Setiap orang pasti telah mengetahui perkataan ini.
اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَلَوْ في الصِّينِ
اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَلَوْ في الصِّينِ
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.”
Inilah yang dianggap oleh sebagian orang sebagai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun perlu diingat bahwa setiap buah yang akan dipanen tidak semua
bisa dimakan, ada yang sudah matang dan keadaannya baik, namun ada pula
buah yang dalam keadaan busuk.
Begitu pula halnya dengan hadits. Tidak semua perkataan yang disebut hadits bisa kita katakan bahwa itu adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Boleh jadi yang meriwayatkan hadits tersebut ada yang lemah hafalannya,
sering keliru, bahkan mungkin sering berdusta sehingga membuat hadits
tersebut tertolak atau tidak bisa digunakan.
Itulah yang akan kita kaji pada
kesempatan kali ini yaitu meneliti keabsahan hadits di atas sebagaimana
penjelasan para ulama pakar hadits. Penjelasan yang akan kami nukil pada
posting kali ini adalah penjelasan dari ulama besar Saudi Arabia dan
termasuk pakar hadits, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah. Beliau rahimahullah pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Semoga Allah memberi kemudahan dalam hal ini.
Penjelasan Derajat Hadits
Mayoritas ulama pakar hadits menilai bahwa hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) dilihat dari banyak jalan.
Syaikh Isma’il bin Muhammad Al ‘Ajlawaniy rahimahullah
telah membahas panjang lebar mengenai derajat hadits ini dalam kitabnya
‘Mengungkap kesamaran dan menghilangkan kerancuan terhadap
hadits-hadits yang sudah terkenal dan dikatakan sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam‘
pada index huruf hamzah dan tho’. Dalam kitab beliau tersebut, beliau
mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Al Khotib Al
Baghdadi, Ibnu ‘Abdil Barr, Ad Dailamiy dan selainnya, dari Anas
radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau menegaskan lemahnya (dho’ifnya) riwayat
ini. Dinukil pula dari Ibnu Hibban –pemilik kitab Shohih-, beliau
menyebutkan tentang batilnya hadits ini. Sebagaimana pula hal ini
dinukil dari Ibnul Jauziy, beliau memasukkan hadits ini dalam Mawdhu’at (kumpulan hadits palsu).
Dinukil dari Al Mizziy bahwa hadits ini memiliki banyak jalan, sehingga bisa naik ke derajat hasan.
Adz Dzahabiy mengumpulkan riwayat hadits
ini dari banyak jalan. Beliau mengatakan bahwa sebagian riwayat hadits
ini ada yang lemah (wahiyah) dan sebagian lagi dinilai baik (sholih).
Dengan demikian semakin jelaslah bagi
para penuntut ilmu mengenai status hadits ini. Mayoritas ulama menilai
hadits ini sebagai hadits dho’if (lemah). Ibnu Hibban menilai hadits ini
adalah hadits yang bathil. Sedangkan Ibnul Jauziy menilai bahwa hadits
ini adalah hadits maudhu’ (palsu).
Adapun perkataan Al Mizziy yang
mengatakan bahwa hadits ini bisa diangkat hingga derajat hasan karena
dilihat dari banyak jalan, pendapat ini tidaklah bagus (kurang tepat).
Alasannya, karena banyak jalur dari hadits ini dipenuhi oleh orang-orang
pendusta, yang dituduh dusta, suka memalsukan hadits dan semacamnya.
Sehingga hadits ini tidak mungkin bisa terangkat sampai derajat hasan.
Adapun Al Hafizh Adz Dzahabiy rahimahullah
mengatakan bahwa sebagian jalan dari hadits ini ada yang sholih
(dinilai baik). Maka kita terlebih dahulu melacak jalur yang dikatakan
sholih ini sampai jelas status dari periwayat-periwayat dalam hadits
ini. Namun dalam kasus semacam ini, penilaian negatif terhadap hadits
ini (jarh) lebih didahulukan daripada penilaian positif (ta’dil) dan
penilaian dho’if terhadap hadits lebih harus didahulukan daripada
penilaian shohih sampai ada kejelasan shohihnya hadits ini dari sisi
sanadnya. Dan syarat hadits dikatakan shohih adalah semua periwayat
dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat
hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih
kuat, dan tidak ada illah (cacat). Inilah syarat-syarat yang dijelaskan
oleh para ulama dalam kitab-kitab Mustholah Hadits (memahami ilmu hadits).
Seandainya Hadits Ini Shohih
Seandainya hadits ini shohih, maka ini tidak menunjukkan kemuliaan negeri China dan juga tidak menunjukkan kemuliaan masyarakat China.
Karena maksud dari ‘Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China’
–seandainya hadits ini shohih- adalah cuma sekedar motivasi untuk
menuntut ilmu agama walaupun sangat jauh tempatnya. Karena menuntut ilmu
agama sangat urgen sekali. Kebaikan di dunia dan akhirat bisa diperoleh
dengan mengilmui agama ini dan mengamalkannya.
Dan tidak dimaksudkan sama sekali dalam
hadits ini mengenai keutamaan negeri China. Namun, karena negeri China
adalah negeri yang sangat jauh sekali dari negeri Arab sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan dengan negeri tersebut. Tetapi perlu diingat sekali lagi, ini jika
hadits tadi adalah hadits yang shohih. Penjelasan ini kami rasa sudah
sangat jelas dan gamblang bagi yang betul-betul merenungkannya.
Wallahu waliyyut taufiq.
Sumber: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 22/233-234, Asy Syamilah
Keterangan:
- Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).
- Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).
- Hadits dho’if (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih seperti sanadnya terputus, menyelisihi riwayat yang lebih kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).
Posting Komentar Blogger Facebook