Pembahasan Pertama : Pengertian Khulu’
Khulu’ adalah sebagaiamana yang dijelaskan oleh asy-Syaikh Al Alaamah Shaleh Al Fauzan Hafidzahullah:
”Perpisahan seorang suami dengan isterinya dengan lafadz tertentu,
dinamakan seperti itu, dikarenakan seorang isteri sendirilah yang
meminta untuk pisah (lepas) dari suaminya, sebagaimana lepasnya pakaian
dikarenakan setiap suami isteri adalah pakaian satu sama lainnya,
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
”Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamupun pakaian bagi mereka” (Qs. Al Baqarah : 187) (Al Mulakhos Al Fiqhi, Jilid 2 Hal : 319)
Atau khulu’ adalah perpisahan antara
suami istri atas tebusan yang dibayar oleh istri kepada suami dengan
lafazd-lafadz tertentu. (Fiqih Muyyasar)
Pembahasan Kedua: Dalil disyari’atkannya khulu’
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ به
”Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya” (Qs. Al Baqarah : 229 )
Dan didalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘Anhu, menuturkan:
جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ
بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ
يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ ، وَلاَ خُلُقٍ
إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ
عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا
“Datang isteri dari Tsabit bin Qais bin Syammas kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan berkata: ”Wahai
Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya,
tetapi aku takut kekufuran.” (pada riwayat lain, “sesungguhnya aku tidak
mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlak tetapi aku tidak sanggup
bersamanya.”) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
“apakah kamu sanggup mengembalikan kebunnya?. berkata (isterinya
Tsabit-penj): Iya. Ia lalu mengembalikan kebunya kepada Tsabit dan Nabi
shalallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan Tsabit untuk memisahkannya.
Dia pun memisahkannya.” (HR. Bukhari)
Pembahasan Ketiga: Hikmah disyariatkannya khulu’
Dari dua dalil diatas kita dapat
mengetahui hikmah khulu’ adalah untuk mencegah terjadinya
pelanggaran-pelanggaran hukum-hukum Allah dalam kehidupan suami istri
akibat kebencian istri terhadap jeleknya akhlak, agama, ataupun fisik
suami.
Pembahasan Keempat : Lafadz-Lafadz Khulu’
Yaitu lafadz khulu’ atau yang semakna
dengannya, baik dengan bahasa arab atau selain bahasa arab, menurut
kesepakatan para imam-imam ummat ini.
Pembahasan Kelima : Hukum seorang istri meminta khulu’ dengan alasan syar’i
Boleh seorang istri meminta khulu’ dari
suaminya menurut kesepakatan para ulama jika dia membenci kejelekan
akhlak, agama, atau fisik suaminya, serta khawatir tidak mampu
menegakkan hak-hak suaminya yang wajib ditunaikannya ketika hidup
bersamanya. Berkata asy-Syaikh Al ‘Alaamah Shalih Al Fauzan Hafidzahullah : ”Khulu’
hukumnya boleh apabila terpenuhi sebabnya yang telah diisyaratkan oleh
ayat yang mulia, yaitu ketakutan suami isteri apabila tetap berada
didalam ikatan pernikahannya, mereka tidak bisa melaksanakan hukum-hukum
Allah.” (Al Mulakhos Al Fiqhi, jlid 2 hal 320)
Pembahasan Keenam : Hukum seorang istri meminta khulu’ tanpa alasan syar’i
Berkata asy-Syaikh Al ‘Alaamah Shalih Al FauzanHafidzahullah : ”…Dan
apabila disana tidak ada alasan untuk meminta pisah, maka hal itu
dimakruhkan dan sebagian ulama berpendapat jika demikian halnya (meminta
khulu’ tanpa alasan syar’i –penj) haram hukumnya. Bersabda Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
”Setiap isteri yang meminta cerai
kepada suaminya dengan sesuatu yang tidak dibolehkan maka diharamkan
baginya bau harumya surga ” (Diriwayatkan oleh imam yang lima kecuali Imam Nasai, Al Mulakhos Al Fiqhi, jlid 2 hal 320)
Pembahasan Ketujuh : Apakah Istri boleh meminta khulu’ pada saat haidh
Para ulama membolehkan hal yang demikian
dikarenakan khulu’ bukanlah talak karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wassallam pada hadits yang lalu tidak memberikan perincian atau bertanya
kepada istri Tsabit bin Qois, apakah dia dalam keadaan haid atau tidak,
dan tidak adanya dalil yang mengatakan tidak boleh meminta khulu’
ketika haid. Itu menunjukkan bolehnya hal tersebut
Pembahasan Kedelapan: Tentang khulu’ tidak jatuh tanpa dijatuhkan oleh suami
Khulu’ hanya jatuh jika suami
menjatuhkannya dengan mengucapkan lafadz khulu’ atau yang semakna
dengannya. Tanpa dijatuhkan dengan lafadz, maka khulu’ tidak jatuh. Ini
pendapat yang rajih. Contohnya seorang suami mengatakan: “saya
mengkhulu’ kamu dengan tebusan itu”.
Ibnu Qudamah rahimahullah menegaskannya berdasarkan alasan berikut.
- Khulu’ adalah tindakan terkait dengan kepentingan biologis, sehingga tidak sah tanpa dilafadzkan oleh suami, seperti halnya pernikahan dan talak.
- Mengambil harta yang diberikan istri adalah semata menggenggam tebusan. Ini tidak berkedudukan mewakili jatuhnya khulu’.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu
Abbas tentang permintaan khulu Istri Tsabit bin Qais. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Tsabit bin Qais: “Nabi shallallahu ‘alihi wasallam memerintahkan Tsabit untuk memisahkannya, maka dia pun memisahkannya.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lainnya dari Imam Bukhari dengan lafadz: “Terimalah kebun itu dan talaklah dia”
Riwayat-riwayat diatas menunjukkan bahwa lafadz suami menjatuhkan khulu’ adalah syarat jatuhnya khulu’. Wallahu a’lam.
Pembahasan Kesembilan: Tentang Hukum suami menanggapi permintaan khulu’ istri
Jika seeorang istri meminta khulu’ dengan
alasan yang dibolehkan secara syar’i, tentang hal ini para ulama
berbeda pendapat tentang hukum suami menanggapi permintaan khulu’ istri.
Sebagaian ulama mengatakan hukumnya wajib berdasarkan yang nampak dari
perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Tsabit bin Qais
(hadits diatas –ed) dan ada yang berpendapat hukumnya tidak wajib,
dengan alasan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada
Tsabit bin Qais adalah arahan semata.
Wallahu a’lam pendapat yang mengatakan
wajib lebih kuat. Alasannya, inilah yang nampak dari perintah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Tsabit bin Qais. Disamping itu,
kebersamaan wanita itu bersama suaminya akan bermudharat terhadapnya,
sedangkan mencegah mudharat serta meniadakannya dari seorang muslimah
wajib. Pendapat ini dirajihkan oleh al-Imam ash-Shan’ani dan Ibnu
Utsaimin. Berdasarkan hal ini, hakim berwenang memaksa suami agar
menerima khulu istrinya jika dia (suami) enggan.
Berkata asy-Syaikh Al-Allaamah Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh Rahimahullah: ”Dan
pendapat yang lain: bolehnya (seorang hakim) mengharuskan seorang suami
untuk menerima khulu’ dengan kondisi tidak memungkinkannya lagi untuk
bersatu antara suami dan istri sesuai dengan ijtihadnya seorang hakim”. (Taudhihul ahkam min Buluughil Maraam Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Al-Bassam jilid: 5/474).
Pembahasan Kesepuluh: Tentang besar kecil tebusan yang diterima suami
Wajib khulu’ dengan tebusan, namun para
ulama berselisih pendapat tentang mengambil lebih banyak dari mahar yang
pernah diberikan suami, adapun jumhur (mayoritas) ulama serta imam
madzhab yang empat berpendapat boleh bagi suami mengambil tebusan lebih
besar dari mahar yang telah dia berikan kepada istrinya. Berkata
Asy-Syaikh Al-Allamah Abdullah Bin Abdurrahman Al-BassamRahimahullah
wajib khulu’ dengan tebusan, berdasarkan firman Allah Ta’ala
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ به
” Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang di berikan oleh isterinya untuk menebus dirinya”. (Qs. Al Baqarah : 229 )
Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda ”Terimalah kebunnya dan thalaklah (cerailah)“
Dan beliau (Syaikh Abdullah Al Bassam)
juga berkata : ”Boleh tebusan untuk khulu lebih banyak dari mahar
berdasarkan firman Allah Ta’ala
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ به
” Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang di berikan oleh isterinya oleh istri untuk menebus dirinya”. (Qs. Al Baqqarah : 229)
Akan tetapi para ulama memakruhkan mengambil lebih banyak dari mahar berdasarkan sabda Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
” Apakah kamu bisa mengembalikan kebun kepadanya “.
Dan berdasarkan firman Allah Ta’ala
وَلا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
” Dan janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu “ (Qs. Al Baqaroh : 237).
Dan di bolehkannya khulu’ dengan tebusan yang di sepakati oleh keduanya ini pendapat kebanyakan ulama (Taudihul Ahkaam Min Buluugil Maraam jilid 5 halaman 472).
Pembahasan Kesepuluh : Tentang istri yang pisah dengan khulu baginya untuk Istibra’ (memastikan bersihnya rahim dari janin)
Dalam sebuah hadits ar-Rubayyi’ bintu
Mu’awwidz rahiyallahu ‘anha, ia berkata : “aku khulu’ dari suamiku, lalu
aku mendatngi Utsman lantas bertanya akan kewajiban ‘iddah atasmu,
kecuali jika kamu baru saja berpisah dengannya, maka hendaklah kamu
menanti hingga haidh satu kali.’
Utsman berkata, ‘Dalam hal ini, saya
mengikuti hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Maryam
al-Maghaliyah, yang sebelumnya sebagai istri Tsabit bin Qais bis Syammas
lalu khulu’ darinya” (HR. an-Nasa’i dan Ibnu Majah, dihasankan oleh syaikh al-Albani dan al-Wadi’i)
Berkata asy-Syaikh Al-Alaamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah: ”Iddahnya
satu kali haid untuk istibra’ yaitu mengosongkan rahimnya, dikarenakan
wanita yang hamil tidak haid apabila haid di ketahui bahwa rahimnya
kosong dari janin dan oleh karena itu dibolehkan untuknya menikah. (Fathu Dzil Dzalalil Wal Ikraam Bi Syarhi Bulughil Maraam 4/653).
Pembahasan kesebelas : Tentang apakah seorang suami bisa rujuk (kembali) kepada istrinya setelah pisah dengan khulu’
Ketika seorang suami telah menjatuhkan
khulu’ atas istrinya dengan tebusan yang disepakati dan tebusannya telah
dibayarkan, terjadilah perpisahan antara keduanya dan putuslah hubungan
keduanya yang diistilahkan bainunah shugra’ (perpisahan kecil) yang dia
(suami) tidak mempunyai hak rujuk.
Berkata asy-Syaikh Al ‘Alaamah Muhammad Al Utsaimin rahimahullah: ”Wanita
yang telah pisah karena khulu’ tidak ada rujuk dan tidak mungkin bagi
suaminya untuk rujuk’ kepadanya kecuali dengan pernikahan yang baru” (Fathu Dzil Dzalalil Wal Ikraam Bi Syarhi Bulughil Maraam 4/653) .
Wallahu a’lam bis shawwab ini adalah penjelasan sederhana tentang khulu’ yang bisa kami sampaikan semoga bermanfaat.
Sumber: http://nikahmudayuk.wordpress.com
Posting Komentar Blogger Facebook