0 Comment
Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd


Al-iraadah ar-rabbaaniyyah (kehendak Allah Azza wa Jalla) terbagi menjadi dua macam:

1. Iraadah Kauniyyah Qadariyyah (Sunnatullah).
Iraadah ini semakna dengan masyii-ah (kehendak Allah), dan mengenai iraadah ini, tidak ada sesuatu pun yang keluar dari ruang lingkupnya. Orang kafir dan muslim sama berada dalam iraadah kauniyyah ini. Sebab, ketaatan dan kemaksiatan semuanya adalah dengan masyii-ah dan iraadah Allah.
Di antara contohnya ialah firman Allah Azza wa Jalla:

وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ

"…Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya … ." [Ar-Ra'd/13 : 11]

Dan firman-Nya:

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ

"Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepa-danya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (me-meluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit…. ." [Al-An’aam/6 : 125]

2. Iraadah Syar’iyyah Diiniyyah (Syari’at).
Iraadah ini mencakup kecintaan Allah dan ridha-Nya.
Di antara contohnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghen-daki kesukaran bagimu… ." [Al-Baqarah/2 : 185]

Juga firman-Nya yang lain:

وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ

"Dan Allah hendak menerima taubatmu … ." [An-Nisaa'/4 : 27]

Juga firman-Nya:

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ

"…Allah tidak bermaksud menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu… ." [Al-Maa-idah: 6][1]

Perbedaan Antara Kedua Iraadah[2]
Antara iraadah kauniyyah dan iraadah syar’iyyah terdapat beberapa perbedaan yang membedakan masing-masing dari keduanya. Di antara perbedaan-perbedaan tersebut ialah sebagai berikut:

1. Iraadah kauniyyah adakalanya disukai Allah dan diridhai-Nya, dan adakalanya tidak disukai dan tidak diridhai-Nya. Adapun iraadah syar’iyyah adalah dicintai Allah dan diridhai-Nya, karena iraadah kauniyyah itu semakna dengan masyii-ah (kehendak), sedang-kan iraadah syar’iyyah itu semakna dengan mahabbah (cinta).

2. Iraadah kauniyyah adakalanya dimaksudkan untuk yang lain, misalnya penciptaan iblis dan seluruh keburukan, agar dengan sebab itu diperoleh berbagai perkara yang dicintai, seperti taubat, mujahadah, dan istighfar.
Adapun iraadah syar’iyyah ditujukan untuk dzatnya itu sendiri, sebab Allah menghendaki ketaatan dan mencintainya, mensyari’at-kan, dan juga meridhai dzatnya itu sendiri.

3. Iraadah kauniyyah pasti terjadinya, karena jika Allah telah menghendaki sesuatu, maka pasti terjadi, seperti menghidupkan seseorang atau mematikannya, atau selain itu.

Adapun iraadah syar’iyyah, seperti Islam misalnya, maka tidak harus terjadi, tapi bisa terjadi dan bisa tidak terjadi. Seandainya pasti terjadinya, niscaya manusia seluruhnya telah menjadi muslim.

4. Iraadah kauniyyah adalah berkenaan dengan rububiyyah Allah dan penciptaan-Nya, sedangkan iraadah syar’iyyah berkenaan dengan uluhiyyah Allah dan syari’at-Nya.

5. Dua iraadah ini berhimpun dalam diri orang yang taat. Orang yang telah melaksanakan shalat, misalnya, maka ia telah mengumpulkan di antara keduanya. Sebab, shalat itu dicintai Allah, Dia memerintahkannya, meridhai, dan mencintainya. Hal tersebut merupakan sisi dari iraadah syar’iyyah. Dan karena perbuatan ter-sebut telah terjadi, maka ini menunjukkan bahwa Allah menghen-daki adanya, sehingga menjadi iraadah kauniyyah dari sisi ini. Oleh sebab itu, maka dua iraadah tersebut berhimpun pada diri orang yang taat.

Sedangkan iraadah kauniyyah, ia menyendiri, misalnya dalam kekafiran orang yang kafir dan kemaksiatan orang yang bermaksiat. Karena hal itu telah terjadi, maka hal ini menunjukkan bahwa Allah menghendaki-Nya, karena sesuatu tidak terjadi kecuali dengan masyii-ah (kehendak)-Nya. Dan karena hal (yang terjadi) itu tidak dicintai dan tidak diridhai Allah, maka menunjukkan bahwa ini adalah iraadah kauniyyah bukan iraadah syar’iyyah.

Sementara iraadah syar’iyyah pun menyendiri, misalnya dalam keimanan orang kafir dan ketaatan orang yang bermaksiat. Karena hal ini dicintai Allah, maka ini adalah iraadah syar’iyyah. Tapi karena belum terjadi -padahal Allah memerintahkannya dan men-cintainya- maka menunjukkan, bahwa ini iraadah syar’iyyah semata, sebab ini adalah sesuatu yang dikehendaki lagi disukai yang belum terjadi.

6. Iraadah kauniyyah lebih umum dari segi keterkaitannya dengan sesuatu yang tidak sukai Allah dan tidak diridhai-Nya, seperti ke-kafiran dan kemaksiatan, dan lebih khusus dari segi bahwa ia tidak bertalian dengan -misalnya- keimanan orang kafir dan ketaatan orang yang fasik.

Sedangkan iraadah syar’iyyah, maka ia lebih umum dari segi keterkaitannya dengan segala yang diperintahkan, baik yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi, tapi lebih khusus dari segi bah-wa apa yang terjadi dengan iraadah syar’iyyah adakalanya tidak diperintahkan.

Inilah beberapa perbedaan di antara kedua iraadah tersebut. Barangsiapa yang mengetahui perbedaan di antara keduanya, maka ia selamat dari berbagai syubhat yang telah menggelincirkan banyak telapak kaki dan menyesatkan pemahaman. Barangsiapa yang me-mandang amalan-amalan yang muncul dari para hamba dengan dua pandangan ini, maka ia telah melihat (dengan benar), dan barang-siapa yang melihat syari’at tanpa qadar atau sebaliknya, maka ia adalah orang yang buta.[3]

Contoh-Contoh Mengenai Perkara-Perkara Syar’iyyah dan Kauniyyah
Sebagaimana (pembagian) iraadah, ada yang kauniyyah qadariyyah dan ada juga yang syar’iyyah diiniyyah, demikian pula kitaabah (penulisan, ketetapan), perintah, izin, menjadikan, firman, pengu-tusan, pengharaman, pemberian, kebencian, dan sejenisnya. Semua perkara ini, di antaranya ada yang syar`i dan ada yang kauni.

a. Di antara contoh kitaabah yang bersifat kauniyyah ialah (seperti) firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

كَتَبَ اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي

"Allah telah menetapkan, ‘Aku dan Rasul-Rasul-Ku pasti menang… ." [Al-Mujaadilah/58 : 21]

Sedangkan di antara contoh kitaabah yang bersifat syar’iyyah ialah (seperti dalam) firman-Nya:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

"…Diwajibkan atas kamu berpuasa… ." [Al-Baqarah/2: 183]

b. “Perintah” yang bersifat kauni ialah (seperti dalam) firman-Nya:

وَمَا أَمْرُنَا إِلَّا وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ بِالْبَصَرِ

"Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata." [Al-Qamar/54 : 50]

Sedangkan yang bersifat syar’i ialah (seperti dalam) firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan… ." [An-Nahl/16 : 90]

c. “Izin” yang bersifat kauni ialah (seperti dalam) firman-Nya:

وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

"…Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah… ." [Al-Baqarah/2 : 102]

Sedangkan yang bersifat syar’i ialah (seperti dalam) firman-Nya:

آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ

"…Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" [Yunus/10 : 59]

Juga (seperi dalam) firman-Nya:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah … ." [Asy-Syuura/42 : 21]

d. “Menjadikan” yang bersifat kauni ialah (seperti dalam) fir-man-Nya:

كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

"…Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. [Al-An’aam/6 : 125]

Sedangkan yang syar’i ialah (seperti dalam) firman-Nya:

مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ

"Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahiirah, saaibah… ." [Al-Maa-idah/5 : 103]

Adapun dalam firman-Nya:

جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ

"Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu… ." [Al-Maa-idah/5 : 97]

Maka pada ayat ini tercakup dua iraadah. Sebab, Allah menjadikannya dengan qadar dan juga dengan syari’at-Nya.

e. Demikian pula “kalimat (firman),” di antaranya ada yang kauni, (seperti) firman-Nya,

كَذَٰلِكَ حَقَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ عَلَى الَّذِينَ فَسَقُوا أَنَّهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

"Demikianlah telah tetap hukuman Rabb-mu terhadap orang-orang yang fasik, karena sesungguhnya mereka tidak beriman." [Yunus/10 : 33]

Sedangkan yang syar’i, adalah (seperti dalam) firman-Nya:

حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ

"…Ia sempat mendengar firman Allah… ." [At-Taubah/9 : 6]

Kedua jenis ini berhimpun dalam firman-Nya:

وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا

"…Dan dia membenarkan kalimat Rabb-nya… ." [At-Tahrim/66 : 12]

f. Demikian pula “pengutusan (ba’ts),” ada yang kauni, (seperti dalam) firman-Nya:

بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَنَا

"…Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami… ." [Al-Israa'/17 : 5]

Ada pula yang syar’i, (seperti dalam) firman-Nya:

فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ

"…Maka Allah mengutus para Nabi… ." [Al-Baqarah/2 : 213]

Dan firman-Nya:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ

"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf… ." [Al-Jumu’ah/62 : 2]

g. Demikian pula pengutusan (irsal) ada yang kauni, (seperti) firman-Nya:

وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ

Dan Dialah yang meniupkan angin… ." [Al-A’raaf/7 : 57]

Dan ada juga yang syar’i, (seperti dalam) firman-Nya:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ

"Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk… ." [Ash-Shaaf/61 : 9]

h. “Pengharaman” yang bersifat kauni, (seperti dalam) firman-Nya:

وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ

"Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya)… ." [Al-Qashash/28 : 12]

Sedangkan yang syar’i (seperti firman-Nya):

وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا

"Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam keadaan ihram… ." [Al-Maa-idah/5 : 96]

i. “Pemberian” yang bersifat kauni adalah (seperti dalam) firman-Nya:

وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ

"…Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehen-daki-Nya… ." [Al-Baqarah/2 : 247]

Sedangkan yang bersifat diini (syar’i) adalah (seperti dalam) fir-man-Nya:

خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ

"…Peganglah dengan teguh apa yang Kami berikan kepadamu … ." [Al-Baqarah/2 : 93]
Dan juga (seperti dalam) firman-Nya,

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ

"Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya… ." [Al-Baqarah/2 : 269]

Ayat di atas mencakup dua jenis iraadah, karena Dia memberi-kan keduanya: perintah dan agama serta taufik dan ilham.

j. Demikian pula “kebencian,” ada yang kauni, (seperti dalam) firman-Nya:

وَلَٰكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ

"…Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka… ." [At-Taubah/9 : 46]

Dan ada juga yang syar’i, seperti dalam firman-Nya:

كُلُّ ذَٰلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا

"Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Rabb-mu." [Al-Israa'/17 : 38]

Perbedaan-perbedaan di antara perkara-perkara ini -dari satu sisi bahwa di antaranya ada yang syar’i diini dan ada yang kauni qadari- adalah seperti perbedaan-perbedaan antara dua iradah, yaitu ada yang kauniyyah qadariyyah dan ada yang syar’iyyah diiniyyah.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lihat, Minhaajus Sunnah an-Nabawiyyah, (III/156-157), al-Istiqaamah, (I/433), dan lihat, komentar Syaikh Ibnu Baz terhadap al-Waasithiyyah, hal. 41.
[2]. Lihat, Minhaajus Sunnah an-Nabawiyyah, (III/180-183, V/460, 414, dan VII/ 72-73). Lihat pula, Syifaa-ul ‘Aliil, hal. 557, Madaarijus Saalikiin, (I/264-268), Tanbiih Dzawil Albaab as-Saliimah ‘anil Wuquu’ fil Alfaazhil Mubtadi’ah al-Wakhiimah, Syaikh Ibnu Sahman, hal. 61-62, komentar Ibnu Baz terhadap al-Waasithiyyah, hal. 41, Syarhul Waasithiyyah, al-Harras, hal. 100, Syarh al-Waasithiyyah, Shalih al-Fauzan, hal. 42-43, al-Qadhaa' wal Qadar, al-Asy-qar, hal. 1062, dan at-Ta’liqaat ‘alaa Lum’atil I’tiqaad, Syaikh ‘Abdullah bin Jibrin, hal. 60-61.
[3]. Lihat, al-Istiqaamah, Ibnu Taimiyyah, (II/78).

Posting Komentar Blogger

 
Top