bekam bukanlah sunnah

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhp1igmy9400k-8c5jDW1t6CPth1U2C_NuTrK6EbbK4bWC37h5GtswB-BsttYBKj5XGqEH9GlT_ljpQb37qv2JImdC-64HakJVf5iN8uzSR0zftrw_CQVTXR0OtxqtGSezqkn2EfxAtbkM/s1600/gambar-titik-bekam-kaki.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="228" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhp1igmy9400k-8c5jDW1t6CPth1U2C_NuTrK6EbbK4bWC37h5GtswB-BsttYBKj5XGqEH9GlT_ljpQb37qv2JImdC-64HakJVf5iN8uzSR0zftrw_CQVTXR0OtxqtGSezqkn2EfxAtbkM/s1600/gambar-titik-bekam-kaki.jpg" width="320" /></a></div> <div style="text-align: center;"> <strong>Siapa Bilang Bekam Itu Sunnah?<br /><br /></strong></div> Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah Al Fauzan <em>hafidzahullah</em> ditanya :<br /> <div dir="RTL"> <strong>هل الحجامة داخلة في السنن الفعلية للنبيّ صلى الله عليه وسلم ؟</strong></div> Apakah bekam termasuk dalam <em>sunnah fi’liyah </em>Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> ?<br /> Syaikh <em>hafidzahullah</em> menjawab :<br /> <div dir="RTL"> <strong>الحجامة مباحة, فهي علاج مباح لا يقال إنه سنة وأن الذي لا يتحجم تارك للسنة . . لا. هذا من المباحات والعلاج والأدعية من الأمور المباحات.</strong></div> Bekam adalah perkara mubah. Ia termasuk pengobatan yang mubah. Tidak dikatakan bahwa ia sunnah, sehingga orang yang tidak melakukan bekam berarti telah meninggalkan sunnah. Tidak dikatakan demikian. Bekam termasuk perkara mubah. Dan pengobatan termasuk salah satu dari perkara mubah.<br /> Sumber :<strong> <span id="more-3924"></span>مجلة الفرقان, العدد 467- الإثنين 9 ذو القعدة 1428 ه</strong><br /> <br /> Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Ar Rajihi <em>hafidzahullah</em> ditanya :<br /> <div dir="RTL"> <strong>السؤال: ما هي الطريقة الصحيحة التي كان يفعلها رسول الله صلى الله عليه وسلم في الحجامة؟ </strong></div> Bagaimana metode yang benar yang dilakukan <em>Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dalam bekam ?<br /> Beliau <em>hafidzahullah</em> menjawab :<br /> <div dir="RTL"> <strong>الجواب: الحجامة دواء، كان النبي يستعملها للعلاج، كان يحتجم في رأسه عليه الصلاة والسلام، وهذه تختلف ولا يقتدى بالنبي فيها؛ لأن هذا من باب العلاج،</strong></div> Bekam adalah pengobatan. Nabi dulu melakukan bekam untuk pengobatan, beliau <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> melakukan bekam pada kepala beliau. Maka perkara bekam ini berbeda-beda dan tidak disyariatkan meneladani Nabi dalam perkara ini, karena bekam masuk dalam pengobatan.<br /> <div dir="RTL"> <strong>فالإنسان يذهب إلى أهل الخبرة، ولا يحتكم إلا عند الحاكم؛ لأنه قد تضر الحجامة، وإذا كان محتاجاً إلى الحجامة يحتجم سواءً في الرأس أو في غيره،</strong></div> Hendaknya seseorang datang kepada ahli bekam, dan jangan meminta hukum kecuali kepada ahlinya, karena boleh jadi bekam malah membahayakan. Jika dia memerlukan untuk bekam maka bisa bekam, baik pada kepala atau bagian tubuh lainnya.<br /> <div dir="RTL"> <strong>وهذا ليس من التشريع حتى يقتدى بالنبي صلى الله عليه وسلم، احتجم عليه الصلاة والسلام من باب العلاج وليس من باب التشريع،</strong></div> <div align="right" dir="RTL" style="text-align: left;"> Maka bekam bukan perkara yang disyariatkan, sehingga dianjurkan untuk mencontoh Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dalam perkara ini. Beliau melakukan bekam dalam rangka pengobatan bukan dalam rangka mensyariatkan</div> <div align="right" dir="RTL"> <strong>فكيف تسأل عن هذا وتريد أن تقتدي به في الحجامة؟ لا؛ لأن الأحوال تختلف، إذا كنت محتاجاً إلى الحجامة، وقال أهل الخبرة: إنك محتاج إلى أن تحتجم، سواءً في الرأس أو في الظهر، أو في الفخذ أو في أي مكان فعلى حسب ما يقوله أهل الخبرة.</strong></div> Maka bagaimana Engkau bertanya tentang perkara ini dan Engkau ingin meneladani Nabi dalam masalah bekam ? Tidak, keadaan seseorang itu berbeda-beda. Jika Engkau membutuhkan bekam dan ahli bekam berkata : Engkau butuh melakukan bekam, (maka boleh bekam) Sama saja di kepala, punggung, paha atau tempat lainnya sesuai dengan yang dikatakan orang yang sudah berpengalaman.<br /><br /><a href="http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=191546">sumber disini</a></div>

akidah harus tahu kisah islami renungan bekam bukanlah sunnah

Siapa Bilang Bekam Itu Sunnah? Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah ditanya : هل الحجامة داخلة في السنن الفعلي...

lebih lanjut..:)>>>>»

binatang yang halal dimakan,dan yang haram dimakan

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj65x_NWFF5evE4PJXmoptVQLtjDYJ4vdJO0bGUr_2q8V9GyVF_Ulbu1v_W1J_8YXDwk2G72c9HQ3JrVpfXMhrrIsSBOTQYpmNuUpO9LbHj9AspSzjmNdtSKpHX0rtBGIvEddWXUL7wUss/s1600/halalorharam.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj65x_NWFF5evE4PJXmoptVQLtjDYJ4vdJO0bGUr_2q8V9GyVF_Ulbu1v_W1J_8YXDwk2G72c9HQ3JrVpfXMhrrIsSBOTQYpmNuUpO9LbHj9AspSzjmNdtSKpHX0rtBGIvEddWXUL7wUss/s1600/halalorharam.jpg" /></a></div> tulisan berikut akan membahas mengenai Hukum dari: <br /> <ul> <li>Anjing, Gajah, Kelinci, Belalang, Kadal padang pasir, Kepiting, Gagak, Anjing laut</li> <li>Kucing, Musang, Landak, Kodok, Semut, Burung Hud-hud, Tikus, Kelelawar</li> <li>Monyet, Hyena, Lebah, Kalajengking, Kura-kura, Ular, Tokek, Serangga</li> </ul> <strong>1. Anjing.</strong><br /> Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan buas yang bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabd  a:<br /> <div dir="rtl"> إِنَّ الله إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ</div> “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu maka Dia akan mengharamkan harganya[1]“.<br /> Dan telah tsabit dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshory riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan juga dari hadits Jabir riwayat Muslim akan haramnya memperjualbelikan anjing.<br /> [Al-Luqothot point ke-12]<br /> <strong>2. Kucing baik yang jinak maupun yang liar.</strong><br /> <blockquote> Jumhur ulama menyatakan haramnya memakan kucing karena dia termasuk hewan yang bertaring dan memangsa dengan taringnya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Fauzan. Dan juga telah warid dalam hadits Jabir riwayat Imam Muslim akan larangan meperjualbelikan kucing, sehingga hal ini menunjukkan haramnya.<br /> [Al-Majmu' (9/8) dan Hasyiyah Ibni 'Abidin (5/194)]</blockquote> <strong>3. Monyet.</strong><br /> <blockquote> Ini merupakan madzhab Syafi’iyah dan merupakan pendapat dari ‘Atho`, ‘Ikrimah, Mujahid, Makhul, dan Al-Hasan. Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Dan monyet adalah haram, karena Allah -Ta’ala- telah merubah sekelompok manusia yang bermaksiat (Yahudi) menjadi babi dan monyet sebagai hukuman atas mereka. Dan setiap orang yang masih mempunyai panca indra yang bersih tentunya bisa memastikan bahwa Allah -Ta’ala- tidaklah merubah bentuk (suatu kaum) sebagai hukuman (kepada mereka) menjadi bentuk yang baik dari hewan, maka jelaslah bahwa monyet tidak termasuk ke dalam hewan-hewan yang baik sehingga secara otomatis dia tergolong hewan yang khobits (jelek)”[2].<br /> [Al-Luqothot point ke-13]</blockquote> <strong>4. Gajah.</strong><br /> Madzhab jumhur ulama menyatakan bahwa dia termasuk ke dalam kategori hewan buas yang bertaring. Dan inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Qurthuby, Ibnu Qudamah, dan Imam An-Nawawy -rahimahumullah-.<br /> [Al-Luqothot point ke-14]<br /> <strong>5. Musang (arab: tsa’lab)</strong><br /> <blockquote> Halal, karena walaupun bertaring hanya saja dia tidak mempertakuti dan memangsa manusia atau hewan lainnya dengan taringnya dan dia juga termasuk dari hewan yang baik (arab: thoyyib). Ini merupakan madzhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad.<br /> [Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/528), dan Asy-Syarhul Kabir (11/67)]</blockquote> <strong>6. Hyena/kucing padang pasir (arab: Dhib’un)</strong><br /> Pendapat yang paling kuat di kalangan ulama -dan ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’iy dan Imam Ahmad- adalah halal dan bolehnya memakan daging hyena. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Abi ‘Ammar, beliau berkata, “Saya bertanya kepada Jabir, “apakah hyena termasuk hewan buruan?”, beliau menjawab, “iya”. Saya bertanya lagi, “apakah boleh memakannya?”, beliau menjawab, “boleh”. Saya kembali bertanya, “apakah pembolehan ini telah diucapkan oleh Rasulullah?”, beliau menjawab, “iya”“. Diriwayatkan oleh Imam Lima[3] dan dishohihkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy dan selainnya. Lihat Talkhishul Khabir (4/152).<br /> Pendapat ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (9/568) dan Imam Asy-Syaukany.<br /> Adapun jika ada yang menyatakan bahwa hyena adalah termasuk hewan buas yang bertaring, maka kita jawab bahwa hadits Jabir di atas lebih khusus daripada hadits yang mengharamkan hewan buas yang bertaring sehingga hadits yang bersifat khusus lebih didahulukan. Atau dengan kata lain hyena diperkecualikan dari pengharaman hewan buas yang bertaring. Lihat Nailul Author (8/127) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117).<br /> [Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/52)]<br /> <strong>7. Kelinci.</strong><br /> Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:<br /> <div dir="rtl"> أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم أُهْدِيَ لَهُ عَضْوٌ مِنْ أَرْنَبٍ، فَقَبِلَهُ</div> “Sesungguhnya beliau (Nabi) -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah diberikan hadiah berupa potongan daging kelinci, maka beliaupun menerimanya”.<br /> Imam Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughny, “Kami tidak mengetahui ada seorangpun yang mengatakan haramnya (kelinci) kecuali sesuatu yang diriwayatkan dari ‘Amr ibnul ‘Ash”.<br /> [Al-Luqothot point ke-16]<br /> <strong>8. Belalang.</strong><br /> Telah berlalu dalam hadits Ibnu ‘Umar bahwa bangkai belalang termasuk yang diperkecualikan dari bangkai yang diharamkan. Hal ini juga ditunjukkan oleh perkataan Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:<br /> <div dir="rtl"> غَزَوْنََا مَعَ رسول الله صلى الله عليه وسلم سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ</div> “Kami berperang bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak 7 peperangan sedang kami hanya memakan belalang”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)<br /> [Al-Luqothot point ke-17]<br /> <strong>9. Kadal padang pasir (arab: dhobbun[4]).</strong><br /> Pendapat yang paling kuat yang merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah bahwa dhabb adalah halal dimakan, hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang biawak:<br /> <div dir="rtl"> كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا فَإِنَّهُ حَلاَلٌ</div> “Makanlah dan berikanlah makan dengannya (dhabb) karena sesungguhnya dia adalah halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar)<br /> Adapun keengganan Nabi untuk memakannya, hanyalah dikarenakan dhabb bukanlah makanan beliau, yakni beliau tidak biasa memakannya. Hal ini sebagaimana yang beliau khabarkan sendiri dalam sabdanya:<br /> <div dir="rtl"> لاَ بَأْسَ بِهِ، وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي</div> “Tidak apa-apa, hanya saja dia bukanlah makananku”.<br /> Ini yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/97).<br /> [Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/529)]<br /> <strong>10. Landak.</strong><br /> <blockquote> Syaikh Al-Fauzan menguatkan pendapat Asy-Syafi’iyyah akan boleh dan halalnya karena tidak ada satupun dalil yang menyatakan haram dan khobitsnya. Lihat Al-Majmu’ (9/10).</blockquote> <strong>11. Ash-shurod, kodok, semut, burung hud-hud, dan lebah.</strong><br /> Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:<br /> <div dir="rtl"> نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ</div> “Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod, kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).<br /> Adapun larangan membunuh lebah, warid dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.<br /> Dan semua hewan yang haram dibunuh maka memakannyapun haram. Karena tidak mungkin seeokor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh.<br /> [Al-Luqothot point ke-19 s/d 23]<br /> <strong>12. Yarbu’.</strong><br /> Halal. Ini merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat ‘Urwah, ‘Atho` Al-Khurosany, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir, karena asal dari segala sesuatu adalah halal, dan tidak ada satupun dalil yang menyatakan haramnya yarbu’ ini. Inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (11/71).<br /> [Hasyiyatul Muqni' (3/528) dan Mughniyul Muhtaj (4/299)]<br /> <strong>13. Kalajengking, ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak.</strong><br /> Karena semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses penyembelihan adalah haram dimakan, karena seandainya hewan-hewan tersebut halal untuk dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya kecuali lewat proses penyembelihan yang syar’iy.<br /> Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:<br /> <div dir="rtl"> خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فَي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: اَلْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الْاَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالٍْكَلْبُ وَالْحُدَيَّا</div> “Ada lima (binatang) yang fasik (jelek) yang boleh dibunuh baik dia berada di daerah halal (selain Mekkah) maupun yang haram (Mekkah): Ular, gagak yang belang, tikus, anjing, dan rajawali (HR. Muslim)<br /> Adapun tokek dan -wallahu a’lam- diikutkan juga kepadanya cicak, maka telah warid dari hadits Abu Hurairah riwayat Imam Muslim tentang anjuran membunuh wazag (tokek).<br /> [Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithy (1/273)]<br /> <strong>14. Kura-kura (arab: salhafat), anjing laut, dan kepiting (arab: sarthon).</strong><br /> Telah berlalu penjelasannya pada pendahuluan yang ketiga bahwa ketiga hewan ini adalah halal dimakan.<br /> [Al-Luqothot point ke-28 s/d 30]<br /> <strong>15. Siput (arab: halazun) darat, serangga kecil, dan kelelawar.</strong><br /> Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan seseuatupun dari jenis serangga, seperti: tokek (masuk juga cicak), kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk dan yang sejenis dengan mereka, berdasarkan firman Allah -Ta’ala-, “Diharamkan untuk kalian bangkai”, dan firman Allah -Ta’ala-, “Kecuali yang kalian sembelih”. Dan telah jelas dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan pada hewan yang bisa dikuasai/dijinakkan, tidaklah teranggap secara syar’iy kecuali jika dilakukan pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua hewan yang tidak ada cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada cara/jalan untuk memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak disembelih”[5].<br /> [Al-Luqothot point ke-31 s/d 34]<br /> <br /> Inilah secara ringkas penyebutan beberapa kaidah dalam masalah penghalalan dan pengharaman makanan beserta contoh-contohnya semoga bisa bermanfaat. Penyebutan makanan sampai point ke-25 di atas bukanlah dimaksudkan untuk membatasi bahwa makanan yang haram jumlahnya hanya sekitar itu, akan tetapi yang kami inginkan dengannya hanyalah menjelaskan kaidah umum dalam masalah ini yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur dalam menghukumi hewan-hewan lain yang tidak sempat kami sebutkan.<br /> Adapun makanan selain hewan dan juga minuman, maka hukumnya telah kami terangkan secara global dalam pendahuluan-pendahuluan di awal pembahasan, yang mana pendahuluan-pendahuluan ini adalah semacam kaidah untuk menghukumi semuanya, wallahul muwaffiq.<br /> <br /> Referensi:<br /> <ol> <li>Al-Ath’imah wa Ahkamis Shoyd wadz Dzaba`ih, karya Syaikh Al-Fauzan, cet. I th. 1408 H/1988 M, penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Ar-Riyadh.</li> <li>Al-Majmu’, Imam An-Nawawy, Cet. Terakhir, th. 1415 H/1995 M, penerbut: Dar Ihya`ut Turots Al-Araby.</li> <li>Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al-Maliky, cet. X, th. 1408 H/1988 M, penerbit: Darul Kutubil ‘Ilmiyah .</li> <li>Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath’imah wal Masyrubat, karya Muhammad bin Hamd Al-Hamud An-Najdy.</li> </ol> <hr size="1" /> <br /> <div> [1] Maksudnya diharamkan menjualnya, menyewanya, dan seterusnya dari bentuk tukar-menukar harga.<br /> </div> <div> [2] Al-Muhalla (7/429)<br /> </div> <div> [3] Mereka adalah Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa`iy, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah.<br /> </div> <div> [4] Termasuk kekeliruan dari sebagian orang ketika menerjemahkan dhib’un dengan biawak, padahal keduanya berbeda. Biawak termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan, wallahu a’lam.<br /> </div> [5] Al-Muhalla (7/405).<br /><br />Penulis : Al-Ustadz Abu Muawiah Hafidzahullah<br /><br /> <a href="http://al-atsariyyah.com/?p=307">Sumber disini</a><br /> <a href="http://al-atsariyyah.com/?p=307" rel="nofollow"></a></div>

akidah harus tahu renungan binatang yang halal dimakan,dan yang haram dimakan

tulisan berikut akan membahas mengenai Hukum dari: Anjing, Gajah, Kelinci, Belalang, Kadal padang pasir, Kepiting, Gagak, Anjing laut ...

lebih lanjut..:)>>>>»

perkataan kufur kaum syiah

<iframe width="640" height="480" src="//www.youtube.com/embed/LnsVsbqHJPw" frameborder="0" allowfullscreen></iframe><img border="0" height="0" src="http://i2.ytimg.com/vi/LnsVsbqHJPw/0.jpg" width="0" />

video perkataan kufur kaum syiah

lebih lanjut..:)>>>>»

MISS WORLD..SEJARAH DIBALIK KONTES KECANTIKAN (baca kontes para pelacur)

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggKv1gJfeAjmrwJ34mSkTPesIOrM-MnD7UcRpbo3fF98i6N1JHASQTpBxcqB3hhSK3qMvTYHlzDFENUlcSdta-fi2BUORYv0SrDjFyuAHSe4IyxZ2IvdqT_6Jd5rjZfBObZ60CGfd54zE/s1600/lii.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggKv1gJfeAjmrwJ34mSkTPesIOrM-MnD7UcRpbo3fF98i6N1JHASQTpBxcqB3hhSK3qMvTYHlzDFENUlcSdta-fi2BUORYv0SrDjFyuAHSe4IyxZ2IvdqT_6Jd5rjZfBObZ60CGfd54zE/s320/lii.jpg" width="320" /></a></div> <span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}">Dalam pandangan Barat, mereka memandang perempuan dengan pandangan terbuka. Hingga terbuka segala-galanya, pakaiannya, dan auratnya dilihat sebagai simbol keindahan. Padahal inilah simbol kebinatangan. Ideologi kapitalisme telah menjerat perempuan sebagai mahkluk cantik yang dipertontonkan, padahal sungguh (secara tidak sada<span class="text_exposed_show">r) itu adalah simbol penghinaan<br /> <br /> Dalam The Protocols of The Learned Elders of Zion pasal 13-14, yang dianggap data otentik rencana kaum Yahudi Zionis membentuk Tata Dunia Baru pimpinan dajjal Raja Yahudi kelak, disebutkan, Kita dirikan sebanyak mungkin tempat pembangkit maksiat. Kita juga perbanyak reklame di koran atau majalah, guna menyeru mereka agar masuk dalam arena kontes Ratu Kecantikan, atau berkedok kesenian dan olahraga. Hiburan semacam itu akan banyak melalaikan mereka dari mengurusi permasalahan kita, yang mungkin akan membuat pertentangan antara kita dan mereka. Apabila dunia telah dikuasai, maka tidak dibenarkan agama-agama selain Yahudi untuk berkembang. Karena kitalah bangsa termulia dan agama Yahudi adalah agama pilihan Allah.<br /> <br /> ( Hukum Dalam Al Quran )<br /> <br /> Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. (QS An Nur: 30-31)<br /> <br /> Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang Mukmin: Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al Ahzab: 59)<br /> <br /> ( Hukum dalam Hadist )<br /> <br /> Dari Abu Said Al Khudri, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Kalian pasti akan mengikuti langkah-langkah orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal atau sehasta demi sehasta, sampai walaupun mereka masuk ke dalam lubang biawak, kalian pun memasukinya. Para shahabat bertanya: Apakah yang dimaksud adalah Yahudi dan Nashara? Beliau menjawab: Siapa lagi (kalau bukan mereka)? (Muttafaqun Alaihi)<br /> <br /> Dari Buraidah Radhiyallahu Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam bersabda, Wahai Ali, janganlah kamu mengikutkan pandangan dengan pandangan. Sesungguhnya bagimu hanyalah pandangan yang pertama, dan bukan yang setelahnya. (HR. At-Tirmidzi no. 2777, Abu Dawud no. 2149, hasan)<br /> <br /> ( Sejarah Kontes Kecantikan )<br /> <br /> Kontes kecantikan modern pertama kali digelar di Amerika pada tahun 1854. Namun, kontes ini ternyata diprotes masyarakat Amerika hingga akhirnya kontes tidak berlanjut. Dan uniknya panitia kontes kecantikan pertama di dunia tersebut sebelumnya sukses menggelar kontes kecantikan anjing, bayi, dan burung. Lalu sukses kontes kecantikan hewan tersebut tersebut diuji-coba untuk manusia.�<br /> <br /> Pagelaran kontes kecantikan di dunia tidak serta-merta mati. Pada sekitar tahun 1951 di Inggris, Eric Morley menggelar kontes kecantikan internasional untuk pertama kali.<br /> <br /> Kontes ini berawal dari festival lomba yang bernama Festival Bikini Contest, kemudian berganti nama menjadi Miss World. Jadi, Miss World adalah kontes kecantikan termasyhur yang tertua di dunia.<br /> <br /> Namun beberapa tahun kemudian Eric Morley meninggal sehingga pagelaran tersebut diteruskan istrinya hingga muncul konsep 3B yakni Brain (kecerdasan), Beauty (kecantikan), dan Behavior (Kepribadian).<br /> <br /> Konsep 3B ini sebenarnya hanya untuk memoles kontes kecantikan agar diterima banyak kalangan, karena saat itu masih banyak pihak menolak kontes tersebut, bahkan hingga sekarang.<br /> <br /> Penyebabnya tentu saja karena kontes kecantikan dinilai hanya mengekploitasi perempuan. Hingga saat inipun kontes kecantikan masih ditolak para aktivis perempuan di beberapa negara.<br /> <br /> Tentu para peserta wajib berbusana bikini agar menarik minat pembeli pakaian dalam tersebut. Pada tahun 1996 Donald Trump membeli hak kontes tersebut untuk ditayangkan di sebuah televisi.<br /> <br /> Sementara Indonesia baru ikut-ikutan kontes kecantikan kelas dunia pada tahun 1982 dengan mengirimkan wakilnya, yakni Andi Botenri, secara diam-diam karena di dalam negeri kontes kecantikan semacam itu masih banyak pihak yang menolak.<br /> <br /> Kontes kecantikan menjadikan perempuan dan tubuhnya sebagai barang dagangan di atas panggung, catwalk, majalah, koran, dan televisi. Kecantikan dan tubuh perempuan peserta kontes dijadikan alat promosi industri rating media, industri alat komestik, dan industri fashion<br /> <br /> semoga kita tak akan pernah ridho,negeri kita dijadikan kontes2 para pelacur (miss world)..<br /><br /><a href="https://www.facebook.com/amin.b.ahmed/posts/662972140389060">sumber di sini</a></span></span></div>

my facebook MISS WORLD..SEJARAH DIBALIK KONTES KECANTIKAN (baca kontes para pelacur)

Dalam pandangan Barat, mereka memandang perempuan dengan pandangan terbuka. Hingga terbuka segala-galanya, pakaiannya, dan auratnya dil...

lebih lanjut..:)>>>>»

membedah pemahaman KH rahmat syarif (kyai mantan pemburu hantu)

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> </div> <br /> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhm9VLBg1BACRxqyB6oTlI3cKqkCXVfLaIZdmeio1YZH_gwL_HiUL60U3Dps39n_UAmbmcUPMD_YkG5qVIiowXazJtjOmIU-pinD0Qn0jvJbsPUwDzaqEJOnQAkozfnBy9-hm8vF98B9mw/s1600/56d68733405cf53c55b96423b3a06b70.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhm9VLBg1BACRxqyB6oTlI3cKqkCXVfLaIZdmeio1YZH_gwL_HiUL60U3Dps39n_UAmbmcUPMD_YkG5qVIiowXazJtjOmIU-pinD0Qn0jvJbsPUwDzaqEJOnQAkozfnBy9-hm8vF98B9mw/s320/56d68733405cf53c55b96423b3a06b70.jpeg" width="320" /></a></div> KH Syarif Rahmat RA, SQ, MA yang dikenal juga dengan Ustadz “Pemburu Hantu” mengkritisi Tarjamah Tafsiriyah Al-Qur’an karya Al-Ustadz Muhammad Thalib. Kritiknya itu dimuat pada Buletin Jum`at QUM edisi 26 November 2011yang beredar di Jakarta dan Media online, sambil mengingat pembaca agar waspada terhadap tarjamah tafsiriyah Al-Qur’an yang diterbitkan Majelis Mujahidin. Syarif mengatakan:<br /> <i>“Jika pada Terjemahan Kementerian Agama setiap kata dalam Al Qur’an diterjemahkan sesuai maknanya, sedangkan dalam Terjemahan versi MMI terjemahannya sudah mengikutkan maksud suatu kata”</i><i>.</i><i> Namun dengan terjemahan model itu – menurut kami – justru menjadi kurang baik sebab hilangnya makna asli dari lafazh-lafazh Al Qur’an.”<br /></i><br /> Siapapun berhak mengoreksi atau menyanggah pendapat orang lain. Tapi jika hal itu dilakukan berangkat dari alasan subyektif, persepsi pribadi, apalagi apriori, tentu bukanlah sikap intelektual yang beradab.<br /> <div> <a href="http://static.arrahmah.com/images/stories/2011/10/tarjamah-tafsiriyah-1.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="" border="0" height="213" src="http://static.arrahmah.com/images/stories/2011/10/tarjamah-tafsiriyah-1.jpg" width="320" /></a>Cover Al Qur’an Tarjamah Tafsiriyah MMI </div> Oleh karena itu, Majelis Mujahidin perlu merespons kritik di atas. Ada tiga kesalahan dan kelemahan Syarif Rahmat dalam mengkritisi tarjamah tafsiriyah ayat di atas.<br /> <br /> <br /> <b>Pertama,</b> bersikap apriori. Tarjamah Harfiyah yang dilakukan oleh Depag adalah metode tarjamah ala Gereja yang dikenal dengan motodologi Alkitabiah. “bahwa Tarjamah Kitab Suci (Bible) seharusnya menggunakan metode formal/verbal dengan pendekatan literal yaitu menerjemahkan kata per kata (harfiyah) yang merupakan terjemahan otoritatif di kalangan Gereja. Metode inilah yang dinamakan Metode Alkitabiah.” (Dr. Jeffrey Khoo, dalam buku <i>Kept Pure in All Ages.</i> (Singapore: Far Eastern Bible College Press, 2001, hal. 43),<br /> Apakah Syarif  Rahmat (SR) menjadi penyambung lidah para pendeta, pastor, maupun kaum sesat lainnya, dengan mengikuti gaya serta metodologi Gerejawi dalam menerjemahkan kitab suci Al-Qur’an? Nampaknya ya, mengingat kutipan Syarif Rahmat dalam tulisannya tersebut mengikuti metodologi Alkitabiah, sehingga terjemahannya menjadi salah, tidak jelas maksudnya, dan tidak mengikuti gramatika maupun logika bahasa Arab. Jelas sekali,  SR tidak memahami makna kalimat Arabnya, manipulatif, bahkan tidak segan berdusta atas nama ulama.<br /> Metodologi Alkitabiah (harfiyah) inilah yang digunakan para misionaris maupun orientalis untuk melakukan penyesatan terhadap keyakinan umat Islam melalui penerjemahan Al-Qur’an, dengan menyisipkan ideologi dan ajaran yang melenceng dari syari’ah Islam. Dan ini pula yang dilakukan oleh Syarif Rahmat ketika mengkritisi Tarjamah Tafsiriyah Al-Qur’an surat Al-Baqarah 2:62 yang dilakukan Amir Majelis mujahidin, Al-Ustadz Muhammad Thalib. Inilah Tarjamah Tafsiriyah Qs. Al-Baqarah 2:62 yang ditolak secara apriori oleh Syarif :<br /> <div dir="RTL"> إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (البقرة:62)</div> “<i>Orang-orang yang beriman kepada para nabi sebelum Muhammad, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in, lalu mereka beriman kepada Muhammad, mengesakan Allah, dan beriman kepada hari akhirat, serta melaksanakan amal-amal shalih yang diajarkan Islam, mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka. Mereka tidak akan merasa takut menghadapi hari akhirat dan tidak sedih kehilangan kesenangan dunia</i>.” (Lihat Tarjamah Tafsiriyah halaman 10).<br /> <br /> <br /> Kesalahan <b>kedua</b>, berdusta atas nama ulama:<br /> Untuk menguatkan penolakannya terhadap terjemah tafsiriyah berkaitan dengan kalimat <i>“Alladziina Aamanuu” </i>pada ayat di atas, sebagai <i>“Orang-orang yang beriman kepada para nabi sebelum Muhammad</i><i>”, </i>SR menukil mufassir Ibnu Jarir dalam tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, dengan cara manipulatif dan dusta.<br /> SR menilai Terjemah harfiyah Depag lah yang benar, sekalipun didukung dengan fakta dusta dan manipulatif. Parahnya, untuk mendukung kesalahannya, SR berlindung di balik nama besar Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir. Padahal kedua ulama tersebut sama sekali tidak mengatakan apa yang dipahami SR. Artinya, SR salah menerjemahkan dan memahami ucapan ulama yang dijadikan rujukan itu.<br /> Jika pembaca yang mengerti bahasa Arab dan membaca dengan benar, maka apa yang dinyatakan dalam tafsir Ath-Thabari berkenaan dengan Qs. Al-Baqarah 2:62 tidak sebagaimana halusinasi penulis yang ingin mendapat pembenaran atas pendapatnya sendiri. Ia menerjemahkan karya mufassir Ibnu Jarir dengan semaunya sendiri.<br /> <br /> Syarif mengutip pernyataan Ibnu Jarir dalam Tafsir Thabari yang berbunyi :<br /> <div dir="rtl"> <b>أما”الذين آمنوا”، فهم المصدقون رسول الله فيما أتاهم به من الحق من عند الله، وإيمانهم بذلك، تصديقهم به</b></div> <i>“Adapun yang dimaksud dengan “orang-orang beriman” adalah orang-orang yang membenarkan kebenaran yang dibawa (mempercayai) <b>Rasulullah SAW</b> kepada mereka dari sisi Allah. Dan keimanan mereka terhadap hal itu adalah dengan membenarkan beliau”.</i> (Lihat tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari Juz 1 halaman 453).<br /> Syarif menerjemahkan ucapan Ibnu Jarir secara harfiyah, dan salah. Pertanyaannya, atas dasar apa SR menyimpulkan bahwa rasulullah yang dimaksud Ibnu Jarir adalah Rasulullah Muhammad SAW? Sementara Ibnu Jarir sendiri tidak mencantumkannya, bahkan memberi catatan supaya melihat penjelasan beliau pada Juz 1 halaman 234-235. Apakah Rasulullah itu hanya Nabi Muhammad, dan tidak termasuk Nabi lainnya yang masuk kategori <i>ulul ‘azmi</i>, dan sering kita baca dibelakang namanya AS (alaihisalam)? Santri setingkat Ibtidaiyah saja mengerti hal ini, masak Syarif Rahmat tidak mengerti?<br /> Tarjamah tafsiriyah dari ucapan mufassir Ibnu Jarir itu adalah:<i>“Adapun orang-orang yang beriman” adalah mereka yang membenarkan Rasulullah (utusan Allah) yang datang kepada mereka dengan membawa kebenaran dari Allah. Keimanan mereka kepada utusan Allah itulah yang dinamakan mengakui (mengimani) Rasul Allah.<br /></i><br /> <b>Ketiga,</b> berdusta atas nama Ibnu Katsir. Syarif Rahmat mengutip ucapan Ibnu Katsir yang berbunyi:<br /> <div dir="RTL"> فلما بعث الله محمدًا صلى الله عليه وسلم خاتمًا للنبيين، ورسولا إلى بني آدم على الإطلاق، وجب عليهم تصديقُه فيما أخبر، وطاعته فيما أمر، والانكفاف عما عنه زجر. وهؤلاء هم المؤمنون حقا. وسميت أمة محمد صلى الله عليه وسلم مؤمنين لكثرة إيمانهم وشدة إيقانهم، ولأنهم يؤمنون بجميع الأنبياء الماضية والغيوب الآتية.</div> Lalu diterjemahkan oleh SR: <i>“Maka ketika Allah mengutus Muhammad SAW sebagai penutup para nabi serta menjadi rasul bagi seluruh anak Adam secara mutlak, maka wajiblah atas mereka membenarkannya dalam segala yang diberitakannya, mematuhi segala yang diperintahkannya serta menahan diri dari apa yang dilarangnya. Dan mereka itulah orang-orang beriman yang sebenarnya. <b>Ummat Muhammad SAW dinamakan dengan “Orang-Orang Beriman”</b> adalah karena banyaknya keimanan mereka serta kuatnya keyakinan mereka dan lantaran mereka beriman kepada seluruh nabi terdahulu serta perkara-perkara ghaib yang akan datang”</i> (Tafsir Ibnu Katsir Juz 1 halaman 103-104).<br /> <br /> Lagi-lagi SR salah memahami ucapan ulama. SR mungkin saja lancar berbahasa Arab atau membaca kitab bahasa Arab. Tapi apakah dia paham apa yang dia baca, sama sekali tidak nampak dalam terjemahannya itu.  Maka pembaca jangan tertipu dengan terjemahan harfiyah SR yang salah itu.<br /> Apabila kita mengikuti terjemahan SR, pertanyaannya, siapakah Ummat Muhammad Saw yang dinamakan dengan “Orang-orang beriman” dalam kalimat di atas? Apakah semua umat Muhammad, atau umat Muhammad yang mereka dulu beriman kepada Rasul-rasul sebelum Muhammad kemudian beriman kepada Nabi Muhammad Saw setelah beliau diutus Allah sebagai Rasul?<br /> <br /> Jika yang dimaksudkan sebagaimana terjemah Syarif yaitu <b>Umat Muhammad Saw dinamakan dengan “Orang-orang beriman”</b>, bagaimana dengan umat yang hidup sebelum Muhammad diangkat sebagai Nabi, sedangkan mereka beriman kepada Nabi pada zamannya seperti Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Daud, Nabi Ibrahim dan para Nabi lainnya? Apakah mereka juga umat Muhammad Saw?. Ini hal yang mustahil bukan.<br /> Syarif agaknya masih belum tuntas mempelajari gramatika bahasa Arab (ilmu nahwu), sehingga kesulitan mencari obyek yang dinamakan “Orang-orang beriman” dalam kalimat tersebut. Akibatnya, menerjemahkan kata ulama semaunya sendiri alias ngawur, dan tidak sesuai dengan yang dimaksud para ulama itu. Selain itu, kalau ummat Muhammad Saw dinamakan dengan “Orang-orang Beriman”, bagaimana dengan orang kafir, munafiq dan fasik yang hidup setelah Muhammad diangkat Nabi, mereka termasuk umat siapa? Padahal sudah jelas dalam firman Allah :<br /> <div dir="rtl">   و لقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله و اجتنبوا الطاغوت [النحل 36]</div> Maksud sebenarnya dari ucapan Ibnu Katsir yang dinukil Syarif di atas adalah:  <i>“Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad Saw sebagai penutup para nabi, dan sebagai utusan Allah kepada seluruh manusia, maka wajib bagi mereka untuk membenarkan risalah beliau, taat terhadap perintah beliau dan menghindari larangan beliau. Mereka itulah orang yang benar imannya. Dan umat Muhammad Saw ini dinamakan kaum mukminin karena besarnya keimanan dan kuatnya keyakinan mereka kepada kenabian beliau, mereka ini beriman juga kepada semua Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad dan perkara-perkara ghaib yang akan datang”</i> . Di sini Ibnu Katsir membicarakan tentang ummat Muhammad yang beriman kepada beliau yang sebelumnya juga beriman kepada  Nabi-nabi terdahulu, bukan sebaliknya semua orang mukmin dari nabi-nabi dahulu disebut umat Muhammad. Dari mana Syarif Rahmat memungut arti <i>“Ummat Muhammad SAW dinamakan dengan “Orang-Orang Beriman”?</i><br /> Apakah menurut SR, orang-orang yahudi, nasrani, yang beriman kepada Nabi-nabi sebelum Muhammad Saw., tapi menolak beriman pada Nabi Muhammad disebut orang beriman juga? Jika ya, lalu siapa yang disebut orang-orang kafir? Sebaliknya, jika mereka yang menolak kenabian Muhammad Saw. disebut kafir, mengapa Syarif  Rahmat menyalahkan tarjamah tafsiriyah dari Majelis Mujahidin?<br /> Oleh karena itu, jika Syarif Rahmat menganjurkan kepada masyarakat untuk mewaspadai tarjamah tafsiriyah yang dilakukan Majelis Mujahidin, maka Majelis Mujahidin mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak terprovokasi sang pemburu Hantu Syarif Rahmat yang terbukti tidak mengerti bahasa Arab, menggunakan metode Alkitabiah yang menyesatkan. Seharusnya SR melakukan koreksi dengan menggunakan kualifikasi akademis, bukan persepsi peribadi yang berangkat dari sikap apriori.<br /> <br /> <br /> <b><a href="http://majelismujahidinbukittinggi.wordpress.com/2011/12/15/jawaban-majelis-mujahidin-terhadap-pernyataan-kh-syarif-rahmat-mengoreksi-kritik-syarif-rahmat-mengenai-al-quran-tarjamah-tafsiriyah/">sumber disini</a><br /></b><span style="font-size: large;">KH Rahmat syarif disinyalir mendukung miss world</span><br /> REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MUI DKI Jakarta, Syarif Rahmat membantah pernyataannya di iklan Miss World mendukung pagelaran Miss World 2013 bulan depan di Jakarta dan Bali.<br /> Menurut Syarif, pernyataan itu merupakan peringatan agar menghargai tata kesopanan yang ada di Indonesia, dimana budaya ketimuran masyarakatnya sangat kental dengan sisi religius.<br /> Syarif menambahkan pagelaran ini sepertinya sudah tidak mungkin dibatalkan. Karena itu pernyataanya tersebut ingin mewanti-wanti, bahwa ada baiknya tidak membuka aurat dan melihat sisi kepantasan budaya Indonesia terutama umat Islam nusantara.<br /> "Itu komentar pribadi saya, sebagai bentuk tindakan mengantisipasi pagelaran Miss World yang sudah tidak mungkin dibatalkan, karena waktu pelaksanaan yang sudah dekat," kata Syarif.<br /> Ia juga menambahkan sudah ada pernyataan dari panitia akan mematuhi apa yang disyaratkan, seperti menghilangkan busana bikini dan mengganti dengan pakaian santun dari busana batik Indonesia.<br /> <br /> <a href="http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/08/26/ms4t2l-pengurus-mui-syarif-rahmat-bantah-komentarnya-dukung-miss-world"><span style="font-size: small;">sumber disini</span></a><br /> <br /> <b>dan.. inilah komentar seorang di blognya abul jauzaa tentang KH syarif Rahmat<br /></b>Assalamualaikum,<br /> <br /> Ana hanya mau sharing tentang KH. Syarif Rahmat, semoga Alloh memberi hidayah padanya. Bahwa, beliau memang sering menyampaikan kajian atau bahkan ceramah yang mencela dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah Waljamaah dan sangat mendukung Asyariyah dan Maturidiyah. pernah ana saksikan sendiri kalau beliau membagi ummat islam menjadi 3 kelompok : yaitu : AHLUS SUNNAH menurut beliau adalah Asyariyah dan maturidiyah, kemudian kelompok kedua adalah AHLUL BAIT didalamnya beliau masukan syiah yg sesat bahkan kafir seperti rafidhah didalamnya, dan yang paling menyedihkan adalah kelompok ketiga yaitu AHLUL BIDAH dan dengan sombongya beliau mengatakan kalau mereka ahlul bidah tsb. adalah BAZZIYAH dan ALBANIYAH. yaitu kelompok WAHABI yang mengikuti pendapat Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Al Albani Rahimahumallah bi rahmatan wasian. dan beliau juga menyebarkan beberapa tulisan artikel di web nya sebagaiman link diatas dan juga makalah tulisan yang intinya membantah semua fatwa Syaikh Albani maupun Syaikh Ibnu Baz. Laa haula wa laa quwwata illa billah. jadi, bagi ikhwah sekalian yang lemah sebaiknya menjauhi beliau ini. karena dengan penampilan dan gaya berpakaian seperti SUNAN KALIJAGA, beliau sangat lihai membawa perkataan para Ulama Ahlus Sunnah yang mu'tabar sekalipun untuk dicocokan dengan hawa nafsunya. dan hal ini sangat menyedihkan kalau kita mendengar secara langsung celaan-celaan beliau kepada Ulama Ahlus Sunnah Salafiah dari Timur Tengah. Kalau menurut ana pemikiran beliau sejalan dengan IDAHRAM yang menulis buku trilogi DUSTA dan SESAT tentang Salafi dan Wahabi. demikian, semoga Alloh menjaga kita dari syubhat dari orang-orang semisal beliau tsb.<br /> <br /> Wassalamu'alaikum.<br /> <br /> ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++<br /> <br /> sekedar mengingatkan saja,pak KH syarif rahmat,rupanya bukanlah orang yang berfaham Ahlus sunnah..namun sebaliknya,beliau seringkali mengolok2 dan menyelisihi para Ahlus sunnah atau mereka yang bermanhaj salaf..dan sayangnya,orang berfaham seperti itu malah jadi pengurus majelis ulama indonesia (MUI)<br /> <br /> barakallahu fiikum..<br /> <br /></div>

akidah harus tahu renungan tokoh tokoh liberal tokoh..?? membedah pemahaman KH rahmat syarif (kyai mantan pemburu hantu)

KH Syarif Rahmat RA, SQ, MA yang dikenal juga dengan Ustadz “Pemburu Hantu” mengkritisi Tarjamah Tafsiriyah Al-Qur’an karya Al-Ustadz...

lebih lanjut..:)>>>>»

kisah syahidnya ummu haram binti malhan di laut

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghZvPxmKvqJ0cDVcC3dUNIqvRA6HZxIgaAqfd6gG1xqcJG1OjQPkItzQApbe9Cxa0zKLq_XfokcorO1IM-i44126wWQXKwc3X_RbsQF-qTGLDHb_tGlZ0ZrJ6Gwx_AuX340Y4JPykxHBA/s1600/white_rose.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghZvPxmKvqJ0cDVcC3dUNIqvRA6HZxIgaAqfd6gG1xqcJG1OjQPkItzQApbe9Cxa0zKLq_XfokcorO1IM-i44126wWQXKwc3X_RbsQF-qTGLDHb_tGlZ0ZrJ6Gwx_AuX340Y4JPykxHBA/s1600/white_rose.jpg" width="320" /></a></div> Beliau adalah <strong>Ummu Haram</strong> binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Najar Al-Anshariyah An-Najariyah Al-Madiniyah.<br /> Beliau adalah saudari Ummu Sulaim, bibi dari Anas bin Malik pembantu Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Beliau adalah istri dari sahabat agung yang bernama Ubadah bin Shamit. Kedua saudaranya adalah Sulaim dan Haram yang keduanya menyertai perang Badar dan Uhud dan kedua-duanya syahid pada perang <em>Bi’ir Ma’unah</em>. Adapun Haram, dia adalah seorang pejuang yang tatkala ditikam dari belakang beliau mengatakan, “Aku telah berjaya demi Rabb Ka’bah.”<br /> <span id="more-1430"></span><br /> <strong>Ummu Haram</strong> termasuk wantia yang terhormat, beliau masuk Islam, berbai’at kepada Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dan ikut berhijrah. Beliau meriwayatkan hadits dan Anas bin Malik meriwayatkan dari beliau dan ada juga yang lain yang meriwayatkan dari beliau.<br /> Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> memuliakan beliau dan pernah mengunjungi beliau di rumahnya dan istirahat sejenak di rumahnya. Beliau dan Ummu Sulaim adalah bibi Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, baik apabila dihubungkan dengan sepersusuan atau pun dikaitkan dengan nasab, sehingga menjadi halal menyendiri dengan keduanya.<br /> Anas bin Malik berkata, “Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> masuk ke rumah kami, yang mana tidak ada yang di dalam melainkan saya, ibuku (Ummu Sulaim) dan bibiku Ummu Haram. Beliau bersabda, ‘Berdirilah kalian, aku akan shalat bersama kalian.’ Beliau shalat bersama kami pada saat bukan waktu shalat wajib.”<br /> Ummu Haram berangan-angan untuk dapat menyertai peperangan bersama mujahidin yang menaiki kapal untuk menyebarkan dakwah dan membebaskan manusia dari peribadatan kepada sesama hamba menuju peribadatan kepada Allah saja. Akhirnya, Allah mengabulkan angan-angannya dan mewujudkan cita-citanya. Tatkala dinikahi oleh sahabat agung yang bernama Ubaidah bin Shamit, mereka keluar untuk berjihad bersama dan Ummu Haram mendapatkan syahid di sana dalam perang Qabrus.<br /> Anas berkata, “Apabila Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> pergi ke Quba’, beliau mampir ke rumah <span style="text-decoration: underline;">Ummu Haram</span> binti Malhan, kemudian Ummu Haram menyediakan makanan bagi beliau. Adapun suami Ummu Haram adalah Ubadah bin Shamit. Pada suatu hari, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> mampir ke rumah beliau, Ummu Haram pun menyediakan makanan bagi beliau <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> kemudian Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menyandarkan kepalanya dan Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> tertidur. Tidak beberapa lama kemudian, beliau bangun lalu beliau tertawa. Ummu Haram bertanya, ‘Apa yang membuat Anda tertawa, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda,<br /> <div class="arab"> <strong>نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى عُرِ ضُوْا عَلَيَّ غَزَا ةِّفِى سَبِيْلِ الله ِ,يَرْكَبُوْنَ ثَجَّ هَذَا الْبَحْرِ مُلُوْكًا عَلَى اْلأُ سْرةِ أَوْمِثْلَ الْمُلُوْكِ عَلَى اْلأُ سْرَةِ</strong></div> ‘<em>Sekelompok manusia dari umatku diperlihatkan kepadaku, mereka berperang di jalan Allah dengan berlayar di lautan sebagaimana raja-raja di atas pasukannya atau laksana para raja yang memimpin pasukannya</em>.’<br /> Ummu Haram berkata, ‘Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk golongan mereka.’<br /> Kemudian Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> mendoakan Ummu Haram lalu meletakkan kepalanya dan melanjutkan tidurnya. Sebentar kemudian beliau bangun dan tertawa. Ummu Haram bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang membuat Anda tertawa?’<br /> Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br /> <div class="arab"> <strong>نَا سٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِ ضُوا عَلَيَّ غُزَا ةًفِي سَبِيلِ الله ِمِءْلُ الْمُلُوكِ عَلَى اْلأْ سْرَ ةِ</strong></div> ‘<em>Sekelompok manusia dari umatku diperlihatkan kepadaku tatkala berperang di jalan Allah laksana raja bagi pasukannya</em>.’<br /> Ummu Haram berkata, ‘Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk golongan mereka.’<br /> Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, ‘Engkau termasuk golongan para pemula.’”<br /> Anas bin Malik berakta, “<strong>Ummu Haram</strong> keluar bersama suaminya yang bernama Ubadah bin Shamit. Tatkala telah melewati laut, beliau menaiki seekor hewan kemudian hewan tersebut melemparkan beliau ke tanah hingga wafat. Peristiwa tersebut terjadi pada perang Qibris, sehingga beliau dikubur di sana. Ketika itu, pemimpin pasukan adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada masa khilafah Utsaman bin Affan. Semoga Allah merahmati mereka seluruhnya. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 27 Hijriah.<br /> <h3> Begitulah, Ummu Haram adalah termasuk salah satu dari keluarga mulia yang setia terhadap prinsip yang dia pegang. Beliau mencurahkan segala kemampuannya untuk menyebarkan akidah tauhid yang murni. Beliau tidak mengharapkan setelah itu melainkan ridha Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>.</h3> <strong>Sumber</strong>: <em>Mereka adalah Para Shahabiyah</em>, Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Musthafa Abu An-Nashir Asy-Syalabi, Pustaka At-Tibyan, Cetakan ke-10, 2009.</div>

kisah islami lain lain renungan wanita kisah syahidnya ummu haram binti malhan di laut

Beliau adalah Ummu Haram binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Najar Al-Anshariyah An-...

lebih lanjut..:)>>>>»

infaqnya para shahabat rasulullah

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUtlGDvFPWc3E5KaDIyhzDaXc523WKPY3VTc0wpzi03vKFLNgnX4_IeJ4aXLL48RIcp2iJ2D7XfCH0cG9l78hJQA690Gmh51KyXZYVpwBsa8_tKW-_m-hb8fYX90xDzsxT5pMj0g5u2JU/s1600/Padang-Pasir.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUtlGDvFPWc3E5KaDIyhzDaXc523WKPY3VTc0wpzi03vKFLNgnX4_IeJ4aXLL48RIcp2iJ2D7XfCH0cG9l78hJQA690Gmh51KyXZYVpwBsa8_tKW-_m-hb8fYX90xDzsxT5pMj0g5u2JU/s1600/Padang-Pasir.jpg" width="320" /></a></div> Begitu Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> tiba di kota Madinah, unta beliau menderum di kebun milik dua orang anak dari kalangan sahabat beliau. Maka, tempat itulah yang dijadikan sebagai areal masjid. Kedua anak tersebut lebih memilih menghibahkan tanah itu kepada Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>.<br /> <span id="more-1409"></span><br /> Di dalam hadis tentang peristiwa hijrah yang panjang disebutkan, “Lalu, beliau mengendarai binatang tunggangannya dengan diiringi orang-orang. Sampai akhirnya, binatang tersebut menderum di lokasi (calon) masjid Rasulullah<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> di Madinah. Di tempat itu, hari itu juga beliau mendirikan shalat bersama kaum muslimin. Lokasi tersebut adalah kebun kurma milik Suhail dan Sahl, dua orang anak yatim yang berada di bawah asuhan As’ad bin Zurarah. Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda ketika binatang tunggangannya menderum di tempat tersebut, ‘Tempat ini, insya Allah, akan menjadi tempat tinggal (saya).’ Kemudian, beliau memanggil dua orang anak pemilik tanah tersebut dan menawar tanah mereka untuk dijadikan masjid. Keduanya berkata, ‘Tidak, bahkan kami menghibahkannya untukmu, wahai Rasulullah.’ Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> enggan untuk menerimanya sebagai hibah, hingga beliau membelinya dari keduanya ….” (H.r. Bukhari, no. 3906)<br /> Lihatlah, salah seorang dari kaum muda sahabat. Ketika ia menerima warisan dari ibunya berupa sejumlah harta yang menyenangkan jiwa, ia bertanya kepada Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> tentang sedekah yang mesti ia keluarkan. Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir, ia berkata, “Seorang anak datang kepada Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> –menurut riwayat lain, “Seorang bertanya kepada Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>–, ‘Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dan meninggalkan perhiasan. Apakah aku boleh menyedekahkannya atas nama ibuku?’ Beliau bertanya, ‘Ibumu menyuruhmu untuk melakukannya?’ Ia berkata, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Tahanlah kalung ibumu itu.’”<br /> Ubaidillah bin Abbas terkenal sebagai seorang dermawan. Ibnu Sa’ad berkata, “Abdullah dan Ubaidillah, dua orang putra Abbas. Jika keduanya datang ke kota Mekah maka Abdullah menyebarkan ilmu ke segenap penduduknya, sedang Ubaidillah membagi-bagikan makanan untuk mereka. Ubaidillah adalah seorang pedagang.”<br /> Pada perisitiwa perang Khandaq, di saat penderitaan kaum muslimin menjadi-jadi, Jabir merasa sedih melihat kondisi yang menimpa Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Ia memiliki kisah kepahlawanan tersendiri yang ia tuturkan sendiri, “Pada hari-hari pertempuran Khandaq, kami menggali parit. Ada sebongkah batu keras yang menghalang. Orang-orang datang menemui Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> seraya berkata, ‘Ada batu keras yang melintang di parit.’ Beliau bersabda, ‘Aku yang akan turun (tangan).’ Lalu, beliau berdiri, sedangkan ketika itu ada batu yang terikat di perut beliau. Kami melewati tiga hari tanpa menyantap makanan. Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> mengambil godam dan memukulkannya (ke batu), hingga batu itu hancur menjadi pasir berhamburan. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan aku kembali pulang ke rumah.’ Aku berkata kepada istriku, ‘Aku melihat pada diri Rasulullah sebuah kesabaran. Apakah kamu ada sedikit makanan?’ Istriku menjawab, ‘Aku punya gandum dan seekor anak kambing.’ Aku pun menyembelih kambing dan menumbuk gandum. Lalu, aku masukkan daging ke dalam periuk.<br /> Aku datang menemui Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> ketika adonan telah melunak dan daging dalam wadah di atas tungku hampir matang. Aku berkata, ‘Aku mempunyai sedikit makanan, silakan Anda datang bersama satu atau dua orang ke rumahku.’ Beliau bertanya, ‘Seberapa banyak makanan itu?’ Aku beritahukan jumlahnya. Beliau bersabda, ‘Makanan yang banyak dan baik.’ Beliau melanjutkan, ‘Katakan kepada istrimu untuk tidak mengangkat pembakaran dan adonan roti dari perapian hingga aku datang.’ Beliau berkata kepada para sahabatnya, ‘Bangkitlah kalian!’ Maka, segenap kaum Muhajirin dan Anshar bangkit berdiri.” Ketika Jabir masuk menemui istrinya, ia berkata, “Rasulullah akan datang bersama kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang ada bersama mereka.” Istrinya bertanya, “Apakah beliau menanyakan sesuatu kepadamu?” Jabir menjawab, “Ya.” Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, “Masuklah kalian dan jangan berdesak-desakan.”<br /> Beliau mulai memotong-motong roti dan menaruh daging di atasnya, lalu menutup periuk dan perapian bila mengambil (daging atau roti) darinya. Lalu, beliau mendekatkannya kepada para sahabatnya dan mengambilkannya. Beliau terus memotong-motong roti hingga semua orang kekenyangan, dan ternyata makanan itu masih tersisa.” Jabir berkata kepada istrinya, “Makanlah ini dan hadiahkanlah, sungguh orang-orang sedang ditimpa kelaparan.” (H.r. Bukhari, no. 4101; Muslim, no. 2039)<br /> Barangkali, generasi muda saat ini tidak memahami nilai harta bagi keluarga mereka sebab mereka masih hidup di bawah tanggungan biaya keluarga. Adapun mereka, generasi muda sahabat, sangat dermawan menginfakkan harta meskipun hanya sedikit yang mereka miiki. Bahkan, sebagian di antara mereka ada yang rela melewati malam dalam kondisi lapar. Bahan, makanan untuk diri dan keluarganya ia infakkan di jalan Allah.<br /> Alangkah bagusnya bila generasi muda melatih dirinya berinfak dan berderma. Yang menjadi tolak ukur bukan besaran harta yang diinfakkan, melainkan niat tulus yang dengannya mereka mendermakan sedikit harta yang dimiliki. Jumlah yang sedikit ini teramat besar di sisi Allah. Dia tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.<br /> Begitulah perilaku yang diajarkan Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> kepada para sahabatnya, yakni ketika beliau bersabda,<br /> <div class="arab" style="text-align: right;"> <strong>مَامِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍإِ لاَّوَسَيُكَلِّمُهُ الله يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ بَيْنَ الله ِوَبَيْنَهُ تُرْ جُمَا نٍّ,ثُمَّ يَنْظُرُ فَلاَ يَرَ ى شَيْأَ قُدَّا مَهُ,ثُمَّ يَنْظُرُ بَيْن يَدَ يْهِ فَتَسْتَقْيِلُهُ النَّا رُ,فَمَنْ اسْتَطَا عَ مِنْكُمْ أَنْ يَتَّقِيَ النَّارَ وَلَوْ يِشِقِّ تَمْرَةٍ</strong></div> “<em>Tidak seorang pun di antara kalian kecuali dia akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat. Tidak ada penerjemah antara dirinya dengan Allah. Kemudian ia melihat ternyata tidak ada sesuatu pun yang ia persembahkan. Selanjutnya, ia menatap ke depan ternyata neraka telah menghadangnya. Oleh karena itu, barang siapa di antara kalian yang bisa menjaga diri dari neraka, meski hanya dengan (memberikan) sebelah kurma (maka lakukanlah)</em>.”<br /> Menurut riwayat yang lain, “Nabi<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menyebutkan perihal neraka. Lalu beliau memohon perlindungan darinya dan memalingkan wajah beliau. Beliau kembali menyebutkan perihal neraka, lalu memohon perlindungan darinya dan memalingkan wajah. Syu’bah berkata, ‘Untuk dua kali tindakan yang beliau lakukan, aku tidak meragukannya.’ Kemudian beliau bersabda, Jagalah diri kalian dari neraka meski hanya dengan (menginfakkan) sebelah kurma. Biarpun yang tidak mendapatkannya, maka hendaknya ia mengucapkan kata-kata yang baik’.”<br /><br /><br /> <strong>Sumber</strong>: <em>Biografi Generasi Muda Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, Muhammad bin Abdullah ad-Duwaisy, Zam-Zam, Cetakan 1, 2009.</div>

akidah harus tahu renungan infaqnya para shahabat rasulullah

Begitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, unta beliau menderum di kebun milik dua orang anak dari kalangan sahab...

lebih lanjut..:)>>>>»

mustajabnya doa orang shalih

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTzCtBa9Z-PgmuVVfiDVkGp9LzWISAizhO6SDMoGG-QjzikQzO6o9MOxfaCPBaoMVCdBemPR6xfD99yGtCfBKo9s5l50v6xMsIGBUk0cTJUAMp-CZWJG3E9rwObHI_kVqQrW84rkIhBUo/s1600/li.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTzCtBa9Z-PgmuVVfiDVkGp9LzWISAizhO6SDMoGG-QjzikQzO6o9MOxfaCPBaoMVCdBemPR6xfD99yGtCfBKo9s5l50v6xMsIGBUk0cTJUAMp-CZWJG3E9rwObHI_kVqQrW84rkIhBUo/s1600/li.jpeg" /></a></div> Diriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dari kalangan Anshar yang dijuluki Abu Mughliq <em>radhiyallahu ‘anhu</em> adalah seorang pedagang yang memperdagangkan barang miliknya dan milik orang lain yang dijajakan di penjuru daerah. Dia juga seorang ahli ibadah dan wara. Suatu ketika, dia keluar dan bertemu dengan <strong>perampok bertopeng</strong> yang membawa pedang. Lantas perampok berkata, “Letakkan harta yang kamu bawa. Sungguh, saya akan membunuhmu.” <br /> Dia berkata, “Sepertinya yang kamu inginkan hanyalah darahku, bagaimana hartaku?”<br /> <em>Perampok</em> berkata, “Hartamu menjadi milikku. Saya hanya ingin darahmu.”<br /> Dia berkata, “Jika kamu masih memaksa, tolong biarkan aku melaksanakan shalat empat rekaat terlebih dahulu.”<br /><br /> Perampok berkata, “Baiklah. Terserah kamu.”<br /> Lalu dia berwudhu dan melakukan shalat empat rakaat. Doa yang dibaca di akhir sujud ialah:<br /> Wahai Dzat Yang Maha Pengasih, Dzat Yang Memiliki Arsy lagi Maha Mulia, Dzat Yang Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki! Saya memohon kepada-Mu dengan kemuliaan-MU yang tidak dapat dijangkau, dengan kerajaan-Mu yang tidak dapat ditundukkan, dengan cahaya-Mu yang memenuhi pilar-pilar ‘arsy-Mu agar Engkau menghindarkan kejahatan perampok ini pada diriku. Wahai Dzat Yang Maha Menolong! Tolonglah aku. Wahai Dzat Yang Maha Menolong! Tolonglah aku. (Sebanyak tiga kali)<br /> Tiba-tiba datang seorang berkuda yang membawa mata tombak di tangannya. Dia meletakkannya di antara kedua telinga kudanya. Ketika dia melihat si perampok, maka dia menghadap ke arahnya, lalu menusuknya hingga mati. Kemudian penunggang kuda menghadap ke arah pedagang yang wara dan ahli ibadah ini. Dia berkata kepada si pedagang, “Bangunlah!”<br /> Lalu <strong>pedagang</strong> berkata, “Anda siapa? Demi ayah dan ibuku, Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em> telah menolongku melalui Anda hari ini.”<br /> Dia menjawab, “Saya adalah malaikat dari langit keempat. Tadi ketika engkau memanjatkan doa yang kali pertama, lalu saya mendengar gemertaknya pintu-pintu langit. Kemudian engkau memanjatkan doa kedua kali, lalu saya mendengar suara gaduh para penduduk langit. Selanjutnya engkau memanjatkan doa ketiga kalinya, lalu dikatakan kepadaku, ‘Doa orang yang mengalami kesulitan.’ Lantas saya memohon kepada Allah <em>Subhanahu wa Ta’ala</em> memberi kepercayaan kepadaku untuk membunuhnya.”<br /> Al-Hasan berkata, “Barangsiapa berwudhu dan melaksanakan shalat empat rakaat, lalu memanjatkan doa ini, pastilah doanya dikabulkan, baik dia dalam kesulitan atau tidak.”<br /><br /><br /> Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1</div>

lain lain renungan mustajabnya doa orang shalih

Diriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Anshar yang dijuluki Abu Mughliq radhiyallahu ‘anhu ...

lebih lanjut..:)>>>>»

delapan Hal tentang Wanita Sholat Berjamaah di Masjid

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmE5ZbOXyM6Fs7AxGipdfiLjvsC8KpOtBc5lk0Np30wb2xUcBMLyLhm8KpAVse9Nz7A4KaPqivClU7NsozDbstyOIrEsWLlx9zGpH3HvnRN3fSxXW3qoRVq_g_UEd5UkobBiicvSyN4Z0/s1600/index.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmE5ZbOXyM6Fs7AxGipdfiLjvsC8KpOtBc5lk0Np30wb2xUcBMLyLhm8KpAVse9Nz7A4KaPqivClU7NsozDbstyOIrEsWLlx9zGpH3HvnRN3fSxXW3qoRVq_g_UEd5UkobBiicvSyN4Z0/s1600/index.jpeg" /></a></div> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <b><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt;"><span style="color: red;"><span style="font-size: large;">1. Kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid.</span></span><span style="font-size: large;"><br /></span></span></b></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Sejak zaman Nubuwwah, kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Dalam artian, di antara shahabiyah (shahabat Rasulullah dari kalangan wanita, red) ada yang ikut menghadiri shalat berjamaah di belakang para shahabat walaupun itu tidak wajib bagi mereka.</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Ada</span><span style="font-family: Arial;"> beberapa dalil dari sunnah yang shahihah yang menunjukkan keikutsertaan wanita dalam shalat berjamaah di masjid. Tiga di antaranya kami sebutkan berikut ini :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="color: blue;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial;">a. Hadits dari Aisyah radliyallahu ‘anha, ia berkata :</span></span></i></span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya hingga Umar memanggil beliau (dengan berkata) : “<i>Telah tertidur para wanita dan anak anak.” Maka keluarlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata : “Tidak ada seorang pun selain kalian dari penduduk bumi yang menanti shalat ini</i>.” (HR. Bukhari dalam kitab Mawaqit Ash Shalah 564 dan Muslim kitab Al Masajid 2/282)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits di atas berkata : “<i>Ucapan Umar (Telah tertidur para wanita dan anak anak) yakni di antara mereka yang menanti didirikannya shalat berjamaah di masjid.</i>“</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="color: blue;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial;">b. Dalam hadits lain, Aisyah radliyallahu ‘anha mengabarkan :</span></span></i></span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<i>Mereka wanita wanita Mukminah menghadiri shalat shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut dengan kain kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah rumah mereka hingga mereka (selesai) menunaikan shalat tanpa ada seorangpun yang mengenali mereka karena masih gelap</i>.” (HR. Bukhari 578)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;"><span style="color: blue;">c. Hadits dari Abi Qatadah Al Anshari radliyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda </span>:</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<span style="color: #3d85c6;"><i>Sesungguhnya aku berdiri untuk menunaikan shalat dan berkeinginan untuk memanjangkan shalat itu. Lalu aku mendengar tangisan bayi maka akupun memendekkan shalatku karena khawatir (tidak suka) memberatkan ibunya</i>.</span>” (HR. Bukhari 868, Abu Daud 789, Nasa’i 2/94 95 dan Ibnu Majah 991)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><b><span style="font-family: Arial;"><span style="color: red;">2. Izin bagi wanita untuk keluar ke masjid.</span></span></b></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="color: #3d85c6;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial;">Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid</span></span></i></span><span style="font-family: Arial;"><span style="color: #3d85c6;"> </span>. Namun tidak berarti wanita dilarang dan harus dicegah bila ingin hadir berjamaah di masjid, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<span style="color: #3d85c6;"><i><span style="text-decoration: underline;">Apabila wanita (istri) salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka janganlah ia mencegahnya</span></i></span>.” (HR. Bukhari 2/347 dalam Fathul Bari, Muslim 442, dan Nasa’i 2/42)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Salim bin Abdullah bin Umar menceritakan bahwasanya Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<span style="color: #3d85c6;"><i>Janganlah kalian melarang istri istri kalian dari masjid bila mereka meminta izin untuk mendatanginya</i></span>.” (HR. Bukhari dan Muslim 442 dan hadits yang disebutkan di sini menurut lafadh Muslim)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Salim berkata : Bilal bin Abdullah bin Umar lalu berkomentar: “<span style="color: #3d85c6;"><i><span style="text-decoration: underline;">Demi Allah, kami benar benar akan melarang mereka</span></i></span>.”</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">(Mendengar ucapan seperti itu, pent.) Abdullah bin Umar memandang Bilal kemudian mencelanya dengan celaan yang buruk yang aku sama sekali belum pernah mendengar celaannya seperti itu terhadap Bilal. Dan Abdullah berkata : “<i><span style="text-decoration: underline;"><span style="color: #3d85c6;">Aku kabarkan kepadamu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu engkau menimpali dengan ucapanmu, ‘demi Allah, kami benar benar akan melarang mereka!</span>’”<br /><br /><span style="color: red;"><br /></span></span></i></span></span></div> <span style="font-size: large;"><span style="color: red;"> </span></span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><b><span style="font-family: Arial;"><span style="color: red;">3. Beberapa perkataan ulama dalam permasalahan ini.</span></span></b></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Berkata Imam Nawawi rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">"<i><span style="text-decoration: underline;">J<span style="color: #3d85c6;">anganlah kalian melarang hamba hamba perempuan Allah dari masjid masjid Allah</span></span></i>"</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Dan yang hadtis-hadist semisalnya dalam bab ini, menunjukkan bahwa wanita tidak dilarang mendatangi masjid akan tetapi harus memenuhi syarat syarat yang telah disebutkan oleh ulama yang diambil dari hadits hadits yang ada. Seperti wanita itu tidak memakai wangi wangian, tidak berhias, tidak mengenakan gelang kaki yang bisa terdengar suaranya, tidak mengenakan pakaian mewah, tidak bercampur-baur dengan laki laki, dan wanita itu bukan remaja putri (pemudi) yang dengannya dapat menimbulkan fitnah serta tidak ada perkara yang dikhawatirkan kerusakannya di jalan yang akan dilewati dan semisalnya. ] (Syarhu Muslim 2/83)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Syaikh Musthafa Al Adawi hafidhahullah memberi komentar terhadap ucapan Imam Nawawi di atas :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">[ Terhadap ucapan Imam Nawawi rahimahullah tentang pelarangan remaja putri (pemudi untuk hadir di masjid) perlu dilihat kembali. Kami belum mendapatkan dalil yang jelas yang melarang pemudi atau membedakan antara pemudi dan yang selainnya untuk pergi ke masjid. ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ Juz 1 halaman 278)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Imam Nawawi juga berkata dalam Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 4/199 : [ Larangan dalam hadits : "<i><span style="color: #3d85c6;">Janganlah kalian melarang hamba hamba perempuan Allah dari masjid masjid Allah</span>.</i>"</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Hal ini merupakan larangan tanzih/makruh (bukan larangan yang menunjukkan tahrim/haram, pent.) karena hak suami agar istri tetap tinggal di rumah wajib dipenuhi. Maka janganlah si istri meninggalkannya untuk mengerjakan amalan yang tidak wajib. ]</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla-nya menyatakan :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<span style="color: #3d85c6;"><i>Tidak halal bagi wall wanita dan tidak juga bagi majikan budak wanita untuk melarang keduanya menghadiri shalat berjamaah di masjid jika diketahui bahwa mereka memang hendak shalat. Dan tidak halal bagi mereka (kaum wanita) untuk keluar dalam keadaan memakai wangi wangian dan mengenakan pakaian yang indah (mewah). Bila si wanita melakukan hal demikian maka hendaklah dicegah</i></span>.” (Al Muhalla 2/170)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Al Baihaqi rahimahullah menyebutkan dalam Sunan-nya (3/133) bahwa perintah untuk tidak melarang wanita merupakan perintah yang sunnah dan bersifat bimbingan, bukan perintah yang menunjukkan fardlu dan wajib.</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Syaikh Musthafa Al Adawi berkata :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<span style="color: #3d85c6;"><i><span style="text-decoration: underline;">Bila tidak dijumpai adanya sebab yang dapat menghalangi keluarnya wanita menuju ke masjid maka wajib bagi suami untuk mengizinkannya karena adanya larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mencegahnya. Wallahu a’lam</span></i></span>.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/279)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Syaikh Abu Ishak Al Huwaini Al Atsari hafidhahullah dalam kitabnya, Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 72 74) setelah membawakan hadits yang artinya :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<i>Bila istri salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka janganlah ia mencegahnya</i>.”</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Syaikh menyatakan : Dalam hadits ini menunjukkan bahwa keluarnya istri harus dengan izin suami. Seandainya si suami menahan istrinya (untuk keluar) maka si suami tidak berdosa menurut pendapat yang terpilih dari pendapat-pendapat para Ahli Tahqiq dan telah berkata Al Baihaqi : “<span style="color: #3d85c6;"><i>Dengan inilah mayoritas ulama berpendapat</i></span>.”</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Adapun hadits yang berbunyi :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<i>J<span style="color: #3d85c6;">anganlah kalian melarang hamba hamba perempuan Allah dari masjid masjid Allah</span></i>“</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Perintah di sini (yakni perintah untuk tidak melarang wanita ke masjid, pent.) tidaklah menunjukkan wajib. Karena seandainya wajib, maka tidak ada maknanya meminta izin. Wallahu a’lam. ]</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><b><span style="font-family: Arial;"><span style="color: red;">4. Pendapat Aisyah radliyallahu ‘anha dan bimbingannya.</span></span></b></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan ucapan Aisyah radliyallahu ‘anha :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<i>Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat menemui apa yang diada adakan oleh para wanita (saat ini) niscaya beliau akan melarang mereka sebagaimana dilarangnya wanita wanita Bani Israil</i>.” (HR. Bukhari hadits 869 dan dikeluarkan juga oleh Muslim 445)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Dalam riwayat Muslim disebutkan : Salah seorang rawi bertanya kepada Amrah binti Abdirrahman (murid Aisyah yang meriwayatkan hadits ini darinya) : “<i><span style="color: #3d85c6;">Apakah para wanita Bani Israil dilarang ke masjid?” Amrah menjawab : “<b>Ya, adapun hal hal baru yang diperbuat para wanita Bani Israil di antaranya memakai wangi wangian, berhias, tabarruj, ikhtilath, dan kerusakan kerusakan lainnya</b></span>.</i>“</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari (2/350) : “<i>Shalatnya wanita di rumahnya lebih utama baginya karena terjamin aman dari fitnah. Dan yang menguatkan hal ini setelah munculnya perbuatan tabarruj dan pamer perhiasan yang dilakukan oleh para wanita. Terlebih lagi Aisyah radliyallahu ‘anha telah berkata dengan apa yang dia katakan. </i></span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><i><span style="font-family: Arial;">Sebagian orang berpegang dengan ucapan Aisyah ini untuk melarang wanita (ke masjid) secara mutlak dan pendapat ini perlu ditinjau kembali</span></i><span style="font-family: Arial;">.”</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Beliau berkata lagi : “<span style="color: #3d85c6;"><i>Aisyah mengaitkan larangan dengan syarat, yang ia menganggap bila Nabi sempat melihat (perbuatan para wanita itu) niscaya beliau akan melarangnya. Dengan demikian, dikatakan kepada orang yang berpendapat wanita dilarang secara mutlak (ke masjid) bahwa Nabi tidak sempat melihat (perbuatan para wanita itu) dan beliau tidak melarang, hingga hukum (kebolehan wanita ke masjid dan larangan untuk mencegah mereka, pent.) terus berlaku</i> … .</span>”</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Berkata Syaikh Musthafa Al Adawi setelah membawakan riwayat Aisyah di atas :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">[ Ini merupakan pendapat Aisyah radliyallahu 'anha berkenaan dengan keluarnya wanita ke masjid ... . Beliau berpendapat (perlunya) larangan karena sebab yang disebutkan. </span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Pendapat ini memiliki arti bila ada fitnah dan adanya kekhawatiran terhadap kaum pria dan wanita dari fitnah itu. Akan tetapi kita kembali dan kita katakan : Pendapat ini tempatnya bila fitnah terwujud nyata. Adapun melarang mereka karena (menganggap) semata mata ke masjid itu adalah fitnah maka ini pendapat yang lemah. Allah Ta'ala telah berfirman :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">"<i>Dan tidaklah Tuhanmu lupa."</i> (QS. Maryam : 64)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">"<i>Tidaklah Kami luputkan sesuatu pun di dalam Kitab ini</i>." (QS. Al An'am : 38)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Dan layak untuk kami (Musthafa Al Adawi) nukilkan di sini ucapan Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari 2/350. Beliau menyatakan : " <i>… <span style="color: #3d85c6;">dan juga Allah subhanahu wa ta'ala telah mengetahui apa yang akan mereka (para wanita) perbuat. Namun Allah tidak mewahyukan kepada Nabi Nya untuk melarang mereka (mendatangi masjid). </span></i></span></span></div> <span style="font-size: large;"><span style="color: #3d85c6;"> </span></span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="color: #3d85c6;"><i><span style="font-family: Arial;">Seandainya apa yang mereka perbuat mengharuskan untuk melarang mereka dari masjid, niscaya melarang mereka dari selain masjid seperti mendatangi pasar pasar adalah lebih utama. </span></i></span></span></div> <span style="font-size: large;"><span style="color: #3d85c6;"> </span></span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="color: #3d85c6;"><i><span style="font-family: Arial;">Dan juga perbuatan yang diada adakan itu hanya dilakukan oleh sebagian wanita, tidak seluruhnya. Maka pengkhususan larangan (penunjukkan larangan) ditujukan kepada wanita yang berbuat. Yang lebih utama adalah menilik perkara yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, lalu menghindarinya berdasarkan isyarat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan melarang memakai wangi wangian dan berhias</span></i></span><span style="font-family: Arial;">." (Lihat Jami' Ahkamin Nisa' 1/280) ]</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla (3/ 134) menyebutkan enam sisi bantahan terhadap orang yang berhujjah dengan ucapan Aisyah radliyallahu ‘anha ini untuk melarang wanita ke masjid secara mutlak.</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Dua sisi di antaranya kami sebutkan secara ringkas di bawah ini :<br /></span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><b><span style="font-family: Arial;"><span style="color: #f1c232;">Sisi pertama </span>:</span></b><span style="font-family: Arial;"> Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sempat melihat apa yang diperbuat para wanita, maka beliau tidak melarang mereka ke masjid. Apabila beliau sendiri tidak melarang mereka (ke masjid) maka berarti melarang mereka adalah bid’ah dan kesalahan. Ini sama dengan firman Allah Ta’ala :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<i>Wahai istri istri Nabi, siapa di antara kalian yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata niscaya akan dilipatgandakan siksaan padanya dua kali lipat … </i>.” (QS. Al Ahzab : 30)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Maka mereka sama sekali tidak mengerjakan perbuatan keji yang nyata sehingga tidak dilipatgandakan adzab bagi mereka, walhamdulillah. Dan juga seperti firman Allah Ta’ala :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<i><span style="text-decoration: underline;">Jikalau sekiranya penduduk negeri negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan bumi.”</span></i> (QS. Al A’raf : 96)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Maka mereka tidak beriman sehingga tidak dibukakan barakah bagi mereka.<br /></span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="color: #f1c232;"><b><span style="font-family: Arial;">Sisi Kedua</span></b></span><span style="font-family: Arial;"> : Aisyah radliyallahu ‘anha tidak berpendapat melarang para wanita karena sebab itu dan ia tidak berkata : “<i><span style="text-decoration: underline;">Laranglah mereka karena apa yang mereka perbuat</span></i>.” Akan tetapi Aisyah mengabarkan : “<i><span style="text-decoration: underline;">Andai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup niscaya beliau melarang mereka …</span></i> .”</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Kami katakan : Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka, kami pun melarang mereka. Dan bila beliau tidak melarang maka kami pun tidak melarang mereka.</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><b><span style="font-family: Arial;"><span style="color: red;">5. Syarat syarat yang harus dipenuhi</span>.</span></b></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="color: #3d85c6;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial;">Wanita dibolehkan menghadiri shalat berjamaah di masjid namun harus memenuhi ketentuan ketentuan yang ditetapkan syariat seperti tidak memakai wangi wangian</span></span></i></span><span style="font-family: Arial;"> sebagaimana dikabarkan oleh Zainab Ats Tsaqafiyah, istri Abdullah bin Mas’ud radliallahu anhuma. la berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<span style="color: #3d85c6;"><i>Bila salah seorang dari kalian (para wanita) ingin menghadiri shalat di masjid maka janganlah ia menyentuh wewangian</i>.</span>” (HR. Muslim 4/163, Ibnu Khuzaimah 1680, dan Al Baihaqi 3/439)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Demikian juga hadits Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<span style="color: #3d85c6;"><i><span style="text-decoration: underline;">Wanita mana saja yang memakai wangi wangian maka janganlah ia menghadiri shalat lsya yang akhir bersama kami</span></i>.</span>” (HR. Muslim 4/162, Abu Daud 4175, dan Nasa’i 8/154)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Syaikh Musthafa Al Adawi berkata :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">[ Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah memiliki pendapat yang ganjil di mana ia berkata dalam Al Muhalla 4/78 :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">"<span style="color: #3d85c6;"><i><span style="text-decoration: underline;">Tidak halal bagi seorang wanita menghadiri shalat di masjid dalam keadaan memakai wangi wangian. Jika ia melakukannya maka batallah shalatnya</span></i></span>."</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Ini merupakan pendapat yang ganjil dari beliau rahimahullah. Yang benar, wallahu a'lam- wanita yang melakukan perbuatan demikian (memakai wewangian ketika keluar menuju masjid) berarti telah berbuat dosa, akan tetapi dosanya tersendiri dari shalatnya dan tidak ada hubungan antara dosa itu dengan batalnya shalat. Allahu a'lam. ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/288)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Al Qadli ‘Iyadl rahimahullah menyebutkan syarat dari ulama berkenaan dengan keluarnya wanita, di antaranya tidak mengenakan perhiasan, tidak memakai wewangian, dan tidak berdesak desakan dengan laki laki. Kata Al Qadli : “<span style="color: #0b5394;"><i>Termasuk dalam makna wewangian adalah menampakkan perhiasan dan keindahannya. Jika ada sesuatu dari perbuatan demikian maka wajib melarang mereka karena takut fitnah.</i></span>“</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Berkata Syaikh Abdullah Al Bassam dalam kitabnya, Taudlihul Ahkam (2/283) :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><i><span style="font-family: Arial;">Termasuk wewangian adalah sesuatu yang semakna dengannya berupa gerakan gerakan yang dapat mengundang syahwat seperti pakaian yang indah, perhiasan, dan dandanan. <span style="color: #3d85c6;"><b>Karena aroma si wanita, perhiasan, bentuknya, dan penonjolan kecantikannya merupakan fitnah baginya dan fitnah bagi laki laki.</b></span></span></i></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Bila si wanita melakukan hal demikian atau melakukan sebagiannya, haram baginya untuk keluar berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu (telah disebutkan di atas, pent.) dan hadits dalam Shahihain dari Aisyah radliyallahu ‘anhuma, ia berkata:</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial;">“<span style="color: #3d85c6;">Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat apa yang dilakukan para wanita sebagaimana yang kita lihat niscaya beliau akan melarang mereka ke masjid</span></span></span></i><span style="font-family: Arial;"><span style="color: #3d85c6;">.</span>” ]</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Dituntunkan kepara para wanita yang hadir dalam shalat berjamaah di masjid untuk bersegera kembali ke rumah setelah menunaikan shalat. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radliyallahu ‘anha :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<span style="color: #3d85c6;"><i>Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat shubuh ketika hari masih gelap. Maka para wanita Mukminah berpaling (meninggalkan masjid) dalam keadaan mereka tidak dikenali karena gelap atau sebagian mereka tidak mengenali sebagian lainnya</i></span>.” (HR. Bukhari 872)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Syaikh Musthafa Al Adawi berkata setelah membawakan hadits di atas: [ Imam Bukhari membuat satu bab untuk hadits ini dalam kitab Shahih-nya dan diberi judul : Bab Bersegeranya Wanita Meninggalkan Masjid Setelah Shalat Shubuh dan Sebentarnya Mereka Berdiam di Masjid. Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan : "<i><span style="color: #6fa8dc;">D<span style="color: #3d85c6;">ikhususkan waktu shubuh karena mengakhirkan keluar dari masjid (berdiam lama di masjid, pent.) berakibat suasana sekitar sudah terang. Maka sepantasnya wanita bersegera keluar. Berbeda dengan Isya, karena suasana akan semakin gelap hingga tidak bermudlarat untuk berdiam lebih lama di masjid (tentunya dengan catatan aman dari fitnah dan tidak ada gangguan yang membahayakan si wanita di jalanan seperti zaman sekarang ini, wallahu a'lam, pent.)</span></span>."</i> ]</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Aku (Mustafa Al Adawi) katakan : “<i>Ucapan Al Hafidh ini diikuti oleh hadits berikutnya (hadits Ummu Salamah yang akan disebutkan setelah ini, pent.). Maka tidak ada maknanya untuk mengkhususkan waktu shubuh daripada waktu lainnya dalam hal bersegeranya wanita keluar dari masjid. Yang benar, para wanita bergegas meninggalkan masjid setelah menunaikan semua shalat hingga memungkinkan mereka untuk pergi sebelum bercampur-baur dengan laki laki</i>.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/285)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Hindun bintu Al Harits berkata bahwa Ummu Salamah -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– menceritakan padanya tentang para wanita di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “<i>Apabila mereka telah mengucapkan salam dari shalat fardlu, mereka berdiri meninggalkan masjid sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para pria yang ikut shalat tetap tinggal selama waktu yang dikehendaki Allah. Maka apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, para pria pun ikut berdiri</i>.” (HR. Bukhari 866)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Dalam riwayat lain dari Ummu Salamah juga, ia berkata : “<i>Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila telah selesai salam (dari shalat) beliau tinggal sejenak di tempatnya (sebelum berdiri meninggalkan masjid, pent.)</i>.” (HR. Bukhari 849)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Berkata seorang perawi hadits di atas : “<i>Kami berpendapat, wallahu a’lam, beliau berbuat demikian agar ada kesempatan bagi para wanita untuk meninggalkan masjid</i>.”</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Imam Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar 2/315 berkata : “<i>Hadits ini menunjukkan disunnahkannya imam untuk memperhatikan keadaan makmum dan bersikap hati hati dengan menjauhi apa yang dapat mengantarkan kepada perkara yang dilarang …</i> .”</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : “<span style="color: #3d85c6;"><i>Jika pria dan wanita hadir bersama imam (dalam shalat berjamaah) maka disunnahkan bagi sang imam dan jamaah pria agar tetap tinggal di tempat (selesai menunaikan shalat) sekadar imam berpendapat bahwa jamaah wanita telah meninggalkan masjid … .</i></span>” (Al Mughni 2/560)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Syaikh Musthafa Al Adawi berpendapat : “<i>Bila di masjid itu ada pintu khusus bagi wanita dan mereka terhijab dari kaum pria dan kaum pria tidak melihat mereka maka tidak ada larangan –wallahu a’lam- bagi mereka untuk tetap tinggal di tempat shalat agar mereka dapat bertasbih, bertahmid, bertakbir, dan bertahlil dengan dzikir dzikir tertentu setelah shalat karena para Malaikat bershalawat untuk orang yang shalat selama ia tetap di tempat shalatnya dalam keadaan berdzikir pada Allah dan selama ia belum berhadats sebagaimana hal ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.</i>” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/286 287)<br /></span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><b><span style="font-family: Arial;"><span style="color: red;">6. Sebaik baik shaf wanita.</span></span></b></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<span style="color: #3d85c6;"><i><span style="text-decoration: underline;">Sebaik baik shaf pria adalah shaf yang pertama dan sejelek jelek shaf pria adalah yang paling akhir. Sebaik baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan sejelek jeleknya yang paling depan</span></i>.</span>” (HR. Muslim nomor 440, Nasa’i 2/93, Abu Daud 678, Tirmidzi 224 dan ia berkata : “Hadits hasan shahih.” Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits ini nomor 1000)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Ada</span><span style="font-family: Arial;"> beberapa pendapat ulama dalam permasalahan ini, di antaranya :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Berkata Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarhu Muslim (halaman 1194) :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<span style="color: #3d85c6;"><i><span style="text-decoration: underline;">Adapun shaf pria maka secara umum selamanya yang terbaik adalah shaf yang pertama dan yang paling jelek adalah shaf yang terakhir. Adapun shaf wanita maka yang dimaksudkan dalam hadits adalah shaf shaf wanita yang shalat bersama kaum pria. Sedangkan bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dan tidak bersama kaum pria maka mereka sama dengan pria, yakni sebaik baik shaf mereka adalah yang paling depan dan seburuk buruknya adalah yang paling akhir</span></i></span>.</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Yang dimaksud dengan jelek-nya shaf bagi pria dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya serta paling jauh dari tuntutan syar’i. Sedangkan shaf yang paling baik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi jamaah wanita yang hadir bersama jamaah pria dikatakan memiliki keutamaan karena jauhnya para wanita itu dari bercampur (ikhtilath) dengan pria, dari melihat pria, dan tergantungnya hati tatkala melihat gerakan kaum pria, serta mendengar ucapan (pembicaraan mereka), dan semisalnya. </span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Dan celaan bagi shaf yang terdepan bagi jamaah wanita (yang hadir bersama pria) adalah sebaliknya dari alasan di atas, wallahu a’lam.”</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Beliau rahimahullah berkata juga dalam Al Majmu’ 4/301 : “<i><span style="color: #3d85c6;">Telah kami sebutkan tentang disunnahkannya memilih shaf pertama kemudian sesudahnya (shaf kedua) kemudian sesudahnya sampai shaf yang akhir. Hukum ini berlaku terus-menerus bagi shaf pria dalam segala keadaan dan juga bagi shaf wanita yang jamaahnya khusus wanita, terpisah dari jamaah pria. Adapun jika kaum wanita shalat bersama pria dalam satu jamaah dan tidak ada pemisah/penghalang di antara keduanya, maka shaf wanita yang paling utama adalah yang paling akhir berdasarkan hadits Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu (telah disebutkan di atas, pent.</span>).</i>“</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Berkata Imam Syaukani rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">" <b><i><span style="text-decoration: underline;">... </span></i></b><span style="color: #0b5394;"><i><span style="text-decoration: underline;"></span><span style="text-decoration: underline;">dan sebaik baik shaf wanita adalah yang paling akhir</span></i></span><b><i><span style="text-decoration: underline;">.</span></i></b>"</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Dikatakan paling baik karena berdiri pada shaf tersebut menyebabkan jauhnya dari bercampur dengan pria, berbeda dengan berdiri di shaf pertama dari shaf-shaf jamaah wanita karena mengandung (kemungkinan) bercampur dengan pria dan tergantungnya hati dengan mereka (para pria) disebabkan melihat mereka dan mendengar ucapan mereka. Karena inilah, shaf pertama dinyatakan paling jelek (bagi wanita). (Nailul Authar 3/184) ]</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Dalam Subulus Salam 2/30 (Maktabah Dahlan), Imam Shan’ani rahimahullah berkata : “<i>Shaf yang paling akhir dikatakan shaf yang terbaik bagi wanita. Alasannya karena dalam keadaan demikian mereka berada jauh dari pria, dari melihat, dan mendengar omongan mereka. Hanya saja alasan ini tidak sempurna kecuali bila shalat mereka dilakukan bersama kaum pria. </i></span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><i><span style="font-family: Arial;">Adapun bila mereka shalat dan imam mereka juga wanita (jamaah khusus wanita, pent.) maka shaf shaf mereka hukumnya seperti shaf shaf pria yaitu yang paling utama adalah shaf pertama.”</span></i></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Syaikh Musthafa Al Adawi berkata setelah menyebutkan hadits Abi Hurairah di atas :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">[Ketentuan ini berlaku bila kaum wanita bergabung bersama kaum pria dalam shalat berjamaah di mana mereka berada di belakang shaf shaf. </span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Adapun bila jamaahnya khusus wanita atau bersama kaum pria dalam melaksanakan shalat akan tetapi mereka tidak dapat terlihat oleh pria, maka shaf yang paling baik adalah yang paling depan berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">"<span style="color: #3d85c6;"><i><span style="text-decoration: underline;">Seandainya mereka tahu keutamaan shaf yang terdepan niscaya mereka akan berundi untuk mendapatkannya</span></i></span>." (HR. Bukhari 721) ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/353 354)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><b><span style="font-family: Arial;"><span style="color: red;">7. Kebolehan wanita shalat sunnah di masjid.</span></span></b></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Sebagaimana wanita dibolehkan untuk shalat berjamaah di masjid, dibolehkan pula baginya untuk melakukan shalat sunnah di masjid selama aman dari fitnah dan terpenuhi syarat syarat yang ditetapkan. </span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Hal ini berdalil dengan riwayat Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu. Anas berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid, tiba tiba beliau mendapatkan seutas tali terbentang di antara dua tiang (masjid). Maka beliau bersabda :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<span style="color: #3d85c6;"><i><span style="text-decoration: underline;">Tali apa ini?” Para shahabat menjawab : “Tali ini milik Zainab. Bila ia merasa lemah (dari melaksanakan shalat sunnah, pent.) ia bergantung dengan tali ini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jangan, putuskan tali ini! Hendaklah salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan ia bersemangat maka kalau ia lemah hendaklah ia duduk</span></i></span>.” (HR. Bukhari hadits 1150, dikeluarkan juga oleh Muslim, Abu Daud 1312, Nasa’i, dan Ibnu Majah 1371)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/37 : “<i>Hadits ini menunjukkan upaya menghilangkan kemungkaran dengan tangan dan lisan dan menunjukkan bolehnya para wanita menunaikan shalat nafilah (sunnah) di masjid</i>.”<br /><span style="color: red;"><br /></span></span></span></div> <span style="color: red;"><span style="font-size: large;"> </span></span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><b><span style="font-family: Arial;"><span style="color: red;">8. Penutup.</span></span></b></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><i><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-family: Arial;">Sebelum seorang wanita melangkah ke masjid, ia harus melihat syarat syarat yang telah ditetapkan dalam agama ini agar ia tidak jatuh dalam pelanggaran dan perbuatan dosa. </span></span></i></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Dan ia hendaknya tidak melupakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Humaid ketika <b>Ummu Humaid berkata</b> : “<i>Ya Rasulullah, sesungguhnya aku senang shalat bersamamu.</i>” Nabi menjawab :</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">“<i><span style="text-decoration: underline;"><b><span style="color: #3d85c6;">Sungguh aku tahu bahwa engkau suka shalat bersamaku, namun shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini</span>.</b></span></i>” (HR. Ibnu Khuzaimah 1689, Ahmad 6/371, Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti’ab. Kata Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini : “<i>Isnadnya hasan dengan syawahid</i>.” Lihat Al Insyirah halaman 74)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan : “<i>Bersamaan dengan dibolehkannya wanita keluar ke masjid maka sesungguhnya shalatnya di rumahnya lebih utama daripada hadirnya ia dalam shalat berjamaah (di masjid).</i>” (Al Insyirah halaman 73)</span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Wallahu A’lam Bish Shawwab.<br /></span></span></div> <span style="font-size: large;"> </span> <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> <span style="font-size: large;"><span style="font-family: Arial;">Sumber dari tulisan Ustadzah Ummu Ishaq, sumber : Majalah Salafy /Muslimah Xxxii/1420 Kajian Kita</span></span></div> </div>

wanita delapan Hal tentang Wanita Sholat Berjamaah di Masjid

1. Kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid. Sejak zaman Nubuwwah, kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid buka...

lebih lanjut..:)>>>>»