0 Comment
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0offfcu6zcSkHRoLFIh7udo3AvYAmilY5VyRMh1CbVloO_grgDxZqyFPtRI4ucSNWQYLezWZEzu8RqVhhFwTfKEOE56wpW_ULMSMLiikGXnBE3Ee-pU8dzln72wLEr_6ztCko7jbFNjA/s1600/m6.jpgPertanyaan.
Apakah orang yang gila atau orang yang tidak pernah shalat jika meninggal boleh dishalatkan ?

Jawaban.
Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar menyhalati setiap muslim yang wafat, tanpa pandang bulu. Selama statusnya masih muslim, maka kaum muslim memiliki kewajiban untuk menyhalatkannya. Berdasarkan ini, maka orang gila, meskipun dia tidak terkena beban kewajiban, kalau sebelum gilanya, dia adalah seorang muslim, maka kaum muslimin berkewajiban mengurusi jenazahnya sebagaimana muslim lainnya, dimandikan, dikafani dan dishalatkan.

Sedangkan mengenai hukum menyhalati orang yang meninggalkan shalat sampai meninggal dunia, maka ini sangat terkait dengan status si mayit, apakah dia sudah dinyatakan kafir atau tidak ?

Pendapat yang kuat diantara pendapat-pendapatt para ulama tentang hukum orang yang meninggalkan shalat yaitu dia telah kafir, keluar dari Islam. Dengan demikian, kita tidak wajib menyhalatinya.

Dari 'Abdullâh bin Buraidah dari bapak-Nya, ia berkata :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَهْدَ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ikatan antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya, maka dia telah kafir. [an-Nasâi, at-Tirmidzi, dan Ibnu Mâjah]

Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu , ia berkata aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ

Sesungguhnya (pembeda) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat [HR Muslim, Sunnah al-Baihaqi]

‘Abdullâh bin Syaqîq al ‘Aqaili berkata: “Para Sahabat tidak memandang suatu amalan yang apabila ditinggalkan menjadikan kafir, kecuali shalat” [at-Tirmidzi :3622]

Demikian juga diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata : “Ini adalah pendapat Jumhur Sahabat.” Ini juga pendapat Imam Ahmad, Ishâq, an-Nakha’i, asy-Sya`bi, al-Hasan al-Bashry, al-Auzâ’i, Ibnu Mubârak, Ibnu Hazm, al-Mâwarzi, Ibnu Qudâmah, Ibnu Rajab, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim dan para ‘Ulama kontemporer seperti : Imam asy-Syinqithi, Syaikh `Abdurrahmân as-Sa`dy, Syaikh Ibnu Bâz, Syaikh Muhammad bin al ‘Utsaimîn, Syaikh Muqbil bin Hâdi dan yang lainnya.

Namun, jika kita menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ia tidak kafir selama masih mengimani kewajiban shalat, meskipun masuk kepada dosa sangat besar, maka tetap dishalatkan dan hendaknya ada di antara kaum Muslimin yang menyalatkannya. Karena shalat jenazah hukumnya adalah fardu kifayah. Sedangkan, orang-orang yang memiliki kedudukan seperti ‘Ulama atau pemuka masyarakat, maka tidak mengapa kalau seandainya dia tidak menyhalatkan, dengan tujuan sebagai tahdzir (peringatan) dan pembelajaran bagi yang masih hidup. Diharapkan mereka yang masih hidup tidak lagi meninggalkan shalat. Karena siapapun tidak mau dihinakan dan tidak dihormati.

Perhatikanlah dua hadits di bawah ini:

Hadits pertama.

وَعَنْ بُرَيْدَةَ - رضي الله عنه - -فِي قِصَّةِ الْغَامِدِيَّةِ الَّتِي أَمَرَ اَلنَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عّلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِرَجْمِهَا فِي اَلزِّنَا- قَالَ: - ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصُلِّيَ عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ - رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Buraidah Radhiyallahu anhu - tentang kisah wanita Ghamidiyyah (yang mengaku berzina), lalu Nabi n memerintah agar wanita itu dirajam, kemudian Nabi memerintahkan agar dishalati (dan beliau n juga menyhalatinya) menyalatkannya dan dikubur” [HR Muslim]

Hadits kedua.

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ

Dari Jâbir bin Samurah, dia mengatakan : “Jenazah seseorang yang mati bunuh diri dengan ujung tombak dibawa kehadapan Nabi, namun Nabi tidak menyalatkannya. [HR Muslim]

Hadits yang pertama menunjukan bahwa pelaku dosa besar tetap dishalatkan. Hadist ini, sekaligus sebagai bantahan kepada orang khawarij bahwa pelaku dosa besar itu tidak kafir.

Hadits kedua menunjukkan, orang yang memiliki kedudukan boleh untuk tidak menyhalati pelaku dosa besar, sebagai peringatan dan pembelajaran bagi yang masih hidup.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430/2009M]

Posting Komentar Blogger

 
Top