Ketika disebut kata wali maka yang langsung terbayang dalam benak kita adalah suatu keanehan, ke-nyleneh-an,
dan kedigdayaan. Itulah yang dapat ditangkap dari pemahaman masyarakat
terhadap wali ini. Maka bila ada orang yang bertingkah aneh, apalagi
kalau sudah dikenal sebagai kyai, mempunyai indera keenam sehingga
mengerti semua yang belum terjadi, segera disebut sebagai wali. Lalu
siapakah wali Allah yang sebenarnya?
Definisi Wali
Secara etimologi, kata wali adalah lawan dari ‘aduwwu (musuh) dan muwaalah adalah lawan dari muhaadah
(permusuhan). Maka wali Allah adalah orang yang mendekat dan menolong
(agama) Allah atau orang yang didekati dan ditolong Allah. Definisi ini
semakna dengan pengertian wali dalam terminologi Al Qur’an,
sebagaimana Allah berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah
itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertaqwa.” (Yunus: 62 – 64)
Dari
ayat tersebut, wali adalah orang yang beriman kepada Allah dan apa
yang datang dari-Nya yang termaktub dalam Al Qur’an dan terucap melalui
lisan Rosul-Nya, memegang teguh syariatnya lahir dan batin, lalu terus
menerus memegangi itu semua dengan dibarengi muroqobah
(terawasi oleh Allah), kontinyu dengan sifat ketaqwaan dan waspada agar
tidak jatuh ke dalam hal-hal yang dimurkai-Nya berupa kelalaian
menunaikan wajib dan melakukan hal yang diharomkan (Lihat Muqoddimah Karomatul Auliya’, Al-Lalika’i, Dr. Ahmad bin Sa’d Al-Ghomidi, 5/8).
Ibnu
Katsir rohimahulloh menafsirkan: Allah Ta’ala menginformasikan bahwa
para wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Siapa
saja yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah (Tafsir Ibnu Katsir, 2/384).
Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh juga menjelaskan dalam Syarah Riyadhus Shalihin
no.96, bahwa wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa.
Mereka merealisasikan keimanan di hati mereka terhadap semua yang wajib
diimani, dan mereka merealisasikan amal sholih pada anggota badan
mereka, dengan menjauhi semua hal-hal yang diharamkan seperti
meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang harom. Mereka
mengumpulkan pada diri mereka kebaikan batin dengan keimanan dan
kebaikan lahir dengan ketaqwaan, merekalah wali Allah.
Wali Allah Adalah yang Beriman Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul Al Furqon Baina Auliya’ir Rohman wa Auliya’us Syaithon hlm. 34 mengatakan: “Wali Allah hanyalah orang yang beriman kepada Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam,
beriman dengan apa yang dibawanya, dan mengikuti secara lahir dan
batin. Barangsiapa yang mengaku mencintai Allah dan wali-Nya, namun
tidak mengikuti beliau maka tidak termasuk wali Allah bahkan jika dia
menyelisihinya maka termasuk musuh Allah dan wali setan. Allah Ta’ala
berfirman, “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’.” (Ali Imron: 31)
Hasan Al Bashri berkata: “Suatu kaum mengklaim mencintai Allah, lantas Allah turunkan ayat ini sebagai ujian bagi mereka”.
Allah sungguh telah menjelaskan dalam ayat tersebut, barangsiapa yang mengikuti Rasulullah ShollAllahu ‘alaihi wa sallam maka Allah akan mencintainya. Namun siapa yang mengklaim mencintai-Nya tapi tidak mengikuti beliau ShallAllahu ‘alaihi wa sallam
maka tidak termasuk wali Allah. Walaupun banyak orang menyangka
dirinya atau selainnya sebagai wali Allah, tetapi kenyataannya mereka
bukan wali-Nya.
Dari
uraian di atas, terlihat bahwa cakupan definisi wali ini begitu luas,
mencakup setiap orang yang memiliki keimanan dan ketaqwaan. Maka wali
Allah yang paling utama adalah para nabi. Para nabi yang paling utama
adalah para rasul. Para Rasul yang paling utama adalah ‘ulul azmi. Sedang ‘ulul azmi yang paling utama adalah Nabi kita Muhammad ShallAllahu ‘alaihi wa sallam.
Maka
sangat salah suatu pemahaman yang berkembang di masyarakat kita saat
ini, bahwa wali itu hanya monopoli orang-orang tertentu, semisal ulama,
kyai, apalagi hanya terbatas pada orang yang memiliki ilmu yang
aneh-aneh dan sampai pada orang yang meninggalkan kewajiban syari’at
yang dibebankan padanya. Wallahu a’lam.
(Disarikan dari Majalah Al Furqon Ed.1/Th.III dengan sedikit tambahan)
***
Penulis: Abu Isma’il Muhammad Abduh Tuasikal
Posting Komentar Blogger Facebook