0 Comment

MARILAH kita senantiasa berupaya sekuat tenaga untuk meningkatkan ketakwaan kepada الله سبحانه وتعالى. Takwa dalam makna yang luas, dengan berusaha menjalankan apa yang telah dituntunkan agama dan senantiasa meninggalkan apa yang menjadi larangan-larangan الله. Berupaya selalu meningkatkan kualitas keimanan dengan meningkatkan kualitas ibadah yang ada, serta berupaya pula menjalankan ibadah-ibadah sunnah yang dicontohkan baginda Rasulullah صلی  ﷲ  علیﻪ و سلم .
    Barang siapa yang bertakwa kepada الله, الله akan membuka jalan keluar bagi segala urusannya. Dan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tiada ia sangka.”(Al-Tholaq : 2-3 )
Rasulullah صلی  ﷲ  علیﻪ و سلم  bersabda dalam sebuah hadist Qudsi :
    Barang siapa yang mendekat kepadaKu (kata الله) sejengkal aku akan mendekat kepadanya sehasta, barang siapa yang mendekat kepadaKu sehasta aku akan mendekat kepadanya sedepah. Barang yang datang kepada-KU dengan berjalan aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (HR. Bukhari-Muslim)
Di tengah aktivitas kita sehari-hari yang sibuk dengan urusan keduniaan, di sela-sela itu juga kita isi dengan ibadah rutin berupa صلاة (sholat) lima waktu. Namun kadang ibadah itu hanya menjadi rutinitas wajib yang kita lakukan. Padahal صلاة hendaklah menjadi yang utama, sedangkan rutinitas sehari-hari adalah tambahan belaka. Tujuan صلاة yang kita lakukan adalah agar jiwa kita selalu bersih dan suci dari pengaruh-pengaruh atas rutinitas mengarah kepada hal negatif dan keji. Para Rosul ’alaihimusholatu wassalaam diutus kepada umat-umat manusia dari masa ke masa adalah untuk mengingatkan umat manusia kepada ayat-ayat الله, mengajarkan hidayah-NYA dan mensucikan jiwa dengan ajaran-NYA, di dalam doa Nabi Ibrahim untuk anak cucunya surat Al-baqarah: 129
    Wahai Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rosul dari kalangan mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 129)
    Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)
Penyucian HATI dan jiwa hanya bisa dicapai melalui berbagai macam ibadah tertentu apabila dilaksanakan secara sempurna dan memadai. Pada saat itulah terwujud dalam HATI sejumlah makna yang menjadikan jiwa tersucikan dan memiliki sejumlah dampak dan pengaruh pada seluruh anggota badan seperti lisan, mata, telinga dan lainnya. Diantara pengaruh ibadah tersebut adalah tertanamkan pemahaman tauhid yang benar, sifat ikhlas, sabar, syukur dan jujur kepada الله dan cinta kepada-NYA, serta terhindarkan dari hal yang bertentangan dengan aturan الله سبحانه وتعالى. Dengan demikian jiwa menjadi tersucikan lalu hasil-hasilnya nampak pada terkendalinya anggota badan sesuai dengan perintah الله dalam berhubungan dengan keluarga, tetangga dan masyarakat.




Sarana terbesar dalam penyucian diri adalah صلاة, dan pada waktu yang bersamaan صلاة merupakan bukti dan ukuran dalam penyucian jiwa. صلاة merupakan sarana dalam berubudiyah kepada الله, mewujudkan tauhid yang ikhlas dan syukur kepada الله. صلاة adalah dzikir, gerakan berdiri, ruku', duduk dan sujud. Ia menegakkan ibadah dalam berbagai bentuk utama bagi kondisi fisik. Menegakkan صلاة dapat memusnahkan bibit-bibit kesombongan dan pembangkangan kepada الله سبحانه وتعالى, di samping merupakan pengakuan terhadap hak pengaturan sesungguhnya oleh zat yang maha kuasa. Menegakkan صلاة secara sempurna juga akan dapat memusnakan bibit–bibit ‘ujub, bangga diri dan ghurur bahkan semua bentuk kemungkaran dan sifat-sifat yang keji. الله berfirman:
    Sesungguhnya صلاة mencegah dari perbuatan kejian dan mungkar.” (Al-Ankabut: 45)
صلاة akan berfungsi sedemikian rupa apabila ditegakkan dengan semua rukun, sunnah dan adab zhahir maupun bathin yang harus direalisasikan oleh orang yang صلاة. Diantara adab zhahir ialah menunaikannya secara sempurna dengan anggota badan, dan diantara adab bathin ialah khusyu’ dalam melaksanakanya. Khusyu’ ialah yang menjadikan صلاة memiliki peran (peranan) yang lebih besar dalam merealisasikan nilai-nilai dan sifat-sifat yang mulia.

الله berfirman :
    Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang–orang yang khusyu’ dalam sholatnya “ (Al-Mukminun: 1-2)
Pentingnya kedudukan khusyu’ maka ketidakberadaannya berarti rusaknya HATI. Baik dan rusaknya HATI tergantung kepada ada tidaknya khusyu’ ini. Rasulullah صلی  ﷲ  علیﻪ و سلم  bersabda :
    Sesungguhnya dalam jasad ada suatu gumpalan; bila gumpalan ini baik maka baik pula seluruh jasad, dan apabila rusak maka rusak pula seluru jasad. Ketahuilah bahwa gumpalan itu adalah HATI.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Seorang ulama yang banyak mengorbankan hidupnya untuk berdakwah di jalan الله, Syeikh Said Hawwa suatu ketika menyampaikan:
    ”Sesungguhnya khusyu’ merupakan manifestasi tertinggi dari sehatnya HATI, jika khusyu’ telah sirna maka berarti HATI telah rusak. Bila khusyu’ tidak ada berarti HATI telah didominasi berbagai penyakit yang berbahaya dan keadaan yang buruk. Bila HATI telah didominasi berbagai penyakit maka telah kehilangan kecenderungan kepada akhirat. Bila HATI telah sampai kepada keadaan ini maka tidak ada lagi kebaikan bagi kaum muslimim.”
Sesungguhnya khusyu' berkaitan dengan pensucian HATI dari berbagai penyakit dan upaya merealisasikan kesehatannya. Masalah ini merupakan tema yg sangat luas sehingga para ulama' memulainya dengan mengajarkan zikir dan hikmah kepada orang yang berjalan menuju الله sehingga HATI-nya hidup. Bila HATI-nya telah hidup berarti mereka telah membersihkannya dari berbagai sifat yangg tercela dan menunjukkannya kepada sifat-sifat yang terpuji. Disinilah perlunya pembiasaan HATI untuk khusyu’ melalui kehadiran bersama الله dan merenungkan berbagai nilai kehidupan. Khusyu’ dalam صلاة merupakan ukuran kekhusyukan HATI, kekhusyukan seseorang dalam صلاة menjadi tanda kekhusyukan HATI seseorang.

الله berfirman :
    Dan dirikanlah صلاة untuk mengingat AKU” (Thoha: 14)
Lahiriyah perintah adalah wajib sedangkan lalai adalah lawan ingat. Siapa yang lalai dalam semua sholatnya maka bagaimana mungkin dia bisa mendirikan صلاة untuk mengingat الله سبحانه وتعالى. Dalam sebuah hadist Rasulullah صلی  ﷲ  علیﻪ و سلم  bersabda: ”Sesungguhnya صلاة itu ketetapan HATI dan ketundukan diri”.

Selain صلاة terdiri dari zikir, bacaan, ruku', sujud, berdiri dan duduk, ia pun merupakan dialog dan munajat pada الله. Bagian ini adalah batin, karena betapa mudahnya bagi orang yang lalai untuk mengerak-gerakkan lisannya, ia tidak menjadi ucapan bila tidak mengekpresikan apa yang di dalam HATI, dan ia tidak menjadi ekpresi jika tidak disertai dengan kehadiran HATI.

Apa artinya permohonan dalam firman الله: اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ”Tunjukilah kami kejalan yang lurus”. Jika HATI tetap lalai? Jika tidak dimaksudkan kerendahan HATI dan doa, betapa mudahnya diucapkan lisan dengan HATI yg lalai, terutama bila telah menjadi kebiasaan.




Batas minimal keberadaan ruh ini ialah kehadiran HATI pada saat takbiratul ihram. Bila kurang dari batas minimal ini berarti kesiaan dan kelalaian. Semakin bertambah kehadiran HATI semakin bertambah pula ruh tersebut dalam bagian-bagian صلاة.

Imam Ghozali Rahimahullah seperti yang disebutkan oleh Syeikh Said Hawa dalam kitab Al-Mustakhlash Fii Tazkiyatil Anfus merangkum makna-makna untuk menciptakan kekhusyukan ini dalam enam hal, yaitu: kehadiran HATI, tafahhum, ta’zhim, haibah, rojaa’, dan haya’.

  • PERTAMA : Kehadiran HATI, yang dimaksud menghadirkan HATI adalah mengosongkan HATI dari hal-hal yang tidak boleh mencampuri dan mengajaknya berbicara, sehingga pengetahuan tentang perbuatan senantiasa menyertainya dan fikirannya tidak berkeliaran kepada selainnya. Selagi pikiran tidak terpalingkan dari apa yang ditekuninya sedangkan HATI masih tetap mengingat apa yang tengah dihadapainya dan tidak ada kelalaian dalamnya maka berarti telah tercapai kehadiran HATI.
  • KEDUA : Tafahhum atau kefahaman terhadap makna pembicaraan, merupakan sesuatu di luar kehadiran HATI. Bisa jadi HATI hadir bersama lafadz atau bisa juga tidak. Peliputan HATI terhadap pengetahuan tentang makna lafadz itulah yang dimaksudkan dengan kefahaman. Betapa banyak makna-makna yang halus yang difahami oleh orang yang tengah menunaikan صلاة padahal tidak pernah terlintas di dalam HATI-nya sebelum itu? Dari sinilah kemudian صلاة dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, karena ia memahamkan banyak hal yang pada gilirannya dapat mencegah perbuatan maksiat.
  • KETIGA : Sedangkan yang ketiga adalah Ta’zhim atau rasa hormat juga merupakan perkara di luar kehadiran HATI dan kepahaman, sebab bisa jadi seseorang berbicara dengan budaknya dengan HATI yang penuh konsentrasi dan faham akan makna perkataanya tetapi tidak menaruh hormat kepadanya. Dengan demikian ta’zhim merupakan tambahan bagi kehadiran HATI dan kefahaman.
  • KEEMPAT : adalah Haibah, ia merupakan rasa takut yang bersumber dari rasa hormat merupakan tambahan bagi ta’zhim, bahkan ia adalah ungkapan tentang rasa takut yang bersumber dari ta’zim karena orang yang tidak takut tidak bisa disebut ha’ib, rasa takut dari hewan berbisa seperti ular dan kalajengking atau keburukan perangai seseorang dan sejenisnya termasuk sebab-sebab yang rendah tidak bisa disebut rasa takut yang bersumber dari rasa hormat, sedangkan rasa takut dari orang yang dihormati disebut rasa takut yang bersumber dari rasa hormat
  • KELIMA : Yang kelima adalah Roja’ atau rasa harap, maka tidak diragukan lagi merupakan tambahan lain untuk menjadi khusyu'. Betapa banyak orang yang menghormati seorang pejabat atau penguasa tetapi tidak diharapkan rasa balasannya. Sedangkan seorang hamba dengan sholatnya mengharapkan ganjaran الله sebagaimana ia takut hukuman ketika melakukan pelanggaran.
  • KEENAM : Adapun yang keenam Haya’ adalah rasa malu merupakan tambahan bagi semua hal di atas, karena landasannya adalah perasaan selalu kurang sempurna dan selalu berbuat dosa dan salah.




Faktor penyebab kehadiran HATI adalah Himmah atau perhatian utama, karena sesungguhnya HATI mengikuti perhatian utama, sehingga ia tidak akan hadir kecuali mengikuti hal-hal yang menjadi perhatian utamanya. Bila ada sesuatu yang menjadi perhatian utama seseorang maka HATI pasti akan hadir. Karena HATI terbentuk dan terkondisikan dengan perhatian utama tersebut. Apabila HATI tidak hadir dalam صلاة maka ia tidak akan pasif begitu saja tetapi pasti akan berkeliaran mengikuti urusan dunia yang menjadi perhatian utamanya. Oleh karena itu, tidak ada kiat dan terapi untuk menghadirkan HATI kecuali dengan memalingkan perhatian utama kepada صلاة.

Sementara itu perhatian tidak akan terarahkan kepada صلاة selagi belum jelas bahwa tujuan yang dicari tergantung kepadanya. Bila hal ini didukung oleh hakekat pengetahuan, keimanan dan pembenaran bahwa akherat lebih baik dan lebih kekal, dan bahwa صلاة merupakan sarana menuju ke sana. Bila HATI tidak bisa hadir pada waktu munajat kepada Maha diraja yang di tangan-NYA segala kekuasaan, maka hal itu adalah kelemahan iman.




Sedangkan faktor penyebab timbulnya kefahaman, setelah kehadiran HATI, ialah senantiasa berfikir dan mengarahkan fikiran untuk mengetahui makna, yaitu menghadirkan HATI disertai konsentrasi berfikir dan menolak lintasan fikiran yang liar. Sedangkan cara menolak berbagai lintasan pikiran yang menyibukan itu ialah memotong berbagai hal yang menjadi bahan fikirannya, yakni membebaskan diri dari berbagai sebab-sebab yang membuat fikiran tertarik kepadanya. Bila hal ini yang menjadi bahan fikiran itu tidak dilenyapkan maka fikirannya tidak akan terpalingkan dari padanya.




Kemudian Ta’zhim atau rasa hormat merupakan keadaan HATI yang lahir dari dua ma’rifat.
    Pertama: Ma’rifat atau pengetahuan kita akan kemuliaan dan keagungan الله yang merupakan salah satu dasar iman. Siapa yang tidak diyakini keagungannya maka jiwa tidak akan mengagungkannya.
    Kedua: Ma’rifat atau mengetahui akan kehinaan diri dan statusnya sebagai hamba yang tidak memiliki kuasa apa-apa.
Dari kedua ma’rifat ini lahir rasa pasrah, tidak berdaya, tunduk dan khusyu’, kepada الله yang diungkapkannya dengan pengagungan kepada الله, selagi ma’rifat akan kehinaan diri tidak berpadu dengan ma’rifat akan kemuliaan الله maka pengagungan kepada الله dan khusyu’ tidak akan terpadukan, karena orang yang merasa tidak memerlukan pihak lain dan merasa aman terhadap dirinya bisa saja ia mengetahui sifat-sifat keagungan tetapi kondisinya tidak mencerminkan khusyu’ dan ta’zhim, sebab syarat yang lain yaitu ma’rifat akan kehinaan dirinya tidak menyertainya.




Sedangkan haibah atau rasa takut yang bersumber dari rasa hormat dan takut merupakan keadaan jiwa yang lahir dari ma’rifat akan kekuasaan الله, hukuman-NYA, pengaruh kehendak-NYA. Semakin bertambah pengetahuan sesorang tentang الله semakin bertambah haibah dan rasa takutnya kepada الله.




Adapun faktor penyebab timbulnya roja’ atau rasa harap ialah kelembutan الله, kedermawanan-NYA, keluasan nikmat-NYA, keindahan ciptaan-NYA dan pengetahuan akan kebenaran janji-NYA, khususnya janji syorga bagi orang yang صلاة. Bila telah ada keyakinan kepada janji الله dan pengetahuan akan kelembuatan-NYA maka pasti akan muncullah perasaan roja’ dan harap.




Kemudian haya' atau rasa malu akan muncul melalui perasaan serba kurang sempurna dalam beribadah dan ketidakmampuannya dalam menunaikan hak-hak الله. Rasa malu ini akan semakin kuat dengan mengetahui kekurang ikhlasannya, keburukan batinnya dan kecenderungannya kepada perolehan dunia dalam semua amal perbuatannya. Disamping pengetahuannya akan segala konsekwensi kemulian الله, dan bahwa Dia maha mengetahuai rahsia-rahsia dan lintasan HATI sampai ke yang sekecil-kecilnya. Berbagai pengetahuan ini apabila benar-benar telah terwujudkan akan melahirkan suatu yang disebut haya’.

Itulah berbagai sebab dari sifat-sifat tersebut. Setiap sifat yang harus diwujudkan maka caranya adalah dengan mewujudkan sebab yang dapat memunculkannya. Ikatan semua sebab tersebut adalah keimanan dan keyakinan. Kekhusyukan HATI sangat bergantung kepada ada tidaknya keyakinan.
    Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (Al-Anam : 132)
Apa yang diperoleh setiap orang dari sholatnya sesuai kadar rasa takut, khusyu’, dan ta’zhimnya, karena tempat penilaian الله adalah HATI. Semoga الله mengaruniakan kelembutan dan kedermawanan-NYA kepada kita dan memberikan kekhusyukan dalam ibadah kita. Amin ya Rabbal alamain.



H. Zulhamdi M. Saad, Lc

Posting Komentar Blogger

 
Top