Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini adanya perkara-perkara yang dapat
membatalkan keislaman seseorang. Berikut ini akan kami sebutkan
sebagiannya:
1. Menyekutukan Allah (syirik).
Yaitu menjadikan sekutu atau menjadikannya sebagai perantara antara
dirinya dengan Allah. Misalnya berdo’a, memohon syafa’at, bertawakkal,
beristighatsah, bernadzar, menyembelih yang ditujukan kepada selain
Allah, seperti menyembelih untuk jin atau untuk penghuni kubur, dengan
keyakinan bahwa para sesembahan selain Allah itu dapat menolak bahaya
atau dapat mendatangkan manfaat.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya...” [An-Nisaa': 48]
Dan Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
“... Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,
maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya adalah
Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.”
[Al-Maa-idah: 72]
2. Orang yang membuat perantara antara dirinya dengan Allah, yaitu
dengan berdo’a, memohon syafa’at, serta bertawakkal kepada mereka.
Perbuatan-perbuatan tersebut termasuk amalan kekufuran menurut ijma’ (kesepakatan para ulama).
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ
الضُّرِّ عَنكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ
يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ
رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ
مَحْذُورًا
“Katakanlah: ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sekutu) selain Allah,
maka tidaklah mereka memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya
darimu dan tidak pula dapat memindahkannya.’ Yang mereka seru itu
mencari sendiri jalan yang lebih dekat menuju Rabb-nya, dan mereka
mengharapkan rahmat serta takut akan adzab-Nya. Sesungguhnya adzab
Rabb-mu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” [Al-Israa': 56-57][2]
3. Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan pendapat me-reka.
Yaitu orang yang tidak mengkafirkan orang-orang kafir -baik dari Yahudi,
Nasrani maupun Majusi-, orang-orang musyrik, atau orang-orang mulhid
(Atheis), atau selain itu dari berbagai macam kekufuran, atau ia
meragukan kekufuran mereka, atau ia membenarkan pendapat mereka, maka ia
telah kafir.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...” [Ali ‘Imran: 19][3]
Termasuk juga seseorang yang memilih kepercayaan selain Islam, seperti
Yahudi, Nasrani, Majusi, Komunis, sekularisme, Masuni, Ba’ats atau
keyakinan (kepercayaan) lainnya yang jelas kufur, maka ia telah kafir.
Juga firman-Nya:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat ia termasuk
orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]
Hal ini dikarenakan Allah Ta’ala telah mengkafirkan mereka, namun ia
menyelisihi Allah dan Rasul-Nya, ia tidak mau mengkafirkan mereka, atau
meragukan kekufuran mereka, atau ia membenarkan pendapat mereka,
sedangkan kekufuran mereka itu telah menentang Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي
نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni Ahli Kitab dan orang-orang
musyrik (akan masuk) ke Neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.
Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” [Al-Bayyinah: 6]
Yang dimaksud Ahlul Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani,
sedangkan kaum musyrikin adalah orang-orang yang menyembah ilah yang
lain bersama Allah.[4]
4. Meyakini adanya petunjuk yang lebih sempurna dari Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Orang yang meyakini bahwa ada petunjuk lain yang lebih sempurna dari
petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau orang meyakini bahwa
ada hukum lain yang lebih baik daripada hukum Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam, seperti orang-orang yang lebih memilih hukum-hukum Thaghut
daripada hukum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia telah kafir.
Termasuk juga di dalamnya adalah orang-orang yang meyakini bahwa
peraturan dan undang-undang yang dibuat manusia lebih afdhal (utama)
daripada sya’riat Islam, atau orang meyakini bahwa hukum Islam tidak
relevan (sesuai) lagi untuk diterapkan di zaman sekarang ini, atau orang
meyakini bahwa Islam sebagai sebab ketertinggalan ummat. Termasuk juga
orang-orang yang berpendapat bahwa pelaksanaan hukum potong tangan bagi
pencuri, atau hukum rajam bagi orang yang (sudah menikah lalu) berzina
sudah tidak sesuai lagi di zaman sekarang.
Juga orang-orang yang menghalalkan hal-hal yang telah diharamkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam
berdasarkan dalil-dalil syar’i yang telah tetap, seperti zina, riba,
meminum khamr, dan berhukum dengan selain hukum Allah atau selain itu,
maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama.
Allah Ta’ala berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang
lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
[Al-Maa-idah: 50]
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“... Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” [Al-Maa-idah: 44]
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah:
45]
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” [Al-Maa-idah: 47]
5. Tidak senang dan membenci hal-hal yang dibawa oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun ia melaksanakannya, maka ia
telah kafir.
Yaitu orang yang marah, murka, atau benci terhadap apa-apa yang dibawa
oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun ia melakukannya,
maka ia telah kafir.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَّهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ ذَٰلِكَ
بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah
menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya
mereka benci kepada apa yang di-turunkan Allah (Al-Qur-an), lalu Allah
menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” [Muhammad: 8-9]
Juga firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَىٰ أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُمُ الْهُدَى ۙ الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَىٰ لَهُمْ ذَٰلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ
سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ ۖ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ
فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ
وَأَدْبَارَهُمْ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ
وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (murtad) setelah
jelas petunjuk bagi mereka, syaithan telah menjadikan mereka mudah
(berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu
karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada
orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang
Yahudi): ‘Kami akan mematuhimu dalam beberapa urusan,’ sedangkan Allah
mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila
Malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka dan punggung
mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang
menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang
menimbulkan) keridhaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal
mereka.” [Muhammad: 25-28]
6. Menghina Islam
Yaitu orang yang mengolok-olok (menghina) Allah dan Rasul-Nya,
Al-Qur-an, agama Islam, Malaikat atau para ulama karena ilmu yang mereka
miliki. Atau menghina salah satu syi’ar dari syi’ar-syi’ar Islam,
seperti shalat, zakat, puasa, haji, thawaf di Ka’bah, wukuf di ‘Arafah
atau menghina masjid, adzan, memelihara jenggot atau Sunnah-Sunnah Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya, dan syi’ar-syi’ar agama Allah
pada tempat-tempat yang disucikan dalam keyakinan Islam serta terdapat
keberkahan padanya, maka dia telah kafir.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا
تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِن نَّعْفُ عَن
طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“… Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu
selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir
sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran
mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) di
sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”
[At-Taubah: 65-66]
Dan firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ
حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ
الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَىٰ مَعَ الْقَوْمِ
الظَّالِمِينَ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami,
maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang
lain. Dan jika syaithan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini),
janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah
teringat (akan larangan itu).” [Al-An’aam: 68]
7. Melakukan Sihir
Yaitu melakukan praktek-praktek sihir, termasuk di dalamnya ash-sharfu dan al-‘athfu.
Ash-sharfu adalah perbuatan sihir yang dimaksudkan dengannya untuk
merubah keadaan seseorang dari apa yang dicintainya, seperti memalingkan
kecintaan seorang suami terhadap isterinya menjadi kebencian
terhadapnya.
Adapun al-‘athfu adalah amalan sihir yang dimaksudkan untuk memacu dan
mendorong seseorang dari apa yang tidak dicintainya sehingga ia
mencintainya dengan cara-cara syaithan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ
“...Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun
sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu
janganlah kamu kafir...’” [Al-Baqarah: 102]
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ.
‘Sesungguhnya jampi, jimat dan tiwalah (pelet) adalah perbuatan syirik.’” [5]
8. Memberikan pertolongan kepada orang kafir dan membantu mereka dalam rangka memerangi kaum Muslimin
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ
أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم
مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang
Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin bagimu; sebagian mereka adalah
pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang
menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah: 51][6]
Juga firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا
دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن
قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِن كُنتُم
مُّؤْمِنِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang
yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan sebagai pemimpin,
(yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu dan
dari orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertawakkallah
kepada Allah jika kamu benar-benar orang yang beriman.” [Al-Maa-idah:
57]
9. Meyakini bahwa manusia bebas keluar dari syari’at Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Yaitu orang yang mempunyai keyakinan bahwa sebagian manusia diberikan
keleluasaan untuk keluar dari sya’riat (ajaran) Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana Nabi Khidir dibolehkan keluar
dari sya’riat Nabi Musa Alaihissallam, maka ia telah kafir.
Karena seorang Nabi diutus secara khusus kepada kaumnya, maka tidak
wajib bagi seluruh menusia untuk mengikutinya. Adapun Nabi kita,
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus kepada seluruh manusia
secara kaffah (menyeluruh), maka tidak halal bagi manusia untuk
menyelisihi dan keluar dari syari’at beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
“Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua...’” [Al-A’raaf: 158]
Dan Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Saba’: 28]
Juga firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [Al-Anbiyaa': 107]
Allah Ta’ala berfirman:
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal
kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka
dikembalikan.” [Ali ‘Imran: 83]
Dan dalam hadits disebutkan:
وَاللهِ، لَوْ أَنَّ مُوْسَى حَيًّا لَمَا وَسِعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِيْ.
“Demi Allah, jika seandainya Musa q hidup di tengah-tengah kalian,
niscaya tidak ada keleluasaan baginya kecuali ia wajib mengikuti
syari’atku.”[7]
10. Berpaling dari agama Allah Ta’ala, ia tidak mempelajarinya dan tidak beramal dengannya.
Yang dimaksud dari berpaling yang termasuk pembatal dari
pembatal-pembatal keislaman adalah berpaling dari mempelajari pokok
agama yang seseorang dapat dikatakan Muslim dengannya, meskipun ia jahil
(bodoh) terhadap perkara-perkara agama yang sifatnya terperinci. Karena
ilmu terhadap agama secara terperinci terkadang tidak ada yang sanggup
melaksanakannya kecuali para ulama dan para penuntut ilmu.
Firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنذِرُوا مُعْرِضُونَ
“... Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.” [Al-Ahqaaf: 3]
Firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا ۚ إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنتَقِمُونَ
“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan
dengan ayat-ayat Rabb-nya, kemudian ia berpaling daripadanya.
Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang
berdosa.” [As-Sajdah: 22]
Firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada
hari Kiamat dalam keadaan buta.” [Thaahaa: 124]
Yang mulia ‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alusy Syaikh
ketika memulai Syarah Nawaaqidhil Islaam, beliau berkata: “Setiap Muslim
harus mengetahui bahwa membicarakan pembatal-pembatal keislaman dan
hal-hal yang menyebabkan kufur dan kesesatan termasuk dari
perkara-perkara yang besar dan penting yang harus dijalani sesuai dengan
Al-Qur-an dan As-Sunnah. Tidak boleh berbicara tentang takfir dengan
mengikuti hawa nafsu dan syahwat, karena bahayanya yang sangat besar.
Sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh dikafirkan dan dihukumi sebagai
kafir kecuali sesudah ditegakkan dalil syar’i dari Al-Qur-an dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebab jika tidak demikian
orang akan mudah mengkafirkan manusia, fulan dan fulan, dan
menghukuminya dengan kafir atau fasiq dengan mengikuti hawa nafsu dan
apa yang diinginkan oleh hatinya. Sesungguhnya yang demikian termasuk
perkara yang diharamkan.
Allah berfirman:
فَضْلًا مِّنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Al-Hujuraat: 8]
Maka, wajib bagi setiap Muslim untuk berhati-hati, tidak boleh
melafazhkan ucapan atau menuduh seseorang dengan kafir atau fasiq
kecuali apa yang telah ada dalilnya dari Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Sesungguhnya perkara takfir (menghukumi seseorang sebagai kafir) dan
tafsiq (menghukumi seseorang sebagai fasiq) telah banyak membuat orang
tergelincir dan mengikuti pemahaman yang sesat. Sesungguhnya ada
sebagian hamba Allah yang dengan mudahnya mengkafirkan kaum Muslimin
hanya dengan suatu perbuatan dosa yang mereka lakukan atau kesalahan
yang mereka terjatuh padanya, maka pemahaman takfir ini telah membuat
mereka sesat dan keluar dari jalan yang lurus.” [8]
Imam asy-Syaukani (Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani, hidup tahun 1173-1250
H) rahimahullah berkata: “Menghukumi seorang Muslim keluar dari agama
Islam dan masuk dalam kekufuran tidak layak dilakukan oleh seorang
Muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, melainkan dengan bukti
dan keterangan yang sangat jelas -lebih jelas daripada terangnya sinar
matahari di siang hari-. Karena sesungguhnya telah ada hadits-hadits
yang shahih yang diriwayatkan dari beberapa Sahabat, bahwa apabila
seseorang berkata kepada saudaranya: ‘Wahai kafir,’ maka (ucapan itu)
akan kembali kepada salah seorang dari keduanya. Dan pada lafazh lain
dalam Shahiihul Bukhari dan Shahiih Muslim dan selain keduanya
disebutkan, ‘Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan kekufuran, atau
berkata musuh Allah padahal ia tidak demikian maka akan kembali
kepadanya.’
Hadits-hadits tersebut menunjukkan tentang besarnya ancaman dan nasihat
yang besar, agar kita tidak terburu-buru dalam masalah kafir
mengkafirkan.” [9]
Pembatal-pembatal keislaman yang disebutkan di atas adalah hukum yang
bersifat umum. Maka, tidak diperbolehkan bagi seseorang tergesa-gesa
dalam menetapkan bahwa orang yang melakukannya langsung keluar dari
Islam. Sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya pengkafiran secara umum sama dengan ancaman secara umum.
Wajib bagi kita untuk berpegang kepada kemutlakan dan keumumannya.
Adapun hukum kepada orang tertentu bahwa ia kafir atau dia masuk Neraka,
maka harus diketahui dalil yang jelas atas orang tersebut, karena dalam
menghukumi seseorang harus terpenuhi dahulu syarat-syaratnya serta
tidak adanya penghalang.” [10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Syarat-syarat seseorang dapat dihukumi sebagai kafir adalah:
1. Mengetahui (dengan jelas),
2. Dilakukan dengan sengaja, dan
3. Tidak ada paksaan.
Sedangkan intifaa-ul mawaani’ (penghalang-penghalang yang menjadikan
seseorang dihukumi kafir ) yaitu kebalikan dari syarat tersebut di atas:
(1) Tidak mengetahui, (2) tidak disengaja, dan (3) karena dipaksa. [11]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari Silsilah Syarhil Rasaa-il lil Imaam
al-Mujaddid Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab v (hal. 209-238) oleh Dr.
Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, cet. I, th. 1424 H; Majmuu’
Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah lisy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
‘Abdillah bin ‘Abdirrahman bin Baaz v (I/130-132) dikumpulkan oleh Dr.
Muhammad bin Sa’d asy-Syuwai’ir, cet. I/ Darul Qasim, th. 1420 H;
al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid (hal. 45-53) oleh Syaikh Muhammad
bin ‘Abdul Wahhab bin ‘Ali al-Yamani al-Washabi al-‘Abdali, cet. VII/
Maktabah al-Irsyad Shan’a, th. 1422 H; dan at-Tanbiihatul Mukhtasharah
Syarhil Waajibaat al-Mutahattimaat al-Ma’rifah ‘alaa Kulli Muslim wa
Muslimah (hal. 63-82) oleh Ibrahim bin asy-Syaikh Shalih bin Ahmad
al-Khurasyi, cet. I/ Daar ash-Shuma’i, th. 1417 H.
[2]. Lihat juga QS. Saba’: 22-23 dan az-Zumar: 3.
[3]. Lihat juga QS. Al-Baqarah: 217, al-Maa-idah: 54, Muhammad: 25-30,
[4]. Lihat QS. Al-Maa-idah: 17, al-Maa-dah: 54, al-Maa-idah: 72-73, an-Nisaa': 140, al-Baqarah: 217, Muhammad: 25-30,
[5]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3883) dan dishahihkan oleh Syaikh
al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (no. 1632) dan Silsilah ash-Shohiihah
(no. 331). Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim (IV/217), Ibnu
Majah (no. 3530), Ahmad (I/381), ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir
(X/262), Ibnu Hibban (XIII/456) dan al-Baihaqi (IX/350).
[6]. Lihat QS. Ali ‘Imran: 100-101 dan QS. Mumtahanah: 13.
[7]. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa’ (VI/34, no. 1589)
dan ia menyebutkan delapan jalan dari hadits tersebut. Dan jalan ini
telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsiirnya pada ayat 81 dan 82
dari surat Ali ‘Imran.
[8]. Dinukil dari at-Tabshiir bi Qawaa-idit Takfiir (hal. 42-44) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi.
[9]. Sailul Jarraar al-Mutadaffiq ‘alaa Hadaa-iqil Az-haar (IV/578).
[10]. Majmuu’ Fataawaa (XII/498) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[11]. Lihat Majmuu’ Fataawaa (XII/498), Mujmal Masaa-ilil Iimaan wal
Kufr al-‘Ilmiy-yah fii Ushuulil ‘Aqiidah as-Salafiyyah (hal. 28-35, cet.
II, th. 1424 H) dan at-Tab-shiir bi Qawaa-idit Takfiir (hal. 42-44).