0 Comment

Apa hukumnya mencium mushaf Al Qur’an yang sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin?
Jawaban:
(Dijawab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah)
Kami yakin perbuatan seperti ini masuk dalam keumuman hadits-hadits tentang bid’ah. Di antaranya hadits yang sangat terkenal:
“Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara (ibadah) yang diada-adakan, sebab semua ibadah yang diada-adakan (yang tidak ada contohnya dari Rasul) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.”
Dalam hadits lain disebutkan:
“Dan semua yang sesat tempatnya di neraka.”
Banyak orang yang berpendapat bahwa mencium mushaf adalah merupakan perbuatan yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan Al Qur’an. Betul..!, kami sependapat bahwa itu sebagai penghormatan terhadap Al Qur’an. Tapi yang menjadi masalah: Apakah penghormatan terhadap Al Qur’an dengan cara seperti itu dibenarkan? Seandainya mencium mushaf itu baik dan benar, tentu sudah dilakukan oleh orang yang paling tahu tentang kebaikan dan kebenaran, yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam? dan para shahabat, sebagaimana kaidah yang dipegang oleh para ulama salaf.
“Seandainya suatu perkara itu baik, niscaya mereka (para shahabat Rasul shallallahu’alaihi wa sallam) telah lebih dulu melakukannya.”
Itulah pandangan kami. Pandangan berikutnya adalah, “Apakah hukum asal mencium mushaf itu boleh atau dilarang?”
Ada sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang sangat pantas untuk kita renungkan. Dari hadits ini Insya Allah kita bisa tahu betapa kaum muslimin hari ini sangat jauh berbeda dengan para pendahulu mereka (salafush shalih) dalam hal memahami agama dan dalam menyikapi perkara-perkara ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasul shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh ‘Abis bin Rabi’ah, dia berkata:” Aku melihat Umar bin Khattab mencium Hajar Aswad dan berkata:
“Sungguh aku tahu engkau adalah batu yang tidak bisa memberi mudharat dan tidak bisa memberi manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah mencium engkau, maka aku tidak akan menciummu.” (Shahih Targhib wa Tarhib 1/94/41)
Disebutkan dalam hadits lain bahwa:
“Hajar Aswad adalah batu dari surga.” (Shahihul Jami 3174)
Yang jadi masalah… kenapa Umar radiyallahu anhu mencium Hajar Aswad? Apakah karena Hajar Aswad tersebut berasal dari tempat yang mulia yaitu surga? Ternyata tidak, Umar mencium batu tersebut bukan karena kemuliaan batu tersebut dan bukan karena menghormatinya tetapi Umar mencium karena dia mengikuti sunnah Rasul shallallahu’alaihi wa sallam (Lihatlah… betapa Umar lebih mendahulukan dalil dengan mencontoh kepada Rasul daripada mendahulukan akalnya. Dan demikianlah sifat dan sikap semua para shahabat -pent.-).
Lalu sekarang… bolehkah kita mencium mushaf Al Qur’an dengan alasan untuk menghormati dan memuliakan-Nya sementara tidak ada dalil bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, dan para shahabat mencium mushaf? Kalau cara beragama kita mengikuti para shahabat, tentu kita tidak akan mau mencium mushaf itu karena perbuatan tersebut tidak ada dalilnya (tidak ada contoh dari Rasul ). Tapi kalau cara beragama kita mengikuti selera dan akal kita serta hawa nafsu, maka kita akan berani melakukan apa saja yang penting masuk akal.
Contoh kedua adalah ketika Abu Bakar dan Umar radiyallahu anhuma bersepakat untuk mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf. Lalu mereka berdua menyerahkan tugas ini kepada Zaid bin Tsabit. Bagaimana komentar dan sikap Zaid? Dia berkata,
“Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam?”
Begitulah para shahabat semuanya selalu melihat contoh dari Rasul dalam semua urusan agama mereka. Sayang sekali semangat seperti ini tidak dimiliki oleh sebagian besar kaum muslimin hari ini.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam adalah orang yang paling berhak dan paling tahu bagaimana cara memuliakan Al Qur’an. Tapi beliau tak pernah mencium Al Qur’an. Sebagian orang jahil mengatakan, “Kenapa mencium mushaf tidak boleh dengan alasan tidak ada contoh dari Rasul? Kalau begitu kita tidak boleh naik mobil, naik pesawat, dan lain-lain, karena tidak ada contohnya dari Rasul…?”
Ketahuilah bahwa bid’ah yang sesat (yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) hanya ada dalam masalah agama. Adapun masalah dunia, hukum asalnya semuanya adalah mubah (boleh), kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul –Nya.
Maka seorang yang naik pesawat dalam rangka menunaikan ibadah haji ke Baitullah adalah boleh, walaupun naik pesawat untuk pergi haji itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Yang tidak boleh adalah naik pesawat untuk pergi haji ke Negeri Barat. Ini jelas bid’ah, karena haji itu masalah agama yang harus mencontoh Rasul shallallahu’alaihi wa sallam di dalam pelaksanaannya, yaitu dilaksanakan di Makkah dan tidak boleh di tempat lain.
Maka perkara ibadah adalah semua perkara yang dilakukan dengan tujuan ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dan kita tidak boleh ber-taqarrub kepada Allah kecuali dengan sesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah.
Untuk memahami dan menguatkan hadits, “Setiap bid’ah adalah sesat”, ada sebuah kaidah yang datang dari para ulama salaf.
“Jika bid’ah sudah merajalela, maka sunnah pasti akan mati.”
Dengan mata kepala saya sendiri saya melihat dan merasakan kebenaran kaidah tersebut, ketika bid’ah-bid’ah sudah banyak dilakukan orang dalam berbagai macam keadaan.
Orang-orang yang berilmu dan mempunyai banyak keutamaan tidak pemah mencium mushaf ketika mereka mengambilnya untuk dibaca, padahal mereka adalah orang-orang yang selalu mengamalkan isi Al Qur’an. Sementara orang-orang awam yang kerjanya mencium mushaf, hampir semua dari mereka adalah orang-orang yang perilakunya jauh dan menyimpang dari isi Al Qur’an.
Demikianlah orang-orang yang melaksanakan sunnah, dia akan jauh dari bid’ah. Sebaliknya orang-orang yang melakukan bid’ah, dia pasti akan jauh dari sunnah. Maka tepat sekali kaidah di atas:”Jika bid’ah sudah merajalela, sunnah pasti akan mati”.
Ada contoh lain lagi. Di beberapa tempat, banyak orang yang sengaja berdiri ketika mereka mendengar adzan. Padahal di antara mereka ini adalah orang-orang fasiq yang selalu berbuat maksiat.
Ketika mereka ditanya: “Kenapa Anda berdiri?” Jawab mereka: “Untuk mengagungkan Allah.” Begitulah cara mereka mengagungkan Allah dengan cara yang salah, kemudian setelah itu mereka tidak pergi ke masjid untuk shalat berjama’ah tetapi malah kembali bermain kartu atau catur, dan mereka merasa telah mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala.
Dari mana ceritanya sampai mereka berbuat demikian? Jawabannya adalah dari sebuah hadits palsu, bahkan hadits yang tidak ada asal-usulnya, yaitu: “Jika kalian mendengar adzan, maka berdirilah.” (Adh-Dhaifah 711)
Sebetulnya hadits tersebut ada asalnya, tetapi isinya telah diubah oleh sebagian rawi (periwayat) pembohon dan rawi-rawi yang lemah hapalannya. Kata quumu (berdirilah), dalam hadits tersebut sebenarnya aslinya adalah quulu (ucapkanlah).
Jadi yang sebenarnya hadits tersebut berbunyi:
“Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah (seperti lafadz adzan tersebut).” (HR. Muslim 184)
Demikianlah, syetan menjadikan bid’ah itu indah dan baik di mata manusia. Dengan melakukan bid’ah-bid’ah tersebut, orang-orang merasa telah menjadi seorang mukmin yang mengagungkan syiar-syiar Allah, dengan cara mencium mushaf atau berdiri ketika mendengar adzan.
Akan tetapi kenyataannya mereka adalah orang-orang yang pengamalannya jauh dari Al Qur’an. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang meninggalkan shalat. Kalau toh di antara mereka ada yang shalat, mereka masih makan barang haram, makan hasil riba atau memberi nafkah (keluarganya) dari hasil riba, atau menjadi perantara riba, dan perbuatan lain yang berbau maksiat.
Oleh karena itu tidak boleh tidak, kita harus membatasi diri kita dalam ketaatan dan peribadatan kepada Allah hanya dengan sesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah. Jangan kita tambah-tambah syariat Allah tersebut, walaupun satu huruf. Sebab Rasulullah telah bersabda:
“Apapun yang Allah perintahkan kepada kalian, semuanya telah aku sampaikan. Dan apapun yang Allah larang, semuanya telah aku sampaikan.” (Ash-Shahihah 1803)
Coba tanyakan kepada orang-orang yang suka mencium mushaf dan yang suka berdiri ketika mendengar adzan: ” Apakah anda lakukan semua ini dalam rangka beribadah untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah)?” Kalau mereka bilang: “Ya.” Maka katakan kepada mereka: “Tunjukkan kepada kami dalil dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam Kalau mereka tidak bisa menunjukkan dalil, maka katakan bahwa Perbuatan itu adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat pasti di neraka.
Mungkin di antara kita ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah masalah yang sangat ringan dan sepele. Pantaskah masalah sekecil ini dikatakan sesat dan pelakunya akan masuk neraka?”
Kalimat yang berbau syubhat ini telah dibantah oleh Imam Syatibi: “Sekecil apapun bid’ah itu, dia tetap sesat. Jangan kita melihat bid’ah itu hanya wujud bid’ahnya saja (seperti mencium mushaf, berdiri ketika mendengar adzan, ushollii, adzan untuk mayit, dan seterusnya -pent.-), tetapi mari kita lihat. mau dikemanakan perbuatan-perbuatan bid’ah yang menurut kita kecil dan sepele ini?
Ternyata perbuatan ini akan dimasukkan ke dalam sesuatu yang besar, agung, mulia, dan sempurna yaitu ajaran Islam yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya.. Seolah-olah ajaran Allah dan Rasul-Nya itu belum begitu baik dan belum begitu sempurna sehingga masih perlu diperbaiki dan disempurnakan dengan bid’ah-bid’ah tersebut. Dari sini sangat pantas kalau bid’ah itu dinilai sebagai perbuatan sesat.
Disalin dari Ebook ” Tanya Jawab Memahami Isi Al-Quran “ (hal.21-24) oleh: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Posting Komentar Blogger

 
Top