0 Comment
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjc7gNBmdkCqCzt1Hnd97Ok4CfdJRYh-xWtlu_18W_karRyJq7MqaGitZMzVLal9wyKWU5cIQcm57fmhwLa-wE3o28BuKi7uFBpvoYI9rQVTGFTWq6GUm38urznFpG4TW5usYbkxK-OU7w/s1600/emas+disendok.jpgOleh
Ustadz Zainal Abidin Bin Syamsuddin


HIDUP KAYA TIDAK TERCELA
Masya Allâh, “Sudah kaya, taat beragama, rajin beribadah, berinfakpun tidak pernah putus.” Demikianlah kira-kira pujian terhadap orang yang memiliki banyak harta, berahklaq baik dan taat menjalankan perintah agama.

Bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapi harta kekayaan yang dimilikinya, haruskah dia kaya, atau biasa-biasa saja, ataukah terima apa adanya ?

Harta kekayaan merupakan nikmat Allâh yang harus disyukuri. Kaya di dunia bukan satu hal yang tercela. Namun yang menimbulkan cela adalah prilaku orang berduit yang rakus dan tamak terhadap harta. Dalam rangka menumpuk harta, mereka tak segan-segan menggunakan cara yang tidak halal. Setelah berhasil meraihnya, mereka tidak menunaikan haknya, bakhil, membelanjakan harta bukan pada tempatnya atau bahkan sombong karenanya, sehingga Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا ﴿١٩﴾ إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا ﴿٢٠﴾ وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. [al-Ma’ârij/70:19-21]

Agar sukses dan bahagia di dunia dan akherat, Allâh Azza wa Jalla mengarahkan para hamba-Nya agar berdo’a sebagaimana firman-Nya :

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Wahai Rabb kami ! Karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat dan jagalah kami dari siksa api Neraka. [Al-Baqarah/2:201]

Imam Khâzin rahimahullah menegaskan dalam tafsirnya bahwa Allâh Azza wa Jalla membagi umat manusia yang berdo’a menjadi dua; (pertama) kelompok yang hanya berdo’a untuk kepentingan dunia. Mereka ini adalah orang-orang kafir, karena mereka tidak menyakini hari kebangkitan dan akhirat. Sementara kelompok lain (kedua) yaitu orang-orang mukmin yang menggabungkan dalam do’a mereka antara kepentingan dunia dan akherat. Dengan alasan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan lemah yang selalu kekurangan, tidak sanggup hidup sengsara dan terlunta-lunta.[1]

Para pendahulu kita, assalafus shalih dari kalangan shahabat maupun tabi’in telah memberi teladan bagaimana meraih sukses di dunia dan akhirat. Zubair bin Awwam Radhiyallahu anhu misalnya, beliau Radhiyallahu anhu memiliki isteri empat. Meski sepertiga hartanya telah diwasiatkan, tapi masing-masing isterinya masih mendapatkan bagian satu juta dua ratus dinar. Jumlah harta kekayaan beliau Radhiyallahu anhu seluruhnya adalah lima puluh juta dua ratus ribu (dinar). [2]

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkomentar, “Ini menjadi bantahan terhadap orang-orang zuhud yang tidak berilmu yang tidak suka mengumpulkan harta kekayaan.” [3]

Oleh karena itu, Islam tidak membiarkan seorang Muslim kebingungan dalam berusaha mencari nafkah, bahkan telah memberikan solusi tuntas dan mengajarkan etika mulia agar mereka mencapai kesuksesan ketika mengais rizki, sehingga pintu kemakmuran dan keberkahan akan terbuka.

ISTIQOMAH DENGAN HARTA
Kekayaan kadang membuat manusia lupa kepada Allâh Azza wa Jalla yang telah memberi mereka harta. Ini menyebabkan kufur nikmat. Jika kekayaan membuat seseorang tetap istiqamah dan taat beragama, maka harta itu akan mendatangkan manfaat yang sangat banyak. Misalnya, dengan hidup berkecukupan, maka menuntut ilmu menjadi mudah, beribadah menjadi lancar, bersosialisasi menjadi gampang, bergaul semakin indah, berdakwah semakin sukses, berumah tangga semakin stabil dan beramal shalih semakin tangguh. Oleh karena itu, harta di tangan seorang Mukmin tidak akan berubah menjadi monster perusak kehidupan dan tatanan sosial serta penghancur kebahagian keluarga dan pilar-pilar rumah tangga. Sebaliknya, harta ditangan seorang Muslim bisa berfungsi sebagai sarana penyeimbang dalam beribadah dan perekat hubungan dengan makhluk.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نِعْمَ الْـمَالُ الصَّالِحُ لِلرَّجُلِ الصَّالِحِ

Harta terbaik adalah yang dimiliki laki-laki yang salih.[4]

Bahkan harta tersebut akan menjadi sebuah energi yang memancarkan masa depan cerah, dan sebuah kekuatan yang mengandung berbagai macam keutamaan dan kemuliaan dunia dan akherat. Harta juga bisa menjadi penggerak roda dakwah dan jihad di jalan Allâh.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا﴿٨﴾ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allâh, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. [al-Insân/76:8-9].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberi pujian kepada seorang Muslim yang dermawan dan membelanjakan hartanya dalam kebaikan. Dalam sebuah hadits dari Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَفْضَلُ دِيْنَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ دِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَليَ عِيَالِهِ

Dinar terbaik yang dibelanjakan oleh seseorang lelaki adalah dinar seseorang yang dibelanjakan untuk nafkah keluarganya.[5]

Dengan harta yang halal dan bersih, para generasi salaf berlomba dan berpacu untuk mengejar pahala dan meraih surga, seperti yang terjadi pada kehidupan Umar Radhiyallahu anhu yang bersaing secara sehat dalam berinfak di jalan Allâh dengan Abu Bakar Radhiyallahu anhu . Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu bercerita, "Suatu hari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami agar bersedekah dan ketika itu saya sedang memiliki banyak harta. Saya mengatakan, 'Hari ini aku akan mampu mengungguli Abu Bakar Radhiyallahu anhu .' Lalu aku membawa setengah dari hartaku untuk disedekahkan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu ?' Saya menjawab, 'Aku tinggalkan sejumlah itu untuk keluargaku.' Lalu Abu Bakar datang membawa semua kekayaannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Wahai Abu Bakar ! Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu ? Ia menjawab, 'Saya tinggalkan Allâh dan Rasul-Nya untuk mereka.' Lalu aku berkata, 'Saya tidak akan bisa mengunggulimu selamanya.'[6]

KENAPA RELA HIDUP TERHINA
Islam sangat mencela pemalas dan membatasi ruang gerak peminta-minta serta mengunci rapat semua bentuk ketergantungan hidup pada orang lain. Al-Qur'ân juga memuji orang yang bersabar dan menahan diri dengan tidak meminta uluran tangan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup. Karena tindakan tersebut akan menimbulkan berbagai macam keburukan dan kemunduran dalam kehidupan.

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allâh; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allâh), maka sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui. [al-Baqarah/2: 273].

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, "Tidaklah ada seseorang yang malas bekerja melainkan ia berada dalam dua keburukan. Pertama, menelantarkan keluarga dan meninggalkan kewajiban dengan berkedok tawakkal sehingga hidupnya menjadi batu sandungan orang lain dan keluarganya berada dalam kesusahan. Kedua, demikian itu suatu kehinaan yang tidak menimpa kecuali orang yang hina dan gelandangan. Sebab orang yang bermartabat tidak akan rela kehilangan harga diri hanya karena kemalasan dengan dalih tawakkal yang sarat dengan hiasan kebodohan. Karena bisa jadi orang tidak memiliki harta tetapi masih tetap punya peluang dan kesempatan untuk berusaha.[7]

Bahkan Rasâlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi jaminan surga bagi orang yang mampu memelihara diri dengan tidak meminta-minta, sebagaimana sabda beliau n dalam hadits dari Tsaubân :

مَنْ يَكْفُلُ لِي أَنْ لَا يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلُ لَهُ بِالْجَنَّةِ

Barangsiapa yang bisa menjaminku untuk tidak meminta-minta suatu kebutuhan apapun kepada seseorang maka aku akan menjamin dengan surga. [8]

Seorang Muslim harus berusaha hidup berkecukupan, memerangi kemalasan, bersemangat dalam mencari nafkah, berdedikasi dalam menutupi kebutuhan, dan rajin bekerja demi memelihara masa depan anak agar mampu hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain. Sebab pemalas yang menjadi beban orang dan pengemis yang menjual harga diri merupakan manusia paling tercela dan sangat dibenci Islam seperti yang telah ditegaskan dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Umar c bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian kecuali ia bertemu dengan Allâh sementara di wajahnya tidak ada secuil dagingpun. [9]

SEORANG MUSLIM HARUS WIBAWA
Kondisi ekonomi yang fluktuatif, krisis global yang melanda sebagian besar industri dan usaha yang kembang kempis tidak boleh membuat seorang Muslim frustasi dalam berikhtiar. Kondisi ini seyogyanya dijadikan momentum untuk mengoreksi diri dan mencari penyebab krisis. Jangan bersikap seperti orang-orang kafir, berputus asa dengan melampiaskannya ke diskotik, menenggak khamer atau bahkan tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Seorang Muslim dalam menghadapi krisis, hendaknya menyadari bahwa kehidupan adalah sebuah realita yang harus dihadapi dengan bekal kesungguhan, ilmu, tawakkal dan menjauhi sifat pengecut serta pandai mengolah kelemahan menjadi sebuah kekuatan.

Situasi krisis dan kondisi serba kurang serta hidup miskin harus menjadi cambuk bagi seorang Muslim untuk bangkit mencari peluang bisnis dan membuka kran rizki yang mampet. Karena setiap Muslim dituntut menjadi teladan, termasuk dalam semangat mengais rizki dan membuka lapangan kerja yang halal. Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu anhu ketika hijrah ke Madinah dengan segala keterbatasan dan kehidupan yang serba susah, karena konsekwensi hijrah, beliau harus meninggalkan seluruh hartanya di Makkah. Pada kondisi seperti itu beliau Radhiyallahu anhu mendapat tawaran bantuan namun beliau Radhiyallahu anhu menampiknya dan mengatakan “Tunjukkan kepadaku di mana pasar Madinah !”[10] Dalam waktu yang tidak begitu lama beliau Radhiyallahu anhu sudah mampu hidup mandiri dan menikah dari hasil usahanya.

Adapun tentang hadits bahwa Abdurrahman masuk surga sambil merangkak adalah hadits palsu seperti yang telah ditegaskan Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Talbîs Iblîs[11] dan sanadnya sangat lemah sebagaimana yang telah ditegaskan Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâmin Nubalâ’.[12]

Kesibukan para utusan Allâh dan para ulama salaf dalam mencari ilmu dan berda'wah tidak melalaikan mereka mengais rizki yang halal untuk menafkahi keluarganya. Maka, seorang Muslim harus bisa meneladani mereka, kesibukanya dalam berusaha jangan membuatnya lalai menuntut ilmu atau alasan menuntut ilmu membuatnya malas untuk mencari nafkah.

Apapun bentuk usaha seorang Muslim asalkan halal dan diperoleh dengan cara yang benar harus ditekuni dan dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita. Hilangkan perasaan rendah diri, malu atau gengsi dengan profesi yang dijalaninya karena mungkin dianggap oleh kebanyakan orang sebagai bentuk profesi hina dan tidak bermartabat. Karena mulia atau tidaknya sebuah usaha atau profesi tidak bergantung pada bergengsi atau tidaknya di pandangan manusia, seperti bekerja di perusahan asing ternama atau jabatan tinggi atau bekerja di tempat yang basah duitnya. Namun kemuliaan sebuah usaha sangat ditentukan oleh kehalalan usaha dihadapan Allâh serta terpuji dalam pandangan syari'at.

Para nabi dan rasul telah memberikan contoh kepada kita dalam berusaha dan berkarya untuk menopang kelangsungan dakwah dan tersebarnya risalah. Nabi Zakaria Alaihissallam menjadi tukang kayu, nabi Idris Alaihissallamn menjahit pakaian dan nabi Daud membuat baju perang. Sehingga bisa dikatakan, bekerja untuk bisa hidup mandiri merupakan sunnah para utusan Allâh. Berusaha untuk mencari nafkah, baik dengan berniaga, bertani atau berternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak bertentangan dengan sikap tawakkal.[13]

Begitu pula para ulama salaf. Mereka tergolong orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha, tapi mereka juga gigih dan tangguh dalam menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Tidak mengapa seorang bekerja di bidang dakwah dan urusan kaum Muslimlin lalu mendapat imbalan dari pekerjaan tersebut karena Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu ketika menjadi khalifah mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dari baitul mal.[14]

Perlu diketahui bahwa kualitas seseorang sangat tergantung pada keberhasilannya, kemampuannya untuk memberi manfaat orang lain dan martabatnya di hadapan Allâh dan hamba-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ ﴿٢٤﴾ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). [al-Ma’ârij/70:24-25]

PAHALA MENCARI NAFKAH
Seorang muslim harus memiliki dedikasi yang tinggi dalam mengembangkan usahanya, bersemangat memerangi kemalasan, mengenali medan usaha, tidak berputus asa dalam menghadapi kendala dan hambatan, sehingga menjadi hamba yang mandiri. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih baik dari makanan yang merupakan usaha tangannya sendiri, karena Nabi Allâh, Daud, makan dari hasil usaha tangannya sendiri[15]

Abu Qasim al-Khatly bertanya kepada imam Ahmad rahimahullah, "Apa komentar Anda terhadap orang yang hanya berdiam di rumah atau di sebuah masjid lalu berkata aku tidak perlu bekerja karena rizkiku tidak akan lari dan pasti datang." Imam Ahmad rahimahullah menjawab, "Orang itu tidak tahu ilmu. Apakah ia tidak mendengarkan sabda Rasûlullâh, "Allâh menjadikan rizkiku di bawah kilatan pedang (jihad)." [16]

Allâh Azza wa Jalla tidak melarang para hamba-Nya menjadi orang kaya dan hidup berkecukupan, bahkan Allâh mencintai orang kaya, asalkan tidak sombong, mencari harta sesuai dengan kaidah dan prinsip agama. Jadi, tidak ada alasan untuk mencela usaha yang halal. Yang tercela adalah usaha yang haram atau usaha yang menyebabkan lalai dari ibadah kepada Allâh, bersikap sombong dan kikir.

Sahl bin Abdullah At Tustary berkata: Barangsiapa yang merusak tawakkal berarti telah merusak pilar keimanan dan siapa yang merusak pekerjaan berarti telah membuat kerusakan dalam sunnah.[17]

Wahai saudaraku, tulisan ini sengaja saya sampaikan untuk menepis anggapan sebagian orang yang tidak berilmu bahwa menjadi orang kaya, hidup berkecukupan dan gigih mencari nafkah dengan cara yang benar agar hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain merupakan cinta dunia yang menodai sikap zuhud. Padahal tidaklah demikian bahkan Abu Darda' Radhiyallahu anhu berkata, "Termasuk indikasi pahamnya seseorang terhadap agamanya adalah adanya kemauan untuk mengurusi nafkah rumah tangganya." [18]. Wallahu a'lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat tafsir Lubâbut Ta'wîl, Imam al-Khâzin, 1/ 134.
[2]. HR Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3129) dan Abu Nu'aim dalam Hilyah, hlm. 286
[3]. Fathul Bâri, Ibnu Hajar, 6/ 262.
[4]. HR. Ahmad dalam Musnad dengan sanad hasan, juz 4, hadits no. 197 dan 202.
[5]. HR. Muslim (2/574)(994).
[6]. HR. Tirmidzi3675, al-Hâkim dalam al-Mustadrak1/414. Beliau t mengatakan shahih
[7]. Talbîsul Iblîs, Ibnul Jauzi, hlm. 303.
[8]. HR. Abu Daud. Imam Nawawi berkata bahwa sanadnya yang sahih.
[9]. HR Bukhâri, Muslim dan Nasâ'i dalam sunannya.
[10]. Siyar A’lâmin Nubalâ’, adz-Dzahabi, 3/ 48.
[11]. Talbîsul Iblîs dalam Talbîs terhadap kaun zuhud.
[12]. Siyar A’lâmin Nubalâ’, adz-Dzahabi, 3/ 49
[13]. Fathul Bâri, 4/1358 dan al-Minhâj, Syarh Sahih Muslim, 15/133.
[14]. Fathul Bâri, 4/357.
[15]. HR. Bukhâri dalam Shahihnya (2072) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 8/6
[16]. Talbîsul Iblîs, Ibnul Jauzi, hlm. 302.
[17]. Talbîsul Iblîs, Ibnul Jauzi, hlm. 299.
[18]. Diriwayatkan Ibnu Abu Dunya dalam Ishlâhul Mâl, hlm. 223, Ibnu Abu Syaibah (34606) dan al-Baihaqi dalam as-Syu'ab (2/365)

Posting Komentar Blogger

 
Top