0 Comment
Oleh
Syaikh Bakar Abu Zaid

Laki-laki dan perempuan, menurut kodrat, syari’at, indra dan akal, jelas-jelas berbeda. Baik secara fisik, nilai-nilai maupun ketetapan syari’at untuk masing-masingnya.
Mengapa? Sebab Allah Azza wa Jalla telah menciptakan jenis manusia menjadi dua jenis, laki-laki dan perempuan.
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَاْلأُنثَى
Dan bahwasanya Dialah (Allah) yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. [An Najm : 45].

Keduanya sama-sama berhak menghuni dunia, tetapi menurut kekhususan masing-masing.
Keduanya sama-sama berhak meramaikan bumi dengan peribadatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hal ini, secara umum tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Tentang tauhid, aqidah, iman, Islam, pahala dan siksa. Begitu pula tentang hak dan kewajiban syari’at secara umum.
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. [Adz Dzariyat : 56].
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. [An Nahl : 97].
Akan tetapi, Allah Azza wa Jalla juga telah menetapkan takdir bahwa laki-laki tidak sama dengan perempuan. Mulai dari bentuk fisik, gerak-gerik sampai sifat-sifatnya.
Dalam diri laki-laki ada pembawaan kekuatan fisik yang lebih sempurna. Sementara pada diri perempuan tidak sekuat laki-laki. Sebab perempuan harus mengalami haid, hamil, melahirkan, menyusui, mengurusi anak yang disusuinya dan melakukan pendidikan bagi lahirnya generasi masa depan.
Itulah, mengapa wanita dicipta dari tulang rusuk Adam Alaihissallam. Jadi wanita adalah bagian dari laki-laki, pengikut laki-laki dan merupakan nikmat bagi laki-laki.
Sementara laki-laki mendapat kepercayaan mengurus kebutuhan wanita, menjaga dan memberikan nafkah kepadanya dan kepada keturunannya.
Perbedaan secara fisik ini berakibat pada perbedaan kemampuan, baik fisik, akal, pemikiran, perasaan, kemauan, pekerjaan maupun daya kerjanya.
Dari perbedaan dalam banyak hal di atas, melahirkan sejumlah besar konsekuensi hukum syari’at bagi keduanya. Dengan hikmah Allah Yang Maha Mengetahui, ada beberapa perbedaan hukum berkaitan dengan tugas dan kewajiban bagi laki-laki dan wanita. Masing-masing disesuaikan dengan keadaannya. Sehingga hidup menjadi sempurna, utuh dan masing-masing dapat melaksanakan tugasnya.
Secara khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tugas kepada laki-laki dengan beberapa hukum yang sesuai dengan fisiknya, ototnya, kemampuannya, daya kerjanya, kesabarannya, keuletannya dan kekuatan kerjanya di luar rumah untuk mencari nafkah bagi orang yang ada di dalam rumah.
Sedangkan kepada wanita, Allah Azza wa Jalla memberikan tugas-tugas khusus yang sesuai dengan fisik, kemampuan, keahlian, daya kerja dan daya tahan tubuhnya yang lebih lemah. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberikan sejumlah pekerjaan kepada wanita untuk menyelesaikan urusan-urusan di dalam rumah serta mendidik generasi masa depan yang ada di rumahnya.
Itulah kehendak kauniyah (ketetapan takdir) Allah dalam hal penciptaan dan pemberian anugerah terhadap laki-laki dan perempuan. Dari sana, kemudian Allah menetapkan kehendak syar’iyah (ketetapan syari’at)-Nya bagi masing-masing. Maka, bertemulah dua kehendak Allah tersebut bagi kemaslahatan hamba, keramaian dunia, dan teraturnya kehidupan individu manusia, rumah, jama’ah serta masyarakat.
Berikut ini adalah beberapa contoh hukum yang dikhususkan bagi masing-masing.
Contoh, hukum yang dikhususkan bagi laki-laki, di antaranya: laki-laki adalah pemimpin bagi rumahnya. Dia bertanggung jawab memelihara, menjaga dan mengontrol kehormatan rumah tangganya. Dia harus mencegah dan memberikan perlindungan agar tidak terjadi kehinaan serta kerusakan dalam rumah tangganya. Disamping bertanggung jawab mencari mata pencaharian untuk menafkahi semua penghuni rumahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). [An Nisa’ : 34].
Bisa diperhatikan bagaimana al Qur’an al karim menggunakan bahasa “tahta (dibawah)” ketika mengukuhkan kepemimpinan laki-laki. FirmanNya.
ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ
Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah (kendali) dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami. [At Tahrim : 10].
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Tahta (berada di bawah kendali)” merupakan maklumat, bahwa kedua orang perempuan (isteri Nuh dan Luth) itu tidak memiliki kekuasaan apa-apa terhadap suami masing-masing. Kekuasaan justeru hanya ada di tangan suami terhadap isteri masing-masing. Maka, selamanya wanita tidak bisa disetarakan dengan laki-laki, apalagi berada di atasnya.
Contoh lain. Bahwa kenabian atau kerasulan tidak pernah ada, kecuali pada laki-laki. Allah Azza wa Jalla berfirman.
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّرِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِم مِّنْ أَهْلِ الْقُرَى
Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. [Yusuf : 109].
Para Ahli tafsir menerangkan ayat di atas : Allah tidak pernah mengutus seorangpun nabi perempuan, malaikat, jin atau orang badui.
Contoh lain lagi. Bahwa perwalian umum atau kuasa perwalian umum, seperti dalam pengadilan, surat-surat kuasa dan semua perwalian lainnya seperti wali nikah, tidak boleh terjadi kecuali bagi laki-laki.
Laki-laki juga diberi kekhususan dalam banyak persoalan ibadah yang tidak diberikan kepada wanita. Misalnya, kewajiban berjihad, shalat jum’at, shalat jama’ah, adzan, iqamah dan lain-lain. Urusan thalak juga berada di tangan laki-laki, bukan di tangan perempuan. Demikian pula, anak-anakpun dinasabkan kepada bapaknya, bukan kepada ibunya.
Laki-laki memiliki kelipatan ganda dibanding wanita dalam hal waris, diyat (pidana ganti rugi), persaksian, pemerdekaan budak dan aqiqah.
Hukum-hukum khusus bagi laki-laki yang disebutkan di atas maupun hukum-hukum khusus lainnya, sebagaimana dimaksudkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Al Baqarah : 228].
Sedangkan hukum-hukum yang khusus dikenakan kepada wanita cukup banyak. Tersusun dalam bab-bab ibadah, mu’amalah, pernikahan beserta kaitan-kaitannya, peradilan dan lain-lain. Itu semua sudah diketahui jelas dalam Al Qur’an, Sunnah serta kitab-kitab fiqh. Bahkan banyak yang dibukukan secara tersendiri, semenjak dahulu hingga kini. Di antaranya berkaitan dengan hukum hijab (tutup aurat) dan dengan pemeliharaan terhadap kehormatannya.
Hukum-hukum yang dikhususkan oleh Allah bagi masing-masing laki-laki dan perempuan ini memberikan beberapa kesimpulan. Di antaranya tiga hal berikut :
Pertama : Wajib mengimani dan menerima perbedaan-perbedaan yang ada antara laki-laki dan perempuan, baik secara fisik, nilai-nilai maupun ketetapan-ketetapan syari’at bagi masing-masing. Semua pihak harus rela menerima ketetapan takdir dan ketetapan syari’at yang ditentukan untuk masing-masing. Dan harus meyakini, bahwa perbedaan-perbedaan ini merupakan inti keadilan itu sendiri. Di dalamnya terdapat keteraturan hidup masyarakat manusia.
Kedua : Seorang muslim atau muslimah tidak boleh mengangan-angankan (irihati terhadap) kekhususan yang ada pada pihak lain. Karena bila demikian berarti ia murka terhadap takdir Allah, dan tidak rela terhadap ketentuan hukum serta syari’atNya.
Mestinya ia justeru memohon karunia Allah. Sebab, hal ini merupakan adab syari’at yang dapat menghilangkan hasad dan membersihkan jiwa wanita mukminah. Juga untuk menghiasi pribadinya dengan sikap ridha menerima takdir dan ketentuan Allah Azza wa Jalla. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَافَضَّلَ اللهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ وَسْئَلُوا اللهَ مِن فَضْلِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [An Nisa’ : 32].
Sebab turunnya ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Mujahid. Dia mengatakan, bahwa Ummu Salamah berkata, ”Wahai Rasulullah, apakah kaum laki-laki berperang, sedangkan kami tidak berperang? Kamipun hanya memperoleh warisan separuh dari kaum laki-laki?” Maka turunlah ayat di atas.
وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَافَضَّلَ اللهُ….
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah…[Diriwayatkan oleh Ath Thabari, Imam Ahmad, Hakim dan lain-lain].
Abu Ja’far Ath Thabari rahimahullah mengatakan,“Maksud Allah Azza wa Jalla dalam ayat di atas, “‘janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain”. Disebutkan, bahwa ayat itu turun berkaitan dengan wanita yang menginginkan kedudukan laki-laki, dan menginginkan apa yang diperoleh laki-laki. Maka, Allah melarang hamba-hambaNya agar jangan berangan-angan dengan hal-hal yang batil. Sebab angan-angan semacam itu akan mengakibatkan pelakunya dengki dan melampaui batas, tanpa alasan yang benar.”
Ketiga : Jika angan-angan (iri hati) ini saja dilarang -berdasarkan nash AlQur’an- apalagi mengingkari adanya perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kemudian menyerukan agar perbedaan-perbedaan itu dibuang, menuntut persamaan dan mendakwahkannya atas nama persamaan hak antara laki-laki dan wanita.
Tentu, ini merupakan pandangan atheisme. Sebab, di dalamnya terdapat penentangan terhadap kehendak Allah, baik kehendak kauniyah (ketetapan takdir) maupun kehendak syar’iyah (ketetapan syari’atNya), berkaitan dengan perbedaan-perbedaan antara keduanya, secara fisik maupun nilai-nilai. Berarti juga membuang ajaran Islam perihal nash-nash syari’atnya yang qath’i tentang perbedaan-perbedaan itu.
Bila saja persamaan ini terjadi dalam semua sisi hukum, padahal secara fisik maupun kemampuan berbeda, berarti terjadi keterbalikan fitrah. Tentu hal tersebut merupakan kedhaliman itu sendiri, baik bagi yang memiliki kelebihan maupun yang lemah. Bahkan, merupakan kedhaliman bagi kehidupan masyarakat secara umum. Sebab, berarti menghambat perolehan hasil lebih bagi yang memiliki kemampuan lebih. Sebaliknya, akan sangat memberatkan bagi yang lemah, di luar batas kemampuannya.
Kedhaliman semacam itu tidak pernah akan terjadi walaupun hanya seberat biji sawi, dalam syari’at Allah Yang Maha Bijaksana.
Dengan demikian wanita dalam naungan hukum-hukum Allah yang luar biasa indah ini, sesungguhnya terjamin keibuannya, wewenangnya mengatur urusan rumah tangganya dan keleluasaannya membangun generasi umat mendatang di dalam rumahnya.
Mengapa akal para emansipator itu demikian dangkal pemikirannya. Seperti katak dalam tempurung saja. Tidak mengerti luas dan indahnya seluk-beluk syari’at Islam. Allahu al musta’an.
(Diringkas dengan bahasa bebas oleh redaksi dari Hirasah Al Fadhilah, Syeikh Bakar Abu Zaid, bagian : Al Ashlu Al Awwalu)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun VI/1423H/2002M}

Posting Komentar Blogger

 
Top