Setelah kita melihat tiga keanehan sebelumnya, saat ini kita akan
melanjutkan dua point lainnya. Juga akan disertakan beberapa kerancuan
dan sanggahannya.
Allahumma yassir wa a'in.
4- Mengaku bermadzhab Syafi’i, namun anehnya tidak pernah menunjukkan secara tegas kalau Imam Syafi’i memperingati maulid Nabi -
shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Yang ada adalah Imam Syafi’i memerintahkan kita untuk mentaati dan mengikuti ajaran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam walau hal itu tidak disebutkan dalam Al Qur’an Al Karim. Dalam kitab
Ar Risalah, Imam Asy Syafi’i berkata,
وما سن رسول الله فيما ليس لله فيه حكم فبحكم الله سنة
“Apa yang disunnahkan oleh Rasulullah -
shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang tidak ada hukumnya dalam Al Qur’an, maka ajaran beliau pun berdasarkan hukum Allah sudah menjadi ajaran bagi kita” (
Ar Risalah, hal. 151).
Jika Imam Syafi’i saja memerintahkan untuk mengikuti Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jelas ia tidak mungkin berbuat suatu amalan yang tidak ada tuntunannya, yang tidak pernah diajarkan oleh Rasul -
shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya. Imam Syafi’i itu dipuji karena kecerdasannya. Sebagaimana perkataan berikut,
قال أبو عبيد: ما رأيت أحدا أعقل من الشافعي، وكذا قال يونس بن عبدالاعلى، حتى إنه قال: لو جمعت أمة لوسعهم عقله
“Abu ‘Ubaid berkata: Aku tidaklah pernah melihat seorang pun yang
lebih cerdas dari Imam Syafi’i. Begitu pula disebutkan oleh Yunus bin
‘Abdul A’la, sampai-sampai ia berkata, “Jika umat itu dikumpulkan, maka
tentu masih hebat kecerdasan Imam Syafi’i” (
Siyar A’lamin Nubala karya Imam Adz Dzahabi, 10: 15).
Adapun perkataan Imam Syafi’i yang dinukil sebagai berikut,
من جمع لمولد النبى صلى الله عليه وسلم اخوانا وتهياء لهم طعاما وعملا حسانا بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين
“Barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi karena kecintaan pada Rasulullah -
shallallahu ‘alaihi wa sallam-
secara berjama’ah dengan menyediakan makanan dan berlaku baik, niscaya
Allah bangkitkan di hari kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada dan
para shalihin.”
Yang menukil perkataan di atas tidak menyebutkan sumber rujukannya atau merujuk ke kitab induk Imam Syafi’i.
[1] Karena yang kami temukan adalah perkataan tersebut dinisbatkan pada Al Imam Al Yafi Al Yumna sebagaimana dinukil dari kitab
Roudhotuth Tholibin,
وقال
الامام اليافعي اليمنى: من جمع لمولد النبي (ص) إخوانا وهيأ طعاما وأخلى
مكانا وعمل إحسانا وصار سببا لقراءة مولد الرسول بعثه الله يوم القيامة مع
الصديقين والشهداء والصالحين ويكون في جنات النعيم.
“Al Imam Al Yafi Al Yumna berkata: Barangsiapa berkumpul untuk acara Maulid Nabi karena kecintaan pada Rasulullah -
shallallahu ‘alaihi wa sallam-
dengan berjama’ah dan menyediakan makanan dan tempat, juga berlaku
baik, niscaya karena sebab ini, Allah akan bangkitkan di hari kiamat
bersama para shiddiqin, syuhada dan para shalihin, dan akan berada di
surga yang penuh kenikmatan.” (
Roudhotuth Tholibin, 3: 415).
Kalau mau menukil perkataan Imam Syafi’i secara langsung, buktikanlah
perkataan beliau dari kitab beliau, bukan dari kitab turunan hasil karya
ulama lainnya. Kami sangat menanti jawaban jika ada yang bisa menukil
tentang anjuran perayaan Maulid dari kitab Imam Syafi’i
Al Umm atau dari kitab
Ar Risalah.
Taruhlah kalau Imam Syafi’i mengadakan maulid Nabi, apa itu langsung
jadi dalil? Dari mana ini dikatakan jadi dalil? Karena perkataan Imam
jika menyelisihi ajaran Rasul -
shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
mana yang mesti didahulukan? Sedangkan para sahabat saja tidak pernah
mengekspresikan cinta mereka dengan maulid Nabi, padahal mereka adalah
orang yang dekat dengan Nabi. Lantas bagaimana lagi dengan orang di
bawah sahabat?
Imam Syafi’i sendiri berkata,
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ
“Kalau ada hadits shahih, maka itulah madzhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.” (
Siyar A’lamin Nubala, 10: 35)
Imam Syafi’i menerangkan dalam kitab
Ar Risalah dengan membawakan ayat berikut terlebih dahulu,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59). Kata Imam Syafi’i, maksud
ulil amri dalam ayat tersebut adalah para ulama yang sejalan dengan ajaran Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu setelah itu beliau berkata,
فأموا
أن يطيعوا أولى الأمر الذين أمرهم رسول الله , لا طاعة مطلقا بل طاعة
مستثناة,فيما لهم وعليهم فقال: فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ يعني إن اختلفتم في شيء
“Orang beriman diperintahkan untuk mentaati ulil amri (para ulama) namun ketaatan tersebut ketika sejalan dengan ajaran Rasul -
shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ketataan pada para ulama bukanlah ketaatan secara mutlak, namun ketaatan jika sejalan dengan perintah Nabi -
shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Jadi yang diikuti adalah kebaikan mereka, bukan yang keliru. Karena Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “
Jika kalian berselisih dalam suatu pendapat, maka kembalikanlah kepada Allah …” Maksud ayat ini adalah ketika kalian berselisih dalam (segala) sesuatu. (
Ar Risalah, hal. 145-146).
Pernyataan Imam Syafi’i di atas berarti bahwa perkataan seorang
ulama, kyai, ustadz, atau seorang imam bisa diikuti jika sejalan dengan
ajaran Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika menyelisihi, maka jelas tidak boleh diikuti.
Taruhlah jika benar perkataan Imam Syafi’i, itu keliru karena
menyelisihi dalil. Kekeliruan seorang ulama tidaklah boleh diikuti.
Sulaiman At Taimi mengatakan,
لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ اِجْتَمَعَ فِيْكَ الشَّرُّ كُلُّهُ
“Seandainya engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka pasti
akan terkumpul padamu kejelekan.” Setelah mengemukakan perkataan ini,
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, ”Ini adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama,
saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini.” (Lihat
Kasyful Jaani, Muhammad At Tiijani, hal. 96, Asy Syamilah)
Kami pun masih belum percaya kalau Imam Syafi’i benar-benar
menganjurkan perayaan maulid karena beliau adalah orang yang benar-benar
mengikuti sunnah Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Syafi’i sendiri berkata,
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ
“Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.” (
Tarikh Dimasyq, 51: 389)
5- Maulid
dilakukan dengan membaca shalawat dan shiroh Rasul. Anehnya, kenapa cuma
mau setahun dilakukan? Bahkan setiap daerah punya tata cara sendiri
untuk merayakan maulid Nabi. Ada yang sampai membuat festival selama
sebulan dan saling berkunjung satu dan lainnya. Ada pula dengan
memperbanyak sedekah. Padahal tidak ada dalil yang mengkhususkan ibadah
semacam ini pada bulan Rabi’ul Awwal.
Sebagian berdalil untuk mendukung maulid dengan ayat,
إِنَّ
اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk
Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al Ahzab: 56). Kalau
dilihat secara tekstual, tidak ada nyambungnya antara perintah merayakan
maulid dan ayat ini. Bukti tidak nyambungnya, kita bandingkan dengan
perkataan pakar tafsir tentang ayat tersebut.
Ibnu Katsir
rahimahullah berkata, “Maksud ayat adalah: Allah
Ta’ala mengabarkan kepada para hamba-Nya tentang kedudukan mulia hamba dan Nabi-Nya (yaitu Muhammad -
shallallahu ‘alaihi wa sallam-)
di kedudukan tinggi nan mulia. Allah memuji Nabi-Nya di hadapan para
malaikat yang didekatkan. Para malaikat pun bershalawat padanya.
Kemudian Allah perintahkan pada makhluk di muka bumi untuk bershalawat
dan mengucapkan salam pada beliau supaya menunjukkan berbagai pujian
untuk beliau baik dari makhluk di langit (di atas), maupun di muka bumi
(di bawah).” (
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 11: 210)
Namun mereka membuat alasan bahwa karena dalam acara maulid terdapat ritual shalawatan.
Sanggahannya, emangnya shalawat cuma bisa diterapkan pada maulid
Nabi? Mana dalilnya? Kita diperintahkan shalawat itu setiap saat. Jika
dikhususkan pada waktu tertentu, tanpa ada dalil, itu jelas mengada-ada.
Ini beberapa dalil yang menunjukkan bahwa kita diperintahkan bershalawat setiap saat, bukan hanya saat mauludan.
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ صَلَّى
عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلَّمَ وَقَالَ « رَبِّ اغْفِرْ لِى ذُنُوبِى وَافْتَحْ
لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ »
“
Biasanya, ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam masuk
ke dalam masjid beliau bershalawat kemudian mengucapkan: rabbighfirli
dzunubi waftahli abwaaba rahmatik (Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan
bukalah untukku pintu-pintu Rahmat-Mu)” (HR. Tirmidzi, 314. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih). Begitu pula sama halnya dengan keluar masjid, ada dalil tentang hal tersebut.
Ketika tasyahud, kita pun diperintahkan untuk bershalawat sebagaimana disebutkan dalam hadits,
سَمِعَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً يَدْعُو فِى صَلاَتِهِ لَمْ
يُمَجِّدِ اللَّهَ تَعَالَى وَلَمْ يُصَلِّ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله
عليه وسلم- فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « عَجِلَ هَذَا
». ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ « إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ
فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ رَبِّهِ جَلَّ وَعَزَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ
ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ يَدْعُو
بَعْدُ بِمَا شَاءَ ».
“
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendengar seorang
lelaki yang berdoa dalam shalatnya tanpa mengagungkan Allah dan tanpa
bershalawat. Beliau pun berkata, ‘Orang ini terlalu tergesa-gesa’.
Rasulullah lalu memanggil lelaki tersebut lalu menasehatinya, ‘Jika
salah seorang diantara kalian berdoa mulailah dengan mengagungkanlah
Allah, lalu memuji Allah, kemudian bershalawatlah, barulah setelah itu
berdoa apa yang ia inginkan‘” (HR. Abu Daud no. 1481. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
Ketika disebut nama Rasul
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- saja kita diperintahkan bershalawat,
اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“
Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR. Tirmidzi no. 3546, ia berkata hadits tersebut
hasan shahih gharib).
Demikian halnya sehabis mendengar adzan,
إِذَا
سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا
عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
بِهَا عَشْرًا
“
Jika kalian mendengarkan muadzin mengumandangkan adzan,
ucapkanlah apa yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah kepadaku. Karena
setiap seseorang bershalawat kepadaku, Allah akan bershalawat kepadanya
10 kali” (HR. Muslim, no. 384)
Ketika dzikir pagi, kita juga diperintahkan bershalawat 10 kali,
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ حِيْنَ يُصْبِحُ عَشْرًا وَحِيْنَ يُمْسِي عَشْرًا أَدْركَتْهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ
“
Barangsiapa bershalawat untukku sepuluh kali di pagi dan petang hari, maka ia akan mendapatkan syafa’atku di hari kiamat nanti.”
(HR. Thobroni melalui dua isnad, keduanya jayyid. Lihat Majma’ Az
Zawaid 10: 120 dan Shahih At Targhib wa At Tarhib 1: 273, no. 656).
Bukan hanya dzikir pagi, dzikir petang pun demikian sebagaimana tertera
dalam hadits ini.
Bahkan setiap ingin memanjatkan do’a kita pun memanjatkan shalawat
terlebih dahulu. Dalilnya adalah dalil shalawat saat tasyahud karena di
awalnya diawali dengan memuji Allah terlebih dahulu.
Di hari Jum’at pun demikian, seorang muslim diperintahkan memperbanyak shalawat. Dari Abu Umamah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثِرُوا
عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ فَإِنَّ صَلاَةَ
أُمَّتِى تُعْرَضُ عَلَىَّ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ ، فَمَنْ كَانَ
أَكْثَرَهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً كَانَ أَقْرَبَهُمْ مِنِّى مَنْزِلَةً
“
Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena
shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at.
Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat
denganku pada hari kiamat nanti.” (HR. Baihaqi dalam Sunan Al
Kubro. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan ligoirihi
–yaitu hasan dilihat dari jalur lainnya-. Lihat Shahih At Targhib wa At
Tarhib no. 1673).
Jadi kalau mengatakan bahwa orang yang tidak merayakan maulid dituduh
pelit bershalawat, maka itu keliru. Justru yang dilakukan pro-maulid
pada setiap maulid saja, menunjukkan kekeliruannya. Atau mungkin ia
lakukan pada setiap pekan saat acara shalawatan versi dia, ini juga
menunjukkan pelitnya. Karena setiap muslim dalam sehari saja bisa
bershalawat lebih dari sepuluh kali.
Yang para ulama contohkan, mereka itu mengkaji hadits-hadits Nabi
-shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
di dalamnya berisi shiroh beliau. Setiap hari mereka rajin mengkaji
hadits dari kitab shahihain (Bukhari-Muslim), kitab sunan yang empat dan
juga kitab musnad. Jadi baca siroh Nabi kita yang mulia bukan hanya
setahun sekali, bukan hanya saat perayaan mauludan di Rabi’ul Awwal.
Kalau ritual untuk merayakannya berbeda-beda, tidak ada standar, maka
bagaimana mungkin suatu ibadah dalam Islam bisa dikata seperti ini?
Padahal dalam shalat dan puasa saja kita sudah diajarkan tata caranya,
begitu pula dalam ibadah tahunan seperti ibadah haji. Seharusnya dalam
moment penting seperti maulid, juga harus ada petunjuk bagaimana
merayakannya. Karena ajaran Islam itu sudah diterangkan dengan terang
benderang. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِى إِلاَّ هَالِكٌ
“
Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang
sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang
darinya setelahku kecuali orang yang binasa” (HR. Ibnu Majah no. 43 dan Ahmad 4: 126. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
Bagaimana mencari petunjuk untuk merayakannya, perayaannya pun tidak
ada dalilnya. Karena Islam hanya mengenal dua hari raya besar yaitu Idul
Fithri dan Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ
لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ
فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ
أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ
الْأَضْحَى
“
Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan
Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan,
‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang
Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu
hari Idul Fithri dan Idul Adha.’” (HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih)
[1]
Ketika kami search di Google mengenai perkataan Imam Syafi’i di atas,
tidak kami peroleh link berbahasa Arab. Yang ada adalah artikel
berbahasa Indonesia. Kalau memang itu bersumber dari kitab Arab, kok di
Google sulit mencarinya? Yang ada kami temukan sumber perkataan tersebut
dari Kitab Madarijus Su’uud hal. 16, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh
An-Nawawiy Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz). Artinya perkataan tersebut
bukan bersumber dari Imam Syafi’i secara langsung.
www.rumasyo.com