0 Comment
Oleh Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Para ulama telah berbeda pendapat tentang masalah perkiraan waktu di negara yang waktu siangnya cukup panjang sedang waktu malamnya lebih pendek. Demikian juga di negara yang waktu siangnya lebih pendek dari waktu malamnya. Demikian juga di negara-negara kutub, di waktu malam berlangsung selama setengah tahun di kutub selatan, selama masa itu pula terjadi siang hari di kutub utara. Di antara para ulama itu ada yang berpendapat yang membolehkan dilakukannya perkiraan waktu. Ada juga yang berpendapat yang mengharuskan puasa. Penjelasan mengenai hal tersebut sebagai berikut:
Mengenai pendapat pertama, sebagian ulama mengatakan bahwa orang-orang yang tinggal di negara-negara tersebut memiliki satu hukum, yaitu agar waktu-waktu shalat dan puasa diperkirakan bagi mereka. Tetapi, mereka berbeda pendapat tentang di negara mana perkiraan itu dilakukan.
Mengenai hal ini, terdapat dua pendapat:
Pertama, mereka harus melakukan perkiraan hari, malam, dan bulan mereka dengan perhitungan waktu yang berlaku di negara yang dekat dengan negara mereka. Negara tersebut memiliki keseimbangan waktu, antara siang dan malamnya memiliki kelapangan waktu, karena Allah telah mewajibkan shalat dan puasa.
Kedua, sebagian berpendapat bahwa mereka hanya perlu memperkirakan waktunya berdasarkan pada negara yang syari’at diturunkan padanya, yaitu Makkah atau Madinah. Karena yang demikian itu lebih mudah bagi mereka, khususnya karena mereka menghadapkan diri ke Ka’bah dalam shalat mereka pada setiap harinya.
Di dalam Tafsiir al-Manaar dikatakan, “Mereka berbeda pendapat mengenai perkiraan waktu, negara mana yang harus dijadikan patokan. Ada yang mengatakan bahwa yang menjadi patokan adalah negara yang padanya diturunkan syari’at, yaitu Makkah atau Madinah. Ada juga yang berpendapat harus didasarkan pada perhitungan waktu yang berlaku di negara yang paling dekat. Kedua pendapat tersebut dibolehkan, karena keduanya merupakan
ijtihad, dan tidak ada nash secara pasti mengenai hal tersebut.” [2]
Pendapat kedua, sebagian ulama mengatakan bahwa jika di negara tersebut terdapat waktu siang dan malam, maka mereka wajib berpuasa meskipun waktu siangnya sangat panjang dan waktu malam sangatlah pendek, atau sebaliknya. Barangsiapa di antara mereka yang tidak mampu berpuasa, maka dia boleh tidak berpuasa, tetapi dia harus mengqadha’nya, padanya berlaku hukum seperti hukum puasa pada orang sakit yang berhalangan puasa.
Pendapat yang saya (penulis) nilai rajih (kuat) bahwa hukum tersebut berbeda antara satu negara yang di dalamnya terdapat waktu malam dan siang dengan negara yang di dalamnya tidak terdapat waktu malam dan siang.
Dengan demikian, negara yang di dalamnya terdapat waktu malam atau siang sebagai waktu puasa, maka penduduknya harus menjalankannya, baik waktu siang itu panjang maupun pendek, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan hukum tersebut dengan terbitnya fajar dan terbenamnya matahari.
Allah Ta’ala berfirman:
“Makan dan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakan-lah puasa itu sampai malam…” [Al-Baqarah: 187]
Dengan demikian, selama masih ada waktu siang dan malam, maka mereka wajib mengerjakan puasa.
Bagi orang yang tidak mampu mengerjakannya, maka dia boleh tidak berpuasa karena alasan tertentu, dan dia harus meng-qadha’nya.
Sedangkan di negara yang di dalamnya tidak terdapat waktu malam atau siang sebagai waktu puasa, seperti negara-negara kutub, maka mereka bisa memperkirakan waktu mereka sesuai dengan negara yang paling dekat dengan negara mereka. Selain itu, mereka juga harus memiliki perkiraan waktu untuk beberapa aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Artinya, apa yang mereka lakukan menyangkut urusan dunia, maka mereka juga harus melakukannya pada hal-hal yang menyangkut urusan ibadah mereka. Yang demikian itu lebih mudah bagi mereka.
Dalam memberikan jawaban atas suatu pertanyaan, “Bagaimanakah puasa orang-orang (yang tinggal) di suatu negara tertentu jika matahari tidak tenggelam di negara mereka kecuali hanya empat jam atau sinar matahari tidak pernah hilang dari mereka?” Seorang mufti (pemberi fatwa) di Saudi, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, mengatakan, “Telah ditetapkan bahwa orang-orang itu memiliki waktu malam yang normal dan waktu siang yang normal pula. Oleh karena itu, jika matahari telah terbenam maka mereka boleh berbuka dan meneruskan waktu buka mereka itu sampai sinar matahari mulai bertambah terang, yaitu waktu fajar dan diperkenankan bagi mereka untuk memakai pendingin ruangan (AC). Jika ada seseorang yang tidak mampu menjalankannya, maka dia boleh tidak berpuasa dan harus mengqadha’nya. Saya memberikan fatwa ini seperti halnya dengan orang-orang selain mereka dari kalangan orang-orang yang memiliki keadaan darurat…” [3]
Orang-orang yang mempunyai waktu (malam) yang singkat sejak matahari terbenam dari mereka, maka mereka tetap wajib berpuasa dengan melihat negara yang terdekat dengan mereka.” [4]
Pernah diajukan pertanyaan kepada Syaikh Muhammad bin Utsaimin sebagai berikut: “Kami tinggal di negara yang di dalamnya matahari tidak terbenam kecuali pada jam 21.30 malam atau jam 22.00 malam, lalu kapan kami harus berbuka?”
Beliau pun menjawab, “Kalian bisa berbuka jika matahari telah terbenam. Selama di negara kalian masih terdapat waktu malam dan siang selama 24 jam, maka kalian harus berpuasa, meskipun waktu siang itu berlangsung lama.” [5]
[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Siangnya berlangsung sangat lama hingga berbulan-bulan, demikian juga dengan malamnya.-red.
[2]. Tafsiir al-Manaar (II/163).
[3]. Fataawaa wa Rasaa-il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim (IV/157-158).
[4]. Fataawaa wa Rasaa-il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim (IV/161). Lihat juga kitab Tafsiir al-Manaar (II/162).
[5]. Fataawaa Islaamiyyah (II/126).

Posting Komentar Blogger

 
Top