0 Comment
http://profile.ak.fbcdn.net/hprofile-ak-snc4/41794_157292580960021_980_n.jpg
Dari siapa kita belajar Islam? Apakah boleh belajar sendiri (dari buku) tanpa bimbingan? Apakah boleh menafsirkan Qur’an dan Hadits dengan akal kita sendiri? Tidak, karena belajar Islam haruslah dari orang yang paling memahami Islam dengan baik.  Lantas siapa mereka itu ?  Apakah mereka adalah generasi masa kini dari kalangan akademisi atau intelektual muslim dengan segudang gelar akademik ? Ataukah mereka para da’i masa kini yang memiliki umat sejuta bahkan berjuta-juta pengikut?

Pertanyaan ini masih berlanjut.  Apakah generasi hari ini lebih baik (dalam memahami Islam) dari generasi terdahulu?  Golongan yang setuju dengan ini beralasan bahwa kemajuan teknologi, sistematika metode berpikir hingga logika berbasis komputerisasi yang ada di zaman sekarang lebih cerdas dalam menganalisa dan merumuskan ke arah mana Islam sebaiknya menuju.
Orang-orang ‘modern’ ini juga beralasan bahwa manusia-manusia terdahulu belum sampai otaknya untuk mengelola kompleksitas masalah hidup di zaman teknologi tinggi ini.  Akhirnya mereka berpikir di zaman modern ini agama Islam harus bisa diterjemahkan/ ditafsirkan sesuai tuntutan zaman.  Menurut orang modern ini apabila kita berkutat atau berpedoman pada umat soleh terdahulu hanya akan menyebabkan sikap kolot yang menghambat kemajuan manusia.  Kebanyakan umat Islam masa kini (khususnya kaum liberal) telah terpedaya oleh cara berpikir bahwa majunya Islam diukur dari keberhasilan umat Islam tampil dalam kancah ekonomi, politik dan militer di tingkat dunia.
Kemajuan ekonomi, politik dan militer bukanlah indikasi dari kesuksesan orang-orang beriman karena kenikmatan dunia Allah berikan kepada semua golongan umat manusia, baik Islam ataupun kafir.  Ini sebagaimana nasihat yang pernah disampaikan shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan watak kalian sebagaimana telah menentukan rezeki di antara kalian. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberi harta kepada orang yang Ia cintai dan orang yang Ia benci. (Namun) Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberi keimanan kecuali kepada yang Ia cintai.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 209)
Apalagi harta dan kesuksesan dunia tidak ada artinya disisi Allah dibanding akhirat, yang diibaratkan seperti jumlah sisa air yang menempel di jari yang diangkat setelah dicelupkan di air laut, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam :
“Tidaklah dunia ini dibandingkan dengan akhirat kecuali seperti jari yang dicelupkan salah seorang di antara kalian ke dalam air laut, lalu ditarik kembali jari tersebut. Lihatlah, betapa sedikit air yang menempel di jari itu” (HR Muslim).

Umat Nabi Yang Paling Baik & Cerdas Dalam Memahami Islam
Belajar Islam yang paling baik adalah belajar dari orang-orang yang paling memahami ajaran Islam.  Siapakah mereka? Mereka adalah para shahabat Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam, radhiyallahu anhu/anha. Para shahabat Radhiyallaahu’anhum adalah orang yang berhadapan dan bertemu langsung dengan Nabi Shallaahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sebagian dari mereka hadir saat wahyu sedang diturunkan ke Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Apabila ada hal yang mereka tak mengerti mereka bisa langsung bertanya kepada sumber ilmu, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam.  Sebagai contoh saat turun ayat, firman Allah (artinya) “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al An’am:82).  Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Ketika ayat ini turun, terasa beratlah di hati para sahabat, mereka mengatakan siapakah di antara kita yang tidak pernah menzalimi dirinya sendiri (berbuat maksiat), maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam bersabda, “Tidak demikian, akan tetapi yang dimaksud (dengan kezaliman pada ayat tersebut) adalah kesyirikan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Lukman kepada anaknya, “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” (QS Lukman: 13)”[2.] [3].  Demikianlah salah satu contoh bukti bagaimana para shahabat Nabi berpeluang langsung mendapat penjelasan dari Nabi Shalalallahu Alaihi wassalam tentang tafsir Qur’an.
Allah subhanahu wata’ala menjamin keistimewaan para shahabat Rasulullah shalallahu alaihi wassalam melalui firman-Nya (terjemah): “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (Surah At-Taubah (pengampunan): 100)
Allah ta’ala juga berfirman : “(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong (agama) Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung” (Surah Al-Hasyr (pengusiran): 8-9)
Pemahaman Islam Di Masa Terdahulu Lebih Baik Dibanding Zaman Kini
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullaah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Sebaik-baik ummatku adalah yang hidup pada kurun sahabatku, kemudian setelah kurun mereka (Tabiin), kemudian setelah kurun mereka (Tabiut tabiin). Kemudian akan datang suatu kaum di mana kesaksian salah seorang mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya”. (Shahih Muslim No. 2537),
Juga dalam hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Janganlah kamu mencaci-maki para sahabatku, Janganlah kamu mencaci-maki para sahabatku, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya. Walaupun salah seorang kamu membelanjakan emas sebesar gunung Uhud, hal itu tidak dapat menandingi satu bahkan setengah mud (1 mud=543 gram) salah seorang mereka.” (Shahih Muslim No. 2540)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para shahabat Nabi adalah sebaik-baiknya umat dan generasi, mereka terlebih dahulu beriman, menemani Nabi Shallaahu ‘alaihi wa sallam, berjihad bersama beliau, dan pembawa serta penyampai syari’at kepada orang-orang sesudah mereka, maka kita tidak boleh mencela atau apalagi menyebarkan aib mereka.
Shahabat Rasulullah, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata : “Tidak akan datang suatu masa atas kalian melainkan masa yang akan datang tersebut lebih buruk daripada masa sebelumnya hingga datangnya Hari Kiamat. Maksud saya bukanlah kelapangan hidup yang diterimanya atau harta yang didapatnya (lebih sedikit). Akan tetapi maksud saya adalah masa yang akan datang itu lebih sedikit ilmunya daripada masa yang telah berlalu. Apabila ‘ulama telah pergi dan semua manusia merasa sama rata, akibatnya tidak ada lagi yang memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari munkar. Saat itulah mereka binasa.”
Diriwayatkan dari jalur Asy-Sya’bi, dari Masruq dari Ibnu Mas’ud, bahwa beliau berkata : “Tidaklah datang suatu masa melainkan pasti lebih buruk daripada masa sebelumnya. Maksud saya bukanlah seorang amir lebih baik daripada amir lainnya, bukan pula suatu tahun lebih baik daripada tahun lainnya. Namun maksud saya adalah perginya para ‘ulama dan ahli fiqh, kemudian kalian tidak menemukan penggantinya. Lalu datanglah suatu kaum yang berfatwa atas dasar logika mereka.” [Fathul Bari, syarh hadits no. 7068]
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ‘ulama. Kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh. Kemudian para pimpinan bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. [Hadits Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam, diriwayatkan oleh Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]
Diriwayatkan dari Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, beliau berkata : “Para ‘ulama Salaf mengatakan : “Kematian seorang ‘ulama adalah cela dalam tubuh Islam. Tidak mungkin ditambal dengan apapun sepanjang zaman.” [Ad-Darimi (324)]
Diriwayatkan dari Hilal bin Khabbab rahimahullah, dia berkata : Saya bertanya kepada Sa’id bin Jubair : “Wahai Abu Abdillah, apakah tanda kehancuran manusia?” Beliau menjawab : “Apabila ‘ulama-’ulama mereka telah wafat.” [Ad-Darimi (251)]
Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingatkan dan menasehatkan :
“Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para ‘ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ‘ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ‘ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar.” [lihat Al-’Imu Ibnu Qayyim, no. 94].

Belajar Islam Melalui Para Pewaris Ilmu
Ketika generasi shahabat dan beberapa generasi setelahnya telah tiada, lantas kepada siapa kita belajar Islam?  Jawabnya adalah belajar melalui para pewaris ilmu mereka, yaitu para ulama yang secara teliti menggali ilmu yang mereka wariskan melalui murid-murid mereka dan melalui karya tulis mereka atau karya tulis ulama terdahulu, dengan periwayatan yang jelas dan tercatat dengan baik.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan Beliau shalallahu ‘alaihi wassalamo. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), Ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu Dawud no. 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimahnya dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh Al-Albani t mengatakan: “Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 182, dan Shahih At-Targhib, 1/33/68)
Di samping sebagai perantara antara diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya, dengan rahmat dan pertolongan-Nya, Allah subhanahu wata’ala telah menjadikan para ulama sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama. Sehingga, ilmu syariat terus terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya. Oleh karena itu, kematian salah seorang  dari mereka mengakibatkan terbukanya fitnah (ujian) besar bagi muslimin. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, katanya: Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)
Ibnu Rajab Al-Hambali t mengatakan: Asy-Sya’bi berkata: “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari terbaliknya gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua urusan.”
Di dalam Shahih Al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ (riwayatnya sampai kepada Rasulullah): “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 60)
Meninggalnya seorang yang alim akan menimbulkan bahaya bagi umat. Keadaan ini menunjukkan keberadaan ulama di tengah kaum muslimin akan mendatangkan rahmat dan barakah dari Allah subhanahu wata’ala. Terlebih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengistilahkan mereka dalam sebuah sabdanya:
“Sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan dan sebagai penutup segala bentuk kejahatan.”
Kita telah mengetahui bagaimana kedudukan mereka dalam kehidupan kaum muslimin dan dalam perjalanan kaum muslimin menuju Rabb mereka. Semua ini disebabkan mereka sebagai satu-satunya pewaris para nabi sedangkan para nabi tidak mewariskan sesuatu melainkan ilmu.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t mengatakan: “Ilmu merupakan warisan para nabi dan para nabi tidak mewariskan dirham dan tidak pula dinar, akan tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang mengambil warisan ilmu tersebut, sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak dari warisan para nabi tersebut. Dan engkau sekarang berada pada kurun (abad, red) ke-15, jika engkau termasuk dari ahli ilmu engkau telah mewarisi dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan ini termasuk dari keutamaan-keutamaan yang paling besar.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 16)
Dari sini kita ketahui bahwa para ulama itu adalah orang-orang pilihan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.” (Fathir: 32)
Ibnu Katsir t menyatakan: Allah Subhanahu wata’ala berfirman: “Kemudian Kami menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) Al-Kitab (Al-Quran) yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang terdahulu yaitu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, mereka adalah dari umat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/577)
Al-Hafidz Ibnu Hajar t mengatakan: “Ayat ini sebagai syahid (penguat) terhadap hadits yang berbunyi Al-’Ulama waratsatil anbiya (ulama adalah pewaris para nabi).” (Fathul Bari, 1/83)
Al-Imam Asy-Syaukani t mengatakan: Maknanya adalah: “Kami telah mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-hamba Kami yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an). Dan Kami telah tentukan dengan cara mewariskan kitab ini kepada para ulama dari umat engkau wahai Muhammad yang telah Kami turunkan kepadamu… dan tidak ada keraguan bahwa ulama umat ini adalah para shahabat dan orang-orang setelah mereka. Sungguh Allah Subhanahu wata’ala telah memuliakan mereka atas seluruh hamba dan Allah Subhanahu wata’ala menjadikan mereka sebagai umat di tengah-tengah agar mereka menjadi saksi atas sekalian manusia, mereka mendapat kemuliaan demikian karena mereka umat nabi yang terbaik dan sayyid bani Adam.” (Fathul Qadir, hal. 1418)

Keutamaan Para Ulama Yang Baik
Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali mengatakan: “Kebijaksanaan Allah atas makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya yang mutlak atas mereka. Maka barang siapa yang mendapat hidayah maka itu wujud fadhilah (keutamaan) dari Allah dan bentuk rahmat-Nya. Barangsiapa yang menjadi tersesat, maka itu dengan keadilan Allah dan hikmah-Nya atas orang tersebut. Sungguh para pengikut nabi dan rasul menyeru pula sebagaimana seruan mereka. Mereka itulah para ulama dan orang-orang yang beramal shalih pada setiap zaman dan tempat, sebab mereka adalah pewaris ilmu para nabi dan orang-orang yang berpegang dengan sunnah-sunnah mereka. Sungguh Allah telah menegakkan hujjah melalui mereka atas setiap umat dan suatu kaum dan Allah merahmati dengan mereka suatu kaum dan umat. Mereka pantas mendapatkan pujian yang baik dari generasi yang datang sesudah mereka dan ucapan-ucapan yang penuh dengan kejujuran dan doa-doa yang barakah atas perjuangan dan pengorbanan mereka. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya atas mereka dan semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih dan derajat yang tinggi.” (Al-Manhaj Al-Qawim fi At-Taassi bi Ar-Rasul Al-Karim hal. 15)
Asy-Syaikh Shalih Fauzan mengatakan: “Kita wajib memuliakan ulama muslimin karena mereka adalah pewaris para nabi, maka meremehkan mereka termasuk  meremehkan kedudukan dan warisan yang mereka ambil dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam serta meremehkan  ilmu yang mereka bawa. Barangsiapa terjatuh dalam perbuatan ini tentu mereka akan lebih meremehkan  kaum muslimin. Ulama adalah orang yang wajib kita hormati karena kedudukan mereka di tengah-tengah umat dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan muslimin. Kalau mereka tidak mempercayai ulama, lalu kepada siapa mereka percaya. Kalau kepercayaan telah menghilang dari ulama, lalu kepada siapa kaum muslimin mengembalikan semua problem hidup mereka dan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat, maka di saat itulah akan terjadi kebimbangan dan terjadinya huru-hara.” (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 140)

wallahu alam bishowab...

Posting Komentar Blogger

 
Top