0 Comment
http://masaabuzahra.files.wordpress.com/2011/11/adil.jpg?w=540Inshaf (adil dan pertengahan) terhadap orang yang menyelisihi kebenaran merupakan manhaj ahli sunnah wal jamaah. Al-Quran dan As-sunnah menjelaskan bahwa sikap inshaf adalah akhlak mulia yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Adab-adab yang terkait dengannya, sangat penting untuk diperhatikan agar seorang muslim tidak terjatuh kepada perbuatan aniaya dan zalim, yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Berikut ini adalah diantara adab-adab yang mesti diperhatikan itu:
1. Obyektif dan berusaha untuk tidak berlebihan ketika berbicara atas orang-orang yang menyelisihi.
Sering kali maksud dalam berbicara atas orang lain yang dianggap melakukan pelanggaran menjadi samar dan bias. Terkadang ada maksud ingin dikenal, dendam, membela diri, atau membela kelompoknya. Ibnu Taimiyyah memperingatkan orang-orang yang membantah ahli bid’ah dari bias-nya maksud dan niat, “… dan begitu juga bagi orang yang membantah ahli bid’ah baik dari kalangan rafidhah atau yang lainnya, ketika mencela bid’ah atau kemaksiatan dengan sangat keras, tujuannya adalah menjelaskan keburukan itu, agar manusia berhati-hati darinya, sebagaimana yang terdapat dalam nashush (teks-teks) syar’i yang berupa ancaman. Terkadang seseorang dihajr (boikot) dalam rangka menghukumnya, dan maksud semua itu adalah untuk membuatnya dan orang-orang yang semisalnya jera, sebagai bentuk kasih sayang dan kebaikan, bukan balas dendam”. Ibnul Qayyim juga memperingatkan, “Setiap kelompok akan menilai kelompok dan perkataannya dengan lafadz-lafadz yang paling baik, sementara menilai perkataan orang-orang yang bersebrangan dengannya dengan lafadz-lafadz yang paling buruk. Namun bagi orang yang dikaruniai bashirah oleh Allah, maka ia akan mampu menyingkap apa yang ada dibalik lafadz-lafadz itu dari kebenaran atau kebatilan. Maka, jangan tertipu dengan sekedar lafadz sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair:
 Ketika kau memujinya kau sebut ia (madu) hasil dari lebah
Jika engkau ingin kau juga bisa menyebutnya dengan muntah lebah
Pujian dan celaan engkau tidak melampaui sifatnya
Kebenaran saja terkadang ditimpa buruknya pengungkapan”
2. Pentingnya ta’stabbut dan tabayyun (mengecek dan meminta penjelasan) sebelum menjatuhkan vonis.
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al-Hujarat [49]: 6).  “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu: “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya)”. (QS An-Nisa [4]: 94). Tastabbut dan tabayyun adalah karekter ahli iman. Sebagaimana yang jelas dalam ayat diatas. Hasan al-Bashri berkata, “Seorang mukmin itu waqqaf (tidak mengambil hukum apapun), hingga jelas baginya.” Muhammad bin Abdul wahhab –rahimahullah- berkata, “Jika suatu masalah belum jelas bagi kalian, maka tidak boleh kalian mengingkari kepada orang yang berfatwa atau mengerjakan sesuatu hingga jelas bagi kalian kesalahannya. Bahkan yang wajib adalah diam dan tafaqquf.”
3. Memahami suatu perkataan pada sisi yang paling baik dan berbaik sangka kepada sesama muslim.
Yang wajib bagi seorang muslim adalah berprasangka baik (husnu dzann) terhadap perkataan saudaranya sesama muslim, dan membawa sebuah ungkapan yang mengandung beberapa kemungkinan pada kemungkinan yang paling baik. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berprasangka baik terhadap sesama muslim. Beliau bersabda ketika thawaf di Ka’bah, “Alangkah baiknya engkau (Ka’bah) dan baiknya kedudukan engkau, alangkah agungnya engkau, dan agungnya kehormatan engkau. Dan demi yang jiwa Muhammad ada dalam tanganNya, sungguh kehormatan seorang muslim lebih agung disisi Allah dari kehormatanmu, harta dan darahnya, dan hendaknya setiap muslim tidak diprasangkai melainkan dengan kebaikan”. Sa’id bin Musayyib berkata, “Sebagian ikhwan menuliskan untukku dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “hendaknya engkau menyimpan perkata saudaramu dalam tempat yang paling baik, selama belum datang sesuatu yang dapat meyakinkanmu. Dan janganlah sekali-kali kamu menyangka keburukan dengan suatu kalimat yang keluar dari seorang muslim, selama kamu menemukan bagi kalimat itu maksud/makna yang baik.”
4. Hendaknya tidak menyebarkan kesalahan orang yang melakukan kesalahan dan mengubur kebaikan-kebaikannya.
Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan Umar dengan kebaikan-kebaikan Hathib, beliau bersabda, “Engkau mungkin tidak mengetahuinya wahai Umar, mungkin Allah telah mengetahui keadaan ahli badar ketika Allah berfirman bagi mereka, “Kerjakanlah apa yang kalian kehendaki, karena Aku telah mengampuni kalian.” Maka, karena Hathib salah satu dari ahli badar, beliau mengangkatnya dan menyebutkannya dengan kesalahannya yang sangat buruk. Oleh karena itulah Allah mengampuni kesalahannya“.
5. Kritik ditujukan kepada pendapatnya, bukan kepada orangnya.
Kritik atas substansi tertentu ditujukan kepada isinya secara utuh, bukan kepada orangnya. Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa jika salah seorang sahabat atau beberapa dari mereka melakukan kesalahan, sering beliau tidak menyebutkan namanya. Akan tetapi mengungkapkannya dengan kata-kata, “Bagaimanakah kondisi suatu kaum”, bagaimakah kondisi suatu kelompok”
6. Menghindari perdebatan yang menuju pada permusuhan.
Nabi shallallahu’alaihi wasallam memperingatkan dari perdebatan yang mengundang permusuhan, beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling dibenci adalah orang yang senantiasa bermusuhan/berselisih.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Janganlah kamu mendebat saudaramu, karena debat itu tidak difahami hikmahnya dan tidak selamat dari rasa dengki.” Anas bin Malik berkata, “Perdebatan mengeraskan hati dan mewariskan kedengkian.”
7. Membawa perkataan orang yang menyelisihi kepada zahirnya dan tidak turut campur pada apa yang ada dalam niat dan batinnya.
Sungguh Rasulullah telah mengajarkan kita hal ini ketika Usamah bin Zaid membunuh seorang musyrik setelah ia mengucapkan laa ilaaha illallah. Ketika Rasullah mengetahui hal itu dan mengingkarinya, Usamah berkata, “Sesungguhnya ia mengatakan itu untuk melindungi diri.” Maka Nabi bersabda, “Tidakkah kamu belah saja dadanya.”
—————————————-
“Nadhratun Na’im” (358/3) dengan sedikit gubahan dan ringkasan. Dinukil dari Inshaf Ahli Sunnah wal Jama’ah wa Mu’amalatuhum limukhalifiihim, Muhammad bin Shaleh bin Yusuf al-Aliy (hal. 69-101), cet. Dar al-Andalus al-Khadra` Sumber: http://ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=193990 Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Khaleed Resa Gunarsa, Lc. hafizhahullah

Posting Komentar Blogger

 
Top