Memang, marah karena Allah termasuk hikmah. Bahkan, tanda keimanan
seseorang pun ditandai dengan marah dan benci karena Allah. Yaitu, marah
dan benci terhadap kekufuran, kebid’ahan dan kemaksiatan.
Tetapi bersabarlah! Kendalikan emosi. Siapa tahu mereka itu
orang-orang bodoh yang membutuhkan pelajaran. Kalau itu yang terjadi,
ajarilah mereka dengan lemah lembut!
Anas bin Malik radhiyallahu `anhu pernah mengatakan : “Aku
pernah berjalan bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam saat
beliau mengenakan jubah dari Najran yang kasar tepinya. Tiba-tiba
datanglah seorang Arab gunung dan menarik jubah beliau secara keras.
Akibat perbuatannya itu, aku melihat bekas tarikan tersebut pada sisi
pundak beliau. Kemudian dia (orang Arab gunung itu) berucap : ‘Wahai
Muhammad, perintahkanlah, bahwa harta Allah yang ada padamu untukku.’
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melihat kepadanya dan tersenyum
seraya memerintahkan untuk memberikan harta kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Contoh lain adalah kisah Muawiyah bin Al-Hakam As-Sulami, yang mengatakan :
“Ketika aku shalat bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam,
tiba-tiba ada seseorang dari satu kaum yang bersin. Maka aku mengucapkan
yarhamukallah. Ketika semua orang melemparkan pandangannya kepadaku,
sehingga aku berkata : ‘Duhai ibuku yang kehilangan aku, ada apa kalian
melihatku?’ Mereka lalu menepuk tangan mereka ke pahanya. Ketika aku
lihat, mereka menyuruh aku diam, lantas aku pun diam. Setelah Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam selesai shalat –dengan bapak dan ibuku–
sungguh aku belum pernah melihat seorang pengajar pun yang lebih baik
pengajarannya dari beliau shallallahu `alaihi wa sallam. Demi Allah,
beliau tidak membentakku, tidak memukulku, dan tidak pula mencelaku.
Beliau bersabda:
‘Sesungguhnya di dalam shalat ini tidak
layak sedikit pun ada ucapan manusia. Sesungguhnya shalat adalah
tasbih, takbir dan bacaan Al Qur’an.’ “ (HR. Muslim dalam kitab Masajid bab Tahrimul Kalam fish Shalah)
Demikian pula sikap Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
terhadap seorang pemuda yang meminta ijin untuk berzina. Seperti
diungkapkan Abu Umamah : “Sesungguhnya
pernah ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku berzina.’ Saat
itu, orang-orang yang ada di situ membentaknya seraya mengatakan, ‘Mah,
mah!’ Sementara Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyuruh pemuda
itu untuk mendekat. ‘Mendekatlah,’ ajak beliau. Pemuda itu pun
mendekat. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bertanya,
‘Sukakah engkau kalau hal ini terjadi pada ibumu?’ ‘Tidak, demi Allah,
aku sebagai jaminanmu,’ jawabnya. ‘Demikian pula halnya setiap manusia
pasti tidak menyukai hal itu terjadi pada ibu-ibu mereka,’ jelas
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kepada pemuda itu. Kemudian
beliau ajukan pertanyaan lagi, ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada
anak perempuanmu?’ Ia Jawab, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan
diriku sebagai jaminanmu’ Beliau jelaskan lagi, ‘Demikian pula manusia
tidak menyukai hal itu terjadi pada anak perempuan mereka.’ Kemudian
beliau tanya, ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada saudara
perempuanmu?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan
aku sebagai jaminanmu’ Lalu beliau bersabda, ‘Tidak pula manusia
menyukai hal itu terjadi pada saudara-saudara perempuan mereka.’
‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada bibimu (ammah / saudara
perempuan bapak)?’ Tanya beliau kembali. Dijawabnya, ‘Tidak, demi Allah,
Allah menjadikan aku sebagai jaminanmu’ Kemudian Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam nyatakan, ‘Tidak pula manusia menyukai hal itu
terjadi pada bibi mereka.’ Beliau berikan lagi pertanyaan, ‘Sukakah
engkau jika hal itu terjadi pada bibimu (khalah / saudara perempuan
ibu)?’ Jawab pemuda itu, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan aku
sebagai jaminanmu.’ Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menuturkan,
‘Tidak pula manusia menyukai hal itu terjadi pada bibi (khalah)
mereka.’ ” Selanjutnya Abu Umamah menyatakan : “Maka Rasulullah
meletakkan tangannya kepada pemuda itu seraya mengucapkan :
“Ya Allah, ampunilah dosanya, bersihkanlah hatinya dan peliharalah kemaluannya.’ “ (Kisah ini dinukil dari HR. Ahmad dan Thabrani, disahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah no. 370)
Kelembutan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun ditunjukkan
pula terhadap seorang Arab gunung lainnya yang kencing di masjid. Anas
bin Malik mengisahkan : “Ketika kami berada
di masjid bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, tiba-tiba
datang seorang Arab kampung. Orang itu lantas berdiri dan kencing di
masjid. Maka (bangkitlah) para shahabat Rasulullah membentaknya seraya
membentak, ‘Mah, mah!’ Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam lantas
mencegah para para sahabat sambil bersabda, ‘Jangan kalian putuskan
kencingnya. Biarkan dia.’
Maka para shahabat pun membiarkannya
sampai ia selesai. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
memanggilnya dan menasehatinya, ‘Sesungguhnya masjid ini tidak patut
sedikit pun untuk tempat buang air, (begitu pula) buang untuk kotoran.
Masjid ini merupakan tempat untuk berdzikir kepada Allah, shalat dan
membaca Al Qur’an.’
Kemudian beliau memerintahkan untuk mengambil seember air dan menyiramkannya.” (HR. Muslim)
Tidak hanya sampai di sini, kesabaran Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam terhadap orang-orang bodoh. Bahkan, dalam riwayat Bukhari
masih berlanjut kisah orang Arab gunung tersebut. Yaitu, ketika
Rasulullah dan para shahabat shalat bersamanya, maka orang tadi berdoa
dalam shalatnya, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad dan janganlah
engkau rahmati seorang pun selain kami.”
Maka ketika selesai shalat beliau bersabda, “Sungguh engkau telah mempersempit yang luas.”
Yang dimaksud adalah rahmat Allah yang luas.
Demikianlah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyikapi
seorang yang memang bodoh, membutuhkan pengajaran dan pendidikan. Ketika
orang Arab gunung itu setelah faqih (memahami agama) dia katakan, “Ayah
dan ibuku sebagai jaminan. Sungguh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam
bangkit kepadaku tanpa mencela, menghardik atau pun memukulku.”
Selain itu kita juga dapati sifat ta`anni beliau shallallahu `alaihi
wa sallam ketika para shahabat membentak si orang gunung tersebut.
Beliau malah mengatakan, “Biarkan dia”. Hal itu karena beliau berfikir
dan melihat sisi hikmah, yaitu jika dibentak dan diganggu ketika dia
sedang buang air, akan membawa dampak negatif yang lebih banyak. Bisa
jadi najis dari kencingnya akan berceceran di tempat yang lebih luas,
atau najis itu bisa saja mengenai pakaiannya. Bahkan, justru akan
menjadikan penyakit bagi orang tersebut karena menahan kencing dan
lainnya.
Demikianlah semestinya sikap seorang mukmin, apalagi dia seorang
da’i. Janganlah segera bersikap emosional, bersifatlah ta`anni.
Perlakukanlah orang-orang awam dan jahil dengan sabar serta ajarilah
mereka dengan lemah lembut.
Adapun orang-orang bodoh yang tidak mau mengerti perkataan orang,
tinggalkanlah dan hindarilah dia dengan baik dan ucapkanlah ucapan yang
baik. Allah berfirman dalam mengungkapkan sifat hamba-hamba-Nya :
“Hamba-hamba Allah yang Maha Rahman
adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati. Jika
orang-orang bodoh mengajak bicara mereka, mereka mengucapkan kata-kata
yang mengandung keselamatan.” (Al-Furqan: 63)
Saat menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan,
“Yaitu jika orang-orang bodoh mengganggu mereka dengan ucapan yang
jelek, mereka tidak membalasnya dengan yang semisal. Bahkan mereka
memaafkan dan memaklumi serta tidak mengucapkan selain kebaikan semata.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak membalas
kerasnya kejahilan seseorang melainkan dengan kelembutan yang amat
sangat.”
Dikisahkan dalam sebuah riwayat,
seorang mencela orang lain kemudian orang yang dicela tersebut
mengatakan alaikas salam (semoga keselamatan atasmu). Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam yang mendengar ucapan itu langsung
menegur, “Ketahuilah, sesungguhnya malaikat (yang menyaksikan) di antara
kalian berdua membelamu. Setiap dia mencelamu malaikat itu berkata,
‘Bahkan engkau! Engkau lebih berhak dengannya!’ Sedang ketika engkau
mengucapkan kepadanya, ‘alaikas salam,’ malaikat itu berkata, ‘bahkan
atasmu! Engkau lebih berhak dengannya.’ “ (HR. Ahmad 5 / 445, Kata Ibnu Katsir sanadnya hasan. Lihat Al-Hikmah hal. 61)
Dalam ayat lain, Allah juga memerintahkan berpaling dari orang-orang bodoh.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang yang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al-A`raf: 199)
Berkenaan dengan ayat ini, kita tengok riwayat Umar bin Khattab.
Dikatakan Ibnu Abbas : “Uyainah bin Hishn bin Huzaijah datang dan
singgah di rumah saudaranya, Al-Har bin Qais. Beliau adalah salah
seorang yang dekat dengan Umar bin Khattab. Pada waktu itu para pembaca
Al Qur’an merupakan teman-teman duduk Umar dan tempat bermusyawarah,
baik orang tua atau pun pemuda. Berkatalah Uyainah kepada anak
saudaranya itu, ‘Wahai anak saudaraku, engkau memiliki kedudukan di sisi
khalifah. Maka mintalah ijin agar aku diperkenankan menemuinya.’
Berkatalah Al-Har, ‘Aku akan mintakan ijin untukmu.’ ” Ibnu Abbas
mengungkapkan kisah selanjutnya : “Kemudian Al-Har bin Qais memintakan
ijin kepada Umar. Seketika itu Umar mengijinkannya. Ketika menghadap
Umar, Uyainah ucapkan, ‘Wahai Ibnul Khattab, demi Allah, engkau tidak
memberi kami banyak. Tidak pula menghukumi kami dengan adil.’ Lantaran
itu, marahlah Umar. Nyaris dilakukan sesuatu oleh Umar terhadapnya.
Tetapi Al-Har malah mengucapkan, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya
Allah berfirman kepada Nabi-Nya :
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al A’raf :199)
Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang bodoh.”
Demi Allah, Umar radliyallahu `anhu tidak melampaui apa yang
dikatakan dalam ayat tersebut. Beliau memang seorang yang selalu
‘berhenti’ pada apa yang dikatakan pada kitab Allah.” (HR. Al-Bukhari,
lihat Al-Hikmah hal. 62)
Demikianlah sikap Amirul Mukminin Umar bin Khattab ketika diberitahu
bahwa ia (yang menghadap beliau) adalah orang bodoh. Sikap beliau tidak
keluar dari apa yang dikatakan oleh Allah :
“Jadilah pemaaf, perintahkanlah yang ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
Wallahu ‘a’lam
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Muhammad Umar as Sewed, judul asli Menyikapi Orang Awam.)
Posting Komentar Blogger Facebook