbas Radhillahu 'anhuma tentang Mu'awiyah Radhiyallahu
'anhu.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Abu Sa'id al Khudri
Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Mu'awiyah pergi keluar untuk menemui
sebuah majelis di dalam masjid. Beliau bertanya,"Apa tujuan kalian
mengadakan majelis ini?"
"Kami mengadakannya untuk mengingat Allah," jawab mereka.
"Demi Allah, benarkah itu yang menjadi tujuan kalian?" tanya Mu'awiyah.
"Demi Allah, untuk tujuan itulah kami mengadakannya!" balas mereka.
Maka Mu'awiyah pun berkata: "Sesungguhnya saya meminta kalian bersumpah
bukan karena curiga kepada kalian. Sungguh, tidak ada seorangpun yang
sama kedudukannya denganku di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang lebih sedikit haditsnya daripadaku. Sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar untuk mendatangi majelis
sahabat-sahabat beliau. Beliau berkata','Apakah tujuan kalian mengadakan
majelis ini?' Mereka menjawab,'Kami duduk di sini untuk mengingat
Allah, memujiNya atas hidayah Islam yang telah diberikanNya kepada
kami'. Beliau berkata,'Demi Allah, benarkah itu yang menjadi tujuan
kalian?' Mereka berkata,'Demi Allah, itulah yang menjadi tujuan kami!',
Beliau lalu berkata:
أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي
جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمُ
الْمَلَائِكَةَ
"Sesungguhnya aku meminta kalian bersumpah bukan karena curiga kepada
kalian, akan tetapi Jibril tadi mendatangiku dan mengabarkan kepadaku,
bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji kalian di hadapan para
malaikatnya".[20]
Sabda Nabi "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar untuk
mendatangi majelis sahabat-sahabat beliau" berlaku umum untuk seluruh
sahabat Nabi Radhiyallahu ánhu ajma'in yang hadir saat itu, dan salah
satunya ialah Mu'awiyah.
Namun apabila hati telah menyimpan benih kemunafikan dan kesesatan, maka
kebencian pertama akan tertuju kepada para sahabat Nabi yang terpilih.
Kita lihat, ia begitu wara' mengomentari orang-orang kafir, para
thaghut, ahli bid'ah dan orang sesat. Lalu lisannya menghamburkan
kata-kata makian dan cacian terhadap sahabat Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Sahabat pertama yang menjadi sasaran celaan adalah Mu'awiyah
Radhiyallahu 'anhu, sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin al Mubarak:
"Mu'awiyah telah menjadi batu ujian bagi kami. Siapa saja yang kami
lihat mengomentari Mu'awiyah dengan komentar negatif, maka kamipun
mencurigai sikapnya terhadap seluruh sahabat, yakni sahabat Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam"[21].
Al Khathib meriwayatkan dalam kitab Tarikh Baghdad, dari jalur Utsman
bin Sa'id, ia berkata: Saya mendengar ar Rabi' bin Nafi' berkata:
"Mu'awiyah bin Abi Sufyan adalah tirai bagi sahabat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya. Siapa saja yang berani menyingkap
tirai itu, maka ia akan berani menjamah apa saja yang ada
dibaliknya".[22]
Imam Ahmad pernah ditanya oleh seorang lelaki: "Saya mempunyai paman,
yang menurut berita ia merendahkan Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu.
Kadangkala aku makan bersamanya," Abu Abdillah (Ahmad) segera
memotong,"Jangan makan bersamanya!" [23]
Ibnu Asakir meriwayatkan dari jalur Ahmad bin Zakaria bin Yahya as
Saaji, ia berkata: Saya mendengar Musa bin Harun berkata: "Sejumlah ahli
ilmu menyampaikan kepadaku, bahwa Waki' pernah berkata,'Mu'awiyah
ibarat daun pintu. Siapa saja yang menggesernya (menyinggungnya), maka
kami akan mencurigainya'."[24]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR Ahmad dalam Musnad-nya, IV/216; at Tirmidzi, 3842; al Ajurri,
1915; Abu Nu'aim dalam Ma'rifatush Shahabah, 4634; dan al Bukhari dalam
at Tarikh, V/240.
Ibnu Asakir mengulas secara panjang lebar tentang hadits ini dan
jalur-jalur sanadnya dalam kitab Tarikh-nya, pada catatan biografi
Mu'awiyah z . Beliau condong kepada keshahihan hadits ini. Hadits ini
juga dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar al Haitsami (626). Demikian pula
telah dinyatakan shahih oleh Ibnu Katsir dalam al Bidayah wan Nihayah
pada catatan biografi Mu'awiyah z . Sanad hadits ini shahih, semua
perawinya tsiqah.
Imam adz Dzahabi berkata dalam kitab as Siyar, setelah menyebutkan
beberapa hadits: "Hadits-hadits ini muqarabah (yakni lebih dekat kepada
hadits shahih, maksudnya hasan)". Lihat Siyar A'lamun Nubala', III/124.
Al Jurqaani berkata dalam kitab al Abaathil (I/193): "Hadits ini hasan"
[2]. HR al Bukhari, 3765.
[3]. HR al Bukhari, 3764.
[4]. HR al Bukhari, 2924.
[5]. HR al Bukhari, 2799 dan Muslim, 1912.
[6]. HR Muslim, 2501 dan Musnad Ahmad, I/291. Diriwayatkan dari Abdullah
bin Abbas Radhiyallahu 'anhuma , bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam berkata: "Pergi dan panggillah Mu'awiyah kemari!" karena ia
adalah penulis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sanadnya
shahih.
[7]. Thabaqat Ibnu Sa'ad, II/351, sanadnya shahih.
[8]. Tarikh Kabir, karya al Bukhari, VII/327, sanadnya shahih.
Diriwayatkan juga oleh Abdurrazzaq dalam al Mushannaf, 20985 dari jalur
Ma'mar dari Hammam.
[9]. As Sunnah, karya al Khallal, 677 dan Tarikh Dimasyqi, karya Ibnu Asakir, 59/175, dengan sanad shahih.
[10]. As Sunnah, karya al Khallal, 10679; Ibnu Adi dalam al Kamil,
VI/110; dan Tarikh Dimasyqi, karya Ibnu Asakir, 59/174; banyak lagi
jalur yang lain bagi riwayat ini, dan sanadnya hasan.
[11]. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqi, 59/207 dan al Bidayah wan Nihayah, VIII/139.
[12]. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqi, 59/178.
[13]. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqi, 59/172; diriwayatkan juga oleh
al Khallal dalam as Sunnah, 669; dan ia juga menukil perkataan di atas
dari Qatadah, 668.
[14]. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqi, 59/211 dan al Bidayah wan Nihayah, VIII/139.
[15]. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqi, 59/209 dan al Bidayah wan Nihayah, VIII/139.
[16]. Al Khatib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, I/223 dan Ibnu Asakir
dalam Tarikh Dimasyqi, 59/208. Al Khallal meriwayatkan pula jalur lain
dalam kitab as Sunnah, 664.
[17]. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqi, 59/208.
[18]. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqi, 59/210; as Sunnah, karya al
Khallal, 690; dan Ibnu Katsir dalam al Bidayah wan Nihayah, VIII/139.
[19]. HR Muslim, 249.
[20]. HR Muslim, 2701. Lihat juga Tarikh, Ibnu Asakir, 59/206; dan juga
perkataan Umar bin al Khaththab Radhiyallahu 'anhu ketika seorang Arab
Badui menyerang sahabat Anshar dengan kata-kata. Umar berkata,"Sekiranya
dia bukan sahabat Nabi, niscaya cukuplah aku yang menyelesaikannya.
Akan tetapi, ia masih termasuk sahabat Nabi."
[21]. Tarikh, Ibnu Asakir, 59/208 dan al Bidayah wan Nihayah, VIII/139.
[22]. Al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, I/223; Ibnu Asakir
dalam Tarikh Dimasyqi, 59/209; dan al Bidayah wan Nihayah, VIII/139.
[23]. As Sunnah, karya al Khallal, 693.
[24]. Tarikh Dimasyqi, karya Ibnu Asakir, 59/210.