0 Comment
Yang dimaksud dengan ahli ilmu (orang alim) disini adalah orang yang mempunyai pemahaman agama dengan baik atau mumpuni, dan pengetahunya itu dipraktikkan dalam sikap, prilakunya serta ibadahnya sehari-hari. Sedang yang dimaksud dengan ahli ibadah (orang yang banyak ibadahnya) adalah orang yang kuat dan banyak ibadahnya, namun ibadah yang ia lakukan tidak didasari dengan ilmu syari’at. Ia melakukan ibadah dengan mengikuti perasaan dan naluri saja, atau hanya ikut-ikutan orang-orang awam yang ada di sekitarnya.
Di hadapan ilmu, manusia terbagi dalam empat kategori.
Pertama, manusia yang punya ilmu dan ia sadar akan ilmu yang dimilikinya, sehingga ia mempraktikkan ilmu itu dalam sikap dan perilaku kesehariannya. Kita patut belajar kepada orang yang masuk dalam kategori ini, karena ia adalah ‘alim dan ‘ amil.
Kedua, manusia yang punya ilmu tapi ia tidak sadar akan ilmu yang dimilikinya, sehingga sikap dan perilakunya menyimpang jauh dari ilmu yang dimilikinya. Perbuatannya tidak sejalan dengan ucapannya. Kita patut mengingatkan orang yang masuk dalam kategori ini, karena ia sedang lalai akan kewajibannya.
Ketiga, manusia yang tidak punya ilmu (bodoh) tapi ia sadar akan kebodohannya, sehingga prilakuknya terkadang benar terkadang salah. Ia bertindak berdasarkan naluri dan perasaannya, atau hanya ikut arus yang ada. Kita patut mengajari orang yang masuk dalam kategori ini, agar ia punya bekal dan pedoman yang benar untuk menghindari kesalahan dalam perilakunya.
Keempat, manusia yang tidak punya ilmu (bodoh) tapi ia tidak menyadari kebodohannya, sehingga ia enggan menerima masukan dan nasehat orang-orang yang ada di sekitarnya, karena ia merasa tidak butuh nasehat. Kita patut waspada dengan orang yang masuk dalam kategori ini. Jika kita tidak punya bekal dan semangat untuk memperbaikinya, lebih baik kita menjauhinya agar tidak terkena imbasnya.
ILMU AGAMA SEBAGAI PENANGKAL TIPUDAYA SYETAN
Syetan mempunyai banyak senjata untuk menggoda dan menjerumuskan manusia sebagai anak cucu Adam. Dari yang paling halus dan memperdaya obyeknya sampai yang paling kasar dan frontal. Yaitu dengan jelas-jelas, syetan menyeru dan menyuruh manusia untuk berbuat maksiat.
“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) syetan ketika dia berkata kepada manusia, ‘kafirlah kamu’. Maka tatakala manusia itu telah kafir, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam.” (QS. al-Hasyr : 16)
Sedangkan senjata syetan yang masuk kategori halus adalah “Talbis”. Dengan senjata ini syetan menyamarkan kejahatan dalam kemasan menarik sehingga tampak oleh obyeknya bahwa yang dikemas itu adalah kebaikan. Syetan hadir sebagai sosok malaikat, guru besar, orang alim lalu memberikan nasehat-nasehat kebaikan. Kemudian ia mengiring obyeknya itu ke lembah kemaksiatan dan kesyirikan.
Kalau obyeknya tidak waspada dan terkecoh dengan kamuflase yang ada, maka ia akan menjadikan syetan sebagai penasehatnya, menganggap syetan sebagai malaikat yang diturunkan Allah untuk menyampaikan wahyu kepadnya. Syetan akan menyuruh obyeknya untuk melakukan kemasiatan berdasarkan “wahyu baru” yang diterimanya. Godaan syetan yang ada dianggap rahmat dan mu’jizat dari Allah. Lalu cepat atau lambat obyek tersebut menobatkan dirinya sebagai nabi baru, untuk memperbaiki atau meralat ketentuan syari’at yang sudah berlaku.
Simaklah talbis syetan yang pernah dihadapi oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Talbis itu begitu halus dan dikemas dengan kebaikan serta disampaikan dengan cara elegan. Kalau kita tidak jeli dan tidak punya pemahaman agama yang mendalam, pasti kita akan terjebak dan terjerembab dalam perangkat syetan tersebut.
Dalam kitab Mashaibul Insan diceritakan, “Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata, ‘Dalam suatu perjalanan, aku merasakan cuaca yang sangat panas, hampir saja aku mati kehausan. Lalu datanglah awan menaungiku, dan angin terasa datang bergerak menghembus tubuhku, dan ludah pun terasa mengalir di mulutku.
Di saat yang menyenangkan itu, tiba-tiba aku mendengar suara, “Wahai Abdul Qadir, Aku adalah Tuhanmu”. Maka akun menyahut, ‘Engkau Allah ? Tiada Tuhan selain Engkau”. Lalu ia memanggilku lagi, “wahai Abdul Qadir, Aku adalah Tuhanmu. Aku halalkan apa yang telah diharamkan”. Aku segera membentaknya, “Engkau pendusta, engkau adalah syetan.”
Awan hitam itu pun berhamburan. Lalu aku mendengar suara di belakangku dengan nada bergera, “Wahai Abdul Qadir, kamu telah selamat dari tipudayaku, karena pemahaman agamamu yang dalam. Sebelumnya aku telah mengelincirkan 70 orang dengan cara ini.”
Ada yang bertanya kepada Syekh Abdul Qadir, “Bagaimana kamu mengetahui bahwa adalah syetan”? Abdul Qadir menjawab, “ Barang siapa yang berkata, ‘ telah aku halalkan bagimu ini dan itu, maka engkau dapat memastikan bahwa ia adalah syetan. Karena sepeninggalkan Rasulullah, tidak ada lagi yang berhak menghalalkan apa yang telah diharamkan.” (Musibah Akibat Tipuan Syetan : 145-146).
Sungguh cerita di atas merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. Jangan mudah terpedaya oleh bujukrayu dan tipudaya syetan. Baru shalat malam beberapa kali saja, sudah mengaku bahwa malaikat jibril telah turun kepadanya. Atau shalat lima waktunya belum genap, kemudian mengaku mendapatkan wahyu saat menjalani semedi yang diperintahkan gurunya disebuah gua. Di sinilah pentingnya pemahaman agama yang mendalam agar kita punya parameter dan filter yang kuat untuk menghadapi tipudaya syetan.
PELAJARAN BERHARGA BAGI PERUQYAH
Kalau manusia dalam kehidupan sehari-hari dianjurkan untuk membekali pemahaman agama yang mendalam, agar tidak terkecoh oleh syetan. Maka bagi seorang peruqyah yang intensitas berhadapan dengan syetan yang masuk ke tubuh seseorang lebih dianjurkan lagi untuk membekali diri dengan pemahaman agama yang dalam. Karena ia berhadapan dengan musuh utama yang sangat licik, dan keberadaannya tidak bisa dilihat oleh manusia.
Bisa saja syetan melancarkan tipu muslihat dan tipudaya saat ia disuruh keluar oleh seorang peruqyah, dari tubuh orang yang sedang kesurupan. Misalnya, syetan berkata,” Aku mau keluar dari tubuh orang ini karena mentaati perintahmu.” “Aku akan keluar dari tubuhnya, bila kamu mau menikahi anak ini”. “Aku akan keluar bila kamu sedakan kopi pahit”. Dan permintaan serta permohonan lainnya, yang isinya bisa menggelincirkan akidah si peruqyah atau merusak akhlaknya.
Pelajaran berharga telah disampaikan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, saat ia menceritakan pengalaman meruqyah yang dilakukan oleh gurunya, Ibnu Taimiyyah saat meruqyah orang yang kesurupan, syetan YANG ADA DALAM TUBUH ORANG TERSEBUT BERUSAHA UNTUK MEMPERDAYAINYA, DENGAN TIPUDAYA YANG HALUS NAMUN MENGGELINCIRKAN. Bila tidak dibekali ilmu agama yang mendalam, maka obyek tersebut bisa terpeleset dan tergelincir dalam perangkap syetan.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menceritakan dalam kitabnya, bahwa Ibnu Taimiyyah seringkali membacakan pada telinga orang yang kesurupan ayat 115 dalam surat al-Mukminun.”Suatu saat Syekh Ibnu Taimiyyah membaca ayat tersebut di telinga orang yang kesurupan, jin di dalam tubuhnya menjerit mengatakan, ‘Ya…….!. Lalu beliau mengambil tongkat dan memukuli lehernya hingga tangannya letih kecapakan.
Para hadirin yang menyaksikan peristiwa trersebut yakin, bahwa orang tersebut akan mati akibat pukulan tongkat yang bertubi-tubi. Jin yang di dalam tubuh orang tersebut berkata,”Saya mencintaimu!’. Lalu jin itu menyahut lagi, ‘Aku ingin pergi haji bersamanya’. Ibnu Taimiyyah menyangkal, ‘Dia tidak mau pergi haji bersamamu’.
Lalu jin tersebut menyahut, ‘Saya tinggalkan dia demi menghormatimu’. Syekh Ibnu Taimiyyah menegaskan,’Tidak…! Tapi keluarlah kamu kartena taat kepada Allah dan Rasu-Nya’. ‘Ya…., aku akan keluar darnya’, sahut jin menyerah kalah.
Tak lama kemudian orang yang kesurupan tersebut tersadarkan diri, lalu duduk seraya menengok ke kanan dan ke kiri sambil bertanya keheranan, ‘Apa yang menyebabkan aku berada di rumah syeikh?’ Para hadirin balik bertanya ‘Bagaimana dengan pukulan yang bertubi-tubim tadi?’ Orang tersebut menjawab, ‘Kenapa Syeikh memukuli saya? Apa dosa saya?’ Ternyata orang tersebut tidak merasakan apa-apa ketika dipukuli Syekh Ibnu Taimiyyah secara terus-menerus.” (Ath Thibbun Nabawi : 53)
Perhatikanlah bagaimana halusnya tipudaya syetan, “Saya tinggalkan dia demi menghormatimu”. Kalau pemaham,an agama kita kurang pasti kita akan mengiyakan apa yang dikatakan jin tersebut, dan hati kita pun berbunga-bunga penuh dengan kesombongan. Apalagi kalau ada banyak orang di sekitar kita.
KEBODOHAN ADALAH CELAH SYETAN
Suatu hari, ada seorang laki-laki (26) yang datang ke Majalah Ghoib. Ia ingin bertemu dengan salah seorang ustadz tim ruqyah syar’iyyah. Ketika ia sudah bertemu dengan salah seorang ustadz peruqyah, ternyata dia ingin cerita pengalamannya lalu minta pendapat peruqyah tersebut.
Dia mengaku bahwa pengetahuan agamanya masih minim. Latar belakang pendidikan formal tamatan SMP, dan untuk agamanya pun ia mengaku tidak pernah sekolah di pesantren. Ia hanya belajar membaca Al-Qur’an di surau (mushalla) sewaktu masih kecil. Pokoknya dia merasa sangat kurang akan pengetahuan agama.
Setelah beberapa bulan menikah, ia mendapati gejala aneh pada diri istrinya. Apabila istrinya lagi sedih atau diterpa masalah yang agak berat, istrinya sering pingsan dan kesurupan. Yang paling sering merasuki tubuh istrinya adalah jin yang mengaku sebagai ibunya, yang sudah meninggal sewaktu istrinya masih kecil.
Sewaktu kerasukan itu, istrinya sering mengamuk. Dan ia pun berusaha membaca surat-surat pendek dari al-Qur’an yang telah ia hafal. Yang membuat ia bingung, ternyata jin itu menirukan bacaanya dan mengajari surat lain yang belum dihafalnya. Dalam keputusasaannya, ia bertanya kepada jin tersebut, “Apa maumu?’ jin itu menjawab, “Sediakan kopi pahit dan the pahit, aku akan segeraa keluar dari anakku ini. Jaga dia baik-baik, jangan dibikin sedih.”
Anehnya, ketika permintaan itu ia turuti, ternyata tak berapa lama istrinya siuman dan sadar kembali. Sejak saat itu, ia selalu melakukan hal yang sama saat istrinya kerasukan. Menurutnya itu lebih efektif daripada membaca ayat-ayat atau surat-surat al-Qur’an. Bahkan tidak hanya ketika istrinya kesurupan. Saat orang lain kesurupan, dan minta tolong kepadanya. Maka ia segera menyediakan kopi dan the pahit.
Lalu ia bertanya, “Kenapa di sini ustadz capek-capek membacakan ruqyah?, padahal tanpa ruqyah syetan juga bisa kabur. Hanya bermodal kopi dan the pahit, tidak membutuhkan biaya banyak kok…? Katanya.
Ustadz peruqyah pun menjelaskan bahwa ruqyah syar’iyyah adalah sunnah Rasulullah SAW. Dengan mempraktikkan ruqyqh itu kita hidupkan salah satu sunnah Rasul SAW yang telah ditinggalkan kaum muslimin, dan itu adalah ibadah yang berpahala.
Adapun apa yang Anda lakukan adalah tipudaya syetan agar meninggalkan ruqyah syar’iyyah. Anda telah masuk perangkap syetan. Buktinya Anda telah meninggalkan ruqyah dan memilih menyediakan sesajen sebagai bentuk persembahan kepada syetan. Anda telah tunduk dan patuh kepada perintah syetan dan berpaling dari perintah Rasulullah SAW.
Memang kopi dan the pahit tidak mahal harganya. Tapi substansinya adalah ketundukan Anda kepada perintah syetan untuk menyediakan minuman tersebut. Ketundukan dan kepatuhan adalah perbuatan syirik dan berdosa besar.
Rasulullah SAW pernah menceritakan bahwa ada orang yang masuk neraka karena lalat dan masuk surga karena lalat. Karena orang pertama telah mempersembahkan lalat agar bisa selamat dari ancaman syetan. Dan yang satunya tidak mau mempersembahkan sesuatu kepada syetan, walau hanya seekor lalat. Ketika keduanya meninggal, yang pertama masuk neraka dan yang kedua masuk surga. (HR. Ahmad dalam kitab Az-Zuhd:25) Padahal kalau dilihat dari nilai nominal, lalat lebih tidak bernilai daripada kopi atau teh pahit yang Anda persembahkan.
Lalu orang itu pun beristighfar dan menyadari kesalahannya. Dan ia bertekad untuk belajar agama dengan lebih baik. Ia juga bertekad untuk menghentikan praktik pengobatan kesurupan yang menyimpang selama ini. Dan ia minta agar ustadz peruqyah itu mau membimbingnya untuk belajar ruqyah yang benar, agar tidak mudah ditipu dan diperdaya syetan.
SYETAN LEBIH SULIT MENGGELINCIRKAN AHLI ILMU DARIPADA AHLI IBADAH
Rasulullah pernah menyatakan,”…Keutamaan orang yang berilmu dibanding orang yang ahli ibadah laksana keutamaan bulan dibanding seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama’ adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham (harta), tapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang bisa memiliki ilmu tersebut, berarti ia telah memiliki keuntungan yang sangat banyak.” (HR Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah). Sedangkan dalam riwayat lain, “Keutamaan orang yang berilmu dibanding orang yang ahli ibadah, seperti keutamaanku atas orang yang paling awam di antara kalian….” (HR Tirmidzi).
Dengan ilmu agama yang dimiliki, manusia bisa mengetahui mana yang haq dan mana yang bathil. Dengan pemahaman akidah yang dalam manusia bisa mengetahui jebakan-jebakan syetan yang bisa merusak akidah itu sendiri. Dengan ilmu syari’at yang memadai , manusia bisa beribadah kepada Allah SWT dengan cara yang benar. Dengan ibadah yang benar serta ikhlas, manusia bisa mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan dirinya dari tipudaya syetan.
Abu Hurairah dalam hadits marfu’nya menginformasikan “Sungguh, seorang faqih (orang yang mumpuni agamanya) lebih sulit bagi syetan daripada seribu ahli ibadah.” (Adabul Imal’ wal Istimla’: I/60).
Seorang ulama’ hadits yang bernama Muhammad Abdulrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri mengatakan “Karena orang yang alim dengan ilmunya, ia tidak mudah terkecoh, bahkan akan menolak tipudaya syetan. Ia senantiasa mengajak manusia kepada kebaikan. Dan hal itu tidak dijumpai pada diri orang yang ahli ibadah.”
“Atau maksudnya adalah banyak tipudaya syetan yang berhasil dimentahkan atau ditolak orang yang alim. Setiap syetan akan menjebak dan menggelincirkan manusia, orang alim datang dan menjelaskan akan tipuidaya tersebut. Akhirnya manusia-manusia itu terhindar dari perangkap dan tipudaya syetan. Sedangkan orang yang ahli ibadah biasanya sibuk dengan ibadahnya. Karena tidak dilandasi ilmu, akhirnya ia tidak merasa bahwa ibadahnya itu salah dan ia telah terjebak dalam ttipudaya syetan.” (Tuhfatul Ahwadzi: 7/ 374).
Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya syetan pernah berkata kepada Iblis,’Wahai tuan kami, kami merasa gembira atas kematian orang yang alim (berilmu), namun kami sangat sedih dengan kematian seorang yang banyak ibadahnya. Karena orang alim itu tidak memberi kesempatan kepada kami, dan dari orang yang banyak ibadahnya kami mendapatkan banyak kesempatan dan bagian yang banyak darinya.”
“Iblis berkata, pergilah kalian! Lalu merekapun pergi kepada orang yang banyak ibadahnya. Tatkala mereka datang, ahli ibadah itu sedang beribadah. Syetan-syetan itu berkata kepadanya,’Apakah Tuhanmu berkuasa untuk menciptakan dunia ini dalam sebutir telur’. Si ahli ibadah menjawab,’Saya tidak tahu’. Iblis berkata kepada syetan, ‘Tidakkah kamu melihat bahwa itu adalh jawaban yang kufur’?”
“Kemudian syetan-syetan itu mendatangi seorang alim (ahli ilmu) dalam majlis ta’limnya. Syetan-syetan itu berkata, ‘kami ingin bertanya kepadamu’. Syetan berkata, ‘Apakah Tuhanmu mampu menjadikan dunia ini dalam sebutir telur?’ Si alim menjawab, ‘Ya’ Syetan menyangkal,’Bagaimana bisa?’ Si alim menjawab, ‘Dia hanya mengatakan, ‘Jadi-lah’, maka akan terjadi’. Lalu Iblis berkata kepada syetan-syetan,’Tidakkah kamu melihat, bagaimana ia mampu menahan hawa nafsunya, dan ia mampu menangkal tipudayaku dengan ilmu agamnya’.” (Musibah Akibat Tipuan Syetan: 147)
Marilah kita bekali diri kita dengan ilmu syari’at, agar kita tidak gampang dipermainkan oleh syetan, syetan manusia atau syetan jin. Agar kita mengetahui jalan kebenaran, dan meninggalkan tradisi atau budaya yang menyimpang. Supaya kita tidak menyesal di hari kemudian.
Sebagaimana yang digambarkan al-Qur’an, “Allah berfirman, ‘Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu’. Setiap satu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk kawanya (yang telah menyesatkannya). Sehingga apabila mereka masuk semuanya, berkatalah orang yang masuk kemudian kepada orang-orang yang masuk terdahulu, ‘Ya tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka.’ Allah SWT berfirman,’Masing-masing mendapatkan siksa yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak mengetahui.” (QS. al-A’raf: 38).
IBADAH SEHARUSNYA DENGAN ILMU
Seharusnya setiap ibadah yang kita lakukan didasari dengan ilmu. Agar ada keyakinan di dalamnya., ketenangan saat melaksanaknnya, dan tidak mudah menjadi bulan-bulanan syetan. Syetan akan dengan mudah mempermainkan orang yang beribadah tanpa didasari dengan ilmu. Bahkan dengan tipudayanya itu, syetan akan mampu menggelicirkannya, sedangkan orang yang ibadah itu tidak menyadarinya. Ia mengira bahwa ibadahnya itu akan menghasikan pahala. Padahal apa yang dilakukannya sudah menyimpang dari apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah.
Seorang ulama’ hadits yang terkenal, Imam Bukhari telah mengingatkan kita dalam kitab Shahihnya. Dia telah menulis satu bab yang isinya, “Ilmu sebelum berbicara dan berbuat, karena Allah berfirman, Maka ketahuilah, bahwasannya tidak ada Tuhan selain Allah.” (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat tersebut Allah memulai dengan ilmu.” (lihat shahih Bukhari: I/37).
HINDARI KERAGUAN DALAM IBADAH, DENGAN ILMU
Orang yang ragu dalam melaksanakan suatu ibadah tidak akan mendapatkan ketenangan dalam melaksanakannya. Karena ia tidak tahu untuk apa dia melaksanakan ibadah. Kepada siapa ia menunjukkan ibadahnya. Apalagiu kalau saat ia tekun beribadah, ternyata cobaan dan mushibah datang menerpanya atau menimpa keluarganya silih berganti.
Dalam hati ia akan bertanya-tanya,”Apakah Allah melihat apa yang saya lakukan”? “Ngapain saya rajin-rajin ibadah, kalau musibah masih datang silih berganti”.Atau pertanyaan-pertanyaan usil lain yang sejenis.
Dalam kebimbangannya itu, syetan akan datang dan memperkeruh suasana, “Apa gunanya tekun ibadah kalau kehidupan kamu masih miskin”. “Kenapa kamu menyembah Allah, toh Allah tidak peduli dengan nasibmu”. “Lihat si Fulan , ia jarang shalat bahkan tidak pernah, tapi rizkinya berlimpah, kehidupannya mewah.” Dan pertanyaan-pertanyaan yang mematahkan semangat lainnya.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT mencela orang-orang yang ragu dalam beribadah melalui firman-Nya,”Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Alllah dengan keraguan. Jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaanitu. Dan jika ia tertimpa suatu fitnah (bencana), berbaliklah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. al-Hajj: 11)
Ibnu Abbas berkata, “Yang dimaksud fitnah dalam ayat tersebut adalah bencana. Ada seseorang yang hijrah ke Madinah. Ia mengatakan, “Jika sesampai di Madinah badannya menjadi sehat, kudanya bisa beranak yang bagus, istrinya bisa melahirkan bayi laki-laki, maka saya akan rela dengan islam dan tenang didalamnya.
Lalu sesudah di (Madinah), ia tertimpa sakit, dan istrinya melahirkan bayi perempuan, dan kudanya belum juga beranak. Kemudian syetan mendatanginya dan membisikkan, “Demi Allah, sejak kamu tidak masuk Islam, kamu tidak memperolah kecuali kesialan’.
Dan itulah yang disebut dengan fitnah.” (Tafsir Jami’ul Bayan: 17/ 122-123)
Maka dari itulah Rasulullah SAW berpesan kepada Abu Dzar, agar belajar ilmu terlebih dahulu darpada beribadah tanpa didasari ilmu. “Wahai Abu Dzar, kamu pergi satu ayat saja dari kitab Allah (al-Qur’an), adalah lebih baik bagimu daripada shalt seratus rekaat. Dan kamu pergi untuk mempelajari satu bab dari ilmu sudah kamu amalkan atau belum, adalah lebioh baik daripada shalat seribu rekaat.” (HR. Ibnu Majah).
ILMU YANG MENJADI PRIORITAS UNTUK DIKUASAI
Ilmu yang berkaitan dengan suatu yang pokok atau utama, yang mengantarkan seseorang bisa beribadah dengan baik dan benar adalah wajib diprioritaskan. Hukumnya wajib ‘ain. Di antaranya adalah ilmu tauhid, yang mengenalkan seseorang dengan Tuhan yang berhak dia sembah. Mengenal nama dan sifat-sifat-Nya agar kita bisa mencintai dan mengagungkanNya. Begitu juga ilmu yang bisa mengenalkan kita dengan RasulNya, agar kita mengetahui apa kewajiban kita terhadap Rasulullah SAW.
Begitu juga ilmu yang menuntun kita untuk bisa beribadah kepada Allah SWT dengan cara yang benar. Sebagaimana yang tercantum dalam rukun Islam itu sendiri. Setelah kita bersaksi dan meyakini bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah SWT. Dan Muhammad adalah utusan-Nya. Selanjutnya kita belajar bagaimana shalat yang benar, puasa yang diajarkan Rasulullah SAW, dan seterusnya.
Rasulullah saw bersabda, “Seseorang tidak akan mendapatkan keutamaan yang melebihi keutamaan ilmu yang dapat memberikan petunjuk kepada pemiliknya atau mengangkatnya dari kehinaan. Dan tidaklah seseorang akan lurus agamanya hingga lurus ilmunya.” (HR. Thabrani).
YANG TAKUT KEPADA ALLAH HANYALAH ORANG YANG BERILMU
Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama’ “ (QS. Fathir: 28). Sai’id bin Jubair berkata, “yang dimaksud dengan khsyyah (rasa takut) adalah perasaan yang dapat menghalangimu dari perbuatan maksiat kepada Allah. (Tafsir Ibnu Katsir)
http://metafisis.wordpress.com/2010/08/28/ahli-ilmu-lebih-ditakuti-syetan-daripada-ahli-ibadah/

Posting Komentar Blogger

 
Top