0 Comment
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh43_H7CGHBqXO4k6ad9a-0ZXwag8D4UE252UGnS5QI8YjxpGYcDYNCSRm7UVEKyq13oEPLPmy_Tn5XHCPF4BUnL5DIUjVCSY9mMr7i8nE6U8soLw-4A9boLUR32miQ4Za1FTLQYC13A6U/s1600/pemgembara.jpgIbnu Ishaq berkata, “Syaibah bin Utsman bin Abi Thalhah, saudara Bani Abdiddar, bercerita, ‘Aku berkata pada hari itu –yakni Perang Hunain– bahwa aku akan membalaskan dendamku pada Muhammad. Aku akan membunuh Muhammad. (ayah Syaibah terbunuh dalam perang Uhud.) aku menuju tempat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuhnya. Namun tiba-tiba muncul sesuatu yang menakutkan hingga menghilangkan kesadaranku. Aku tidak sanggup melihatnya. Saat itulah aku sadar bahwa aku tidak sanggup menyentuh beliau’.”

Baihaqi meriwayatkannya dalam Ad-Dalail dari jalur Walid bin Muslim yang berkata, “Abdulah bin Mubarak bercerita kepada kami, dari Abu bakar Al-Hudzali, dari Ikrimah mantan budak Ibnu Abbas, dari Syaibah bin Utsman yang mengatakan, ‘Ketika aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan tidak terjaga dalam perang Hunain, aku teringat ayah serta pamanku yang mati di tangan Ali dan Hamza. Maka aku berkata, ‘Hari ini aku bisa membalaskan dendamku pada Muhammad.’ Aku bergerak mendekati beliau dari sisi kanan. Ternyata ada Abbas yang tengah beridiri siaga. Ia mengenakan baju besi putih seperti perak yang tidak tertutupi debu. ‘Ini pamannya, pasti ia tidak akan membiarkannya terancam,’ gumamku. Kemudian aku mencoba mendekati Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi kiri. Dan ternyata Abu Sufyan bin Harits di sana. ‘Ini saudara sepupunya dan tentunya ia tidak akan membiarkannya terancam.’
Selanjutnya, aku mendatangi beliau dari arah belakang. Ketika aku hanya tinggal menebas beliau dengan sekali tebasan pedang, tiba-tiba muncul kobaran api seperti kilat antara aku dan beliau. Aku sangat takut api itu membakarku. Maka aku menutupi mataku dengan tangan sambil berjalan mundur. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menoleh dan bersabda, ‘Wahai Syaibah.. wahai Syaibah, mendekatlah kepadaku. Ya Allah hilangkan (gangguan) setan darinya.’ Lantas aku menatap beliau. Ajaib, tiba-tiba aku lebih mencintai beliau daripada pendengaran dan penglihatanku sendiri. Beliau bersabda, ‘Wahai Syaibah, perangilah orang-orang kafir’.”
Ketika menyebutkan hadis ini, Dzahabi berkata, “Hadis ini gharib sekali.” Haitsami, dalam Al-Majma’, menyandarkan riwayat ini pada Thabrani, dan ia berkata, “Pada sanadnya ada Abu Bakar Al-Hudzali, ia seorang perawi dha’if.” Ini tergolong kurang teliti dalam men-jarh (mencela seorang rawi). Dzahabi dan Ibnu Hajar telah menyatakan bahwa ia (Abu Bakar Al-Hudzali) seoarang perawi matruk (ditinggalkan).” Kemudian Baihaqi menyebutnya sanadnya dari Ayyub bin Jabir, dari Shadaqah bin Sa’id, dari Mush’ab bin Syaibah, dari ayahnya yang berkata, “Aku berangkat bersama Rasulullah (menuju Hunain). Demi Allah, bukan Islam yang mendorongku berangkat. Tetapi aku hanya tidak suka bila Hawazin sampai mengalahkan Quraisy. Ketika aku tengah berdiri di samping beliau, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku melihat kuda belang’.” Beliau bersabda, ‘Wahai Syaibah, hanya orang kafir yang bisa melihat kuda itu.’ Lantas beliau menepuk dadaku, dan mengucapkan,’Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada Syaibah.’ Beliau melakukannya tiga kali. Setelah itu hampir tidak ada makhluk Allah yang lebih aku cintai dari pada beliau….” Baihaqi menyebutkan hadis selengkapnya.
Ayyub bin Jabi bin Sayyar seorang perwai dha’if. Sementara itu, Shadaqah bin Sa’id Al-Hanafi, tentangnya Ibnu Hajar berkata, “Rawi maqbul (bisa diterima).” Artinya, ketika hadisnya menjadi mutaba’ah, bila tidak maka ia seorang perawi yang hadisnya layyin. Sepanjang penelitianku, aku tidak mendapati anak Syaibah bin Utsman yang bernama Mus’ah telah dituliskan biografinya. Adham Ar-Ruwah disebutkan, “Mus’ab bin Syaibah bin Jubair bin Syaibah bin Utsman bin Abi Thalhah termasuk perawi tingkat lima. Mus’ab di sini putra dari cucu pelaku kisah. Tentangnya Ahmad berkata, “Ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar.” Nasai berkata, “Haditsnya mungkar.” Daruquthni berkata, “Ini tidak kuat dan bukan orang yang hafalannya baik.” Abu Dawud men-dha’if-kannya, sementara Ibnu Ma’in dan Al-Akli men-tsiqah-kannya. Oleh sebab itu, dalam At-Taqrib, II:215, Ibnu Hajar lebih memilih bahwa ia layyinul hadis.
Kisah ini disebutkan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah, VIII: 213, dari Waqidi, dari guru-gurunya. Waqidi perawi matruk, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam Al-Ishabah, Ibnu Hajar menyandarkan riwayat ini pada –selain yang telah disebutkan– Ibnu Khaitsamah dari Mush’ab An-Namiri, dan Baghawi. Kemudian ia mengatakan, “Ibnu Sakan berkata, ‘tentang sanad kisah keislaman Syaibah perlu dilihat ulang.’ Ibnu Sakan adalah Al-Imam Al-Hafizh Al-Mujawwid Al-Kabir Abu Ya’la Sa’id bin Utsman bin Sa’id bin Sakan. Ia seorang ulama besar yang menghimpun, mengarang, memversifikasi rawi, menshahihkan dan mencacat hadis.” Wafat tahun 353 H. Ibnu Hajar menggelarinya dengan sebutan ‘jalalah (keluhuran) dan itqan (pakar).”


Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan 1 April 2010

Posting Komentar Blogger

 
Top