Banyak yang mengatakan bahwa anak adalah
permata yang tidak ternilai harganya. Kedatangannya banyak ditunggu,
dan kelucuannya adalah lebih bernilai dari harta kekayaan apapun.
Namun, tanpa kita sadari banyak dari
kita yang membesarkan anak- anak kita seperti sedang menjahitkan baju.
Kita hanya mengarahkan model atau bentuk dari baju itu kepada si
penjahit, dan lalu kita tidak mau tahu tentang kelanjutan prosesnya.
Yang penting kita telah menyerahkan tanggung jawab itu dan memberi
sejumlah uang. Selesai. Namun jika akhirnya baju itu tidak sesuai dengan
keinginan kita, tak jarang kitapun marah dan mengumbar umpatan. Kita
merasa bahwa hak kita tidak dipenuhi, dan amanah kita diabaikan.
Begitulah, kadang kita sebagai orang tua
kebanyakan mengalihkan tanggung jawab kita kepada orang lain, pembantu
dan terutama kepada sekolah dengan disertai harapan setinggi langit,
bahwa anak akhirnya akan menjadi orang yang lebih baik dari kita. Jika
sedikit saja kesalahan atau kekurangan kita jumpai didalamnya, kita akan
dengan mudah memberikan kritik atau keluhan bagi mereka.
Kita bahkan lupa tentang tanggung jawab
diri kita sendiri terhadap mereka. padahal tanggung jawab inilah yang
sebenarnya akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wata'ala.
Anak adalah lebih berharga dari
sekedar baju. Dia tidak akan usang, malah apa yang kita berikan
kepadanya akan menurun kepada anak cucunya kelak. Anak memanglah titipan
dari Allah. Namun dia bukanlah seperti barang titipan yang bisa kita
tinggal setiap saat dan kita datang saat kita merindukannya. Dia
membutuhkan orang tua bukan hanya sebagai panutan, namun juga sahabat
yang dapat memberitahukan nasehat, serta berbagi pengalaman untuknya
mengarungi hidup.
Diantara orang tua juga banyak yang
mengatasnamakan pekerjaan sebagai modus untuk pengalihan masalah. Ketika
mereka sibuk mencari nafkah, maka secara otomatis perhatian kepada anak
terbagi. Pertanyaan kemudian muncul, apa iya kita sesibuk itu, sampai
perhatian kita harus terbagi? ataukah mungkin hanya pikiran kita saja
yang sulit untuk fokus dan menikmati peran kita sebagai orang tua?
Karena itulah, kita sebagai orang tua
sebenarnya membutuhkan skala prioritas. Pekerjaan memanglah penting.
Namun lebih dari itu kualitas dan masa depan anak- anak kita jauh lebih
penting. Jika pekerjaan kita selesai, maka kesulitan akan selesai sampai
disana saja. Namun jika pola pengasuhan, kasih sayang dan pendidikan
anak-anak kita tidak beres, maka kesulitan akan kita emban seumur hidup,
bahkan akan terwaris pada anak cucu mereka.
Semoga kita bisa mengingat bahwa setiap
orang yang lahir itu ibarat membawa 5 bola. 1 bola karet dan 4 bola
kaca. Karena kemampuan tangan manusia terbatas untuk membawanya
sekaligus, jikapun harus dilepas, maka lepaskanlah bola karet. Karena
ketika jatuh bola karet itu akan memantul dan kita akan bisa
menangkapnya kembali. Sedangkan bola kaca itu, jika salah satunya pecah,
maka akan sulit bagi kita untuk memperbaikinya. 1 bola karet itu adalah
pekerjaan, dan 4 bola kaca itu adalah keluarga, sahabat, cinta dan
semangat. Momen terbaik dari keempatnya, tidak akan pernah kembali
ketika kita telah melewatkannya. Maka jangan pernah melewatkannya.
Dan semoga sebuah nasehat yang telah
tertulis abadi dalam Alquran tentang pendidikan serta nasehat yang
disampaikan Luqmanul Hakim kepada anaknya, bisa menjadi alarm pengingat
bagi kita sebagai orang tua, “Hai anakku, janganlah kamu mensekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar”.
(QS. Luqman : 13). Luqman juga mengajarkan kepada anaknya tentang
berbuat baik kepada kedua orang tua, mendirikan shalat, berbuat
kebajikan dan rendah hati terhadap sesama. Pendidikan seperti itu
seharusnya tidak kita harapkan penuh dari sekolah, namun justru
penanaman tersebut berangkat dari dalam rumah. Ajaran itu tak cukup
diomongkan, tapi juga dipraktikkan oleh orang tuanya, karena
sesungguhnya orang tua adalah figur ideal dimata anak. Seperti apa orang
tua, maka seperti itulah kelak anak- anak mereka.
voa islam
voa islam
Posting Komentar Blogger Facebook