0 Comment
1. Meyakini bahwa eksistensi seorang pemimpin adalah wajib menurut syari’at Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا” [النساء : 59]
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda:
“أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ… ” (متفق عليه)
“Ketahuilah! Setiap kalian adalah penjaga dan pengurus, setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dijaga dan diurusnya. Seorang pemimpin manusia adalah penjaga dan pengurus, dia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya…
Syaikh al-Islâm Ibnu Taimiyah berkata:
“Wajib diketahui bahwa kepemimpinan yang mengatur urusan manusia adalah bagian dari kewajiban-kewajiban agama, bahkan tidak mungkin agama tegak tanpa kepemimpinan. Karena manusia tidak akan mampu mewujudkan kepentingan bersama kecuali dengan berkumpul, karena sebagian manusia membutuhkan sebagian yang lain, di mana wajib ada seorang pemimpin dalam perkumpulan mereka itu… dan karena Allah I mewajibkan amr ma’ruf dan nahy munkar, dan itu tidak akan terlaksana tanpa kekuatan dan kepemimpinan. Begitu pula kewajiban-kewajiban lainnya, seperti jihad, keadilan, pelaksanaan haji, jum’at, hari raya, membela orang yang teraniaya dan pelaksanaan hukuman tidak akan terlaksana tanpa kekuatan dan kepemimpinan. Dari itu diriwayatkan sabda Rasulullah r:” السلطان ظل الله في الأرض” [1] Sultan itu adalah bayang-bayang Allah di bumi. Ada pula yang mengatakan bahwa enam puluh tahun bersama pemimpin yang zalim lebih baik dari pada satu malam tanpa pemimpin. Dan pengalaman membuktikan semua itu.
Oleh karena itu para ulama salaf seperti Fudhail bin ‘Iyadh dan Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya berkata: “Seandainya kami punya doa yang dikabulkan, maka pasti kami menjadikan doa itu untuk pemimpin.”
Maka wajib menjadikan kepemimpinan sebagai agama dan sarana untuk mendekatakan diri kepada Allah. Karena mendekatkan diri kepada Allah dengan ketaatan kepada pemimpin dalam ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya merupakan ibadah yang paling utama. Dan sesungguhnya kerusakan yang terjadi pada kebanyakan manusia adalah karena keinginan merebut kekuasaan dan mendapatkan harta darinya. (Majmû’ Fatâwâ, XXVIII/390-391).
2. Meyakini kewajiban taat kepada pemimpin wajib dalam segala kondisi, kecuali dalam kemaksiatan
Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ”  (متفق عليه)
“Patuh dan taat (kepada pemimpin) adalah kewajiban orang Muslim, baik dalam hal-hal yang ia sukai maupun yang tidak ia sukai, selama tidak perintah untuk maksiat. Apabila diperintah untuk maksiat, maka tidak ada kepatuhan dan ketaaatan.”
“مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ” (متفق عليه)
“Barang siapa taat kepadaku berarti ia taat kepada Allah dan siapa membangkang kepadaku berarti membangkang kepada Allah. Barang siapa taat kepada pemimpin berarti ia taat kepadaku, dan siapa membangkang kepada pemimpin, berarti ia membangkang kepadaku. Sesungguhnya pemimpin itu laksana perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Maka apabila dia memerintah untuk takwa kepada Allah dan berlaku adil, ia akan mendapatkan pahala. Dan apabila tidak demikian, maka dia berdosa karenanya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata:
“Di antara hak-hak para pemimpin atas rakyatnya adalah kepatuhan dan ketaatan dengan melaksanakan apa yang mereka perintahkan dan meninggalkan apa yang mereka larang, selama tidak bertentangan dengan syari’at Allah, tapi apabila bertentangan dengan syari’at Allah, maka tidak boleh patuh dan taat, “Tidak boleh taat kepada makhluk dalam maksiat kepada Khaliq (Allah).
Sesungguhnya merupakan bagian dari ketaatan kepada pemimpin yang Allah perintahkan, yaitu seorang mu’min menjalankan peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah bila tidak bertentangan dengan syari’at. Selama ia menjalankan peraturan itu berarti ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya, ia akan mendapat pahala atas perbuatan itu. Dan barangsiapa menentangnya berarti ia membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya dan ia berdosa karenanya.
Adapun hak-hak rakyat atas pemimpin mereka adalah tanggung jawab besar dan urusan yang sangat penting. Sebenarnya bukanlah maksud dari kepemimpinan itu untuk melebarkan kekuasaan dan mendapat kedudukan, tapi untuk mengemban tanggung jawab yang besar yang terpusat pada penegakkan hak di antara manusia dengan meninggikan agama Allah dan menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia baik dalam urusan agama maupun dunia. (Dinukil dari Risalah huqûq al-Râ’î wa al-Ra’iyyah, karya Syaikh Utsaimin, oleh Muhammad Nashir al-‘Uraini dalam Wujûb Thâ’at al-Sulthân, hal. 25).
3. Memberi nasihat kepada pemimpin adalah hak setiap Muslim, yang harus dilakukan sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« الدِّينُ النَّصِيحَةُ » قُلْنَا لِمَنْ قَالَ « لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ ». (متفق عليه)
“Agama itu adalah nasihat”, kami (para sahabat) bertanya: “Untuk siapa?” untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan umat muslim seluruhnya.”
“ثَلَاثُ خِصَالٍ لَا يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ أَبَدًا إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ وُلَاةِ الْأَمْرِ وَلُزُومُ الْجَمَاعَةِ “(رواه أحمد )
“Tiga sifat yang tidak menjadikan iri hati seorang muslim selamanya, ikhlas beramal untuk Allah, menasihat para pemimpin dan setia kepada jama’ah.”
“مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ” (رواه أحمد)
“Barang siapa ingin menasihati sultan dalam suatu urusan, maka janganlah menampakkannya secara terang-terangan, tetapi hendaklah ia mengambil tangannya lalu berdua dengannya. Jika ia menerima nasihatnya, maka itu sebuah kebaikan. Jika tidak, maka telah melaksanakan kewajibannya.”
Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy berkata:
“Adapun nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin, mereka adalah pemimpin tertinggi, pemimpin daerah, hakim, dan semua yang mempunyai kekuasaan baik besar maupun kecil, tugas dan kewajiban mereka lebih besar dari yang lainnya, mereka wajib mendapat nasihat sesuai dengan tingkatan dan kedudukan mereka, yaitu dengan meyakini kepemimpinan mereka, mengakui kekuasaan mereka, taat kepada mereka dengan ma’ruf, tidak memberontak dan mengajak rakyat untuk mentaati mereka dan melaksanakan perintah mereka yang tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, serta mencurahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk menasihati mereka dan menjelaskan apa yang tidak jelas bagi mereka dalam hal-hal yang mereka butuhkan untuk kepemimpinan mereka sesuai dengan kondisi masing-masing, berdoa untuk kebaikan  mereka dan agar mendapat taufik, karena kebaikan mereka adalah kebaikan bagi rakyat.
Tidak boleh mencela dan menghina mereka dan menyebarkan aib mereka, karena pada yang demikian terdapat keburukan dan kerusakan yang besar. Karena salah satu bentuk nasihat untuk mereka adalah berhati-hati dan memperingatkan orang lain dari perbuatan itu. Dan siapa yang melihat dari mereka tindakan yang tidak benar maka ia harus memperingatkan mereka dengan sembunyi-sembunyi, tidak terang-terangan, dengan lemah lembut dan menggunakan ungkapan yang tepat agar tercapai maksud yang dituju. Cara memberi nasihat seperti itu tepat untuk setiap orang, apalagi bagi para pemimpin, pasti mendapatkan banyak kebaikan, juga sebagai pertanda kejujuran dan keikhlasan.
Dan saya memperingatkan kepada orang yang member nasihat dengan cara yang terpuji seperti ini, agar tidak merusak nasihatnya dengan ingin mendapat pujian manusia, seperti dengan mengatakan: “Sungguh aku telah menasihati mereka dan mengatakan kepada mereka begini dan begitu.” Yang demikian itu adalah tanda riya dan lemahnya keikhlasan dan terkandung banyak madarat.” (Al-Riyâdh al-Nâdhirah, hal. 49-50)
4. Tidak memberontak pemimpin bila mereka tidak  menerima nasihat. Kecuali bila tampak padanya kekufuran yang nyata dan umat Islam mempunyai kekuatan serta tidak menimbulkan bencana yang lebih besar.
Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“وَمَنْ لَهُ وَالٍ فَيَرَاهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ الله فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ الله وَلاَ يَنْزَعُ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِ” (رواه ابن حبان)
“Barang siapa mempunyai pemimpin, lalu ia melihatnya melakukan maksiat kepada Allah, maka hendaklah ia membenci kemaksiatannya, akan tetapi jangan melepaskan ketaatan.”
Imam Abu Ja’fat al-Thahawi berkata:
“Kami berpendapat tidak boleh memberontak kepada pemimpin-pemimpin kita walaupun mereka berbuat zalim, juga tidak boleh mendoakan keburukan untuk mereka, tidak melepaskan ketaatan kepada mereka. Dan kita memandang bahwa taat kepada mereka adalah bagian dari taat kepada Allah, selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat. Dan kita selalu berdoa untuk kebaikan dan keselamatan mereka.” (Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, hal. 368)
Imam al-Barbahari berkata:
“Ketahuilah bahwa kezaliman penguasa tidak mengurangi kewajiban yang diwajibkan oleh Allah melalui Nabi-Nya. Dia akan menanggung akibat kezalimannya sedangkan kebaktian dan kebaikan kamu yang dilakukan bersamanya tetap sempurna insyaallah, seperti shalat jama’ah, shalat jum’at, jihad bersama mereka dan segala bentuk ketaatan laksanakanlah bersama mereka. Apabila kamu melihat seseorang mendoakan keburukan untuk mereka, ketahuilah orang tersebut adalah pengikut hawa nafsu, dan apabila kamu melihat seseorang berdoa untuk kebaikan mereka, ketahuilah bahwa dia adalah pengikut sunnah.” (Thabaqât al-Hanâbilah, Abu Ya’la, II/36)
5. Tidak mencela, membenci dan menyebarkan aib pemimpin
Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“لاَ تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ وَلاَ تَغِشُّوهُمْ وَلاَ تُبْغِضُوْهُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَاصْبِرُوا فَإِنَّ الأَمْرَ قَرِيبٌ ” (رواه البيهقي)
“Janganlah kalian mencela pemimpin kalian, jangan pula berbuat curang dan membenci mereka. Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, karena sesungguhnya urusan itu dekat.”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata:
“Sebagian orang memiliki kebiasaan membicarakan para pemimpin di mana saja ia berada, merusak kehormatan mereka, mennyebarkan keburukan dan kesalahan mereka, seraya berpaling dari kebaikan dan kebenaran mereka. Tidak diragukan bahwa perbuatan seperti ini dan merusak kehormatan para pemimpin tidaklah memperbaiki keadaan, tidak memecahkan masalah atau menghilangkan kezaliman. Justru menambah kesulitan di atas kesulitan, menyebabkan kebencian terhadap para pemimpin dan tidak melaksanakan perintah mereka yang seharusnya ditaati. Dan kita tidak ragu bahwa para pemimpin memiliki keburukan dan kesalahan seperti halnya manusia yang lain, karena setiap manusia pasti bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat… (Dinukil dari Risalah huqûq al-Râ’î wa al-Ra’iyyah, karya Syaikh Utsaimin, oleh Muhammad Nashir al-‘Uraini dalam Wujûb Thâ’at al-Sulthân, hal. 23).
Wallaahu A’lam.

Posting Komentar Blogger

 
Top